Pages

Wednesday, September 25, 2024

Launching Ceremony Kapal Bantu Hidro Oseanografi (BHO) (Ocean Going) di Dermaga PT. Palindo Marine, Batam,

 


Batam – Staf Ahli Menhan Bidang Ekonomi Mayjen TNI Steverly C. Parengkuan memimpin kegiatan Launching Ceremony Kapal Bantu Hidro Oseanografi (BHO) (Ocean Going) di Dermaga PT. Palindo Marine, Batam, Selasa (24/9). Program pembangunan kapal ini merupakan kerja sama antara Kementerian Pertahanan RI dengan Abeking & Rassmusen, Jerman. Dimana kontrak pembangunan kapal BHO (Ocean Going) dilaksanakan oleh Abening & Rasmussen, sedangkan pembangunan platformnya dilakukan oleh PT Palindo Marine melalui program offset agreement antara Abeking & Rasmussen dengan Ditjen Pothan Kemhan. 

Sebelumnya, kegiatan pemotongan plat pertama (first steel cutting) telah dilaksanakan pada 15 September 2023 dan peletakan lunas (keel laying) dilaksanakan pada 14 Desember 2023.

Rangkaian acara Launching Ceremony Kapal BHO (Ocean Going) di awali dengan pemotongan tali tross secara simbolis, penekanan tombol sirine, dan kata sambutan. 

Dalam sambutan Kabaranahan Kemhan Marsekal Madya TNI Yusuf Jauhari yang dibacakan oleh Staf Ahli Menhan Bidang Ekonomi disampaikan bahwa kontrak pembangunan kapal BHO (Ocean Going) ini merupakan wujud kontribusi Kementerian Pertahanan dalam mendukung kemandirian industri pertahanan dalam negeri, yang pada akhirnya betujuan untuk meningkatkan laju perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat Indonesia. 

“Setelah kegiatan launching ceremony ini kapal BHO (Ocean Going) akan menuju Jerman menggunakan transporter untuk menyelesaikan pemasangan seluruh peralatan oceanografi di galangan Abeking & Rasmussen,” kata Kabaranahan Kemhan. 

Sementara, dalam sambutan Komandan Pushidrosal Laksamana Madya TNI Budi Purwanto yang dibacakan oleh Wadan Pushidrosal menegaskan bahwa alutsista dengan teknologi yang canggih menjadi komponen utama yang harus diprioritaskan dalam pelaksaaan tugas operasi. Tanpa dukungan alutsista yang memadai, operasi survei dan pemetaan tidak akan berjalan maksimal. “Saya sangat mengapresiasi kepada pihak yang terkait dalam pembangungan kapal BHO (Ocean Going) terutama kepada Kemhan yang terus mendorong pengembangan teknologi dan infrastruktur maritim,” tegas Komandan Pushidrosal. 

Kapal BHO (Ocean Going) yang memiliki fungsi utama untuk melaksanakan survei dan pemetaan di pesisir pantai, laut dangkal, hingga samudera, menggunakan teknologi survei beresolusi tinggi. Dengan sensor penginderaan bawah air yang canggih, kapal ini dapat mencapai kedalaman antara 600 meter hingga 11.000 meter, sehingga sangat mendukung kegiatan pencarian objek di bawah permukaan laut, terutama dalam situasi darurat. 

Untuk mendukung operasionalnya, kapal ini dilengkapi dengan geladak heli dengan kapasitas maksimum 12 ton MTOW, meriam 20mm dan 12,7mm, serta teknologi surveillance, manuver, dan station keeping yang andal. Selain itu, kapal yang didesain dengan struktur high tensile steel ini memiliki kecepatan maksimum 16 knot, berbobot total 3419 ton, mampu mengangkut tambahan beban sebesar 200 ton, endurance 60 hari dengan 90 personel menggunakan sistem pendorongan hybrid. 

Turut hadir dalam acara launching yaitu Ketua KKIP Letjen TNI (Purn) Yoedi Swastanto, Wadan Pushidrosal Laksma TNI Ronny Saleh, Kadisadal Laksma TNI Ifa Djaya Sakti, CEO Abeking & Rasmussen Matthias Hellman dan Direktur Palindo Charles Wirawan serta tamu undangan. (Biro Humas Setjen Kemhan)


Sumber : kemenhan

Tuesday, September 17, 2024

PTDI Bakal Buat Mobil Terbang Lokal, Bernama Vela Alpha Selesai Beberapa Tahun lagi

 

Mobil terbang Vela Alpha PTDI

Membangun mobil terbang saat ini bukanlah sesuai yang mustahil untuk dilakukan. Beberapa negara maju sedang membangun mobil terbangnya sendiri, seperti China. Perusahaan teknologi di sana, Xpeng AeroHT memamerkan mobil terbang Xpeng X2 di Pameran Ekonomi dan Perdagangan Internasional China Langfang 2024 pada 16 Juni lalu. Pada kesempatan itu, Xpeng X2 bahkan melakukan demonstrasi terbang di kawasan Zona Ekonomi Bandara Internasional Beijing. Bahkan menurut penjelasan Antara, itu bukanlah kali pertama Xpeng X2 melakukan uji terbang.b“Demonstrasi itu bukan penerbangan uji coba publik yang pertama”, jelasnya. Siapa sangka, Indonesia menjadi salah satu negara yang berupaya membangun mobil terbangnya sendiri.

