Leopard 2 A6 dan Leopard 2
PSO (Peace Support Operations) (Foto: ©Bundeswehr)
18 Juli 2012, Jakarta: Buku Putih pertahanan Indonesia menyatakan 85 persen ancaman ada di dalam negeri dalam bentuk terorisme dan separatisme. Kalangan aktivis khawatir, ini memicu pelanggaran HAM.
Sebanyak 100 MBT Leopard akan ditempatkan di Kalimantan, Papua, dan daerah perbatasan lainnya. “Kami jelas mengkhawatirkan tank itu digunakan untuk pelanggaran HAM. Apalagi kasus-kasus kekerasan seperti terjadi di Papua yang dilakukan aparat keamanan meningkat,” kata Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti di Jakarta, Rabu (18/7).
Buku Putih Pertahanan juga menyebutkan kecil kemungkinan Indonesia perang dengan negara lain. “Artinya bukan ofensif, tapi defensif. Karenanya aneh jika lebih memilih membeli MBT,” ujarnya.
Imparsial memertanyakan, mengapa ingin membeli MBT. “Padahal lebih baik diprioritaskan untuk membeli yang lain,” kata Poengky. Terkait adanya penolakan dari parlemen Jerman karena persoalan pelanggaran HAM, dia menilai pemerintah harus serius menyelesaikan masalah ini.
DPR Berikan Syarat Pembelian Leopard
Penolakan parlemen Jerman terhadap rencana pembelian Main Battle Tank (MBT) jenis Leopard 2A6 harus disikapi hati-hati oleh pemerintah Indonesia maupun Jerman. Wakil Ketua Komisi I DPR RI Tb Hasanuddin mengatakan, DPR tetap memberi dukungan pada pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) dalam rangka memenuhi standar Minimum Esseential Forces (MEF) termasuk pengadaan MBT Leopard. Namun begitu, Pemerintah harus memenuhi syarat pengadaan alutsista.
“Saat ini DPR dalam posisi menunggu sikap pemerintah kedua negara. Pada prinsipnya, DPR mendukung rencana pembelian alutsista dari luar negeri asalkan memenuhi syarat,” kata Hasanudin di Jakarta, Rabu (18/7).
Menurut Hasanuddin, ada lima syarat yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Pertama, pembelian alutsista harus sesuai dengan rencana strategis pertahanan.
Kedua, pembelian alutsista itu memiliki nilai tambah bagi industri strategis di dalam negeri dimana pengembangan industri pertahanan dalam negeri juga menjadi fokus pemerintah.
Ketiga, alutsista yang akan dibeli juga harus cocok dengan kondisi geografis Indonesia serta bisa digunakan untuk kepentingan-kepentingan lain. "Seperti untuk alat angkut atau dipergunakan untuk membantu saat terjadi bencana alam," kata Tubagus. Selain itu, lanjut Hasanudddin, pembelian alutsista harus memenuhi asas akuntabilitas.
Dan terakhir, pengadaannya harus dilakukan secara transparan. "Jika kelima kriteria itu dipenuhi pemerintah, apapun alustsista yang dibeli pasti kami setujui,” ujarnya.
Hasanuddin juga mengatakan, tank Leopard tidaklah cocok digunakan di Indonesia. Alih-alih tank Leopard yang merupakan MBT dengan bobot lebih dari 60 ton, dia menyarankan pemerintah membeli medium tank. "Kami berharap pemerintah membeli Leopard tipe sedang dengan bobot 40 ton agar tak bermasalah dengan kontur geografis negeri ini."
Salah satu tank Leopard yang memiliki bobot 40 ton adalah Leopard buatan Rheinmetall. Selain harganya lebih murah, tank ini juga bisa menjadi nilai tambah bagi PT Pindad sebagai industri peralatan tempur untuk mengembangkan tank serupa. "Dan kami berharap pemerintah tak membeli tank yang bekas. Harus (tank) baru agar biaya perawatannya lebih murah," ujar Hasanuddin menambahkan.
Sumber: Jurnas
18 Juli 2012, Jakarta: Buku Putih pertahanan Indonesia menyatakan 85 persen ancaman ada di dalam negeri dalam bentuk terorisme dan separatisme. Kalangan aktivis khawatir, ini memicu pelanggaran HAM.
