Pages

Showing posts with label ASIA FASIFIK. Show all posts
Showing posts with label ASIA FASIFIK. Show all posts

Tuesday, August 28, 2012

ToT Missile C-705 vs Konflik Laut Cina Selatan : Indonesian Perfective

Dalam beberapa waktu terakhir ini, kita disajikan berita di berbagai media massa bahwa Indonesia dan China sepakat untuk melakukan Transfer of Technology rudal C-705. Rudal ini adalah rudal anti kapal permukaan yang sudah dikembangkan oleh China. Saat ini pemerintah Indonesia dan China sedang mempersiapkan tahapan ToT ini agar bisa berjalan dengan secepatnya. Dalam kunjungannya ke Kementerian Pertahanan, tim China yang dipimpin oleh Liu Yunfeng, Deputi Direktur Umum Sains, Teknologi dan Industri Pertahanan China (SASTIND), sepakat melakukan transfer teknologi peluru kendali C-705 secara bertahap. Tahap pertama adalah: Semi Knock Down, Indonesia merakit sedikit/sebagian dari rudal C-705 dan sisanya dikirim langsung dari China. Tahap Kedua: Complete Knock Down. China mengirim semua komponen rudal secara terurai untuk dirakit di Indonesia sepenuhnya. Adapun tahap ketiga adalah riset and development. Ditahapan ini Indonesia, boleh memodifikasi peluru kendali sesuai dengan kebutuhan TNI.


Pihak China menginginkan transfer teknologi rudal C-705 ini bisa secepatnya direalisasikan. Mereka mengharapkan proposal tahapan pertama dari China bisa ditanggapi Indonesia paling lama bulan Agustus 2012. Proposal tahapan kedua, sebulan kemudian. Adapun tahapan ketiga dibicarakan setelah tahap I dan II jelas. Persetujuan kontrak itu diharapkan tercapai paling lama tahun 2013.


Laut Cina selatan yang rawan konflik


Sebagai informasi rudal C-705 ini adalah rudal anti kapal yang dikembangkan China dan sudah juga dimiliki oleh Indonesia yang di install pada kapal cepat rudal (KCR). Rudal anti kapal ini sangat dibutuhkan oleh Indonesia sebagai senjata untuk menjaga kedaulatan perairan Indonesia. Rudal C-705 akan disandingkan dengan Yakhont sebagai senjata utama Angkatan Laut Indonesia.



ToT Rudal C-705 hadir di waktu yang tidak tepat??


Seperti kita ketahui bersama, berita ToT Rudal C-705 ini dilakukan “hampir bersamaan” dengan perkembangan konflik Laut Cina Selatan yang sedang memanas. Beberapa negara ASEAN yang terlibat konflik langsung dengan China dalam masalah Laut Cina Selatan ini tentu akan memandang sedikit aneh kepada Indonesia. Hal ini dikarenakan, Indonesia sebagai sebuah negara besar dan negara paling berpengaruh di ASEAN, “kelihatannya seperti” mendekat kepada China. Negara ASEAN seperti Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunai tentu bertanya-tanya, ada apa gerangan Indonesia begitu dekat dengan China. Disaat mereka “menentang” China, Indonesia malah menunjukkan sikap “persahabatan” dengan China.


Apakah ToT Rudal C-705 dari China ini hadir di waktu yang salah? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu sedikit susah, karena perlu analisa yang sangat mendalam dan panjang. Namun, sebagai Informasi, rencana Indonesia dalam membangun Rudal sendiri sudah berlangsung sejak lama, namun masih terkendala dalam membuat pemandu untuk mengarahkan rudal ke sasaran. Bahkan beberapa tahun yang lalu, ketika konflik Laut China Selatan belum panas, Indonesia sudah berencana melalukan ToT Rudal anti kapal C-802 juga dari China. Namun dari berbagai pertimbangan, akhirnya ToT rudal C-802 ini dibatalkan dan digantikan dengan ToT rudal C-705. Jadi terlihat bahwa ToT rudal C-705 ini sudah direncanakan Indonesia jauh hari sebelum memanasnya konflik Laut China Selatan. Hanya saja proses ToT ini baru mendekati kata sepakat bertepatan dengan memanasnya konflik laut cina selatan.



Rudal C-705 sebagai persiapan menghadapi potensial Konflik di masa yang akan datang.


