ADA misteri apakah di balik kedatangan
enam unit jet tempur Dassault Rafale di Indonesia? Pertanyaan ini menarik
ditelisik mengingat rombongan alutsista beserta kru yang dibawa Angkatan Udara
dan Dirgantara Prancis (AAE) terbilang besar. Selain Rafale, turut dibawa 5
tanker A330 MRTT, 4 pesawat Airbus A400M, dengan total awak yang menyertai 320
orang. baca juga: Indonesia - Prancis Tingkatkan Kerja Sama Pertahanan Secara
formal, kehadiran alutsista AAE ke Indonesia adalah untuk mampir setelah
mengikuti serangkaian latihan di Pasifik, yakni partisipasi dalam latihan
bersama Northern Edge yang dipimpin Komando Amerika Serikat di Pasifik (Guam,
Palau, Hawaii), dan penerbangan bersama para mitra Amerika, Inggris, Kanada,
Australia, dan Jepang. Sebelum kembali ke negerinya itulah mereka singgah di
Indonesia dan melakukan show of force, dari 24 Juli hingga 1 Agustus. Bisa
jadi, AAE sengaja datang untuk mempertontonkan langsung Rafale kedatangannya
sangat ditunggu publik Tanah Air. Seperti diketahui, Kementerian Pertahanan
(Kemenhan) memborong 42 pesawat canggih tersebut. Hanya saja, 6 pesawat
multirole pesanan batch pertama baru bisa bergabung TNI AU untuk memperkuat
pertahanan dirgantara pada 2026 nanti. Selain dua alasan di atas, bila dilihat
dalam konteks dinamika geopolitik yang berkembang saat ini, kehadiran rombongan
besar AAE tersebut menyampaikan pesan politik yang sangat kuat, bahwa Indonesia
adalah sahabat Prancis. Indonesia merupakan negeri penting untuk menatap dan
membangun masa depan bersama, termasuk dalam bidang pertahanan dan alutsista.
Hubungan Indonesia-Prancis memang tengah menapak level tertinggi. Kemesraan
diplomatik ini ditunjukkan pada pertemuan two plus two yang melibatkan Menlu
Retno Marsudi-Menhan Prabowo Subianto dengan Menlu Prancis Catherine
Colonna-Menhan Prancis Sébastien Lecornu di Prancis pada pekan kemarin.
Pertemuan two plus two dengan Prancis disebut sebagai kali pertama dilakukan
dengan negara Eropa dan yang pertama pula dengan negara B5. Berdasar keterangan
Menlu Retno Marsudi, pertemuan digelar untuk memperkokoh kemitraan strategis
yang telah dibangun kedua negara, dengan landasan prinsip saling menghormati
dan saling menguntungkan. Penguatan kemitraan strategis juga dilakukan untuk
memberi kontribusi positif pada terciptanya dunia yang lebih stabil, aman, dan
damai. Selain kerja sama ekonomi, terutama menyelesaikan perundingan
Indonesia-Europe Union Comprehensive Economic Partnership Agreement, kerja sama
transisi energi dan sejumlah bidang lain, kedua negara juga menjadikan kerja
sama pertahanan sebagai poin utama pembahasan. Kerja sama yang dibangun bukan
sebatas jual beli alutsista, namun juga transfer of technology (ToT), serta
pengembangan dan produksi bersama alutsista. baca juga: Shopee Indonesia
Membawa Produk-Produk UMKM Menembus Prancis Walaupun sudah ada perjanjian hitam
di atas putih, tak dapat dimungkiri skeptisme tentang sejauh mana kekokohan
hubungan Indonesia-Prancis masih muncul. Pertanyaan ini muncul berdasar
sejumlah alasan logis. Pertama, menganggap Prancis menoleh ke Indonesia untuk
meluapkan kekecewaannya setelah Australia mendepaknya dari proyek pembangunan
kapal selam Scorpene, dan kemudian negeri kanguru itu membentuk aliansi AUKUS
bersama Amerika Serikat (AS) dan Inggris, pada 2021.
Kedua, Prancis mendekati Indonesia
dengan orientasi sebagai stepping stone mengamankan kepentingan mereka di Indo
Pasifik untuk mengantisipasi ekskalasi konflik akibat langkah invansif China.
