Pages

Showing posts with label SEJARAH. Show all posts
Showing posts with label SEJARAH. Show all posts

Wednesday, December 21, 2011

sejarah :Teuku Umar, Pahlawan atau Oportunis Sejati?


Oleh: Margono Dwi Susilo
Berdasarkan TRADISI LISAN yang dimuat dalam komik Aceh. Penulis tambah yakin tentang cerita komik itu saat Anthony Reid sendiri juga memberikan catatan tentang keberadaan ramalan tersebut dan protes Cut Nyak Dhien (Reid, 2005 : 297 catatan kaki no.64)

Sumber lokal (Anonim, 1995 : 74) yang dikutip www.acehprov.go.id juga “mencurigai” motif Teuku Umar, dikatakan “sebenarnya Teuku Umar adalah seorang tokoh yang sulit dimengerti bai oleh lawan maupun oleh kawannya.

Benarkah Teuku Umar hanya “pura-pura” menyerah? Atau sebenarnya itu adalah cerminan jiwa oportunis? Atau ingin menjadi Sultan Aceh dengan bantuan Belanda?

Anthony Reid dalam bukunya menuduh Umar sebagai “oportunis brilian yang memilih saat-saat seperti ini untuk berpihak kepada Belanda.” Reid mendiskripsikan perilaku Umar tersebut pada peristiwa S.S Nisero. Lebih jauh Reid juga memberi catatan “Teuku Umar adalah sebuah contoh klasik dari seorang petualang berbakat yang melihat perang sebagai sebuah peluang besar” (Reid, 2005 : catatan kaki bab 7 no.65).

Dengan spd motor saya hanya menderu di jalanan Banda Aceh yang sedang bersolek menyambut “Visit Banda Aceh 2011”. Saat melintasi jalan Taman Makam Pahlawan mata saya kembali melihat baliho besar yang menampilkan enam sosok pahlawan nasional asal Aceh, mereka adalah Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Tengku Chik Ditiro, Panglima Polem, Teuku Nyak Arif dan Teuku Umar.

Baliho itu sebenarnya sudah lama dipasang, sejak Nopember lalu saat Indonesia memperingati hari Pahlawan. Yang mencolok adalah wajah tirus Teuku Umar dengan peci miringnya, ia dicetak paling atas dengan ukuran paling besar. Ini wajar karena Teuku Umar pahlawan yang sungguh komplit, pakai “pura-pura” menyerah segala untuk mendapatkan senjata dan mempelajari strategi musuh. Justru itulah yang mengusik pikiran saya.

Benarkah “menyerahnya” Teuku Umar merupakan strategi perjuangannya? Atau jangan jangan…

Tanggal 8 April 1873 di lepas pantai Ceureumen Banda Aceh, kapal perang Belanda, Citadel van Antwerpen buang sauh. Lalu tanggal 11 April 1873 dengan penuh percaya diri pasukan Belanda yang terdiri dari 3.198 pasukan termasuk 168 perwira KNIL, didukung oleh kurang lebih 1000 kuli, diturunkan dari kapal untuk menggempur kedudukan pejuang Aceh (Kawilarang, 2008 : 60).

Bagi bangsa Aceh tidak ada kata lain : lawan. Dokumen Belanda sendiri menyebutkan bahwa Aceh bukan petarung sembarangan. Berbeda dengan suku bangsa lain di Indonesia, Aceh menerapkan taktik jitu, termasuk memasang sniper di ketinggingan bangunan.

Malang bagi Belanda karena sang panglima, Jenderal JHR Kohler, tewas pada 14 April 1873 terkena bidikan senapan mauser yang beberapa tahun sebelumnya diimpor dari Penang. Penggantinya, Kolonel van Daalen gagal mengangkat moral pasukan sehingga memaksanya mundur pada 25 April 1873.

Berita perang dan kekalahan Belanda diulas di London Time (edisi 22 April 1873) dan The New York Time (edisi 15 Mei 1873). Batavia tersentak.
Tetapi orang Aceh juga tahu bahwa Belanda bukan kolonialis sembarangan. Artinya Aceh tetap butuh bantuan. Tetapi siapa yang bisa membantu? Inggris, Perancis atau Amerika?

Tidak! Sesama kolonial tidak akan saling menghancurkan. Satu-satunya jalan adalah meminta perlindungan pada pusat kekuasaan islam, khilafah Turki Utsmaniah. Sultan Aceh (Mahmud) bersegera memerintahkan diplomatnya Habib Abdul Rahman Az-Zahir – yang waktu itu di Mekah (saat itu Arabia adalah propinsi Turki) — menuju Istambul. Pada tanggal 27 April 1873 Habib tiba di Istambul (Reid, 2005 : 129).

Belanda sempat gemetar tatkala tersiar kabar bahwa kapal perang Turki “Ertogrul” beserta beberapa kapal pendamping bergerak cepat menuju Aceh. Tetapi kabar itu ternyata bohong. Turki abad-19 berbeda dengan Turki Abad-15. Turki abad-19 adalah imperium yang tengah menggali liang kubur dalam-dalam. Misi Habib gagal total.

Dari Istambul ia mendengar kabar bahwa Kutaraja (Banda Aceh) telah jatuh ketangan Belanda, sedangkan Sultan dan para pejuang mengungsi ke Indrapuri kemudian Keumala.

Saat Citadel menembakan meriam pertamanya, Teuku Umar baru menginjak 19 tahun (lahir 1854 di Meulaboh, Wikipedia). Seperti layaknya orang Aceh, Umar muda juga terimbas gejolak perang. Waktu itu sebagai Keuchik (Kepala Gampong) ia adalah pemimpin perlawanan di Kampungnya. Ia dikenal cerdas dan pandai mempengaruhi orang. Umarpun menyaksikan bahwa perang itu telah berlangsung lama dan belum ada tanda-tanda selesai. Satu hal yang pasti perang menimbulkan penderitaan.

Tetapi perangpun di mata Umar pada akhirnya membuka peluang. Setidaknya ia melihat banyak ulee balang (bangsawan, penguasa daerah) yang telah berdamai dengan Belanda mendapatkan perlindungan dan keuntungan finansial, berupa gaji dan izin untuk berdagang.