Seperti sudah saya tuliskan sebelumnya bahwa ToT Rudal C-705 ini sudah direncanakan jauh hari sebelum memanasnya konflik LCS. Sehingga bisa dikatakan bahwa Indonesia sama sekali tidak bermaksud untuk membela China dalam konflik ini. Indonesia yang memiliki luat laut dan garis pantai yang sangat panjang, tentu memerlukan persenjataan mumpuni dalam menjaga kedaulatannya. Salah satu yang paling di butuhkan Indonesia adalah senjata anti kapal berupa rudal.


Kita mengetahui sendiri bahwa Indonesia saat ini memiliki beberapa potensial konflik dan dimasa yang akan datang bisa saja meletus kembali. Sebut saja Ambalat yang beberapa tahun lalu sangat panas dan hapir saja membawa Indonesia dan Malaysia kedalam konflik berkepanjangan. Selain itu kehadiran Marinir Amerika Serikat di Darwin, Australia berpotensi menjadi ancaman bagi Indonesia. Ditambah lagi akan hadirnya pangkalan militer AS/Australia di pulau Cocos yang cukup berdekatan dengan wilayah Indonesia. Selain itu, konflik perbatasan dengan Singapura yang masih terus melakukan reklamasi pantainya, juga berpotensi menjadi konflik Indonesia di masa yang akan datang.


Potensial konflik Indonesia di Masa yang akan datang


Selain itu, perkembangan militer China yang sedemikian pesanya membuat mereka ingin menjadi penguasa di Asia Pasifik. Amerika dan Australia yang selama ini sudah menjadi “penguasa tunggal” di Asia Tenggara, mulai kalah pengaruh di bandingkan China. Kedua kubu sedang berebut pengaruh secara ekonomi dan militer untuk menjadi penguasa di Asia Tenggara. Indonesia yang berada di tengah-tengah kedua kekuatan ini, tentunya akan menghadapi permasalahan yang besar jika suatu saat konflik antara kedua kubu terjadi. Untuk itulah Indonesia harus mempersiapkan diri jauh sebelum konflik itu terjadi.


Peningkatan kekuatan militer Indonesia adalah hal yang sangat mutlak untuk dilakukan. Dan ToT Rudal C-705 sebagai bagian dari proses menuju kemandirian Alutsista adalah sebuah langkah maju untuk menjawab tantangan tersebut diatas. Jadi jelas sekali bahwa konsern Indonesia dalam menerima ToT Rudal C-705 ini bukan untuk mendukung China dalam klaim mereka di Laut China Selatan, tetapi lebih kepada mempersiapkan Indonesia dari kemungkinan konflik di masa yang akan datang.



Ambalat, salah satu focus utama Indonesia dalam modernisasi Militer Indonesia.


Tidak bisa di pungkiri bahwa Ambalat adalah konflik paling nyata yang di hadapi Indonesia saat ini. Konflik ini memanas dari tahun 2005 sampai pada tahun 2009 yang lalu. Saat itu militer Indonesia masih sangat lemah karena pengaruh embargo militer yang dilakukan Amerika dan Sekutunya. Kini ketika militer Indonesia mulai bangkit, konflik ini mulai mereda. Bisa karena Malaysia mulai menyadari bahwa kekuatan Indonesia sudah mulai meningkat atau bisa jadi karena mereka focus kepada konflik Laut China Selatan dimana mereka harus berhadapan langsung dengan China. Namun konflik Ambalat ini, masih berpotensi pecah dalam waktu yang dekat, sehingga Indonesia harus benar-benar mempersiapkan diri apabila ini terjadi.


Dulu di tahun 2005 ketika konflik Ambalat ini pecah, Indonesia tidak siap secara militer karena masih dalam embargo militer. Maka kini Indonesia tidak boleh lagi lengah, militer Indonesia harus dikuatkan. Salah satunya adalah dengan ToT Rudal C-705 ini untuk meningkatkan efek gentar militer Indonesia khususnya angkatan laut.



Indonesia berkepentingan Mematahkan “Grand Design” Amerika atas Indonesia.


Seperti yang sudah saya tuliskan dalam artikel tentang konflik Laut China Selatan sebelumnya, selama ini terkesan bahwa Amerika menerapkan sebuah “Grand Design” agar kekuatan militer Indonesia akan selalu berada dibawah kekuatan militer Singapura, Australia dan Malaysia. Ini bisa dilihat dari sikap pemerintah Amerika dan Parlemennya, serta negara sekutu mereka yang sering sekali mempermasalahkan setiap akuisis alutsista yang hendak di beli Indonesia.