Ketiga, sangat mungkin Prancis hadir di Indonesia untuk menunjukkan posisinya
sebagai kekuatan dunia seperti dipertunjukkan pada kehadirannya di banyak
negara Afrika, sejumlah negara Timur Tengah -seperti Arab Saudi, Uni Emirat
Arab, dan Qatar. Keempat, pendekatan Prancis terhadap Indonesia berorientasi
pragmatisme bisnis semata, yakni untuk jual beli Rafale, Airbus A400M, dan
mengegolkan rencana pembelian Scorpene. Kelima, Prancis merupakan bagian dari
Uni Eropa (UE). Dengan demikian, perilaku politik kolonial yang selalu mau
menang sendiri seperti terjadi pada kasus gugatan minyak kelapa sawit dan
kebijakan hilirisasi nikel akan tetap mewarnai bangunan kemitraan dengan
Indonesia. Ujung dari skeptisme ini adalah, apakah benar Prancis tepat
dijadikan mitra strategis Indonesia? Apakah negeri Napoleon itu layak menjadi
sahabat sejati yang konsisten saling dukung-mendukung dalam segala dinamika
konflik, termasuk saat harus berhadapan dengan AS dan blok barat yang notabene
merupakan teman aliansinya di UE ataupun NATO? Jangan-jangan kemitraan yang
dibangun hanya sebatas pragmatisme semata, sehingga Prancis sangat rawan
berubah sikap dan mencampakkan Indonesia? baca juga: Indonesia Sepakat Borong
42 Jet Tempur Rafale Prancis Jawaban atas pertanyaan tergantung sejumlah
variabel, yakni bagaimana kebijakan politik luar negeri Prancis, termasuk vis a
vis sekutunya di Nato maupun UE; bagaimana kebijakan penjualan alat utama
sistem senjata (alutsista) Prancis ke negara lain, dalam hal ini terkait adanya
pemberlakuan embargo militer; dan sejauh mana track record hubungan yang
terjalin dengan Indonesia selama ini, khususnya dalam bidang pertahanan.
Gaullisme Hubungan diplomatik antar-negara tentu berangkat dari prinsip-prinsip
politik luar negeri masing-masing negara. Berdasar Encyclopaedia Britannica
(2015), dinamika politik luar negeri dipengaruhi pertimbangan domestik,
kebijakan, perilaku negara lain, atau rencana memajukan desain geopolitik
tertentu. Bagi Indonesia, politik luar negeri ditujukan untuk melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi seperti
tertuang dalam Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. Implementasinya dilakukan dengan
prinsip politik luar negeri bebas dan aktif yang diabdikan untuk kepentingan
nasional. baca juga: Spesifikasi Mirage 2000-5, Pesawat Tempur Prancis yang
Dibeli Indonesia Sedangkan dari pihak Prancis, bangunan hubungan politik luar
negerinya tak terlepas dari watak nasionalisme yang kuat, kebanggaan nasional,
kecintaan pada sejarah, dan naluri untuk melestarikan budayanya. Karakter
demikian misalnya diwujudkan dalam keanggotaannya dalam UE. Di komunitas yang
menaungi negara-negara Eropa ini, Prancis menarasikan diri sebagai negara besar
yang berposisi sebagai pendiri, memimpin UE bersama Jerman, dan menjadikannya
sebagai wadah mengaltikurasikan kepentingan nasional.
Watak politik Prancis yang
mengedepankan kebanggaan dan kepentingan nasional tergambar jelas di era
kepemimpinan Charles De Gaulle. Sebagai pendiri PBB dan pemegang mandat anggota
tetap Dewan Keamanan (DK) PBB, pendiri Komunitas Batubara dan Baja Eropa (pendahulu
Uni Eropa), Prancis menunjukkan jati dirinya dengan mencoba memblokade pengaruh
Amerika Serikat (AS) dan Inggris di komunitas Eropa. Selama kepemimpinannya, De
Gaulle mereorientasi kebijakan politik luar negeri Prancis dari pengikut AS
menjadi lebih dekat dengan negara-negara non-blok dan berupaya menempatkan
dirinya di posisi leader, terutama di kawasan Afrika. Langkah tersebut
belakangan menarik minat negara-negar Timur Tengah karena para pemimpin di
wilayah itu merasa bisa secara bebas menjalankan kepentingan nasionalnya tanpa
terikat pada salah satu blok aliansi. De Gaulle berkeinginan kebijakan yang
diusung menjadi landasan bersama membangun hubungan antarbangsa. Kebijakan luar
negeri yang tidak lagi sejalan dengan AS atau sekutu barat lainnya dimanifestasikan
De Gaulle dalam momen krusial seperti menentang langkah ekspansif Israel pada
Palestina dan menggunakan hak veto-nya di DK PBB, serta memihak negara-negara
Arab dalam hampir semua masalah yang dibawa ke badan internasional. Untuk
alutsista, De Gaulle bahkan memberlakukan embargo senjata terhadap negara
Israel, dan di sisi lain kembali menjual persenjataan ke negara-negara Arab.