Sebanyak 100 MBT Leopard akan ditempatkan di Kalimantan, Papua, dan daerah perbatasan lainnya. “Kami jelas mengkhawatirkan tank itu digunakan untuk pelanggaran HAM. Apalagi kasus-kasus kekerasan seperti terjadi di Papua yang dilakukan aparat keamanan meningkat,” kata Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti di Jakarta, Rabu (18/7).
Buku Putih Pertahanan juga menyebutkan kecil kemungkinan Indonesia perang dengan negara lain. “Artinya bukan ofensif, tapi defensif. Karenanya aneh jika lebih memilih membeli MBT,” ujarnya.
Imparsial memertanyakan, mengapa ingin membeli MBT. “Padahal lebih baik diprioritaskan untuk membeli yang lain,” kata Poengky. Terkait adanya penolakan dari parlemen Jerman karena persoalan pelanggaran HAM, dia menilai pemerintah harus serius menyelesaikan masalah ini.
DPR Berikan Syarat Pembelian Leopard
Penolakan parlemen Jerman terhadap rencana pembelian Main Battle Tank (MBT) jenis Leopard 2A6 harus disikapi hati-hati oleh pemerintah Indonesia maupun Jerman. Wakil Ketua Komisi I DPR RI Tb Hasanuddin mengatakan, DPR tetap memberi dukungan pada pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) dalam rangka memenuhi standar Minimum Esseential Forces (MEF) termasuk pengadaan MBT Leopard. Namun begitu, Pemerintah harus memenuhi syarat pengadaan alutsista.
“Saat ini DPR dalam posisi menunggu sikap pemerintah kedua negara. Pada prinsipnya, DPR mendukung rencana pembelian alutsista dari luar negeri asalkan memenuhi syarat,” kata Hasanudin di Jakarta, Rabu (18/7).
Menurut Hasanuddin, ada lima syarat yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Pertama, pembelian alutsista harus sesuai dengan rencana strategis pertahanan.
Kedua, pembelian alutsista itu memiliki nilai tambah bagi industri strategis di dalam negeri dimana pengembangan industri pertahanan dalam negeri juga menjadi fokus pemerintah.
Ketiga, alutsista yang akan dibeli juga harus cocok dengan kondisi geografis Indonesia serta bisa digunakan untuk kepentingan-kepentingan lain. "Seperti untuk alat angkut atau dipergunakan untuk membantu saat terjadi bencana alam," kata Tubagus. Selain itu, lanjut Hasanudddin, pembelian alutsista harus memenuhi asas akuntabilitas.
Dan terakhir, pengadaannya harus dilakukan secara transparan. "Jika kelima kriteria itu dipenuhi pemerintah, apapun alustsista yang dibeli pasti kami setujui,” ujarnya.
Hasanuddin juga mengatakan, tank Leopard tidaklah cocok digunakan di Indonesia. Alih-alih tank Leopard yang merupakan MBT dengan bobot lebih dari 60 ton, dia menyarankan pemerintah membeli medium tank. "Kami berharap pemerintah membeli Leopard tipe sedang dengan bobot 40 ton agar tak bermasalah dengan kontur geografis negeri ini."
Salah satu tank Leopard yang memiliki bobot 40 ton adalah Leopard buatan Rheinmetall. Selain harganya lebih murah, tank ini juga bisa menjadi nilai tambah bagi PT Pindad sebagai industri peralatan tempur untuk mengembangkan tank serupa. "Dan kami berharap pemerintah tak membeli tank yang bekas. Harus (tank) baru agar biaya perawatannya lebih murah," ujar Hasanuddin menambahkan.
Sumber: Jurnas
Imparsial: Pembelian Leopard Tidak Urgensi
Leopard 2. (Photo: KMW)
19 Juli 2012, Jakarta: The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial) meminta agar pembelian 100 main battle tank (MBT) Leopard dari Jerman dibatalkan dan anggarannya dialihkan untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit.
Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti menyatakan, pemerintah dan DPR harus berhati-hati dan cermat dalam menentukan alokasi anggaran untuk pertahanan.
"Pembelian alutsista (alat utama sistem senjata) harus benar-benar didasarkan atas kebutuhan objektif pertahanan Indonesia, bukan atas dasar kebutuhan politis," kata Poengky di Jakarta, Kamis (19/7).