Hal ini berakibat militer Indonesia beberapa decade belakangan ini menjadi lebih lemah dari Singapura, Australia dan Malaysia. Namun kondisinya sekarang sudah berubah, Amerika yang mulai kehilangan pamor di Asia Pasifik serta China yang semakin kuat pengaruhnya membuat Amerika tidak lagi bisa memaksakan “Grand Design” tersebut kepada Indonesia. Hal ini ditandai dengan sikap AS yang bersedia memberikan Hibah 24 F-16 Block 25 ke Indonesia, bahkan dalam update terakhir hibah ini kemungkinana akan lebih dari 24 pesawat (mungkin sekitar 3 Skuadron F-16). Namun Indonesia yang sudah menghapal betul tingkah AS, tentunya tidak akan mau tunduk sepenuhnya atas “permainan” AS. Itulah sebabnya Indonesia bermain dengan China melalui program ToT Rudal C-705 ini. Ini sebagai sinyal jelas bagi Amerika bahwa Indonesia bukan lagi “mainan” AS. Indonesia tidak lagi bisa didikte dengan sesuka hati oleh Amerika. ToT Rudal C-705 adalah bukti nyatanya.


Menerima tawaran ToT Rudal dari China adalah salah satu bentuk “perlawanan” Indonesia atas “Grand Design” Amerika terhadap militer Indonesia. Dengan demikian Amerika tidak lagi bisa sembarangan mendikte Indonesia secara militer, karena kalau Amerika melakukan hal yang sama lagi, Indonesia akan berpaling kepada China yang akan membuat pengaruh Amerika di Asia Tenggara menjadi semakin lemah, sebaliknya pengaruh China akan semakin kuat.



Salahkah Indonesia mengedepankan kepentingan Nasionalnya dalam ToT Rudal C-705 ini?


Pertanyaan penting untuk kita renungkan bersama adalah Apakah Indonesia salah mengedepankan kepentingan Nasionalnya dalam ToT Rudal C-705 ini? Pertanyaan ini bukan saja di tujukan kepada warga Indonesia, tetapi juga kepada semua warga negara ASEAN terutama warga negara Malaysia, Vietnam, Filipina dan Brunai yang terlibat langsung dalam konflik Laut China Selatan. Hal ini penting untuk kita renungkan dan dalami sebelum kita menjawab apakah Indonesia sudah salah menerima ToT Rudal C-705 bertepatan dengan konflik Laut China Selatan yang sedang memanas.


Rudal c-705 yang di ToT China ke Indonesia


Mungkin bagi warga negara tetangga terutama yang terlibat langsung dalam Konflik dengan China, sikap Indonesia yang menerima ToT Rudal C-705 ini terasa sikap yang kurang bijak dan kurang menghargai perasaan negara tetangga. Namun Indonesia bukan negara yang tidak mebghargai perasaan negara tetangganya. Indonesia tetap berusaha agar konflik ini bisa diselesai kan dengan cara damai dan secara diplomatis.


Berbicara mengenai menjaga perasaan tetangga, Indonesia sudah merasakan betul sakitnya hati sebuah bangsa yang disakiti oleh tetangganya. Ketika militer Indonesia sangat lemah karena embargo militer dari Amerika, para tetangga memanfaatkan kesempatan untuk “menyakiti” Indonesia. Sebut saja Malaysia yang melakukan provokasi militer di Ambalat di tahun 2005. Lalu ada Singapura yang terang-terangan melanggar kedaulatan Indonesia di perairan Natuna dengan melakukan latihan perang angkatan laut mereka dengan angkatan laut beberapa negara di wilayah Indonesia tanpa izin Indonesia. Di tambah lagi Australia yang berada dibalik lepasnya timor-timur dari Indonesia. Indonesia sudah hapal betul sakitnya disakiti tetangga. Untuk itulah Indonesia melakukan modernisasi militernya, untuk memastikan tidak ada lagi tetangga yang berani menyakiti harga diri Bangsa Indonesia.


