Pages

Showing posts with label INVASI. Show all posts
Showing posts with label INVASI. Show all posts

Sunday, March 27, 2011

NATO Hanya Beraksi Lindungi Penduduk Sipil di Libya

Minggu, 27 Maret 2011 23:28 WIB | 702 Views
ilustrasi (FOTO ANTARA/REUTERS/Jean-Paul Pelissier)
Brussel (ANTARA News/AFP) - Rencana militer yang dirancang NATO, yang akan mengambil alih semua operasi di Libya, hanya terbatas pada penggunaan kekuatan untuk melindungi warga sipil dan daerah berpenduduk, kata sejumlah diplomat kepada AFP, Minggu.

Rencana tiga bulan itu tidak menetapkan NATO campur tangan untuk mendukung pemberontak bersenjata yang memerangi pasukan Moamer Kadhafi karena aliansi itu akan bersikap tidak berpihak dalam konflik di Libya, kata diplomat-diplomat NATO itu.(*)

(Uu.M014)


antara

Odyssey Dawn, Etalase Eropa


Jet tempur Rafale bersiap lepas landas dengan katapel di atas kapal induk Perancis Charles de Gaulle pada 26 Maret. Charles de Gaulle telah melakukan 47 sorti mengempur sasaran di Libya sebagai bagian dari zona larangan terbang NATO. (Foto: Reuters)

27 Maret 2011 -- (KOMPAS): Ada yang ”segar” pada tayangan liputan Operasi Odyssey Dawn, yang digelar untuk mengawal zona larangan terbang di Libya sejak pekan lalu. Tayangan berita di layar televisi tak lagi didominasi gambar-gambar persenjataan canggih buatan Amerika Serikat.

Dalam dua perang besar terakhir yang melibatkan pasukan koalisi, yakni Operasi Enduring Freedom ke Afganistan, 2001, dan Operasi Iraqi Freedom ke Irak, 2003, hampir seluruh media menampilkan kegagahan militer AS.

Gambar pesawat-pesawat F/A-18 Hornet lepas landas dari geladak kapal induk super, rudal-rudal Tomahawk meluncur dari kapal perusak, dan tank-tank M1 Abrams berseliweran di gurun-gurun Irak, disiarkan berulang-ulang baik di layar kaca maupun halaman koran.

Namun, sejak Perancis memimpin serangan ke Libya, Sabtu (19/3) malam, senjata-senjata andalan AS itu seolah ”menghilang” dari layar kaca. Kecuali tayangan klasik rudal-rudal Tomahawk yang meluncur dari kapal, tak banyak alat utama sistem persenjataan (alutsista) buatan AS yang terlihat.

Alih-alih, kini CNN lebih sering menampilkan pesawat Rafale dari Perancis lepas landas dari pangkalan udara di darat maupun dari kapal induk Charles de Gaulle. Di bagian lain, terlihat pesawat tempur tercanggih buatan Eropa saat ini, Eurofighter Typhoon, milik Royal Air Force (RAF) Inggris sedang bersiap-siap lepas landas di sebuah pangkalan udara di Italia.

Nama Tomahawk pun mendapat saingan baru, yakni rudal StormShadow. Rudal udara ke darat buatan Inggris, Italia, dan Perancis ini dibawa oleh pesawat-pesawat Tornado GR4 milik RAF.

Dengan berbagai alasan pembenaran, Eropa kali ini tampil di depan, memimpin operasi militer pasukan sekutu terbesar sejak invasi ke Irak 2003. Perancis, secara khusus, terlihat sangat agresif dengan tampil sebagai pembuka serangan dan mengirimkan persenjataan dalam kapasitas dan kuantitas yang signifikan.

Portal berita pertahanan GlobalSecurity.org menyebut, dalam operasi ini Perancis menggelar satu kapal induk, empat kapal fregat, dan armada pesawat Mirage 2000D serta Rafale F3.

Beberapa pengamat mengatakan, Perancis ingin memperbaiki citra di dunia Arab setelah negara itu dianggap tak cukup aktif saat terjadi krisis di Tunisia, yang memicu gelombang revolusi ke seluruh Timur Tengah dan Afrika Utara, termasuk di Libya saat ini.

Promosi efektif

Jet tempur Mirage 2000 mendarat di Capitaine Preziosi aka Solenzara, Pulau Korsika. (Foto; Getty Images)

Namun, di luar semua alasan itu, sudah bukan rahasia lagi bahwa setiap operasi militer besar menjadi semacam ”etalase” yang sangat efektif untuk memasarkan kemampuan berbagai jenis senjata canggih itu ke seluruh dunia.

Persenjataan AS, mulai dari pesawat F/A-18, tank Abrams, helikopter angkut Blackhawk, helikopter tempur Apache, hingga pesawat angkut kelas berat C-17 Globemaster III, laris manis sejak tampang mereka sering tampil di televisi, baik saat beraksi di Irak maupun Afganistan.