Pada tahun-tahun tersebut Aceh terkenal dengan perdagangan lada. Komuditas ekonomi ini yang menjadikan kaum ulee balang menangguk keuntungan. Berbeda dengan kaum ulama dan santri yang menganjurkan perang total tanpa kompromi demi kehormatan, kaum ulee balang dan serdadunya tidak senantiasa demikian. Baginya kehormatan perlu, tetapi uang juga penting.

Setelah bermain kucing-kucingan dengan Belanda, pada akhirnya, Teuku Umar beserta pasukannya berdamai dengan Belanda tahun 1883 (Rusdi Sufi, 1994 : 88) dan menyerah secara resmi pada Maret 1984 (Reid, 2005 : 256). Hal ini menimbulkan kemarahan besar dari pejuang Aceh.

Penyerahan tersebut sangat menyakinkan karena Teuku Umar akhirnya ikut aktif bertempur untuk Belanda. Anthony Reid dalam bukunya menuduh Umar sebagai “oportunis brilian yang memilih saat-saat seperti ini untuk berpihak kepada Belanda.” Reid mendiskripsikan perilaku Umar tersebut pada peristiwa S.S Nisero. Lebih jauh Reid juga memberi catatan “Teuku Umar adalah sebuah contoh klasik dari seorang petualang berbakat yang melihat perang sebagai sebuah peluang besar” (Reid, 2005 : catatan kaki bab 7 no.65).

Saat perang Aceh memasuki masa yang rumit, pada 8 Nopember 1883 kapal dagang Inggris S.S Nisero berisi 29 ABK kandas di dekat Panga (40 mil di utara Meulaboh) dan disandera oleh penguasa Teunom, Teuku Imam. Upaya Belanda untuk membebaskan sandera tidak mudah sehingga menimbulkan perselisihan di Amsterdam dan London. Belanda tahu bahwa Teuku Imam dari Teunom ini adalah musuh bebuyutan Teuku Umar.

Akhirnya Umar yang telah menyerah dipilih untuk menjadi pimpinan pasukan komando membebaskan sandera. Pada tanggal 3 Juli 1884 pasukan komando itu bergerak menuju Rigas (dekat Teunom) dengan membawa senjata, amunisi dan uang tebusan.

Di perjalanan rupanya Teuku Umar dan pasukannya mendapat perlakuan diskriminatif dari kapten dan awak kapal perang Belanda. Umar dan pasukannya disuruh tidur digeladak dan dilarang mondar-mandir. Sebagai orang Aceh yang menjunjung kehormatan, Umar tersinggung. Pada saat kapal mendarat di Rigas maka Umar dan anak buahnya membunuh seluruh awak kapal belanda dan membawa lari senjata, amunisi dan uang. Hal ini membawa kemarahan Belanda. Sejak itu Umar dan Belanda pecah kongsi. Tetapi perlu diingat ini bukan yang terakhir Umar menyerah lalu pecah kongsi dengan Belanda.

Setidaknya Kawilarang mencatat bahwa tahun 1885 Teuku Umar ditengarai kembali berdamai dengan Belanda. Mungkin saja Umar telah berhasil menjelaskan tragedi pasukan komando S.S Nisero, bahwa ia terpaksa membunuh karena dilecehkan, sehingga akhirnya ia diterima kembali oleh Belanda. Menyerahnya Umar tahun 1885 ini perlu diklarifikasi ulang, karena Kawilarang tidak secara tegas menyertakan sumbernya. Justru Kawilarang melakukan kesalahan pengutipan “mendengar ayahnya berkhianat Cut Gambang – anak Teuku Umar dengan Cut Nyak Dhien – menangis tersedu.

Sang Ibu (Cut Nyak Dhien) langsung menghardik : Seorang perempuan Aceh tidak pernah menangis kepada siapapun yang syahid” (Kawilarang, 2008 : 129). Setahu saya hardikan Cut Nyak Dhien ini dilakukan saat Teuku Umar tewas tahun 1899, bukan pengkhianatan 1885.

Hal yang paling mungkin adalah bahwa sejak peristiwa pasukan komando S.S Nisero, Teuku Umar menerapkan strategi “dua muka” untuk meraih keuntungan pribadi. Ini masuk akal karena Umar mempunyai naluri bisnis yang kuat, “di beberapa daerah daerah ia (Teuku Umar) mempersatukan ekspor lada yang menguntungkan itu dalam satu tangan, yakni tangannya sendiri; di daerah lain ia memungut hasil sebesar $0,25 per pikul, di atas kertas atas nama Sultan. Kekayaan ini dengan murah hati ia bagi-bagikan kepada para pengikutnya, dan juga kepada istana dan kaum ulama di Keumala” (Reid, 2005 : 282). Reid juga menjelaskan bahwa kapal Hok Kanton membuang sauh di Rigas pada 14 Juni 1886 “untuk berdagang seperti biasa dengan Teuku Umar”.

Dari penjelasan Reid setidaknya kita tahu bahwa Umar terbiasa berdagang di pantai Barat Aceh. Padahal Belanda menerapkan blokade yang cukup ketat atas perdagangan. Hanya orang-orang yang pro Belanda – atau setidaknya yang bermain mata – yang bisa berdagang bebas seperti itu. Itulah kecerdikan Teuku Umar.
Disunting kembali oleh Atl Lisan

Sejak 1891 perang Aceh memasuki babak baru, ditandai dengan peran Snouck Hoergronye, yang terkenal dengan rekomendasinya: agar dilakukan pengejaran tidak kenal ampun terhadap pejuang Aceh. Untuk itulah pasukan khusus marsose dibentuk. Hasilnya jelas, pejuang Aceh mengalami tekanan hebat.

Snouck dengan jeli juga menyimpulkan bahwa kekuatan utama perang Aceh ada pada ulama, bukan Sultan, bukan pula kaum ulee balang. Belanda mencoba mengadu domba antara golongan ulama dan ulee balang.
-50AHasilnya segera nampak, Aceh pecah. Harry Kawilarang, dengan merangkum berbagai sumber menjelaskan : “Pada tahun 1891, Aceh berduka karena Teungku Chik Di Tiro wafat (diracun oleh anak buah sendiri-Pen)…Serangan gerilya oleh pasukan aceh berkurang.

Aceh mengalami krisis kepemimpinan. Habib Samalanga yang memperoleh wewenang dari Sultan gagal menggalang kekuatan. Begitu juga usaha Chik Kutakarang atau Mat Amin, putra Teungku Chik Ditiro. Semua dikalahkan oleh pemimpin-pemimpin setempat yang kecil-kecil hingga timbul perpecahan” (Kawilarang, 2008 : 119).