Jadi salahkan Indonesia menerima ToT Rudal C-705? Saya rasa tidak. Rudal C-705 sangat diperlukan Indonesia untuk menjaga kedaulatan Indonesia, namun disamping itu Indonesia tetap akan menghargai perasaan negara tetangga dengan tetap mengusahakan konflik Laut China Selatan diselesaikan dengan cara damai dan tanpa kekerasan.



Kesimpulan Akhir


Dari penjelasan saya diatas, saya sebagai admin AnalisisMiliter.com menarik kesimpulan bahwa ToT Rudal C-705 ini merupakan sebuah rencana Indonesia yang sudah lama sebelum konflik Laut China Selatan berkembang. ToT ini tidak dimaksudkan sebagai tanda bahwa Indonesia memihak China dalam konflik ini, Indonesia tetap berdiri pada posisi netral dan terus mengupayakan cara dan jalan damai dalam penyelesaian konflik ini. ToT Rudal C-705 ini adalah merupakan bagian dari ambisi besar Indonesia dalam mencapai kemandirian alutsista khususnya rudal yang selama ini belum di kuasai Indonesia. Selain itu, Rudal C-705 ini sangat diperlukan Indonesia dalam menghadapi potensial konflik yang sedang dan yang akan di hadapi Indonesia.

Friday, January 6, 2012

F-35 JSF Delays Could Force Australia to Revert to Super Hornet


06 Januari 2012

The Joint Strike Fighter (JSF) in flight during testing. (photo : News Limited)

AUSTRALIA may be forced to purchase more Super Hornet fighter-bombers to prevent a capability gap in the nation's air defences if work on the Joint Strike Fighter is further delayed due to a new US military strategy and budget plan.

Ambassador to the US Kim Beazley, who received a comprehensive briefing from American officials about the changes, conceded production of the stealthy, multi-role JSF now named the F-35 Lightning II may be impacted by the shift to a leaner US military.

"The meaning of what the President (Barack Obama) and (US Defence Secretary Leon) Panetta have had to say for the F35 program is not that there won't be one but that perhaps in the long term the numbers might change and come down bit," Mr Beazley, former defence minister from 1984-90, told ABC News.

"I don't expect that out of this will emerge delays to a successful conclusion of the project but it may have an impact on the cost structure. The impact on delivery, paradoxically, will probably be quite useful."

Australia plans to buy up to 100 F-35s for an estimated $16 billion and has so far ordered 14, with the RAAF's first squadron supposed to be operating by 2018.

Asked if Australia could fill the gap if the F-35s were not ready by that time by buying more Super Hornet fighter-bombers Mr Beazley indicated that was a possibility.

"Well that's of course for defence ministers rather than ambassadors to say but he is always, (Defence Minister Stephen) Smith has always made clear that he keeps options open in terms of addressing any capability gaps," Mr Beazley said.

Development of the revolutionary JSF was already running behind schedule in April last year when The Australian revealed the RAAF was contemplating purchasing 18 more Super Hornets for $1.5bn to fill the gap.

It is understood delivery may be pushed back even further when the proposed US defence budget for 2013 is announced in coming weeks. The budget is expected to detail $487bn in spending cuts and call for a slowing of the pace of production for the F-35 jet.

The Howard government bought 24 Super Hornets for $6bn in 2007 to fill an earlier strategic gap left when the RAAF's F-111 bombers were withdrawn ahead of time because of concerns about fatigue.

But the announcement overnight, which included a new strategic focus towards the Asia-Pacific, may mean Australia could need even more Super Hornets.

"The Americans are very clear that as they proceed with the F35 program they're under close watch by the Australian government and if at any point of time a risk develops to the capacity for Australia to be satisfied with the forcing being that it has for the air defence of Australia then the Australian government will take action," Mr Beazley said.

US company Lockheed Martin Corporation is building the F-35s which are packed with sophisticated radars and other electronic equipment.

The original plan was for Lockheed to build 2443 JSFs for various arms of the American forces with about 500 others going to allies including Britain, Australia, Israel and Canada.

British Defence Minister Philip Hammond today voiced concern about possible cuts or delays in the F-35 fighter program.

Mr Hammond, who is currently visiting Washington, said he would like to speak with Mr Panetta about the impact the US announcement could have on the JSF.

"One of the things I hope to understand in the meetings I am to have later today is what, if any, impact the announcements being made today will have on the Joint Strike Fighter program," Mr Hammond said.