Dampaknya, Prancis mendapat lonjakan kontrak alutsista dari banyak negara,
terutama dari Timur Tengah. baca juga: Menteri Suharso Ingin Perkuat Kerja Sama
dengan Perancis Jika ditelusuri, ego Prancis secara langsung atau tidak
langsung muncul dari sejarah besar yang mereka ukir. Betapa tidak, negeri
tersebut adalah salah satu negara kolonial dengan wilayah jajahan terluas di
dunia. Penjajahan ini selaras dengan perkembangan kebudayaan mereka, terutama
penggunaan bahasa Prancis. Kondisi tersebut bisa disaksikan di sebagian besar
negara di benua Afrika. Sikap yang kemudian dikonsepsikan sebagai Gaullisme
juga ditunjukkan Jacques Chirac. Indikatornya adalah penolakannya terhadap
serangan ke Irak pada 2003, bersama Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden
China Hu Jintao, dan Kanselir Jerman Gerhard Schröder. Chirac bahkan tampil
sebagai penentang utama perang yang dikomandoi Presiden AS George W. Bush dan
Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair, hingga mengancam akan mem-veto
resolusi di DK PBB yang akan mengizinkan penggunaan kekuatan militer untuk
membersihkan Irak dari dugaan kepemilikan senjata pemusnah massal. Pun kebijakan
Emmanuel Macron. Dia mempertajam hubungannya dengan Arab Saudi dan Uni Emirat
Arab (UEA) dengan fokus tetap pada pembuktian Prancis sebagai kekuatan dunia.
Malahan, Macron aktif mendukung keterlibatan kedua negara dalam perang sipil
Yaman dan tidak menggubris suara sumbang dari organisasi HAM. Prancis juga
menjadi salah satu pemasok senjata penting, seperti kesepakatan Macron dengan
Uni UEA pada 2021 untuk memborong alutsista senilai 16 miliar Euro. Pembelian
di antaranya untuk akusisi 80 pesawat tempur Rafale yang ditingkatkan. Jejak
Kerja Sama Alutsista Sebagai negara berkembang dengan wilayah kepulauan yang
sangat luas dan berada di persilangan jalur utama pelayaran dunia, Indonesia
membutuhkan alutsista mumpuni untuk memastikan terjaminnya pertahanan dan
keamanan. Untuk itulah, pemerintah mencari berbagai jenis alutsista dari
negara-negara produsen utama dunia seperti AS, Rusia, Inggris, Prancis, Turki
dan negara lainnya. Dengan Prancis, Indonesia pada 1960-an tercatat
mendatangkan 275 tank AMX-13. Tank ringan tersebut hingga kini masih aktif
beroperasi setelah mengalami program retrofit. Alutsista terkemuka buatan
Prancis lain yang diakusisi Indonesia adalah rudal strategis Exocet, tepatnya
di tahun 1980-an. Hingga kini TNI AL masih menjadi pengguna rudal tersebut.
Radar yang digunakan TNI AU juga buatan pabrikan Prancis, Thales, yakni radar
Thomson Alutsista asal Prancis lainnya yang menjadi tulang punggung pertahanan
Indonesia adalah meriam Caesar 155 produksi Nexter
Selain jual beli putus,
Indonesia-Prancis juga kerja sama produksi alutsista dalam bentuk tranfer of
knowledge (ToT). Salah produk yang populer adalah panser Anoa 6x6 Pindad yang
mengadopsi panser VAB Prancis. Kerja sama bersifat jangka panjang dan berlangsung
hingga saat ini dengan mengembangkan berbagai varian panser. baca juga:
Kembangkan Geothermal, PLN Pelajari Proyek di Kawasan Padat Penduduk Perancis
Seiring dengan keluarnya UU No 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, kerja
sama dengan skema ToT kian intensif digalakkan. Dalam konteks ini Prancis
menjadi salah satu negara terdepan. Misalnya, Arquus dari Prancis berkolaborasi
dengan Pindad meningkatkan kualitas panser Anoa dan panser kanon Badak 6x6.
Pindad juga menjalin kerja sama dengan Nexter untuk memproduksi amunisi kaliber
besar, dalam hal ini amunisi tank 120 mm. Tak ketinggalan, PT Dahana merangkul
dua perusahaan Prancis, Eurenco dan Roxel, untuk membuat propelan yang
merupakan bahan dasar pembuatan amunisi. Dari catatan sejarah kerja sama alutsista
Indonesia-Prancis, belum tercoreng noda hitam berupa embargo yang merupakan
momok TNI. Sikap Prancis ini berseberangan dengan sekutunya seperti AS dan
Inggris yang kerap menggunakan instrumen embargo untuk membatasi kerja sama
militer, pembelian, dan penggunaan alutsista kepada Indonesia. Bahkan Prancis
konsisten memberi kesempatan kepada Indonesia untuk mengakusisi alutsista
produksinya hingga melakukan kerja sama pengembangan, termasuk untuk teknologi
militer penting seperti amunisi, propelan, hingga radar. Kemitraan Terus
Menguat Hubungan bilateral Indonesia-Prancis resmi berlangsung mulai September
1950. Sejak saat itu, hubungan menunjukkan konsistensi dan tren positif melalui
kerja sama di berbagai sektor dan bentuk. Selanjutnya menginjak 2011, kedua
negara bersepakat meningkatkan hubungan tersebut ke level kemitraan strategis.
Momen penting ini terjadi saat Perdana Menteri François Fillon berkunjung ke
Indonesia pada 30 Juni - 2 Juli. Pada fase awal, kemitraan fokus pada lima
bidang kerja sama, yaitu perdagangan dan investasi, pendidikan, industri
pertahanan, sosial dan budaya atau people-to-people contacts, dan penanganan
dampak perubahan iklim. Kemitraan strategis diperkuat pada Maret 2017, saat
Presiden François Hollande berkunjung ke Jakarta bertemu Presiden Joko Widodo .
Pada kesempatan itu kedua pemimpin bersepakat terus memperluas kerja sama,
khususnya di bidang ekonomi kreatif, pendidikan, maritim, pembangunan kota
berkelanjutan, energi, pertahanan, serta infrastruktur. Khusus untuk kerja sama
pertahanan, sudah menjadi fokus utama sebelum Indonesia-Prancis menjalin
kemitraan strategis disepakati. Pada 1996, kementerian pertahanan kedua negara
meneken memorandum of understanding (MOU) untuk cooperation in equipment,
logistics dan defense industries. Kerja sama ini kemudian ditingkatkan lebih
lanjut melalui penyelenggaraan military bilateral talks antara Mabes TNI
Cilangkap dengan AP French Headquarters untuk menggarap kerja sama bidang
pendidikan, pertukaran informasi, dan forum dialog. baca juga: Kemhan Teken
Kontrak Pengadaan 13 Unit Sistem Radar GCI dari Perancis Hubungan bilateral
Indonesia-Prancis semakin hangat di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo
(Jokowi). Kerja sama pertahanan kedua negara secara kongkrit ditindaklanjuti
dengan lima kerja sama baru yang diteken Menhan Prabowo Subianto dan Menteri
Angkatan Bersenjata Republik Prancis Florence Parly di Jakarta.
Kerja sama dimaksud meliputi kontrak
pembelian pesawat tempur Rafale dari perusahaan penerbangan Dassault Aviation,
MoU kerja sama di bidang riset dan pengembangan kapal selam antara PT PAL
Indonesia (Persero) dan Naval Group, MoU kerja sama program offset dan ToT
antara Dassault dan PT Dirgantara Indonesia (Persero), MoU kerja sama PT Len
Industri (Persero) dengan Thales Group untuk menyediakan radar canggih Ground
Master 400 yang berdaya jangkau 515 km, serta kerja sama pembuatan munisi
kaliber besar antara PT Pindad (Persero) dan Nexter Munition. Tidak cukup
dengan level kerja sama yang telah ada, kedua negara menaikkan kerja sama
pertahanan pada status tertinggi, yang ditandai dengan penandatanganan
Persetujuan Kerja Sama Pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA) pada
28 Juni 2021, oleh Prabowo dengan Florence Parly. Kesepakatan itu diiringi
dengan penguatan kerja sama pertahanan, khususnya untuk pembuatan alutsista.