Siapakah pemimpin-pemimpin setempat yang kecil-kecil itu? Tidak lain ulee balang yang bersedia kompromi dengan Belanda.

Dalam situasi seperti ini Teuku Umar pada akhirnya kembali menyerah pada Belanda pada September 1893 beserta 13 orang panglima bawahan dan 250 pasukannya. Buku sejarah kita menyebutkan bahwa penyerahan ini hanya “pura-pura” untuk memperoleh senjata dan mempelajari siasat Belanda.

Setelah melakukan tugas-tugas penumpasan perlawanan Aceh dan melakukan sumpah setia pada tanggal 1 Januari 1894 Teuku Umar memperoleh gelar Tuanku Johan Pahlawan, dengan jabatan Panglima Besar Nedherland. Rumahnya di Lampisang juga diperindah oleh Belanda. Sejak itu pakaian yang dikenakan adalah pakaian seorang Jenderal dengan beberapa buah bintang emas didadanya (www.acehprov.go.id/T.umar mengutip Hazil, 1955:97).

Cut Nyak Dhien sangat marah terhadap Teuku Umar sebab ia tidak setuju dengan sikap suaminya yang nampak hanya mementingkan diri sendiri, yang hanya mengejar kemewahan dan kedudukan dengan mengorbankan kepentingan bangsa (www.acehprov.go.id/T.Umar). Paul van T. Veer dalam buku Perang Aceh penerbit Grafitti Press, menceritakan bahwa Umar mampu berkomunikasi dan menyerap informasi dalam bahasa Belanda dan Inggris, hidup dengan gaya seorang Baron Eropa. Lebih jauh Paul van T.Veer juga mengatakan bahwa Umar pernah bercita-cita menjadi Sultan Aceh, ketika ia mendapatkan kepercayaan penuh dari Belanda.

Hal ini membuktikan bahwa Umar punya ambisi politik. Melihat situasi saat itu, hanya Belandalah yang mampu mewujudkan ambisi tersebut. Hal ini penting untuk diketahui, untuk menelaah lebih lanjut motif Umar sebenarnya.

Benarkah Teuku Umar hanya “pura-pura” menyerah? Atau sebenarnya itu adalah cerminan jiwa oportunis? Atau ingin menjadi Sultan Aceh dengan bantuan Belanda? Tidak ada kepastian, yang jelas sumber sejarah resmi kita dari SD sampai perguruan tinggi meyakini bahwa Umar hanya “pura-pura” menyerah untuk memperoleh senjata dan mempelajari siasat Belanda.

Tetapi segera timbul pertanyaan? Apakah Belanda sebodoh itu dengan bisa ditipu Teuku Umar berkali-kali? Atau mengapa Cut Nyak Dhien sendiri begitu kecewa dengan menyerahnya Teuku Umar? Sumber lokal (Anonim, 1995 : 74) yang dikutip www.acehprov.go.id juga “mencurigai” motif Teuku Umar, dikatakan “sebenarnya Teuku Umar adalah seorang tokoh yang sulit dimengerti baik oleh lawan maupun oleh kawannya. Dalam perjuangannya ia mempunyai cara tersendiri yang sering kali sulit dipahami. Oleh karena itu, ia dianggap oleh teman-teman seperjuangannya sebagai tokoh yang kontroversial.”

Setelah memperoleh jabatan Jenderal, Umar diberi senjata dan uang untuk membersihkan musuh-musuh Belanda di bagian wilayah XXV Mukim dan XXVI Mukim. Umar sukses, sebagian memang bukan karena kemampuan bertempur tetapi lebih karena kemampuan diplomasi.

Umar membentuk persekutuan dengan Teungku Kutakarang, guru agama terkemuka XXV Mukim. Umar dan Kutakarang sangat menentang kelompok-kelompok gerilya pimpinan putra-putra Tengku Chik Ditiro yang berusaha menegakkan hak sabil (Pajak perang) di XXV Mukim, yang merugikan Teungku Kutakarang. Teungku inilah yang menyebarkan fatwa bahwa melawan Teuku Umar tidak dapat dianggap sebagai perang suci.

Dukungan fatwa inilah kiranya yang menyebabkan pasukan Aceh setengah hati melawan Umar, sehingga Umar berhasil menaklukan sebelas benteng/pos pasukan Aceh untuk Belanda (Reid, 2005 : 296-297). Melihat prestasi tersebut Deijkerhoff — Gubernur Sipil dan Militer Aceh periode 1892-1896—memberikan kepercayaan yang lebih besar kepada Umar.

Hal tersebut memicu rasa iri dari tokoh Aceh yang terlebih dahulu menyerah, seperti Panglima Muhammad Tibang dan Teuku Nek Meuraxa. Namun ada perkembangan situasi di lapangan, pada November 1895 Teungku Kutakarang meninggal dunia, ini adalah pukulan berat bagi Teuku Umar, karena sejak itu para ulama di XXV Mukim mulai berani memprotes cara-cara Umar.

Pada suatu hari Umar mengajukan proposal untuk menaklukkan benteng Lam Krak, benteng yang dipertahankan oleh pejuang perempuan Aceh. Proposal disetujui, dan Teuku Umar beserta pasukannya mendapatkan perlengkapan berupa 880 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg peledak dan uang tunai 18.000 dollar.

Tetapi rupanya pihak Aceh telah menyebarkan perang urat syaraf berupa ramalan, bahwa Umar akan tewas saat penyerbuan ke benteng perempuan. Saya bisa memahami jika Umar terkejut bukan main, terkait dengan hubungan proposal dan ramalan itu.

Dari mana orang aceh tahu tentang proposal Lamk Krak itu? Umar yang seorang muslim dan kuyup tradisi Aceh tentu percaya akan ramalan tersebut, apalagi konon ramalan tersebut datang dari ulama besar.

Umar tentu berpikir keras dan menyimpulkan, amatlah celaka jika ia sebagai muslim mati saat membela Belanda (kafir). Keislaman Umarpun bangkit, apalagi protes dari Cut Nyak Dhien semakin tak tertahankan.

Akhirnya Teuku Umar membangkang dari Belanda dan berbalik ke kaum muslimin Aceh pada tanggal 30 Maret 1896. Aceh bersorak, Belanda meradang. Sejak itu prestasi tempur Teuku Umar sungguh mengagumkan. Anthony Reid sendiri mencatat bahwa sejak itu perlawanan Aceh berada dalam satu komando, yakni Teuku Umar.

