Pages

Tuesday, August 24, 2010

Mall Gaza, Simbol Bisnis di Tengah Isolasi

Mall Gaza, Simbol Bisnis di Tengah Isolasi
ist.
Jakarta (ANTARA News)- Wewangian dari Hugo Boss, Dunhill, dan Givenchy berjejer di rak-rak sebuah toko kosmetik.

Salah satu dari dua toko busana perempuan memajang sebuah manekin dalam balutan kaos merah jambu yang seksi dan jeans berpinggang rendah.

Di dalam lemari pendingin pasar swalayan terdapat es krim Nestle, rak-raknya penuh dengan jajanan asin dan berkeju yang biasanya menjejali kantung-kantung belanjaan kaum berduit.

Gaza, yang penuh dengan kisah sedih, kini mempunyai sebuah pusat perbelanjaan. Tempat itu dibuka sebulan lalu dengan publikasi sepantasnya, kamera-kamera televisi Palestina terus mengikuti seorang pejabat Hamas yang dengan bangga berkeliling pertokoan baru yang penuh dengan barang-barang impor itu.

Bagi Hamas dan organisasi-organisasi yang terkait dengan para investor setempat yang berada di belakang perusahaan itu, mall dua lantai yang dilengkapi dengan pendingin ruangan terpusat dan tempat parkir bawah tanah itu memiliki simbol nilai yang dalam.

Itu adalah bukti bahwa, meski Israel dan Mesir terus berusaha mengisolasi daratan itu, mereka tetap bisa membangun dan berkembang. Pesannya jelas, 'Kami tidak akan dikalahkan'.

Tetapi simbol adalah bisnis yang berisiko dan para pendukung Israel dengan sengit mulai memanfaatkannya.

'Inikah tanah penuh kekurangan yang selama ini kalian dengar?' Bagaimana mereka bisa membangun sebuah mall jika tidak ada bahan bangunan yang diizinkan masuk ke Gaza? Semiskin apakah sebuah daerah yang baru saja mendirikan sebuah mall mewah?'

Mereka terus bertanya-tanya sambil memegang selembar foto pusat perbelanjaan itu.

"Kapal-kapal bantuan kemanusiaan itu pasti keliru berlayar," pikir mereka.

Para pemilik kompleks yang terdiri dari 10 toko itu memilih nama 'Gaza Mall' sembari berharap pusat perbelanjaan itu bisa menyamai pusat-pusat perbelanjaan di negara-negara maju.

Di negara maju pusat perbelanjaan seperti itu terbentang sepanjang mata memandang, lengkap dengan merk-merk terkenal dan bioskop-bioskop, tiap lantainya dihubungkan dengan eskalator yang dikelilingi oleh kolam bertingkat dua, beraneka panganan di food court terlihat serasi dengan butik-butik dan toko-toko pakaian yang menggoda.

Gaza Mall mungkin terinspirasi dengan tempat-tempat seperti itu. Tetapi, sayangnya, bangunan itu tidak mirip pusat kehidupan di metropolis-metropolis dunia itu.

Berdiri di atas lahan seluas 1000 meter persegi, Gaza Mall hanya pantas disandingkan dengan kompleks perumahan di pinggir-pinggir kota Amerika Serikat.

Bahkan tangga-tangga pusat perbelanjaan itu tidak bergerak.

Musik-musik yang diperdengarkan melalui corong bernuansa Islami. Pusat perbelanjaan itu juga tidak menjual peralatan elektronik, tidak ada layar bioskop, dan hanya satu restoran yang menjual makanan yang digoreng. Lantai pertama bangunan itu digunakan seluruhnya untuk pasar swalayan, sesuatu yang jarang ditemukan di Gaza.

"Kami hanya seukuran salah satu tempat perbelanjaan kelas menengah di Amerika," kata Salahudin Abu Abdu, manajer gaza Mall dengan sedikit tersipu.

Akan tetapi ada beberapa fakta yang perlu diketahui oleh mereka yang belum pernah melihat pusat perbelanjaan itu secara langsung.

Jika ada yang menuduh bahwa mall itu adalah bukti Gaza memiliki bahan bangunan, maka mereka harus tahu bahwa bangunan itu telah berusia 20 tahun.

Anda mengira itu bangunan raksasa dengan desain 'futuristik'? Sekali lagi Anda salah. Gaza Mall adalah bangunan kecil dan sedikit kuno.

