INILAH.COM, Jakarta - Komunitas militer atau Tentara Nasional Indonesia (TNI) saat ini sedang sumringah. Sebab baru di periode Presiden SBY alokasi anggaran Alutsista mengalami lonjakan signifikan.
Untuk 2012 saja, TNI mendapat alokasi Rp65 triliun. Sementara total anggaran hingga 2014 TNI mendapatkan dana hingga Rp150 triliun. Dengan anggaran itu TNI AD misalnya bakal punya banyak tank baru. TNI AL mendapatkan kapal selam dan tank amfibi, sementara TNI AU bisa membeli pesawat F-16 buatan Amerika Serikat juga jet tempur Sukhoi, buatan Rusia.
Sejak reformasi 1998, baru kali ini perhatian pemerintah terhadap TNI lebih berimbang dengan Polri. Alasan lain TNI sumringah, sebab selain tergolong cukup besar, persetujuan DPR-RI terhadap jumlah anggaran tersebut, prosesnya dicapai dengan mudah. DPR pun nampaknya tidak lagi ingin dianggap ikut menghambat setiap usaha pemberdayaan TNI.
Sesuai strategi dan target pemerintah, peremajaan Alutsista diharapkan membuat TNI memiliki kekuatan memadai. Terutama dalam menghadapi ancaman pihak luar. Pada 2009, tatkala konflik Indonesia dan Malaysia dalam kepemilikan pulau Ambalat bereskalasi, sempat muncul kekuatiran.
Jika terjadi perang terbuka antara kedua negara, yang dikhawatirkan, TNI tidak akan mampu mengimbangi kekuatan Malaysia. Pantauan yang ada menyebutkan, sistem persenjataan Tentara Kerajaan Malaysia jauh lebih unggul dari TNI.
Itu sebabnya ketika semua kekuatan Udara dan Laut sudah diarahkan ke wilayah pulau yang disengketakan, secara tiba-tiba Presiden SBY memerintahkan agar TNI mengendorkan pameran kekuatan terhadap Malaysia. Kini dengan penetapan anggaran itu, keraguan ataupun kekhawatiran atas kemampuan TNI menghadapi Malaysia, termasuk menjaga NKRI, sepertinya sudah hilang.
Setidaknya sudah ada optimisme baru. Pada 2014 atau 2015, bila Malaysia memprovokasi lagi, maka Indonesia sudah siap menghada inya. Namun yang menjadi sorotan sekarang adalah pengalokasian anggaran yang cukup besar itu kelihatannya tidak cukup diimbangi kesiapan TNI.
Kesiapan yang dimaksud seperti soal jenis senjata apa saja yang akan dibeli. Dan fabrikan mana yang cocok. Soal jenis senjata dan negara asal, masih menjadi perdebatan. Dan yang tidak kalah pentingnya, TNI tidak pernah menyinggung tentang kesiapan SDM, pengendali persenjataan itu.
Man Behind The Gun, kelihatannya tidak banyak diperhitungkan oleh para perencana. Padahal semua orang tahu, peran dan kesiapan manusia pada akhirnya akan menentukan kegunaan sebuah senjata.
Ada dua matra yang nampak tidak cukup siap. TNI AD misalnya sudah menetapkan membeli tank jenis Leopard buatan Jerman yang sekarang ini sedang digunakan oleh tentara kerajaan Belanda.
KSAD Jenderal Pramono Eddhi Wiwobo memastikan, pembelian tank bekas itu sudah final. Kementerian Pertahanan pun sudah mengundang Komisi I DPR-RI ke Belanda untuk melakukan verifikasi atas tank Leopard.
Tapi belum dua hari KSAD memastikan pilihan atas Leopard, tiba-tiba dari Belanda terdengar kabar Den Haag, membatalkan penjualan tank Leopard kepada Indonesia. Alasan yang diberikan oleh negara yang pernah menjajah Indonesia selama 350 tahun itu, Leopard akan digunakan oleh TNI untuk kegiatan yang melanggar HAM.