Pabrikan dalam negeri, PT Dirgantara Indonesia (PTDI) yang akan mewakili Indonesia membangun mobil terbang. PTDI lewat laman resminya (16/9/24) mengatakan bahwa mereka akan meluncurkan moda transportasi masa depan, yaitu mobil terbang. “PTDI meluncurkan inovasi mengembangkan mobil terbang seiring dengan kesadaran akan pentingnya moda transportasi masa depan”, jelasnya. Mobil terbang itu akan bernama Vela Alpha dan ditargetkan selesai dan dipasarkan di tahun 2028. Spesifikasi dasar Vela Alpha adalah kendaraan Vertical Take-off and Landing (VTOL) dengan satu pilot dan empat penumpang.

PTDI akan bekerja sama dengan Vela Aero dalam hal engineering dan produksi. Sementara Vela Alpha akan diproduksi di fasilitas PTDI di Bandung. Ke depan PTDI dan Vela Aero akan melakukan co-partnering untuk produksi air taxi tersebut dan pengembangan lanjutannya. Untuk manufacturing-nya paling memungkinkan di fasilitas PTDI”, kata Humas PTDI, Anissa Carolina.



Vela Alpha akan terlihat seperti pesawat kecil dengan baling-baling, artinya dia terbang seperti helikopter.

Ada delapan baling-baling yang menghadap ke atas serta satu menghadap ke belakang di bagian buritan. Mobil terbang ini memiliki panjang 10,8 meter, tinggi 4,2 meter dan rentang sayap 13,1 meter. Kabinnya terdiri dari dua ruangan terpisah, satu untuk pilot dan lainnya untuk penumpang. Kabinnya terdiri dari dua ruang terpisah, yakni ruang pilot dan penumpang. Mobil terbang lokal Indonesia ini mampu membawa muatan sebanyak 456 kilogram. Terakhir, PTDI dan Vela Aero menawarkan dua opsi mesin pada mobil terbangnya, yaitu murni listrik (eVTOL) dengan daya 216 kWh dan hybrid (hVTOL) 71 kWh. PTDI baru bisa menjelaskan kemampuan mesin eVTOL, memiliki jarak tempur hingga 100 kilometer.

Saat ini, PTDI sedang mengajukan uji layak terbang Vela Alpha kepada Direktorat Kelaikudaraan & Pengoperasian Pesawat Udara (DKPPU) Kementerian Perhubungan. Fun fact, ini bakal menjadi mobil terbang pertama yang dilakukan di kawasan Asia Tenggara


SUMBER ZONAJAKARTA

 

kemampuan Rafale Prancis untuk menembak jatuh jet tempur terbaik AS saat itu sangat signifikan

 

Rafale  Perancis yang di pesan Indonesia sebanya 48 Unit

Pesawat tempur F-22 Raptor dan F-35 Lightning II dari Amerika Serikat merupakan jet tempur terbaik di dunia.

Memiliki kemampuan siluman higga manuver yang super, F-22 dan F-35 seakan tidak mungkin terkalahkan. Kendati demikian, kehadiran pesawat tempur Rafale dari Prancis tak bisa dilupakan begitu saja.

F22 Raptor USA


Terlebih lagi, Rafale kini menjadi pesawat tempur laris manis dengan banyak pelanggan dari berbagai negara di dunia.

Saking larisnya, salah satu media asing membahas mengenai ketenaran Rafale di atas F-22 Raptor. Hal tersebut seperti diberitakan laman The National Interest dalam artikelnya berjudul "F-22 Raptor Defeated? How a French Rafale 'Killed' the World's Top Fighter" edisi 15 September 2024.

Artikel tersebut menerangkan bahwa F-22 bisa dibilang menjadi pesawat tempr yang paling dipuji di seluruh dunia. Ketika pesawat tempur generasi kelima pertama mengudara pada awal tahun 2000-an, masa depan pertempuran udara akan berubah selamanya. Kendati demikian, hal itu tentu saja tidak berarti F-22 tidak dapat dikalahkan.

