Pages

Monday, June 3, 2024

Klausul Non Kompetisi Dalam Perniagaan Pertahanan

 


Kapal selam Scorpene Evolved (image: Naval Group)

Bisnis pertahanan merupakan salah satu kegiatan perniagaan yang paling kompleks dan rumit di dunia mengingat karakter teknologi yang dibutuhkan, modal yang diperlukan dan pasar yang diatur dengan ketat oleh aturan nasional dan internasional. Kompetisi antar pabrikan pertahanan sangat ketat, di mana beberapa firma pertahanan memiliki lini bisnis yang lintas sektor, sementara perusahaan-perusahaan lain berfokus pada satu sektor saja.

 

Fakta menunjukkan bahwa penghasil beragam jenis sistem senjata di dunia sudah jauh berkurang dibandingkan 35 tahun lalu berkat konsolidasi industri pertahanan di negara-negara maju sejak Perang Dingin berakhir. Sebagai konsekuensinya, pilihan-pilihan sumber pengadaan senjata bagi negara-negara berkembang menjadi semakin sedikit karena biaya pengembangan sistem senjata sudah melonjak tajam dibandingkan di masa lalu.

 

Peran negara dalam bisnis pertahanan sangat menonjol dengan pertimbangan bahwa kegiatan tersebut mempengaruhi kepentingan nasional negara yang bersangkutan. Selain sebagai konsumen tunggal bagi produk-produk industri pertahanan, entitas negara juga mengatur ekspor produk-produk pertahanan ke pasar internasional.

 

Pengaturan demikian membuat tidak semua produk pertahanan dapat diakses oleh para konsumen di pasar antar bangsa, sebab senjata hanya dapat diekspor ke negara-negara penerima yang dianggap bersahabat secara politik dengan negara produsen. Peraturan tentang ekspor senjata juga dimaksudkan pula untuk pengendalian ekspor teknologi pertahanan maju dan atau dual use technology, baik pada tingkat nasional maupun internasional.

 

Pengaturan ketat ekspor senjata oleh negara produsen dan kompetisi ketat antarindustri pertahanan memberikan implikasi terhadap konsumen, baik negara maju maupun negara berkembang. Sejumlah negara maju yang tidak memproduksi sendiri beberapa sistem senjata maju harus mau berkompromi dengan regulasi ekspor yang diterbitkan oleh negara produsen senjata.

 

 


Teknologi Full Lithium-Ion (Scorpene Evolved) vs Lithium-Ion+AIP (Type 218SG) (photo: NavalNews)

Sementara pada tingkat pabrikan sistem senjata, terkadang mereka menerapkan pembatasan ekspor sistem senjata ke negara-negara tertentu yang didorong oleh kepentingan niaga daripada kepentingan politik. Pembatasan yang terjadi terkadang disebabkan oleh kesepakatan produsen dengan konsumen tertentu yang membeli sistem senjata buatannya, di mana kesepakatan demikian sulit untuk dibuktikan namun bisa dirasakan oleh negara lain.

 

Kesepakatan tersebut dikenal sebagai non-competition clause, di mana klausul demikian dapat berlaku pada kontrak penjualan barang atau jasa. Definisi non-competition clause adalah "a contractual promise by one party to refrain from conducting business of a similar nature to that of the other party".

 

Dari perspektif hukum, tidak ada yang salah dengan non-competition clause sebab terdapat kebebasan berkontrak antara pihak-pihak terkait dan tidak pula melanggar hukum perdagangan internasional. Penting untuk dicatat bahwa perniagaan di bidang senjata dikecualikan dari prinsip-prinsip perdagangan internasional.

 

Dalam perniagaan senjata, non-competition clause disetujui oleh pabrikan karena nilai kontrak yang sangat besar dan persepsi bahwa negara pembeli adalah entitas yang mempunyai posisi strategis dalam percaturan politik keamanan global dan akan menjadi konsumen dalam jangka panjang.

 

Seperti telah disinggung, produsen senjata menyetujui non-competition clause dengan pembeli berdasarkan pertimbangan niaga demi kelangsungan bisnis dalam jangka panjang. Saat ini tidak ada produsen maupun konsumen sistem senjata yang mengakui secara terbuka tentang non-competition clause yang mengikat mereka, akan tetapi penerapan klausul tersebut dapat dirasakan pada sistem senjata tertentu.

 


 

Type 218SG kapal selam dengan AIP dan modul untuk mengisi Lithium-Ion Batteries (LiB) (photo: Eckhard Uhrbrock)

Lalu bagaimana bentuk non-competition clause dalam perniagaan pertahanan? Setidaknya terdapat dua bentuk untuk klausul demikian yang selama ini diterapkan. Pertama adalah tidak mengekspor sistem senjata yang sama ke negara-negara lain yang berminat.