Padahal sebelum memastikan keputusan, KSAD terlebih dahulu sudah menjelaskan tentang seluruh proses rencana pembelian itu. Penjelasan KSAD juga sekaligus mengeliminir asumsi dari mantan Wakasad, Letjen (Purn) Kiki Syahnakri.
Kiki dalam sebuah ulasannya di harian Kompas Desember 2011 antara lain menyebut, tank Leopard tidak cocok dengan kondisi alam Indonesia. Kelemahan lainnya, Leopard boros bahan bakar. Dengan pembatalan pihak Belanda itu, dapat dipastikan, TNI AD harus melakukan revisi atas belanja Alutsista-nya.
Revisi tersebut kemungkinan akan mempengaruhi agenda Kementerian Pertahanan untuk memperkuat Alutsista. Di matra lainnya, TNI AU juga terlihat ada ketidaksiapan. Matra ini terkesan sulit menentukan pilihan. Membangun dengan konsep yang berpijak pada kualitas atau dengan kuantitas?
TNI AU merupakan korban kebijakan embargo militer dari Amerika Serikat. Selama bertahun-tahun sejumlah pesawat tempur jenis F-16 milik TNI AU buatan AS tidak bisa diterbangkan. Sebab suku cadangnya yang hanya bisa dibeli di AS, oleh Washington dinyatakan tidak boleh dibeli Indonesia.
Atas dasar itu TNI melirik Sukhoi, buatan Rusia. Tapi tiba-tiba TNI AU tergoda membeli F-16 baru. Selain itu TNI AU mau menerima hibah (pemberian cuma-cuma) atas 24 buah pesawat jenis yang sama, namun sudah tidak bisa terbang.
Kembali di sini terlihat ada ketidak-siapan. Sebab tadinya disebutkan 24 buah pesawat F-16 akan diberikan secara cuma-cuma. Nyatanya setelah opini dalam negeri sudah terbentuk positif, pernyataan hibah itu kemudian dikoreksi.
Yaitu berhubung sudah tidak bisa diterbangkan, maka harus diperbaiki lagi. Padahal untuk memperbaikinya, Indonesia tetap mengeluarkan triliunan rupiah. Bagi rakyat Indonesia sendiri, khususnya masyarakat sipil, peremajaan Alutsista kali ini, sebetulnya sah dan wajar-wajar saja.
Orang awam sebetulnya tidak akan pernah bisa tahu berapa sebetulnya anggaran yang diperlukan untuk sektor Alutsista agar NKRI benar-benar aman dari ancaman. Demikian pula awam tidak akan paham, jenis senjata, tank, kapal selam, kapal tempur buatan mana yang cocok untuk Indonesia.
Tetapi yang cukup bikin rakyat bingung adalah sikap dan cara para penentu dan pengambil keputusan di lingkungan TNI ataupun Kementerian Pertahanan. Lembaga yang demikian penting ini sepertinya belum punya konsep dan perencanaan jangka panjang. Kalau pun ada, sifatnya masih ad hoc ataupun instan.
Ketika Malaysia menjadi ancaman dan negara tetangga itu punya 1.000 tank, maka perencanaan Alutsista pun merujuk ke Malaysia. Padahal jenis ancaman dari luar terhadap Malaysia, jelas sangat berbeda dengan Indonesia. Setelah ada anggaran, TNI ternyata tidak cukup siap bagaimana menggunakan, membelanjakan anggaran yang disediakan.
Ketidaksiapan ini berisiko kalau tidak mau disebut berbahaya. Irak dan Libya merupakan contoh dimana belanja persenjataan tidak didasarkan persiapan yang matang. Akibatnya dua negara itu hancur sekalipun memiliki Alutsista yang canggih. Penyebab kehancurannya, karena strategi Alutsista kedua negara itu hanya disusun atas dasar situasional. Tidak berjanga panjang. [mdr]
SUMBER : INILAH,COM
Untuk 2012 saja, TNI mendapat alokasi Rp65 triliun. Sementara total anggaran hingga 2014 TNI mendapatkan dana hingga Rp150 triliun. Dengan anggaran itu TNI AD misalnya bakal punya banyak tank baru. TNI AL mendapatkan kapal selam dan tank amfibi, sementara TNI AU bisa membeli pesawat F-16 buatan Amerika Serikat juga jet tempur Sukhoi, buatan Rusia.
