Oleh: Dina Y. Sulaeman*
Berita-berita tentang ancaman serangan militer dari AS dan Israel terhadap Iran akhir-akhir ini semakin intens. Dalam doktrin militer AS, Iran memang dikategorikan sebagai ‘ancaman utama bagi kestabilan di Timur Tengah dan Asia Tengah'. Menurut Chomsky, kestabilan dalam terminologi AS bermakna ‘berada di dalam kontrol AS'. Artinya, bila ada sebuah rezim yang tidak berada dalam cengkeraman kontrol AS, rezim itu menjadi ancaman bagi ‘kestabilan'. Dalam menghadapi ‘ancaman' ini, AS sudah melakukan berbagai langkah. Antara lain sejak November lalu, AS dan Eropa beramai-ramai memperketat sanksi: bank Inggris memutus hubungan finansial dengan bank sentral Iran, Kanada menutup pintu ekspor untuk barang-barang yang dianggap berkaitan dengan industri petrokimia, gas, dan minyak Iran, beberapa negara Eropa mem-black-list tokoh-tokoh Iran yang dianggap berperan penting dalam proyek nuklir, dll.
Hal yang tidak banyak dibahas adalah kisah dari sebuah pulau bernama Diego Garcia. Seiring dengan meningkatnya intensitas ancaman serangan ke Iran, pemerintahan Obama juga diberitakan telah menambah kapasitas militernya di pulau Diego Garcia. Konon di sana bercokol lebih dari 2000 tentara, pelabuhan yang muat untuk 30 kapal perang, tempat pembuangan limbah nuklir, stasiun mata-mata satelit, dan tempat hiburan untuk para tentara: mall, bar, dan lapangan golf. Pada bulan Maret 2010, Sunday Herald melaporkan bahwa AS telah mengirimkan 10 kontainer berisi amunisi ke Diego Garcia, di antara bom "Blu" yang mampu meledakkan struktur bawah tanah secara masif. Kapal-kapal selam bertenaga nuklir yang bisa meluncurkan rudal Tomahawk juga 'mangkal' di sana; rudal Tomahawk sendiri bisa dipasangi hulu ledak nuklir.
Pada masa perang Irak, John Pilger mencatat bahwa ada berita sekilas yang berbunyi, "Pengebom Amerika, B-52 dan Stealth,tadi malam dilepaskan dari sebuah pulau-tak berpenduduk-milik-Inggrisuntuk mengebom Irak dan Afghanistan."
Ya, Diego Garcia ternyata adalah sebuah pulau yang dijadikan pangkalan militer AS; salah satu yang terbesar di dunia. Serangan-serangan udara AS ke Irak dan Afghanistan diketahui dilancarkan dari Diego Garcia. Namun, di balik kecanggihan perlengkapan militer yang disimpan di sana, Diego Garcia menyimpan kisah pilu yang semakin menunjukkan wajah bengis negara-negara arogan dan haus perang: AS dan Inggris.
Pada tahun 1965 Inggris dan AS menjalin perjanjian bahwa Inggris akan menyediakan pulau kosong untuk dijadikan pangkalan militer bagi AS di Samudera Hindia. Pada tahun 1966, pulau indah Diego Garcia yang berada di antara Asia dan Afrika (di perairan samudera Hindia) itu dibeli Inggris dari Mauritania. Inggris menyerahkan pengelolaan pulau itu kepada AS, tanpa bayaran sepeser pun. Namun, Inggris menerima diskon sebesar 14 juta dollar dalam pembelian misil Polaris.
Sebelum menyerahkan pulau itu kepada AS, sesuai permintaan AS, isi pulau itu dikosongkan (Tidak akan ada lagi penduduk asli di pulau itu, kecuali burung camar, demikian salah satu instruksi yang ditulis pejabat kementerian luar negeri Inggris tahun 1966). John Pilger, jurnalis independen asal Australia, berhasil mendapatkan film dokumenter dari kaum misionaris di Diego Garcia. Pulau itu dulunya ternyata sangat indah, dihuni oleh 2000 penduduk berkulit hitam dari suku Creole, ada sekolah, rumah sakit, gereja, rel kereta api, dll. Tentara Inggris kemudian menakut-nakuti warga, termasuk dengan membakar hewan-hewan peliharaan mereka. Sebagian penduduk pergi meninggalkan pulau karena takut. Namun, sisanya, yang masih bertahan akhirnya dievakuasi paksa. Mereka dinaikkan dengan paksa ke atas kapal, hanya dibolehkan membawa satu tas. Rumah, perabotan, dan segala harta benda yang mereka miliki selama lima generasi, harus ditinggalkan begitu saja. Dalam perjalanan yang sulit menuju Seychelles (sebuah negara kepulauan di Samudera Hindia), kaum perempuan dan anak-anak dipaksa tidur di sebuah kargo burung. Mereka lalu dipenjarakan selama beberapa waktu di Seychelles, dan kemudian dipindahkan ke Mauritius.
Di Mauritius, mereka hidup menggelandang. Anak-anak banyak yang meninggal, para orang tua banyak yang bunuh diri karena frustasi. Satu dekade kemudian, mereka menerima kompensasi dari pemerintah Inggris sebesar 3.000 poundsterling, namun itu tidak cukup untuk membayar hutang-hutang mereka selama ini. Beberapa orang yang peduli berusaha mengajukan tuntutan, namun selalu saja dikalahkan oleh pengadilan. Bahkan, terakhir, pada era Tony Blair, pengadilan Inggris memutuskan bahwa orang-orang Diego Garcia untuk selama-lamanya dilarang kembali ke tempat asal mereka.
Nasib tragis penduduk Diego Garcia menunjukkan jatidiri rezim AS dan Inggris. Kalau meminjam kata-kata Pilger, tragedi Diego Garcia bisa "menunjukkan kepada kita keseluruhan sistem yang bekerja di balik kebobrokan demokrasi dan membantu kita untuk memahami bagaimana dunia ini diatur demi keuntungan penguasa dan bagaimana mereka telah berbohong."
Kebohongan serupa juga tengah mereka ciptakan untuk Iran. Iran diposisikan sebagai ancaman bagi perdamaian di Timur Tengah. Iran terus-menerus dituduh tengah membangun senjata nuklir, dan dihujani berbagai embargo dengan alasan ‘untuk menekan Iran agar menghentikan proyek senjata nuklirnya'. Padahal, sebuah laporan dari Defence Intelligence Agency AS yang dikutip oleh Chomsky, menyebutkan bahwa anggaran belanja militer Iran sesungguhnya lebih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara kawasan (apalagi bila dibandingkan dengan AS). Laporan itu juga mengakui bahwa doktrin militer Iran sangat ketat, yaitu "defensif, didesain untuk memperlambat invasi, dan mengutamakan solusi diplomatik dibanding kekerasan."
Karena itu, menurut analisis Chomsky, sebenarnya ancaman Iran bukanlah dari sisi militer. Justru, yang membuat pusing Washington adalah kemampuan Iran untuk melakukan aksi deterrence. Apa itudeterrence? Bila diterjemahkan bebas, mungkin bisa kita pakai istilah: ‘nyali untuk main gertak'. Iran melindungi negaranya tidak dengan cara menyerang atau menginvasi negara lain, tapi dengan meningkatkan kapasitas militernya, lalu secara terang-terangan memamerkannya kepada publik, sehingga muncul rasa takut dari pihak lawan.
Masih kata Chomsky, keberadaan sebuah negara yang berani melakukan aksi deterrence dan bersikap berdaulat (tidak mau digertak lawan), sungguh sebuah gangguan besar bagi rencana AS untuk menguasai dunia. Khususnya, aksi Iran ini mengancam kontrol AS terhadap sumber energi di Timur Tengah. Jika ada negara lain yang dihormati dan ditakuti selain AS, tentulah kontrol tidak lagi di tangan AS. Masalah lainnya yang tak kalah penting membuat ‘panas' AS adalah upaya-upaya Iran untuk memperluas pengaruhnya di kawasan. Kemampuan diplomasi Iran akhir-akhir ini semakin meningkat. Bahkan, banyak yang tidak tahu, justru pada masa AS dan Eropa ramai-ramai mengembargo Iran (era pemerintahan Ahmadinejad), nilai investasi asing di Iran semakin meningkat. Tentu saja, yang bermain bukan perusahaan-perusahaan AS dan Eropa, melainkan, China, Rusia, dan negara-negara kecil yang ‘berani', misalnya, Malaysia, bahkan Vietnam. Indonesia? Sayang sekali, meski Iran sangat proaktif melakukan soft diplomacy ke Indonesia, ketundukan pemerintah Indonesia kepada AS membuat Indonesia tak berani berinvestasi di Iran.
Inilah yang menjadi ancaman bagi AS. Iran berusaha menjalin hubungan dan meneguhkan kedudukannya sebagai sahabat bangsa-bangsa di kawasan; sementara AS ingin mencengkeram dan terus-menerus mengeksploitasi mereka. Kejahatan dan kebaikan tentu saja tidak ada.
IRIB