Penulis mendapati kisah tentang ramalan ini berdasarkan TRADISI LISAN yang dimuat dalam komik Aceh. Penulis tambah yakin tentang cerita komik itu saat Anthony Reid sendiri juga memberikan catatan tentang keberadaan ramalan tersebut dan protes Cut Nyak Dhien (Reid, 2005 : 297 catatan kaki no.64).

Motif inilah yang tidak diungkap dalam sejarah kita. Padahal hal ini penting untuk mengungkap karakter pahlawan kita ini.

Pada titik ini penulis menyimpulkan bahwa Teuku Umar sebelum membangkang dari Belanda telah mengalami proses psikologis yang berliku, dimulai dari meninggalnya Teungku Kutakarang (guru sekaligus pelindungnya), kritikan dari istrinya (Cut Nyak Dhien) yang bertubi-tubi, dan ketakutan akan kebenaran ramalan yang bermuara pada bangkitnya rasa keislaman.

Apapun motif dan ambisi Teuku Umar, Penulis tetap menghargai perannya. Disaat tokoh lain di seluruh Nusantara selalu dikibuli Belanda, Umarlah satu-satunya yang mampu menipu Belanda, bukan sekali, tetapi beberapa kali. Disinilah letak kehebatan pahlawan kita. Selebihnya wallahualam.

EPILOG :
Diplomat Aceh, Habib Abdur Rahman Az-Zahir, setelah gagal meyakinkan Turki Utsmaniah akhirnya kembali ke Aceh dan memimpin perlawanan, namun gagal, putus asa dan menyerah pada Belanda tanggal 13 Oktober 1878, sebagai imbalannya Belanda mengangkutnya ke Jeddah dan memberinya uang pensiun sebesar $1.000 per bulan.

Pemimpin Teunom, Teuku Imam akhirnya memperoleh uang tebusan $10.000 dalam kasus S.S Nissero, dan sejak itu menjadi kaki tangan setia Belanda.

Sejak pembangkangannya tanggal 30 Maret 1896, Belanda memutuskan Teuku Umar tidak bisa dipercaya lagi. Perang sengit terjadi sampai akhirnya Umar terbunuh oleh penyergapan pasukan marsose pada 11 Februari 1899.

Snouck Horgronye akhirnya menjadi muslim sejati, setidaknya ia pernah dua kali menikah secara islam dengan mojang Sunda.

Dr.P.S. Koningsvled (wawancara Kompas 6 Februari 1983, saya mengutipnya dari Seri Buku Tempo, 2011) menuturkan bahwa keluarga Kalifah Apo – mertua Snouck – yakin benar dengan keislaman Snouck secara lahir batin.

Koningsvled juga sempat bertemu dengan Raden Yusuf – anak Snouck dari perkawinan dengan Siti Saidah – yang menuturkan bahwa ibunya yakin dengan mutlak bahwa Snouck telah menjadi muslim sejati. Snouck disebut rajin sembahyang, puasa dan telah disunat.

Apakah kebetulan jika jumlah senjata GAM yang diserahkan kepada AMN yang mengakhiri konflik dengan TNI ternyata sama dengan jumlah senjata Teuku Umar saat membelot dari Belanda (880 pucuk).



sumber : KOMPAS

Sunday, November 13, 2011

Pemberontak Jadi Pahlawan Balada Presiden 207 Hari


M. Rizal - detikNews




Jakarta - Pagi masih sangat muda, semuda Republik Indonesia. Saat itu RI baru berusia 2 tahunan. Namun sepagi itu, Yogyakarta sudah diberondong bom. Saat itu, 19 Desember 1948, jam baru menunjuk pukul 05.30 WIB, tapi langit ibukota Indonesia itu sudah dipenuhi pesawat-pesawat pembom Belanda.

Pesawat-pesawat itu menyerang lapangan terbang Maguwo. Setelah 1 jam membombardir bom, pesawat menurunkan pasukan payung mereka untuk menduduki Maguwo dan menyerbu Yogya.

Serangan Belanda yang tiba-tiba membuat Kepresiden sangat mencekam. Di antara raungan pesawat dan dentuman bom, kabinet segera menggelar rapat darurat. Hadir Presiden Soekarno, Perdana Menteri Mohamad Hatta, Menteri Negara Sultan Hamenku Buwono, Menlu Agus Salim, Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Ali Sastroamidjojo, Menteri Pekerjaan Umum Ir Laoh dan Kepala Sekretaris Presiden A G Pringgodigdo.

Rapat memutuskan pembentukan Pemerintahan Darurat RI (PDRI) yang dikepalai Sjafruddin Prawiranegara. Keputusan ini untuk mengantisipasi pendudukan Belanda.

Sjafruddin sendiri tengah berada di Sumatera. Sebulan sebelumnya, sebagai menteri kemakmuran, ia ditugaskan Bung Hatta untuk membenahi kesejahteraan rakyat di Sumatera Tengah.

Pembentukan PDRI disertai dengan ketegasan selama pemerintah RI tidak bisa menjalankan fungsi dan tugasnya karena tertawan oleh Belanda maka pemerintah daruratlah yang harus meneruskannya.

Menteri Perhubungan Ir Djuanda ditugaskan untuk segera menyampaikan keputusan itu kepada Sjafruddin dengan telegram. Namun kabar ini tidak pernah sampai pada Sjafruddin.

Hari itu pula, dengan cepat Yogya bisa dikuasai Belanda. Sore hari setelah menguasai Kepresiden, Belanda pun menawan Soekarno, Hatta dan sejumlah menteri. Tiga hari setelah ditahan, pada 22 Desember, mereka dibuang ke Pulau Bangka.

Pada hari yang sama dini hari, sekitar pukul 03.40 WIB, Sjafruddin mengumumkan berdirinya PDRI. Pengumuman dilakukan pagi buta di tengah perkebunan teh Halabang, Sumatera.

Dalam pengumuman itu, Sjafrudin menyebut dirinya sebagai ketua PDRI merangkap menteri pertahanan, menteri penerangan dan menteri luar negeri adinterim.

Kemudian Wakil Ketua Teuku Mohamad Hassan merangkap menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan dan Menteri Agama. Letnan Jenderal Sudirman sebagai Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) , Komisaris Besar Polisi Umar Said sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara.

Sebelum pengumuman itu, terjadi perdebatan soal jabatan Sjafruddin. Pertemuan itu antara lain dihadiri Koordinator Kemakmuran untuk Sumatera Abdul Latief, Koordinator Perhubungan untuk Sumatera Indracahya, Komisaris Negara urusan Keuangan Lukman Hakim, Direktur BNI Abdul Karim, Komisaris Besar Polisi Umar Said, Komodor Udara Suyono.

Para tokoh yang hadir menginginkan Sjafruddin disebut sebagai presiden PDRI, tapi pria kelahiran Banten itu menolaknya karena untuk menghindarkan kemungkinan dugaan makar. Maklum mandat dari Soekarno dan Hatta untuk membentuk PDRI tidak pernah sampai kepada Sjafruddin.

Setelah disepakati jabatan Sjafrudin sebagai ketua, pembentukan PDRI dan kabinet diumumkan dengan dipancarluaskan langsung oleh stasiun radio darurat RPDRI yang dikawal anak buah Komodor Udara Suyono.

Dua hari setelah mendeklarasikan PDRI, 24 Desember 1948, Sjafruddin berpidato di radio AURI memberitahukan bangsa Indonesia tidak akan menyerah meskipun Soekarno dan Hatta sudah ditahan Belanda.

“Belanda mengira bahwa dengan ditawannya pemimpin tertinggi kita, pemimpin-pemimpin lain akan putus asa. Negara RI tidak tergantung pada Soekarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu sangat berharga bagi kita. Patah Tumbuh hilang berganti,” kata Sjafruddin.

Kepada seluruh angkatan perang negara RI, Sjafruddin menyerukan perlawanan habis-habisan kepada Belanda. “Kami serukan bertempurlah, gempurlah Belanda di mana saja dan dengan apa saja mereka dapat dibasmi. Jangan letakkan senjata atau menghentikan tembak menembak kalau belum ada perintah dari pemerintah yang kami pimpin,” tegas Sjafruddin.

Setelah pidato pertama lewat radio itu, Syafruddin dan kabinetnya harus mengungsi lagi. Mereka harus mengungsi lagi agar tidak tertangkap karena Belanda bisa mengecek gelombang radio untuk menemukan keberadaan mereka. Menjelang subuh, rombongan berkumpul di depan rumah kediaman Sjafrudin. Mereka akan menuju Pekanbaru.

Rombongan yang terdiri sekitar 20 orang harus menembus rimba belantara, yang tentu saat itu masih banyak dihuni binatang buas. Tidak hanya terancam terkaman binatang buas, rombongan juga harus menyelamatkan diri dari berondongan bom.

Selain itu juga medan yang sulit juga membahayakan keselamatan mereka. Pernah suatu ketika, jep yang ditumpangi Sjafruddin terbalik karena kondisi jalan sangat buruk dan penuh lumpur. Kacamata Sjafruddin pecah dan tubuhnya terbalut lumpur. Untung ia tidak apa-apa.

Sjafruddin memimpin PDRI selama 6 bulan atau 207 hari. Karena dipimpin dari dalam hutan, oleh Belanda PDRI sering diplesetkan sebagai Pemerintah Dari Rimba RI. Perang terhadap Belanda tidak saja dilakukan secara fisik, perang juga dilakukan lewat radio dan diplomasi. Setiap mengungsi peralatan radio yang berfungsi mengumumkan kebijakan dan pidato Sjafruddin turut serta.

Melalui siaran Radio Sumba Raya dan Radio Angkatan Udara saat itu, Sjafruddin mengatakan pemerintahan RI masih ada. Karena Belanda mengatakan RI sudah jatuh, dibalas Sjafruddin RI tidak jatuh.

“Belanda balas kalau tidak jatuh kenapa pemerintahan ada di hutan. Dijawab Safruddin, walau pemerintahan ada di hutan tapi masih berada di dalam negeri sendiri," terang Najamudin Busro, kerabat Sjafruddin yang kini menjadi ahli sejarah Banten.

PDRI juga memimpin diplomasi di luar negeri untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sjafrudin sebagai Ketua PDRI menunjuk AA Maramis yang sudah ada di luar negeri sebelum agresi militer Belanda menjadi Menteri Luar Negeri dalam pengasingan. Bersama-sama dengan Dr Sudarsono sebagai wakil RI di India, mereka memperjuangkan NKRI lewat konferensi di New Delhi.

“Hal itu menguntungkan sekali karena kedua pejabat itu bisa memberi keterangan selengkap-lengkapnya, kepada Nehru tentang keadaan Indonesia,” tulis Ali Sastro Amidjojo dalam bukunya 'Tonggak-Tonggak di Perjalananku'.

Resolusi konferensi New Delhi meminta Dewan Keamanan PBB supaya membebaskan semua anggota pemerintah Indonesia Selain itu juga, meminta Belanda segera menarik pasukannya dari Yogyakarta dan mengembalikan Yogya yang didudukinya kepada RI.

Berkat konferensi New Delhi, dunia internasional menekan Belanda. Akhirnya pada 7 Mei 1949, Belanda terpaksa menandatangani Perjanjian Roem-Van Royen. Inti perjanjian yakni menyetujui penarikan mundur pasukan Belanda dari Yogya.

Soekarno dan Hatta yang ditahan di Bangka dibebaskan dan kembali ke Yogya pada 6 Juli. Sementara Sjafrudin, kembali ke Yogya pada 13 Juli 1949 dan langsung menyerahkan mandatnya kepada Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta.


***

Meski memiliki jasa sangat besar, Sjafruddin merupakan orang yang rendah hati. Ia tidak pernah merasa tindakannya memimpin PDRI merupakan hal yang luar biasa.

"Saya ini seorang manusia biasa. I'm only doing my job. Apa yang dilakukan di PDRI itu sesuatu yang biasa-biasa saja," kata Sjafruddin seperti diungkap putranya, Farid Prawiranegara saat memperingati 100 Tahun Sjafruddin Prawiranegara, pada 28 Februari 2011.

Sjafruddin meninggal pada 15 Februari 1989 dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta. Sebelum meninggal, ia pernah dijebloskan ke penjara oleh Presiden Soekarno dengan tudingan melakukan pemberontakan PRRI. Ia juga menjadi musuh Presiden Soeharto karena terus bersikap kritis.

Pada 8 November 2011, setelah perdebatan panjang soal cap pemberontak pada Sjafruddin terkait PRRI, akhirnya pria luar biasa ini ditetapkan sebagai pahlawan nasional.

DETIK

Thursday, January 27, 2011

Kesultanan Aceh (bukti malaka dulu milik indonesia)

Kesultanan Aceh Darussalam
  1496–1903  
Bendera Kesultanan Aceh
Bendera

Berkas:Aceh Sultanate id.svg


Aceh_Sultanate_id.svg(Berkas SVG, nominal 539 × 565 piksel, besar berkas: 361 KB)
Berkas ini berasal dari Wikimedia Commons dan mungkin digunakan oleh proyek-proyek lain. Deskripsi dari halaman deskripsinya ditunjukkan di bawah ini.

Ringkasan

Deskripsi
Bahasa Indonesia: Jangkauan terluas wilayah Kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar, 1608-1637. Pada periode ini serangkaian ekspedisi laut dan serangan militer dilancarkan oleh Iskandar Muda melawan Portugis di Malaka, Kesultanan Johor, dan beberapa kerajaan Melayu lainnya di Sumatera dan Semenanjung Malaya. Peta dilengkapi dengan tahun dilancarkannya serangan tersebut. Pada periode ini Kesultanan Aceh tumbuh menjadi kekuatan regional terkemuka yang dominan di kawasan Asia Tenggara.
Tanggal 29 Desember 2009(2009-12-29)
Sumber Karya sendiri Dari berbagai sumber
Pembuat Gunkarta Gunawan Kartapranata
Lisensi
(Menggunakan kembali berkas ini)
Lihat di bawah
Versi lainnya
Click here to translate this file This SVG file uses embedded text that can be easily translated into your language. Learn more. For SVG images, you can use this page to translate it into your language.

العربية | Беларуская (тарашкевіца) | Bosanski | Català | Česky | Dansk | Deutsch | English | Esperanto | Español | Eesti | Suomi | Français | Galego | עברית | Hrvatski | Magyar | Հայերեն | Italiano | 日本語 | ភាសាខ្មែរ | 한국어 | Lietuvių | Македонски | Plattdüütsch | Nederlands | ‪Norsk (nynorsk)‬ | ‪Norsk (bokmål)‬ | Polski | Português | Русский | Slovenščina | Српски / Srpski | Svenska | Українська | Volapük | 中文 | ‪中文(简体)‬ | +/-

Jenis lisensi:


Saya, pemilik hak cipta dari karya ini, dengan ini menerbitkan berkas ini di bawah ketentuan berikut:

w:id:Creative Commons
atribusi berbagi serupa
Berkas ini dilisensikan di bawah lisensi Creative Commons Atribusi-Berbagi Serupa 3.0 Unported


Anda bebas untuk:
  • untuk di bagi – untuk menyalin, menyebarkan dan mengirimkan pekerjaan
  • untuk mencampur – untuk mengadaptasi karya
Dibawah kondisi berikut:
  • atribusi – Anda harus mengatribusi karya dengan cara yang ditentukan oleh pengarang atau pemberi lisensi (tapi tidak dengan cara apa pun yang mengesankan bahwa mereka mendorong Anda atau penggunaan Anda terhadap karya).
  • berbagi serupa – Jika Anda mengubah, mentranformasikan, atau membuat atas dasar karya ini, Anda dapat mendistribusikan karya yang dihasilkan hanya di bawah lisensi yang sama atau mirip dengan lisensi ini.
GNU head Diizinkan untuk menyalin, mendistribusikan dan/atau memodifikasi dokumen ini di bawah syarat-syarat Lisensi Dokumentasi Bebas GNU, Versi 1.2 atau lebih baru yang diterbitkan oleh Free Software Foundation; tanpa Bagian Invarian, tanpa Teks Sampul Depan, dan tanpa Teks Sampul Belakang. Salinan lisensi dimasukkan ke bagian yang berjudul Lisensi Dokumentasi Bebas GNU.

Anda dapat memilih lisensi pilihan Anda.

Riwayat berkas

Miniatur untuk versi per 19:22, 28 Desember 2009
Klik pada tanggal/waktu untuk melihat berkas ini pada saat tersebut.

Tanggal/WaktuMiniaturDimensiPenggunaKomentar
terkini19:22, 28 Desember 2009539×565 (361 KB)Gunkarta(Minor copy edit)

19:19, 28 Desember 2009Miniatur untuk versi per 19:19, 28 Desember 2009539×565 (359 KB)Gunkarta({{Information |Description={{id|1=Jangkauan terluas wilayah Kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar, 1608-1637. Pada periode ini serangkaian ekspedisi laut dan serangan militer dilancarkan oleh Iskandar Muda melawan Portugis di Malaka, Kesu)
2 halaman berikut memiliki pranala ke berkas ini:

Penggunaan berkas global

Wiki lain berikut menggunakan berkas ini:
Luas Kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, 1608-1637.
Ibu kota Bandar Aceh Darussalam (sekarang Banda Aceh)
Bahasa Aceh, Melayu, Arab
Agama Islam
Pemerintahan Monarki
Sultan
 - 1496-1528 Ali Mughayat Syah
 - 1874-1903 Muhammad Daud Syah
Sejarah
 - Penobatan sultan pertama 1496
 - Aceh War 1903
Mata uang Koin emas dan perak lokal


Kesultanan Aceh Darussalam berdiri menjelang keruntuhan dari Samudera Pasai yang pada tahun 1360 ditaklukkan oleh Majapahit hingga kemundurannya di abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh) dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.

Awal mula

Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Di awal-awal masa pemerintahannya wilayah Kesultanan Aceh berkembang hingga mencakup Daya, Pedir, Pasai, Deli dan Aru. Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1568.

Masa kejayaan

Kesultanan Aceh mengalami masa keemasan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636). Pada masa kepemimpinannya, Aceh telah berhasil memukul mundur kekuatan Portugis dari selat Malaka. Kejadian ini dilukiskan dalam La Grand Encyclopedie bahwa pada tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan pengaruhnya atas pulau-pulau Sunda (Sumatera, Jawa dan Kalimantan) serta atas sebagian tanah Semenanjung Melayu. Selain itu Aceh juga melakukan hubungan diplomatik dengan semua bangsa yang melayari Lautan Hindia. Pada tahun 1586, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Walaupun Aceh telah berhasil mengepung Melaka dari segala penjuru, namun penyerangan ini gagal dikarenakan adanya persekongkolan antara Portugis dengan kesultanan Pahang.
Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin Al-Raniri dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil.