Bahkan, jip militer Humvee menjadi semacam ikon gaya hidup baru bagi para pencinta kemachoan, setelah kendaraan serba guna itu tampil di Operasi Badai Gurun di Irak 1991.

Mark Edward Schwan, seorang perwira Korps Marinir AS, pernah menulis dalam tesis S-2-nya tahun 1995, bahwa Perang Teluk 1991 menjadi ajang promosi luar biasa bagi berbagai persenjataan AS. ”Peningkatan permintaan akan senjata-senjata AS terutama berkat keunggulan terhadap senjata-senjata (buatan) Soviet yang digunakan Irak,” tulis Schwan dalam tesis yang dipublikasikan di GlobalSecurity.org.

Schwan memperkirakan, nilai penjualan senjata berkat ”etalase” Perang Teluk waktu itu mencapai 40 miliar dollar AS. ”Keefektifan sistem persenjataan yang telah teruji dalam perang (combat proven) adalah salah satu aspek permintaan global persenjataan dari AS,” tulis dia.

Tak heran jika muncul dugaan Operasi Odyssey Dawn menjadi kesempatan Eropa memajang produk-produk militer mereka. Di saat negara-negara Eropa masih terpuruk dalam resesi tak berkesudahan, pembelian senjata-senjata berharga mahal ini tentu akan sangat membantu pemulihan ekonomi.

Dr Paul Holtom, Direktur Program Perdagangan Senjata di lembaga riset Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) menyebutkan, negara-negara Eropa saling berkompetisi untuk memperebutkan pasar senjata di Asia, Timur Tengah, Afrika Utara, dan Amerika Latin.

Tahun lalu, misalnya, lima pemimpin negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yakni Inggris, AS, Perancis, China, dan Rusia, silih berganti berkunjung ke India, membujuk negara itu untuk membeli senjata buatan mereka (Kompas, 24/12/2010).

SIPRI menyebut, Perancis, Jerman, Italia, dan Inggris, bersaing memperebutkan order peralatan angkatan laut dari Aljazair. Sementara Inggris, Perancis, Italia, dan Swedia, berebut kontrak pembelian pesawat tempur dari Brasil.

Pasar potensial

Secara khusus, kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara dipandang sebagai pasar potensial bagi produk-produk alutsista ini. Rezeki nomplok dari tingginya harga minyak dunia dalam beberapa tahun terakhir, dan hubungan antarnegara di kawasan serta ketegangan internal di dalam negeri, menjadi pendorong utama panasnya pasar alutsista di kawasan ini.

Salah satu contoh betapa besar potensi pasar di kawasan ini adalah penandatanganan kontrak pembelian persenjataan antara Arab Saudi dengan AS senilai 60 miliar dollar AS, Oktober 2010. Kontrak tersebut meliputi antara lain, pembelian 86 pesawat F-15 Eagle dan 70 helikopter tempur AH-64 Apache, yang diperlukan Arab Saudi untuk menghadapi Iran yang kian agresif.

Namun, segencar apa pun promosi yang dilakukan produsen senjata Eropa, mereka hampir selalu kalah dengan produk-produk AS. Pesawat Rafale yang dibuat pabrikan Dassault dari Perancis, misalnya, sudah dipromosikan sejak tahun 2000, tetapi belum pernah sekalipun memenangkan kontrak pembelian.

Di Maroko, Rafale kalah dengan F-16 Block 52 buatan Lockheed Martin, AS. Sementara AU Korsel dan Singapura lebih memilih F-15 Eagle produksi Boeing daripada Rafale.

Demikian juga dengan Typhoon, pesawat tempur yang dikembangkan bersama oleh Inggris, Jerman, Italia, dan Spanyol dalam konsorsium Eurofighter, itu baru mendapat dua pelanggan di luar negara-negara pembuatnya, yakni Austria dan Arab Saudi.

Salah satu faktornya adalah, persenjataan Eropa itu ”kalah promosi” dibanding AS dalam hal pembuktian di medan perang. Typhoon sama sekali belum pernah dipakai dalam perang sesungguhnya.

Rafale sebenarnya sudah terlibat dalam misi di Afganistan sejak 2002, tetapi nyaris tak dikenal orang karena jarang tampil di layar TV seperti saingan-saingannya dari AS.

Itu sebabnya, kesempatan menampilkan kemampuan tempur yang sesungguhnya di Libya kali ini menjadi kesempatan emas bagi mereka. Portal berita bisnis Bloomberg menyebut, operasi di Libya ini bisa mendorong penjualan pesawat Typhoon, yang berharga 106 juta dollar AS per unit itu.

Pihak Eurofighter sendiri terang-terangan menyebut operasi di Libya ini menjadi ujian penting bagi Typhoon. ”Interoperabilitas sangat penting bagi pesawat tempur, karena pesawat-pesawat itu saling bertukar data di udara, terutama dalam operasi seperti ini,” kata Marco Valerio Bonelli, juru bicara Eurofighter.