Sejak reformasi 1998, baru kali ini perhatian pemerintah terhadap TNI lebih berimbang dengan Polri. Alasan lain TNI sumringah, sebab selain tergolong cukup besar, persetujuan DPR-RI terhadap jumlah anggaran tersebut, prosesnya dicapai dengan mudah. DPR pun nampaknya tidak lagi ingin dianggap ikut menghambat setiap usaha pemberdayaan TNI.
Sesuai strategi dan target pemerintah, peremajaan Alutsista diharapkan membuat TNI memiliki kekuatan memadai. Terutama dalam menghadapi ancaman pihak luar. Pada 2009, tatkala konflik Indonesia dan Malaysia dalam kepemilikan pulau Ambalat bereskalasi, sempat muncul kekuatiran.
Jika terjadi perang terbuka antara kedua negara, yang dikhawatirkan, TNI tidak akan mampu mengimbangi kekuatan Malaysia. Pantauan yang ada menyebutkan, sistem persenjataan Tentara Kerajaan Malaysia jauh lebih unggul dari TNI.
Itu sebabnya ketika semua kekuatan Udara dan Laut sudah diarahkan ke wilayah pulau yang disengketakan, secara tiba-tiba Presiden SBY memerintahkan agar TNI mengendorkan pameran kekuatan terhadap Malaysia. Kini dengan penetapan anggaran itu, keraguan ataupun kekhawatiran atas kemampuan TNI menghadapi Malaysia, termasuk menjaga NKRI, sepertinya sudah hilang.
Setidaknya sudah ada optimisme baru. Pada 2014 atau 2015, bila Malaysia memprovokasi lagi, maka Indonesia sudah siap menghada inya. Namun yang menjadi sorotan sekarang adalah pengalokasian anggaran yang cukup besar itu kelihatannya tidak cukup diimbangi kesiapan TNI.
Kesiapan yang dimaksud seperti soal jenis senjata apa saja yang akan dibeli. Dan fabrikan mana yang cocok. Soal jenis senjata dan negara asal, masih menjadi perdebatan. Dan yang tidak kalah pentingnya, TNI tidak pernah menyinggung tentang kesiapan SDM, pengendali persenjataan itu.
Man Behind The Gun, kelihatannya tidak banyak diperhitungkan oleh para perencana. Padahal semua orang tahu, peran dan kesiapan manusia pada akhirnya akan menentukan kegunaan sebuah senjata.
Ada dua matra yang nampak tidak cukup siap. TNI AD misalnya sudah menetapkan membeli tank jenis Leopard buatan Jerman yang sekarang ini sedang digunakan oleh tentara kerajaan Belanda.
KSAD Jenderal Pramono Eddhi Wiwobo memastikan, pembelian tank bekas itu sudah final. Kementerian Pertahanan pun sudah mengundang Komisi I DPR-RI ke Belanda untuk melakukan verifikasi atas tank Leopard.
Tapi belum dua hari KSAD memastikan pilihan atas Leopard, tiba-tiba dari Belanda terdengar kabar Den Haag, membatalkan penjualan tank Leopard kepada Indonesia. Alasan yang diberikan oleh negara yang pernah menjajah Indonesia selama 350 tahun itu, Leopard akan digunakan oleh TNI untuk kegiatan yang melanggar HAM.
Padahal sebelum memastikan keputusan, KSAD terlebih dahulu sudah menjelaskan tentang seluruh proses rencana pembelian itu. Penjelasan KSAD juga sekaligus mengeliminir asumsi dari mantan Wakasad, Letjen (Purn) Kiki Syahnakri.