 

Kedua ialah menjual sistem senjata yang sama ke negara-negara lain namun dengan kemampuan hard kill dan soft kill yang telah diturunkan dibandingkan dengan negara yang memiliki non-competition clause dengan pabrikan tersebut.

 

Indonesia perlu memiliki pemahaman tentang non-competition clause dalam akuisisi sistem senjata dari luar negeri, terlebih lagi pada pembangunan kekuatan pertahanan untuk kurun masa 2025-2029. Pada masa tersebut, Kementerian Pertahanan diharapkan akan kembali melanjutkan beberapa program pengadaan yang sudah berjalan pada MEF 2020-2029.

 

Satu di antaranya adalah pembelian kapal selam, di mana galangan asal Prancis, Jerman dan Italia telah menunjukkan ketertarikan untuk menyuplai kapal selam diesel elektrik ke Indonesia. Selain isu penerapan teknologi (full) Lithium-ion Battery (LIB) pada kapal selam yang telah menjadi pilihan kebijakan Kementerian Pertahanan, perlu pula diperhatikan soal kemungkinan eksistensi non-competition clause dengan pembeli lain yang mengikat para calon pemasok kapal selam.

 

Dari tiga calon pemasok kapal selam untuk Indonesia, Naval Group dan TKMS merupakan dua galangan yang telah menjual produk kepada negara-negara lain di sekitar Indonesia. Dalam kontrak dua kapal selam kelas Scorpene Evolved dengan Indonesia, Naval Group menjual kapal selam dengan salah satu kemampuan yaitu meluncurkan rudal anti kapal permukaan SM39 Exocet dari bawah air.

 

Sebelumnya, kemampuan serupa juga dimiliki oleh kapal selam kelas Scorpene yang diekspor oleh DCNS (nama lama Naval Group) ke Malaysia. Melalui ekspor Scorpene Evolved ke Indonesia yang mempunyai kemampuan hard kill lewat rudal SM39 Exocet, di atas kertas pada tingkat minimal kemampuan Scorpene Evolved Indonesia tidak kalah dengan Scorpene yang dioperasikan oleh Malaysia.

 


 

Penawaran kapal selam Type 214 oleh TKMS ke Indonesia diduga terpengaruh oleh klausul non kompetisi pada kontrak penjualan kapal Type 218SG dengan Singapura (photo: TKMS)

Di luar isu tentang penerapan full LIB, merupakan tantangan bagi TKMS untuk dapat meyakinkan Indonesia tentang kemampuan hard kill kapal selam yang akan ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan pertahanan periode 2025-2029. Merupakan suatu fakta bahwa kapal selam U218SG yang diekspor oleh TKMS ke Singapura memang customized bagi kepentingan negara itu, termasuk pemakaian sejumlah peralatan elektronika buatan industri pertahanan Singapura.

 

Apakah TKMS dapat memasok kapal selam dengan kemampuan di atas kertas yang minimal sama dengan negara tetangga apabila Indonesia meminta? Pertanyaan demikian sebenarnya sudah lama menjadi topik diskusi di kalangan yang terlibat dan atau memiliki perhatian terhadap pembangunan kekuatan kapal selam Indonesia selama ini.

 

Sekali lagi, urusan tentang non-competition clause merupakan urusan produsen sistem senjata dan pembeli. Kalaupun satu atau lebih galangan-galangan kapal selam yang melirik pasar Indonesia untuk periode 2025-2029 mempunyai non-competition clause dengan konsumen mereka, hal demikian bukan urusan Indonesia.

 

Akan tetapi Indonesia berkepentingan untuk mendapatkan kapal selam yang bukan saja mengadopsi teknologi propulsi maju sekaligus efisien dalam biaya operasional, namun juga mempunyai kemampuan hard kill dan soft kill yang minimal sama dengan negara-negara operator kapal selam diesel elektrik lainnya di kawasan Indo Pasifik.

 

Seandainya Indonesia belum mampu mengadopsi kebijakan Qualitative Military Edge (QME), setidaknya kemampuan yang dipunyai setara dengan negara-negara lain. (Alman Helvas)

 

(CNBC)

No comments:

Post a Comment

DISCLAIMER : KOMENTAR DI BLOG INI BUKAN MEWAKILI ADMIN INDONESIA DEFENCE , MELAINKAN KOMENTAR PRIBADI PARA BLOGERSISTA
KOMENTAR POSITIF OK

BERITA POLULER

BACA JUGA: