Pages

Showing posts with label CYBER WAR. Show all posts
Showing posts with label CYBER WAR. Show all posts

Tuesday, May 8, 2012

Indonesia kaji sistem Industri Pertahanan Elektronika dengan China


(Foto: CETC)

8 Mei 2012, Beijing: Indonesia hingga kini masih mengkaji kerja sama sistem industri pertahanan elektronika yang ditawarkan China yakni Defence Electonics Complex of Indonesia (DECI).

"Hingga kini masih terus dikaji dan dibahas di Kementerian Pertahanan dan industri pertahanan nasional terkait," kata Atase Pertahanan Kedutaan Besar RI untuk China dan Mongolia, Suryamargono ketika dikonfirmasi di Beijing, Selasa.

Ia mengatakan tawaran kerja sama itu meliputi berbagai kegiatan antara lain perancangan dan pengembangan fabrikasi sistem unit, modul serta perakitan peralatan elektronika seperti radar, peperangan elekronika dan lainnya. "Kerja sama itu akan dilakukan dalam tiga tahapan, namun semua ini masih dikaji dalam berbagai aspek," kata Suryamargono menegaskan.

Berdasar laporan yang diterima ANTARA industri elektronika tidak saja berperan besar bagi industri pertahanan secara keseluruhan, namun juga pertumbuhan ekonomi secara umum. Produksi elektronika global mencapai Rp13 ribu triliun, dari jumlah itu Asia Pasifik merupakan kontributor terbesar yakni sekitar 37 persen. Namun, dari 37 persen tersebut Indonesia baru memberikan kontribusi sekitar satu persen.

Kerja sama industri pertahanan elektronika itu ditawarkan salah satu grup industri pertahanan China yakni China Electronics technology Group Corporation (CETC). Kerja sama serupa telah dilakukan China melalui CETC dengan Pakistan dalam program National Electronic Complex of Paksitan (NECOP).

Terkait Indonesia, CETC sebelumnya telah memiliki kerja sama dengan kementerian Pertahanan dan TNI terutama TNI Angkatan Laut dalam program Kapal Cepat Rudal (KCR).

Sumber: ANTARA News

Friday, November 18, 2011

Bahaya Perang Cyber



Cyberwar bukanlah fiksi. Indonesia sudah terlibat perang siber sejak satu dekade lalu?

Jum'at, 18 November 2011, 23:02 WIB
Muhammad Firman
Pemakaman Mayor Jenderal Hassan Tehrani Moghaddam (REUTERS/Jamejam Online/Ebrahim Norouzi)
VIVAnews - Sabtu, 12 November 2011. Sebuah ledakan dahsyat terdengar di pangkalan misil Alghadir di Bid Ganeh, barat Teheran. Guncangannya terasa hingga 30 mil jauhnya. Ledakan itu membunuh 17 anggota pasukan elit Iran, termasuk Mayor Jenderal Hassan Tehrani Moghaddam, arsitek program misil negeri tersebut.
Meski investigasi belum digelar, buru-buru Iran menegaskan bahwa ledakan itu bukanlah akibat sabotase yang dilakukan oleh musuh bebuyutan mereka. “Kasus tersebut murni kecelakaan, saat petugas tengah memindahkan amunisi. Tidak ada kaitannya dengan Israel ataupun Amerika Serikat,” kata Mayor Jenderal Hassan Firouzabadi, kepala staf militer Iran.
Padahal, dunia kini mafhum, itulah salah satu contoh yang menunjukkan betapa perang siber (cyberwar) bukan lagi sekadar dongeng fiksi, tapi telah menjadi bagian nyata dari percaturan dunia ini.
Dan Iran adalah salah satu negara yang kerap menjadi sasaran serangan siber Israel--yang mendapat dukungan penuh Amerika Serikat--khususnya terkait upaya Iran memperkaya uranium, salah satu komponen utama nuklir.
Serangan malware Stuxnet pada instalasi pengayaan nuklir Iran di Natanz pada tahun 2009 lalu adalah salah satu buktinya. Stuxnet mampu menyusup masuk dan menyabot sistem dengan cara memperlambat ataupun mempercepat motor penggerak, bahkan membuatnya berputar jauh di atas kecepatan maksimum. Kecepatan ini akan menghancurkan sentrifuse atau setidaknya merusak kemampuan alat itu untuk memproduksi bahan bakar uranium.
Malware paling canggih dan paling hebat yang pernah dibuat sepanjang sejarah itu diakui banyak kalangan sebagai serangan paling cerdas. Pengakuan itu bukan datang dari sembarang orang, tapi dari kalangan industri aplikasi pengamanan terkemuka dunia seperti Symantec (Amerika Serikat), Kaspersky (Rusia), dan F-Secure (Finlandia).
Satu catatannya: serangan ini hanya bisa dilakukan hanya dengan dukungan dari pemerintah negara tertentu. Ini karena Stuxnet terdiri dari program-program komputer kompleks yang pembuatannya memerlukan beragam keterampilan. Ia sangat canggih dan membutuhkan dana sangat besar untuk menciptakannya. Tidak banyak kelompok yang mampu melancarkan serangan seperti ini.
Para pakar Symantec memperkirakan pengerjaan Stuxnet membutuhkan tenaga 5 hingga 30 orang dalam waktu enam bulan. Selain itu, dibutuhkan pengetahuan sistem kontrol industri dan akses terhadap sistem itu untuk melakukan pengujian kualitasnya. Sekali lagi, ini mengindikaskan bahwa Stuxnet adalah sebuah proyek yang sangat terorganisir dan dibekingi dana besar.
“Kami benar-benar belum pernah melihat worm seperti ini sebelumnya,” kata Liam O’Murchu, peneliti Symantec Security Response. “Fakta bahwa worm ini dapat mengontrol cara kerja mesin fisik tentunya sangat mengkhawatirkan.”
Stuxnet sendiri 100 persen merupakan serangan siber terarah yang ditujukan untuk menghancurkan proses industri di dunia nyata. Banyak pakar keamanan bersepakat: Israel dan Amerika Serikat terlibat dalam serangan maya itu.
Dan benar saja.
Februari 2011, Daily Telegraph, harian asal Inggris, memberitakan dalam sebuah upacara perpisahan di Israel Defense Forces (IDF), Gabi Ashkenazi, sang mantan kepala staf IDF, mengatakan Stuxnet merupakan salah satu keberhasilan utama dia saat memimpin lembaga itu.
Pada Mei 2011, Need To Know, sebuah program mingguan stasiun TV PBS, Amerika Serikat, juga menayangkan pernyataan Gary Samore, Koordinator Gedung Putih untuk Pengendalian Senjata dan Senjata Pemusnah Massal. “Kami gembira bahwa mereka (Iran) mengalami masalah dengan mesin sentrifuse mereka dan kami–Amerika Serikat dan sekutunya–akan melakukan apapun yang kami bisa untuk memastikan bahwa mereka akan menghadapi masalah yang lebih rumit,” kata Samore.
Matra kelima
Jagat cyber kini bahkan telah didudukkan sebagai matra perang kelima--setelah darat, laut, udara, dan angkasa luar. Inovasi di bidang teknologi telah mengubah taktik dalam konflik di zaman modern dan membuat dunia maya menjadi medan perang terbaru.
Banyak perangkat mutakhir telah dibuat untuk keperluan ini. Dibantu oleh kemajuan teknologi elektromagnetik serta teknologi komunikasi dan informasi, sebuah bentuk pertempuran elektronik telah tercipta dan membuat pemerintahan berbagai negara melihat perang dunia maya sebagai ancaman terbesar di masa depan.
Alon Ben David, analis militer dari Channel 10 Israel menyebutkan: “Jika Anda punya beberapa orang pintar dan sebuah komputer yang bagus, Anda bisa melakukan banyak hal. Anda tidak perlu pesawat udara, tank, pasukan tentara. Anda bisa memasuki negara lain, menciptakan kerusakan besar tanpa perlu meninggalkan kursi empuk Anda,” ucapnya.
Dalam sebuah laporan eksklusif di harian Le Monde Perancis, jurnalis Nicky Hager berhasil menguak keberadaan instalasi Urim milik Unit 8200, yang merupakan salah satu instalasi pengintaian terbesar di dunia, setara dengan instalasi milik Amerika Serikat di Menwith Hill, Yorkshire, Inggris.
Instalasi yang dibangun sejak satu dekade yang lalu itu awalnya hanya bertugas memonitor percakapan internasional di jaringan satelit Intelsat dan stasiun relay telepon antar negara besar. Tapi kini ia juga bertugas mengawasi percakapan via satelit Inmarsat, juga menyadap kabel-kabel bawah laut.
Menurut sumber orang dalam, komputer-komputer di instalasi Negev diprogram untuk dapat memilah-milah kata serta berbagai pesan di percakapan telepon, email, dan data yang diintersepnya. Pesan-pesan yang berhasil disadap itu langsung dikirim ke markas besar Unit 8200 di Camp Glilot di kota Herzliya, sebelah utara Tel Aviv.
Di tempat itulah pesan-pesan dari berbagai bahasa itu diterjemahkan dan diteruskan ke agen-agen Mossad di negara lain maupun berbagai badan lain yang berkepentingan.
Yang harus dicatat dari Unit 8200 adalah kekuatan pasukan elite sibernya. Upaya dan obsesi Israel untuk memiliki kekuatan siber yang handal, telah dimulai sejak 1990-an. Saat itu para peretas (hacker) Israel cuma disodori dua pilihan: masuk bui atau bergabung dengan The Unit.
Kini, hasilnya tak main-main. Sebuah konsultan di AS memperhitungkan The Unit sebagai salah satu ancaman siber terbesar dunia, di samping China, Rusia, Iran, dan Perancis. Stuxnet adalah salah satu bukti konkretnya.
Angkatan perang siber
Kekuatan sebuah angkatan perang siber ditentukan oleh kemampuan serangan, pertahanan, serta ketergantungan suatu negara terhadap Internet. Dalam buku “Cyber War”, pakar keamanan komputer asal AS dan profesor di Universitas Harvard Richard A. Clarke dan Robert A. Knake memetakan kekuatan negara-negara dalam menghadapi perang siber.
Amerika Serikat, meski punya kemampuan serangan yang baik, tidak punya kemampuan untuk memutuskan jaringan Internet saat diserang, mengingat sebagian terbesar jaringan Internet di negara ini dimiliki dan dioperasikan oleh swasta. Sebaliknya, China memiliki kemampuan memutus seluruh jaringan Internet di negaranya bila suatu saat diserang. China juga mampu membatasi utilisasi trafik, dengan memutus koneksi dari para pengguna yang tak terlalu berkepentingan.
Namun negara yang dinilai paling mampu bertahan jika terjadi perang dunia maya, menurut Clarke, adalah Korea Utara. Negara ini mampu memutus koneksi Internetnya dengan lebih mudah ketimbang China. Bisa dibilang Korea Utara tak akan mengalami kerugian akibat serangan siber musuh, karena tak ada infrastruktur kritikal seperti pembangkit listrik, jalur kereta, atau jalur pipa yang tersambung ke Internet.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Muhammad Salahuddien, Wakil Ketua Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure known (Id-SIRTII) menyebutkan, perang siber di negeri ini juga bukanlah hal baru. Sebagaimana perang-perang siber lain yang mewarnai tensi politik dan hubungan antara Indonesia dengan negara-negara lainnya, Indonesia sudah mulai terlibat perang siber sejak satu dekade yang lalu--mulai dari perang siber dengan Portugal pada 1999, dengan Australia, hingga cyberwar dengan Malaysia beberapa tahun terakhir.
Sayangnya, menurut salah satu pentolan kelompok peretas Antihackerlink, Arief Wicaksono, kemampuan para aktivis siber Indonesia bisa dikatakan masih belum mumpuni. Pasalnya, daya peretas di suatu negara biasanya  sangat dipengaruhi oleh kualitas infrastruktur Internet serta tarifnya.
“Dari sisi kuantitas mungkin memang banyak insiden yang berasal dari Indonesia. Namun dari sisi kualitas, skill hacker Indonesia masih kurang optimal,” kata Arief yang kini menjadi koordinator Research and Development Antihackerlink.
Karenanya, menurut dia, perang siber di Indonesia masih sebatas serangan defacing atau mengubah tampilan desain sebuah laman web. Serangan jenis ini bisa dibilang hanya untuk mempermalukan, tapi terbilang tidak membahayakan.
Tapi, seiring dengan pertumbuhan Internet di Indonesia yang begitu cepat, dia percaya akan lebih banyak lagi infrastruktur strategis dan layanan publik yang akan semakin bergantung pada sistem informasi, teknologi, dan jaringan Internet, sehingga rentan terhadap serangan siber.
Menurut Salahuddien, kini pelanggan Internet reguler Indonesia ada sekitar 60 juta. Sekitar 90 juta pengguna ponsel juga telah mengakses Internet. Dalam dua tahun ke depan, kata Didien, diperkirakan pengguna Internet Indonesia akan mencapai sekitar 150 juta orang.
Jika sudah begitu, dia mengingatkan, “Ancaman perang informasi dan serangan cyber akan semakin meningkat dan menjadi medan pertempuran utama di masa mendatang, termasuk di Indonesia.” (kd)
• VIVAnews

Friday, June 17, 2011

Hackers attack Malaysian government websites

Hackers attack Malaysian government websites


Hackers have disrupted Malaysian government websites, authorities said Thursday, following threats by anti-censorship "Anonymous" activists and a cyberattack on the CIA by an allied group.
The strike against 51 government websites, which disrupted at least 41 of them according to Malaysia's Internet watchdog, came after the Anonymous group sabotaged Turkish sites last week to protest against Internet censorship.
In the United States, another shadowy group of hackers Lulz Security claimed credit for taking down the CIA website Wednesday, days after it said it breached the US Senate website and swiped internal data.
Malaysian Consumer Affairs Minister Ismail Sabri Yaakob denounced the attacks on the government sites and denied allegations the Southeast Asian nation was attempting to curb Internet freedom.
"As Malaysians, we should condemn the hackers," he told AFP. "We feel sad and upset by their actions."
"We are not like China. There is no restrictions. You can see people criticise the government on the Internet. We are very open," he said.
Malaysian authorities had Wednesday braced themselves for cyber attacks after Anonymous warned on a website that it would target the government portal www.Malaysia.gov.my.
The action followed a decision last week by the nation's Internet watchdog, the Malaysian Communications and Multimedia Commission (MCMC), to block 10 popular file-sharing websites in an effort to combat piracy.
Anonymous explained the rationale for the attack in a YouTube clip, saying that Malaysia's decision represented an erosion of human rights.
"We fear that if you make further decisions to take away human freedom, we are obligated to act fast and have no mercy," it said in the video.
The MCMC said the attacks on websites with the .gov.my domain started shortly before midnight Wednesday and lasted several hours, but appeared to have caused little damage.
"We do not expect the overall recovery to these websites to take long as most websites have already recovered from the attack," it said.
The commission said it would work with enforcement agencies, security experts and service providers to monitor the situation.
Malaysia's media operate under strict censorship laws but websites have remained relatively free -- despite occasional raids, bans and government criticism -- due to an official pledge not to censor the Internet.
The Malaysian government in 1996 promised to allow uncensored online content as part of a campaign to promote the growth of its information technology industry.
S.M. Mohamed Idris, president of the Consumers Association of Penang, said that by banning the 10 websites, the authorities had violated the guarantee on Internet freedom.
"Using the Internet providers to block certain websites almost certainly constitutes censorship, which the government has expressly promised it will not do in the past," he said.
Recent waves of cyberattacks have exposed how poorly defended many networks are against global Internet marauders.
In just the past few weeks, Lulz Security has claimed to have cracked into Sony, Nintendo, the Public Broadcasting System news organisation, and an Infragard company that works with the FBI.
The group is flaunting its notoriety with a telephone hotline for people to call and suggest targets for cyberattacks.
Hacker group Anonymous, from which Lulz is believed to have formed, gained notoriety with cyberattacks in support of whistle-blowing website WikiLeaks.

Sunday, November 21, 2010

Pentagon Akui Insiden Internet China


Wicak Hidayat - detikinet




ilustrasi (ist)

Washington - Departemen Pertahanan Amerika Serikat mengakui adanya insiden internet di Pentagon pada April 2010. Insiden itu melibatkan China.

Hal itu dikemukakan Kolonel David Lapan, juru bicara Pentagon, seperti dikutip detikINET dari Reuters, Minggu (21/11/2010). "Kami sudah mengetahui, pada 8 April 2010, ada trafik internet (kami) yang di-reroute melalui China," ujarnya.

Namun hal yang masih belum jelas adalah, apakah insiden itu dibarengi dengan niat jahat atau tidak. Bahkan ia menegaskan tidak ditemuinya hal jahat dalam insiden tersebut.

Saat ini insiden itu jadi sorotan komisi US-China di DPR-nya AS. Disebutkan bahwa insiden itu mempengaruhi situs pemerintah dan militer AS, hingga koneksi internet di kantor Menteri Pertahanan Robert Gates.

Di sisi lain, Beijing menyatakan ketidaksukaannya pada apa yang dilakukan komisi tersebut. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China mengatakan pola pikir komisi tersebut bagaikan era 'Perang Dingin'.

Sedangkan China Telecom juga membuat pernyataan terpisah yang menyebutkan bahwa insiden itu bukanlah suatu kesengajaan. Mereka menolak jika disebut terjadi 'pembajakan' trafik internet, seperti yang disebutkan oleh komisi tadi.


( wsh / rou ) 

DETIK NET

Pentagon Akui Insiden Internet China


Wicak Hidayat - detikinet




ilustrasi (ist)

Washington - Departemen Pertahanan Amerika Serikat mengakui adanya insiden internet di Pentagon pada April 2010. Insiden itu melibatkan China.

Hal itu dikemukakan Kolonel David Lapan, juru bicara Pentagon, seperti dikutip detikINET dari Reuters, Minggu (21/11/2010). "Kami sudah mengetahui, pada 8 April 2010, ada trafik internet (kami) yang di-reroute melalui China," ujarnya.

Namun hal yang masih belum jelas adalah, apakah insiden itu dibarengi dengan niat jahat atau tidak. Bahkan ia menegaskan tidak ditemuinya hal jahat dalam insiden tersebut.

Saat ini insiden itu jadi sorotan komisi US-China di DPR-nya AS. Disebutkan bahwa insiden itu mempengaruhi situs pemerintah dan militer AS, hingga koneksi internet di kantor Menteri Pertahanan Robert Gates.

Di sisi lain, Beijing menyatakan ketidaksukaannya pada apa yang dilakukan komisi tersebut. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China mengatakan pola pikir komisi tersebut bagaikan era 'Perang Dingin'.

Sedangkan China Telecom juga membuat pernyataan terpisah yang menyebutkan bahwa insiden itu bukanlah suatu kesengajaan. Mereka menolak jika disebut terjadi 'pembajakan' trafik internet, seperti yang disebutkan oleh komisi tadi.


( wsh / rou ) 

DETIK NET

Insiden Internet China Bahayakan Pentagon?


Wicak Hidayat - detikinet


 
Washington - Dalam waktu yang singkat, terjadi insiden internet yang mempengaruhi koneksi di Pentagon. Ahli keamanan menilai, insiden itu punya potensi bahaya yang cukup besar. Pentagon dalam bahaya?

Demikian pendapat Larry Wortzel, mantan Kolonel yang kini menjadi salah satu anggota komisi yang menyelidiki insiden tersebut, seperti dikutip detikINET dari Reuters, Minggu (21/11/2010).

Wortzel mencontohkan, selama internet teralihkan ke China bisa saja terjadi pencurian alamat-alamat email di Departemen Pertahanan atau Pentagon. Kemudian, ujarnya, seseorang bisa mengirimkan pesan palsu yang mirip asli yang berisi program jahat.

"Jika saya melihat hal seperti ini, saya bertanya-tanya: 'siapa ya, yang tertarik dengan komunikasi dari seluruh Departemen Pertahanan dan pemerintahan federal AS? Rasanya, tidak mungkin hanya seorang mahasiswa dari Shanghai University," ujarnya.

Meski demikian, juru bicara Pentagon, Kolonel David Lapan, mengatakan jaringan internal Pentagon tak akan terpengaruh oleh insiden ini.

"Kami punya pengamanan yang akan melindungi semua komunikasi yang keluar ke internet," ujarnya yakin.



( wsh / rou ) 

detik net

BERITA POLULER