Opposition defence spokesman David Johnston told The Australian Online he was "not concerned" that the progress of the JSF program would be hindered by the US announcement.

However he said America's shifted focus on the Asia-Pacific region would place extra responsibility on Australia.

"Australia is now under the microscope to step up," Senator Johnston said.

"With the current state of the navy and the disinterest of our Prime Minister in defence issues we are at risk of being found wanting."

Acting Defence Minister Warren Snowdon referred The Australian Online to Mr Beazley's comments.

Thursday, November 17, 2011

Di Balik Parade Militer AS ke Asia Pasifik

Selain Marinir, AS pun Siapkan Jet F-22


Jet F-22 Raptor menggantikan armada F-15 Eagle, yang teknologinya hampir berusia 40 tahun

Kamis, 17 November 2011, 16:22 WIB
Renne R.A Kawilarang
Pesawat tempur AS F-22 Raptor (REUTERS)

VIVAnews - Presiden Barack Obama sudah memaparkan rencana Washington untuk memperkuat kehadiran militer AS di Australia Utara. Penempatan pasukan AS itu untuk menjaga konstelasi stabilitas di Asia Pasifik sekaligus dapat diberdayakan untuk operasi kemanusiaan dan bantuan keamanan.

Dalam pertemuan Obama dengan PM Julia Gillard Kamis kemarin, Australia sudah bersedia menjadi pangkalan bagi 2.500 pasukan Marinir AS, yang akan dikirim secara bertahap mulai tahun ke Darwin, wilayah sebelah utara Australia yang dekat dengan perbatasan maritim di sebelah tenggara Indonesia.

Namun, Obama tidak hanya menempatkan pasukan Marinir. Seorang pejabat militer AS pun mengungkapkan bahwa mereka juga telah menyiagakan armada pesawat tempur tercanggih, F-22 Raptor, dan pesawar transport C-17, untuk mengantisipasi gangguan keamanan bagi kepentingan AS di Asia Pasifik.

"Kami telah diam-diam, namun sangat efektif, menambah kapabilitas kami di Pasifik dengan meningkatkan teknologi dan juga memperkuat integrasi dengan negara-negara mitra dan sekutu kami," kata Mayor Jenderal Angkatan Udara AS, Michael Keltz, seperti dikutip stasiun berita CNN, 16 November 2011.

Keltz adalah direktur perencanaan dan kebijakan strategis pada Komando Militer AS di Pasifik. Dia saat itu dihubungi lewat telepon dari Hawaii.

Keltz mengungkapkan bahwa F-22 Raptor telah menggantikan armada pesawat tempur F-15 Eagle. Walau masih terbang lincah, teknologi F-15 sudah hampir berumur 40 tahun. "Pesawat tempur - jet - tidak berumur panjang dan kita harus memutakhirkannya," kata Keltz. 

Belum ada penjelasan apakah armada F-22 itu juga akan ditempatkan di Australia. Namun, stasiun berita Australia Network News pada 31 Mei 2011 mengungkapkan bahwa seorang kolonel AS pernah menyarankan agar Australia menyediakan lahan bagi pangkalan F-22 dan juga kapal selam AS.

Saran itu diutarakan Kolonel Angkatan Darat AS, John Angevine dalam laporan kepada Lowly Institutes. Menurut dia, sistem pertahanan Australia saat ini perlu disesuaikan lagi dengan risiko-risiko keamanan regional.  

Kepada parlemen Australia, Obama hari ini menyatakan bahwa AS kini telah mengalihkan fokus keamanannya dari Irak dan Afganistan. Kini, penempatan pasukan AS ke luar negeri akan diarahkan ke Asia Pasifik, terutama Asia Tenggara.

"Saat kita telah mengakhiri perang [di Irak dan Afganistan], saya telah mengarahkan tim keamanan nasional saya untuk menjadikan keberadaan dan misi kami di Asia Pasifik sebagai prioritas utama," kata Obama, seperti dikutip Reuters, saat menjabarkan visi AS bagi kawasan Asia Pasifik. Hari ini dia akan bertolak ke Indonesia untuk menghadiri KTT Asia Timur di Bali dan menggelar pertemuan bilateral dengan tuan rumah.
• VIVAnews

Wednesday, November 16, 2011

AS Serius Garap Kawasan Asia Pasifik



Presiden AS Barack Obama pada Rabu (16/11) mengatakan bahwa Washington tetap berkomitmen di kawasan Asia Pasifik, setelah ia mengumumkan untuk meningkatkan kehadiran militer AS di Australia.