Di tengah gelombang perubahan yang melanda Afrika Utara dan Timur Tengah saat ini, AS mungkin saja tak akan lagi jadi kekuatan dominan di kawasan ini. Saatnya bagi Eropa untuk unjuk gigi. (DAHONO FITRIANTO)

Sumber: KOMPAS

Tuesday, March 22, 2011

Belanda Sediakan 6 Jet Tempur F-16 ke Misi NATO Libya



"Kami telah memutuskan untuk menyumbang pada eksekusi Resolusi 1973 PBB," Perdana Menteri Mark Rutte menerangkan kepada wartawan di Den Haag setelah pertemuan khusus kabinet yang diminta untuk membicarakan keputusan NATO melaksanakan embargo senjata yang diperintahkan PBB terhadap Libya.

"Sumbangan kami akan terdiri atas enam F-16, satu pesawat tanker DC-10 dan satu kapal pemburu ranjau," kaatanya memerinci. "Sumbangan kami dimaksudkan untuk melaksanakan embargo senjata terhadap Libya."

Menteri Pertahanan Hans Hillen mengatakan pada konferensi pers itu bahwa sekitar 200 tentara Belanda akan mengambil bagian dalam misi tersebut.

Sekjen NATO Anders Fogh Rasmussen sebelumnya menyatakan organisasi yang beranggota 28 negara itu telah setuju bahwa pasukan mereka akan memantau, melaporkan dan jika perlu "menghalangi kapal yang diduga membawa senjata gelap atau tentara bayaran".

Blok itu juga sepakat untuk mendukung rencana operasional untuk membantu melaksanakan zona larangan terbang di atas Libya, setelah Turki menghentikan keberatannta, tapi masih harus memutuskan apakah akan mengaktifkannya.

"Jika demikian yang diputuskan oleh NATO, kami dapat memberikan bantuan untuk menerapkan zona larangan terbang," kata Rutte.

Hillen mengatakan sumbangan Belanda pada misi itu akan berlaku tiga bulan, tapi dapat diperpanjang dengan perjanjian NATO. Militer Belanda memiliki semuanya 87 jet tempur F-16.(*)

(Uu.S008/M016)


ANTARA

Pesawat Tempur Italia Lumpuhkan Radar Libya


Selasa, 22 Maret 2011 22:26 WIB | 1029 Views
Kapal penjelajah dengan misil kelas Ticonderoga USS Leyte Gulf ditarik di samping kapal induk USS Enterprise saat melaksanakan operasi terbang di Laut Merah. (FOTO ANTARA/REUTERS/US Navy/Mass Communication Specialist Seaman Jesse L. Gonzalez/Handout )
Roma (ANTARA News/KUNA-OANA) - Sejumlah pesawat Italia berhasil melumpuhkan sistem radar pemerintah Libya tanpa menembakkan satu pun peluru, demikian  Angkatan Udara Italia, Selasa.

Satu skuadron jet tempur Tornado berhasil menyelesaikan misi dalam mengganggu dan melumpuhkan jaringan radar pemerintah Tripoli.

Perdana Menteri Silvio Berlusconi menjelaskan bahwa pasukannya tidak akan menembak rakyat Libya.

Roma mendesak sekutunya dari Barat untuk memberi otoritas penuh Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) untuk memimpin operasi.

Berlusconi telah menyatakan "rasa prihatinnya" atas kejadian menyedihkan di Libya dimana Italia terlibat dalam pemberlakuan kawasan larangan terbang di atas Libya yang sejalan dengan resolusi 1973 Perserikatan Bangsa-Bangsa.(*)

KR-BPY/M016

ANTARA

Pesawat Prancis Lakukan Pengintaian di Atas Libya

Rabu, 23 Maret 2011 01:38 WIB | 658 Views
ilustrasi(FOTO ANTARA/AFP PHOTO / ECPAD/ SEBASTIEN DUPONT)
Paris (ANTARA News/Xinhua-OANA) - Sejumlah jet tempur Tornado milik Prancis dari kapal induk Charles de Gaulle melaksanakan operasi pengintaian di atas wilayah udara Libya untuk pertama kalinya pada Selasa, kata militer Prancis.

Juru bicara staf umum Prancis, Thierry Burkhard mengatakan bahwa misi tersebut melibatkan dua jet tempur dan keduanya telah kembali ke kapal induk dengan selamat.

Media Prancis melaporkan bahwa satu dari pesawat tersebut dilengkapi dengan peralatan khusus yang dapat mengirimkan pencitraan pengintaian yang sedang terjadi sementara Tornado lainnya melakukan misi pengawalan.

Armada tempur Prancis yang terdiri atas Kapal Induk Charles de Gaulle, satu kapal selam serang dan empat kapal perang meninggalkan pangkalannya di Prancis selatan untuk bergabung dengan operasi militer melawan Libya.

Kapal induk tunggal milik Prancis dapat mengangkut lebih dari 20 pesawat tempur termasuk delapan Tornado.(*)
(Uu.KR-BPY/M016)


ANTARA

BERITA POLULER