 Kemunduran

Kemunduran Kesultanan Aceh bermula sejak kemangkatan Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1641. Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tapanuli dan Mandailing, Deli serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan diantara pewaris tahta kesultanan.
Traktat London yang ditandatangani pada 1824 telah memberi kekuasaan kepada Belanda untuk menguasai segala kawasan British/Inggris di Sumatra sementara Belanda akan menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka di India dan juga berjanji tidak akan menandingi British/Inggris untuk menguasai Singapura.
Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera, dimana disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Setelah melakukan peperangan selama 40 tahun, Kesultanan Aceh akhirnya jatuh dan digabungkan sebagai bagian dari negara Hindia Timur Belanda. Pada tahun 1942, pemerintahan Hindia Timur Belanda jatuh di bawah kekuasan Jepang. Pada tahun 1945, Jepang dikalahkan Sekutu, sehingga tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan di ibukota Hindia Timur Belanda (Indonesia) segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Aceh menyatakan bersedia bergabung ke dalam Republik indonesia atas ajakan dan bujukan dari Soekarno kepada pemimpin Aceh Tengku Muhammad Daud Beureueh saat itu[rujukan?].

Perang Aceh


Tuanku Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, sultan Aceh yang terakhir.
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn, merebut sebagian besar Aceh.
Sultan Muhammad Daud akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Saat itu, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.

 Sultan Aceh

Sultan Aceh merupakan penguasa / raja dari Kesultanan Aceh, tidak hanya sultan, di Aceh juga terdapat Sultanah / Sultan Wanita. Daftar Sultan yang pernah berkuasa di Aceh dapat dilihat lebih jauh di artikel utama dari Sultan Aceh.

WIKIPEDIA

Kerajaan Sriwijaya ( bukti malaka dulu milik Indonesia)

Sriwijaya

600-an–1100-an
Lokasi Sriwijaya
Jangkauan terluas Kemaharajaan Sriwijaya sekitar abad ke-8 Masehi.
Ibu kota Sriwijaya, Jawa, Kadaram, Dharmasraya
Bahasa Melayu Kuna, Sansekerta
Agama Buddha, Hindu
Pemerintahan Monarki
Maharaja
 - 683 Sri Jayanasa
 - 702 Sri Indrawarman
 - 775 Dharanindra
 - 792 Samaratungga
 - 835 Balaputradewa
 - 988 Sri Cudamani Warmadewa
 - 1008 Sri Mara-Vijayottunggawarman
 - 1025 Sangrama-Vijayottunggawarman
Sejarah
 - Didirikan 600-an
 - Invasi Dharmasraya 1100-an
Mata uang Koin emas dan perak
Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia
Sejarah Indonesia .png
Lihat pula:

Garis waktu sejarah Indonesia
Sejarah Nusantara
Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Tarumanagara (358–669)
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13)
Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
Kerajaan Sunda (669–1579)
Kerajaan Medang (752–1045)
Kediri (1045–1221)
Singhasari (1222–1292)
Majapahit (1293–1500)
Kerajaan Islam
Kesultanan Ternate (1257–sekarang)
Kesultanan Malaka (1400–1511)
Kesultanan Demak (1475–1548)
Kesultanan Aceh (1496–1903)
Kesultanan Banten (1526–1813)
Kesultanan Mataram (1500-an—1700-an)
Kolonialisme bangsa Eropa
Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)
Belanda (1800-1942)
Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
Pendudukan Jepang (1942–1945)
Revolusi nasional (1945–1950)
Indonesia Merdeka
Orde Lama (1950-1959)
Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Orde Baru (1966-1998)
Era Reformasi (1998-sekarang)
Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya; Thai: ศรีวิชัย atau "Ṣ̄rī wichạy") adalah salah satu kemaharajaan maritim yang kuat di pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.[1][2] Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti "bercahaya" dan wijaya berarti "kemenangan".[2] Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan.[3][4] Selanjut prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682.[5] Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan[2] diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa di tahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya dibawah kendali kerajaan Dharmasraya.[6]
Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan eksistensi Sriwijaya baru diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis George Cœdès dari École française d'Extrême-Orient.[7]

Historiografi

Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia.[8] Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.[9]
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum kolonialisme Belanda.[8]
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan.[2] Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.[6]
Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang).[2] Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang),[6] dengan catatan Malayu tidak di kawasan tersebut, jika Malayu pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens,[10] yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing,[11] serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).[12] Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).[6]

Pembentukan dan pertumbuhan

Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan.[8] Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim, namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh datu setempat.

Candi Gumpung, candi Buddha di Muaro Jambi, Kerajaan Melayu yang ditaklukkan Sriwijaya.

Reruntuhan Wat (Candi) Kaew yang berasal dari zaman Sriwijaya di Chaiya, Thailand Selatan.

Candi Borobudur, pembangunannya diselesaikan pada masa Samaratungga
Kekaisaran Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya.[2] Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya di abad yang sama.[2] Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan.[2] Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.[2]

Agama dan Budaya


Candi Muara Takus, salah satu kawasan yang dianggap sebagai ibukota Sriwijaya.
Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10, Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya Durbodhāloka menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.[13]
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.
".... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan Cina ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India".
— Gambaran Sriwijaya menurut I Tsing.[4]
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah. Sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.
Ada sumber yang menyebutkan, karena pengaruh orang muslim Arab yang banyak berkunjung di Sriwijaya, maka raja Sriwijaya yang bernama Sri Indrawarman masuk Islam pada tahun 718.[14] Sehingga sangat dimungkinkan kehidupan sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di dalamnya terdapat masyarakat Budha dan Muslim sekaligus. Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di Suriah. Pada salah satu naskah surat yang ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720) berisi permintaan agar khalifah sudi mengirimkan da'i ke istana Sriwijaya.[15]

Perdagangan

Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas selat Malaka dan selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditi seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.[11] Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassalnya di seluruh Asia Tenggara.
Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan tanah Arab, kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718 kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah buat kaisar Cina, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).[16]
Pada paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.