Kiki dalam sebuah ulasannya di harian Kompas Desember 2011 antara lain menyebut, tank Leopard tidak cocok dengan kondisi alam Indonesia. Kelemahan lainnya, Leopard boros bahan bakar. Dengan pembatalan pihak Belanda itu, dapat dipastikan, TNI AD harus melakukan revisi atas belanja Alutsista-nya.
Revisi tersebut kemungkinan akan mempengaruhi agenda Kementerian Pertahanan untuk memperkuat Alutsista. Di matra lainnya, TNI AU juga terlihat ada ketidaksiapan. Matra ini terkesan sulit menentukan pilihan. Membangun dengan konsep yang berpijak pada kualitas atau dengan kuantitas?
TNI AU merupakan korban kebijakan embargo militer dari Amerika Serikat. Selama bertahun-tahun sejumlah pesawat tempur jenis F-16 milik TNI AU buatan AS tidak bisa diterbangkan. Sebab suku cadangnya yang hanya bisa dibeli di AS, oleh Washington dinyatakan tidak boleh dibeli Indonesia.
Atas dasar itu TNI melirik Sukhoi, buatan Rusia. Tapi tiba-tiba TNI AU tergoda membeli F-16 baru. Selain itu TNI AU mau menerima hibah (pemberian cuma-cuma) atas 24 buah pesawat jenis yang sama, namun sudah tidak bisa terbang.
Kembali di sini terlihat ada ketidak-siapan. Sebab tadinya disebutkan 24 buah pesawat F-16 akan diberikan secara cuma-cuma. Nyatanya setelah opini dalam negeri sudah terbentuk positif, pernyataan hibah itu kemudian dikoreksi.
Yaitu berhubung sudah tidak bisa diterbangkan, maka harus diperbaiki lagi. Padahal untuk memperbaikinya, Indonesia tetap mengeluarkan triliunan rupiah. Bagi rakyat Indonesia sendiri, khususnya masyarakat sipil, peremajaan Alutsista kali ini, sebetulnya sah dan wajar-wajar saja.
Orang awam sebetulnya tidak akan pernah bisa tahu berapa sebetulnya anggaran yang diperlukan untuk sektor Alutsista agar NKRI benar-benar aman dari ancaman. Demikian pula awam tidak akan paham, jenis senjata, tank, kapal selam, kapal tempur buatan mana yang cocok untuk Indonesia.
Tetapi yang cukup bikin rakyat bingung adalah sikap dan cara para penentu dan pengambil keputusan di lingkungan TNI ataupun Kementerian Pertahanan. Lembaga yang demikian penting ini sepertinya belum punya konsep dan perencanaan jangka panjang. Kalau pun ada, sifatnya masih ad hoc ataupun instan.
Ketika Malaysia menjadi ancaman dan negara tetangga itu punya 1.000 tank, maka perencanaan Alutsista pun merujuk ke Malaysia. Padahal jenis ancaman dari luar terhadap Malaysia, jelas sangat berbeda dengan Indonesia. Setelah ada anggaran, TNI ternyata tidak cukup siap bagaimana menggunakan, membelanjakan anggaran yang disediakan.
Ketidaksiapan ini berisiko kalau tidak mau disebut berbahaya. Irak dan Libya merupakan contoh dimana belanja persenjataan tidak didasarkan persiapan yang matang. Akibatnya dua negara itu hancur sekalipun memiliki Alutsista yang canggih. Penyebab kehancurannya, karena strategi Alutsista kedua negara itu hanya disusun atas dasar situasional. Tidak berjanga panjang. [mdr]
SUMBER : INILAH,COM
No comments:
Post a Comment
DISCLAIMER : KOMENTAR DI BLOG INI BUKAN MEWAKILI ADMIN INDONESIA DEFENCE , MELAINKAN KOMENTAR PRIBADI PARA BLOGERSISTA
KOMENTAR POSITIF OK