Menteri Parly menegaskan kesepakatan sebagai bentuk tekad negaranya mendukung secara
aktif program-program strategis besar Indonesia, seperti untuk mengembangkan
industri pertahanan Indonesia. Ia menganggap kontrak pembelian pesawat Rafale
sebagai bukti kuatnya level kemitraan strategis kedua negara, termasuk
memajukan industri pertahanan Indonesia. Pilihan Strategis Dalam politik,
termasuk politik luar negeri, adagium threre is no permanent friend but only
permanent interest tetap menjadi pegangan. Kendati demikian, negara-negara
-termasuk Indonesia- harus tetap mengedepankan pilihan rasional dengan
mempertimbangkan aspek internal-internal tanpa menanggalkan prinsip politik
luar negeri. Termasuk, untuk mencari sahabat dalam mengembangkan bidang
pertahanan, khususnya dalam memperkuat alutsista yang dibutuhkan untuk
pertahanan negara dan membangun kemandirian alutsista. Keputusan yang harus
diambil Indonesia tidaklah mudah, karena masing-masing memiliki konsekuensi.
Negeri ini tidak mungkin bergantung pada AS dan sekutu baratnya yang telah
mencatatkan noda hitam dalam sejarah pertahanan dan militer Indonesia melalui
kebijakan yang diskriminatif, sanksi militer, embargo, serta mental
kolonialisme mereka yang selalu mau menangnya sendiri. Di sisi lain, walaupun
memiliki komitmen sangat tinggi, Indonesia sangat sulit merangkul Rusia karena
ganjalan instrument hukum AS yang disebut CAATSA. Apalagi pasca-pecahnya perang
dengan Ukraina. baca juga: MUI Heran Media Prancis Kok Permasalahkan Suara Azan
di Indonesia Sementara Prancis merupakan negara dengan kemampuan advance di
bidang militer dan negara produsen senjata terbesar ketiga di dunia.
Kapasitasnya tidak lah kalah dengan negara-negara maju lain seperti AS, Rusia,
Inggris, hingga China. Tak kalah pentingnya adalah Prancis memiliki kemandirian
yang kuat untuk memproduksi alutsista. Hal ini dibuktikan dengan penolakan
Prancis bergabung dengan konsorsium Inggris, Jerman, Spanyol membuat pesawat
Eurofighter Typhoon dan memilih mengembangkan Rafale sendiri. Selain Rafale,
alutsista made Prancis yang diakui kapabilitasnya adalah kapal serbu amfibhi
kelas Mistral, Tank Lecrelc, helikopter EC 665 Tiger, meriam Caesar, kapal
selam Scorpene, berbagai jenis kapal perang, hingga rudal Exocet yang sangat
melegenda dan battle proven dalam sejumlah medan laga dunia. Karena itulah,
bekerja sama dengan Prancis merupakan pilihan rasional ekaligus pilihan
strategis. Selain karena penguasaan state of the art teknologi militer, watak
politik Gaullisme lebih menjamin keamanan dan kenyamaaan kerja sama partahanan.
Dukungan Prancis terhadap Saudi Arabia dan UEA terkait konflik Yaman menjadi
bukti kesetiaan Prancis terhadap negara sahabatnya. Tak kalah pentingnya,
dengan ego sebagai negara besar dan orientasi politik luar negeri yang
mengedepankan kepentingan nasional membuat Prancis relatif independen dalam
menghadapi tekanan AS dan sekutu baratnya.
Semenjak membangun hubungan bilateral
dengan Indonesia pada 1950, Prancis juga menunjukkan track record positif dan
komitmen kuat untuk menjaga hubungan yang terbangun dan terus meningkatkan
kerja sama, termasuk mendukung pengadaan alutsista dan membantu Indonesia agar
mampu memproduksi alutsista secara mandiri. DCA yang telah diteken kedua negara
dan pertemuan two plus two menjadi milestone penting Indonesia dan Prancis
untuk menatap masa depan kerja sama pertahanan lebih kuat. Seperti disampaikan
Menhan Prabowo Subianto, melalui pertemuan two plus two ini Presiden Joko
Widodo menghendaki peningkatan kerja sama di bidang pertahanan, termasuk di
dalamnya program ToT dan akuisisi alutsista, berjalan signifikan. Dengan
demikian, kerja sama di bidang pertahanan antar kedua negara bisa berjalan
untuk jangka waktu yang panjang. (*)
By Alex Aji SAPUTRA
Sumber : SINDO NEWS