Relasi dengan kekuatan regional


Pagoda Borom That bergaya Sriwijaya di Chaiya, Thailand.
Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan pada kawasan di Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.[17]
Pada masa awal kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan tersebut, pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan dinasti Chola di selatan India juga cukup baik, dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan di abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bahagian dari dinasti Chola, dari kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts'i membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079, pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.[6]

[sunting] Masa keemasan


Arca emas Avalokiteçvara bergaya Malayu-Sriwijaya, ditemukan di Rantaukapastuo, Muarabulian, Jambi, Indonesia.
Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim, mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.[18]

Model kapal tahun 800-an Masehi yang terdapat pada candi Borobudur.
Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam,[2] dan Filipina.[19] Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.
Sriwijaya juga disebut berperan dalam menghancurkan kerajaan Medang di Jawa, dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang kemungkinan merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.[6]

Penurunan

Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya, berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030, kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya.[20] Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts'i ke Cina tahun 1028.[21]
Kawasan Sriwijaya dalam prasasti Tanjore
Nama kawasan Keterangan
Pannai Pannai
Malaiyur Malayu
Mayirudingam
Ilangasogam Langkasuka
Mappappalam
Mevilimbangam
Valaippanduru
Takkolam
Madamalingam Tambralingga
Ilamuri-Desam Lamuri
Nakkavaram Nikobar
Kadaram Kedah
Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola, dari kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079 Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja San-fo-ts'i, yang kemudian mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya di tahun 1088.[2] Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah, beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi[22] yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t'o (Sunda).[6][10]
Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya, dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan kerajaan Dharmasraya, walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah menyebutkan Malayu, disebutkan Kertanagara raja Singhasari mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu juga dalam Nagarakretagama, yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.

Struktur pemerintahan

Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.[23]
Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang didalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya).[24] Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya.

Hubungan dengan dinasti Sailendra

Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena adanya nama Śailendravamśa pada beberapa prasasti diantaranya pada prasasti Kalasan di pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India. Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra. Walau asal-usul dinasti ini masih diperdebatkan sampai sekarang.[11]
Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan India.[25] Kemudian Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa.[26] Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan[27] kemudian dikaitkan dengan beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuna diantaranya prasasti Sojomerto.[28]

Raja yang memerintah

Para Maharaja Sriwijaya[2][6]
Tahun↓ Nama Raja↓ Ibukota↓ Prasasti, catatan pengiriman utusan ke Tiongkok serta peristiwa↓
671 Dapunta Hyang atau
Sri Jayanasa
Srivijaya Shih-li-fo-shih Catatan perjalanan I Tsing di tahun 671-685, Penaklukan Malayu, penaklukan Jawa Prasasti Kedukan Bukit (683), Talang Tuo (684), Kota Kapur (686), Karang Brahi dan Palas Pasemah
702 Sri Indrawarman Shih-li-t-'o-pa-mo Sriwijaya Shih-li-fo-shih Utusan ke Tiongkok 702-716, 724 Utusan ke Khalifah Muawiyah I dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz
728 Rudra Vikraman Lieou-t'eng-wei-kong Sriwijaya Shih-li-fo-shih Utusan ke Tiongkok 728-742
743-774

Belum ada berita pada periode ini
775 Sri Maharaja Sriwijaya Prasasti Ligor B tahun 775 di Nakhon Si Thammarat, selatan Thailand dan menaklukkan Kamboja


Pindah ke Jawa (Jawa Tengah atau Yogyakarta) Wangsa Sailendra mengantikan Wangsa Sanjaya
778 Dharanindra atau
Rakai Panangkaran
Jawa Prasasti Kelurak 782 di sebelah utara kompleks Candi Prambanan Prasasti Kalasan tahun 778 di Candi Kalasan
782 Samaragrawira atau
Rakai Warak
Jawa Prasasti Nalanda dan prasasti Mantyasih tahun 907
792 Samaratungga atau
Rakai Garung
Jawa Prasasti Karang Tengah tahun 824, 825 menyelesaikan pembangunan candi Borobudur
840

Kebangkitan Wangsa Sanjaya, Rakai Pikatan
856 Balaputradewa Suwarnadwipa Kehilangan kekuasaan di Jawa, dan kembali ke Suwarnadwipa Prasasti Nalanda tahun 860, India
861-959

Belum ada berita pada periode ini
960 Sri Udayaditya Warmadewa Se-li-hou-ta-hia-li-tan Sriwijaya San-fo-ts'i Utusan ke Tiongkok 960, & 962
980

Utusan ke Tiongkok 980 & 983: dengan raja, Hie-tche (Haji)
988 Sri Cudamani Warmadewa Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa Sriwijaya Malayagiri (Suwarnadwipa) San-fo-ts'i 990 Jawa menyerang Sriwijaya, Catatan Atiśa,
Utusan ke Tiongkok 988-992-1003,
pembangunan candi untuk kaisar Cina yang diberi nama
cheng tien wan shou
1008 Sri Mara-Vijayottunggawarman Se-li-ma-la-pi San-fo-ts'i Kataha Prasasti Leiden & utusan ke Tiongkok 1008
1017

Utusan San-fo-ts'i ke Tiongkok 1017: dengan raja, Ha-ch'i-su-wa-ch'a-p'u
(Haji Sumatrabhumi (?)); gelar haji biasanya untuk raja bawahan
1025 Sangrama-Vijayottunggawarman Sriwijaya Kadaram Diserang oleh Rajendra Chola I dan menjadi tawanan Prasasti Tanjore bertarikh 1030 pada candi Rajaraja, Tanjore, India
1030

Dibawah Dinasti Chola dari Koromandel
1079

Utusan San-fo-ts'i dengan raja Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) ke Tiongkok 1079 membantu memperbaiki candi Tien Ching di Kuang Cho (dekat Kanton)
1082

Utusan San-fo-ts'i dari Kien-pi (Jambi) ke Tiongkok 1082 dan 1088
1089-1177

Belum ada berita
1178

Laporan Chou-Ju-Kua dalam buku Chu-fan-chi berisi daftar koloni San-fo-ts'i
1183 Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa Dharmasraya Dibawah Dinasti Mauli, Kerajaan Melayu, Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand

Warisan sejarah

Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya di masa lalu.
Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.[29] Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, provinsi Sumatera Selatan, keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian Sevichai yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.
Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota, dan nama ini juga digunakan oleh Universitas Sriwijaya yang didirikan tahun 1960 di Palembang. Demikian pula Kodam II Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Air (maskapai penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola Palembang), semua dinamakan demikian untuk menghormati, memuliakan, dan merayakan kemaharajaan Sriwijaya yang gemilang.


wikipedia

BERITA POLULER