Menurut Poengky, tidak ada urgensi pembelian Leopard saat ini. Ia menduga, rencana pembelian Leopard ditujukan untuk mencari keuntungan segelintir kelompok dan elite pemerintahan. "Transparansi dan akuntabilitas sektor pertahanan masih patut dipertanyakan," ujar Poengky.
Kendati demikian, menurut Poengky, penguatan matra darat memang tetap harus dilakukan. Namun pemerintah harus mencermati kondisi geografis, infrastruktur, strategi dan doktrin pertahanan Indonesia. Akan lebih baik jika pemerintah menambah kekuatan kavaleri TNI dengan jenis medium dan light tank.
"Ini sejalan dengan keinginan industri pertahanan di dalam negeri yang juga akan mengembangkan pembuatan tank jenis medium dan ringan bekerja sama dengan beberapa negara lain," ungkap Poengky, merujuk pada PT Pindad sebagai kekuatan industri pertahanan nasional.
Dalam pertemuan bilateral antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyno dan Kanselir Jerman, Angela Merkel, Selasa (10/7), salah satunya membahas rencana pembelian 100 MBT jenis Leopard. Presiden SBY mengatakan, selama 20 tahun Indonesia tidak pernah memodernisasi senjata dan elemen pertahanan.
Anggaran yang disiapkan untuk membeli 100 Leopard sebesar US$280 juta.
Kritik keras Imparsial terhadap rencana pembelian Leopard berbuntut panjang. Direktur Program Imparsial Al A'raf, yang selama ini menjadi dosen di Universitas Pertahanan, dilarang mengajar. Menurut Al A'raf, larangan itu diduga berkaitan dengan pemuatan tulisan di rubrik Opini salah satu media cetak nasional. Ia menuding, rencana pembelian Leopard adalah kesalahan penempatan prioritas anggaran pertahanan.
Sumber: Imparsial
19 Juli 2012, Jakarta: The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial) meminta agar pembelian 100 main battle tank (MBT) Leopard dari Jerman dibatalkan dan anggarannya dialihkan untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit.
Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti menyatakan, pemerintah dan DPR harus berhati-hati dan cermat dalam menentukan alokasi anggaran untuk pertahanan.
"Pembelian alutsista (alat utama sistem senjata) harus benar-benar didasarkan atas kebutuhan objektif pertahanan Indonesia, bukan atas dasar kebutuhan politis," kata Poengky di Jakarta, Kamis (19/7).
Menurut Poengky, tidak ada urgensi pembelian Leopard saat ini. Ia menduga, rencana pembelian Leopard ditujukan untuk mencari keuntungan segelintir kelompok dan elite pemerintahan. "Transparansi dan akuntabilitas sektor pertahanan masih patut dipertanyakan," ujar Poengky.
Kendati demikian, menurut Poengky, penguatan matra darat memang tetap harus dilakukan. Namun pemerintah harus mencermati kondisi geografis, infrastruktur, strategi dan doktrin pertahanan Indonesia. Akan lebih baik jika pemerintah menambah kekuatan kavaleri TNI dengan jenis medium dan light tank.
"Ini sejalan dengan keinginan industri pertahanan di dalam negeri yang juga akan mengembangkan pembuatan tank jenis medium dan ringan bekerja sama dengan beberapa negara lain," ungkap Poengky, merujuk pada PT Pindad sebagai kekuatan industri pertahanan nasional.
Dalam pertemuan bilateral antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyno dan Kanselir Jerman, Angela Merkel, Selasa (10/7), salah satunya membahas rencana pembelian 100 MBT jenis Leopard. Presiden SBY mengatakan, selama 20 tahun Indonesia tidak pernah memodernisasi senjata dan elemen pertahanan.
Anggaran yang disiapkan untuk membeli 100 Leopard sebesar US$280 juta.
Kritik keras Imparsial terhadap rencana pembelian Leopard berbuntut panjang. Direktur Program Imparsial Al A'raf, yang selama ini menjadi dosen di Universitas Pertahanan, dilarang mengajar. Menurut Al A'raf, larangan itu diduga berkaitan dengan pemuatan tulisan di rubrik Opini salah satu media cetak nasional. Ia menuding, rencana pembelian Leopard adalah kesalahan penempatan prioritas anggaran pertahanan.
Sumber: Imparsial