Pada kunjungan pertamanya ke Australia sebagai Presiden, Obama menuturkan, Asia Pasifik adalah wilayah kepentingan strategis AS dan bersikeras bahwa kita di sini untuk tinggal.

"Kawasan Asia Pasifik adalah mutlak penting untuk pemulihan ekonomi AS. Kondisi ekonomi di wilayah ini akan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia untuk beberapa waktu ke depan," tandasnya.

"Pertama dan terpenting karena ini adalah kawasan ekonomi yang paling cepat berkembang di dunia dan saya ingin menciptakan lapangan kerja di Amerika, yang berarti kita harus menjual produk di sini dan berinvestasi di sini," ujarnya kepada wartawan di Canberra.
"Kita akan memastikan bahwa kita mampu memenuhi tujuan kepemimpinan kami di kawasan Asia Pasifik," tukas Obama.

Dalam sebuah konferensi pers bersama dengan Perdana Menteri Julia Gillard, Obama mengumumkan bahwa AS dan Australia telah sepakat untuk meningkatkan inisiatif militer bersama guna mempererat aliansi antara kedua negara.

Kesepakatan itu menandai evolusi signifikan dalam aliansi AS-Australia dan Obama menyatakan bahwa AS tidak memiliki sekutu kuat seperti Australia, terikat oleh nilai-nilai universal dan hak-hak.

Kunjungan Obama ke Australia disambut 21 tembakan meriam kehormatan, menandakan 60 tahun aliasni AS-Austalia, yang melibatkan pasukan mereka bertempur bahu membahu dalam setiap perang penting. (IRIB Indonesia/RM)

IRIB

Friday, November 11, 2011

AS Akan Bangun Pangkalan Militer di Australia!

Canberra - Amerika Serikat dikabarkan akan membangun pangkalan militer di Australia. Para marinir AS akan mulai ditempatkan di sebuah pangkalan militer di Darwin, Australia.

Menurut harian Australia, Sydney Morning Herald (SMH), Jumat (11/11/2011), hal itu akan diumumkan Presiden AS Barack Obama bersama Perdana Menteri (PM) Australia Julia Gillard saat mereka berkunjung ke Darwin pekan depan.

Selama ini para marinir AS telah ditempatkan di pangkalan AS di Pulau Okinawa, Jepang dan di Guam, sekitar 2 ribu kilometer sebelah utara Papua Nugini.

Para pakar menilai penempatan pasukan marinir AS secara permanen di Australia ini sebagai upaya untuk meningkatkan aliansi AS-Australia dalam menghadapi kebangkitan China.

"Ini semua tetang kebangkitan China, modernisasi militer China dan khususnya, ini soal bertambahnya kerentanan pasukan AS di Jepang dan Guam atas rudal-rudal generasi baru China," kata Alan Dupont, profesor keamanan internasional di kampus Sydney University.

"Rudal-rudal baru China bisa mengancam mereka dengan cara yang sebelumnya tidak bisa, jadi AS mulai mereposisi mereka guna membuat mereka tidak begitu rentan," tutur Dupont.

Keputusan soal penempatan pasukan marinir AS di Australia ini telah dipertimbangkan sejak bertahun-tahun lalu. Apalagi karena langkah ini pasti akan menimbulkan reaksi dari pemerintah China.

Menurut Hugh White, profesor studi strategis di Australian National University, keputusan ini akan mendatangkan konsekuensi mendalam bagi hubungan Australia dengan China.

"Saya pikir ini langkah yang sangat berisiko dan sangat signifikan bagi Australia. Dalam pandangan Beijing, semua yang dilakukan AS di Pasifik barat dimaksudkan untuk meningkatkan perlawanan akan tantangan China terhadap keunggulan AS," tutur White.

Menurut SMH, Obama dan Gillard akan mengumumkan bahwa AS tidak akan membangun pangkalan baru bagi para marinir namun akan menggunakan Robertson Barracks, pangkalan Australia yang telah lama ada di Darwin. Pangkalan itu selama ini menampung sekitar 4.500 tentara Australia. Pangkalan tersebut kemungkinan akan diperluas guna menampung para marinir AS.

DETIK

BERITA POLULER