Dan untuk Danny Ayalon, Deputi Kementrian Luar Negeri Israel yang menulis bahwa mall itu 'tidak akan cocok untuk salah satu ibu kota pun di Eropa'. Anda salah.

Lebih luas lagi, apa yang para pendukung Israel itu suarakan -bahwa kemiskinan di Gaza sering disalahartikan, disengaja, atau malah tidak disengaja- memang benar.

Kepedihan di Gaza tidak sama seperti di Haiti atau Somalia. Kepedihan itu tentang kemerdekaan, keterpasungan, dan kehilangan harapan, bukan karena kekurangan materi.

Gerakan kapal bantuan bukan semata-mata tentang bantuan material tetapi tentang kemerdekaan Palestina dan perlawanan terhadap Israel.

"Kemiskinan di Gaza bukan seperti yang dipikirkan oleh orang-orang di luar," kata Nida Wishah (22), mahasiswa teknologi informasi yang sedang mengunjungi mall itu pada suatu sore belum lama ini.

"Anda tidak bisa menyamakannya dengan kemiskinan di Afrika," tukas Wishah.

Meski sederhana kompleks mall itu tetap menyenangkan dan penuh keceriaan, terutama bagi Gaza. Puluhan ribu orang telah melewatinya, menikmati pendingin ruangannya, mungkin sekedar melihat-lihat, dan tentu saja barang-barang buatan Israel juga dijual ditempat itu.

Israel sebelumnya tidak menjual barang-barangnya di Gaza selama tiga tahun tekanannya atas Hamas, organisasi yang memerintah di Gaza.

Tetapi beberapa bulan lalu, ketika enam kapal bantuan berusaha menembus blokade laut Israel atas Jalur Gaza, pasukan komando Israel mengahalanginya dan bahkan membunuh sembilan relawan. Akibatnya dunia internasional berang dan mulai mengubah kebijakan mereka.

Beberapa minggu kemudian banyak barang-barang Israel yang masuk ke Gaza meski perekonomian di Gaza masih terpuruk dan hanya sebagian kecil rakyat yang bisa membeli barang-barang mewah itu.

"Ini hanya untuk kaum elit, uang yang Anda lihat di sini milik hanya segelintir orang," tutur Abu Abdu.

Tetap saja, sedikit membingungkan melihat bahwa di dalam pasar swalayan baru itu terdapat berkotak-kotak hummus Israel, makanan khas wilayah Timur Tengah, dan toples madu-madu Israel.

Hummus banyak tersedia di setiap sudut Gaza, yang juga terkenal dengan madunya yang lezat.

"Produk Israel mengandung bahan pengawet dan bisa bertahan lebih lama meski sering terjadi kerusakan listrik," manager Gaza Mall berbicara tepat di bawah naungan papan iklan Pringles, cemilan khas Amerika Serikat.

Bagi warga Gaza berbelanja di tempat itu memang memberi sedikit kebanggaan, meski sebenarnya tidak menguntungkan bagi mereka.

"Rasanya lebih beradab di sini," ungkap Othman Turkman (26) yang bergiat di bidang resolusi konflik.

"Tentu saja ini bukan untuk semua orang. Banyak orang di Gaza yang miskin dan tidak bisa menikmati mall ini. Tetapi mereka menetapkan harga yang sama dengan toko-toko yang lain dan itu artinya bagus," Turkman meneruskan.

Sementara bagi Inas al-Hayak yang bekerja pada toko busana perempuan sambil membaca Al Qur'an, sesuatu yang lazim dilakukan umat Muslim selama Bulan Ramadhan, Gaza Mall adalah 'sumber kebanggaan bagi Gaza'.

Berbusana khas Muslim yang bersahaja di dalam toko yang tampak lebih glamour, perempuan itu menegaskan:

"Dengan membuka mall ini, kami memecahkan kepungan dan kami akan terus melawan Israel dengan berbagai cara."
(Ber/A038/ART)
(Sumber: The New York Times)
ANTARA

No comments:

Post a Comment

DISCLAIMER : KOMENTAR DI BLOG INI BUKAN MEWAKILI ADMIN INDONESIA DEFENCE , MELAINKAN KOMENTAR PRIBADI PARA BLOGERSISTA
KOMENTAR POSITIF OK