F-22 diteranggkan menjadi platform pesawat tempur pertama yang menggabungkan kemampuan siluman, manuver super, jelajah super, dan fusi sensor dalam satu rangka pesawat.

Meski kemampuan ini menjadikan F-22 sebagai pesawat legendaris di kalangan penggemar penerbangan dan pakar milier, F-22 tidak sepenuhnya kebal. Kenyataannya, seorang pilot pesawat tempur Prancis pernah 'menembak' F-22 dalam latihan pertempuran.

Meski insiden ini bukan hal baru, kemampuan Rafale Prancis untuk menembak jatuh jet tempur terbaik AS saat itu sangat signifikan.

Peristiwa tersebut terjadi di tahun 2009, satu skuadron F-22 Raptor dari Wing Tempur 1 Angkatan Udara di Virginia terbang ke Uni Emirat Arab (UEA).

Kedatangan mereka ke UEA guna untuk menyelesaikan latihan bersama pesawat tempur Rafale Prancis, Mirage UEA, dan Typhoon Inggris.

Selama latihan bersama tersebut, pesawat tempur dari masing-masing negara saling berhadapan dalam berbagai evolusi pelatihan.

Satu bulan setelah latihan berakhir, Kementerian Pertahanan Prancis menerbitkan rekaman yang menggambarkan F-22 dalam posisi dogfight yang tidak menguntungkan yang terekam oleh kamera depan Rafale.

Kala itu, posisi F-22 yang rentan menyiratkan bahwa pesawat tempur Prancis tersebut telah memenangkan setidaknya ronde dogfight performatif tersebut dengan jet Amerika.

Meski video tersebut telah dirilis, AS membantah bahwa salah satu pesawatnya telah dikalahkan oleh Rafale. Namun, para pilot mengakui bahwa satu F-22 ditembak jatuh oleh Mirage milik UEA selama latihan.

 

Setelah melihat video Rafale vs F-22, para ahli mengakui bahwa pilot Prancis tersebut telah mendorong badan pesawatnya hingga batas maksimal, bahkan mencapai 9G pada satu titik selama adu dogfight.

Kemenangan Rafale atas F-22 seperti yang ditunjukkan dalam video tersebut semakin menunjukkan bahwa terkadang keterampilan pilot lebih penting daripada keunggulan teknologi pada badan pesawat.

Meskipun F-22 secara teknologi lebih unggul daripada Rafale, pilot masih bisa membuat kesalahan. Beberapa tahun sebelum insiden Rafale, F-22 Raptor lainnya dilaporkan dikalahkan oleh F-16 Fighting Falcon selama latihan militer.

Selain itu, jet Growler Angkatan Laut mengulangi prestasi tersebut pada latihan udara yang berbeda di awal tahun 2009.

Pesawat tempur F-22 buatan Lockheed Martin terus memiliki atribut unit dan bahkan tidak dimiliki oleh pesawat tempur generasi kelima yang terbaru, F-35.

F-22 dilengkapi penampang radar kecil dan dua mesin penggerak dorong. Selain itu, F-22 memiliki karakteristik penerbangan supermanuver yang membantunya tidak terdeteksi oleh badan pesawat asing.

Keunggulan lainnya dibandingkan F-35, F-22 memiliki ketinggian dan kecepatan operasional yang lebih tinggi, mencapai Mach 2,25 dan ketinggian 20 km. Kemampuan F-22 tersebut lebih unggul dibandingkan kecepatan F-35 yang di bawah rata-rata yaitu Mach 1,6 dan ketinggian maksimum di bawah 16 km.

Meski 30 persen lebih berat, F-22 tetap jauh lebih mudah bermanuver dengan dua mesin F119 yang menghasilkan rasio dorong/berat yang cukup baik yaitu 1,08.

Namun sampai saat ini, hanya Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF) yang menjadi pengguna F-22 Raptor. Hal tersebut berbanding terbalik dengan Rafale yang banyak memiliki pelanggan di negara-negara di dunia. Seperti baru-baru ini, Prancis telah mengambil hati Serbia untuk mengakuisisi Rafale.

Diberitakan Defense News dalam artikel berjudul "Serbia to buy 12 Rafale fighter jets in nod to European industry" edisi 30 Agustus 2024, Serbia telah membeli 12 unit Rafale.

Keduabelas Rafale dari Dassault Aviation Prancis untuk menggantikan armada MiG-29 milik Serbia. Kontrak untuk sembilan Rafale satu tempat duduk dan tiga Rafale dua tempat duduk bernilai US$3 miliar, menurut media Prancis.

Harga pembelian tersebut mencakup paket logistik tambahan, mesin dan suku cadang, kata Vucic dalam sebuah konferensi pers, Reuters melaporkan. (ZJ)

 

Sumber: Zonajakarta, Defense News, the national interest

 

Tuesday, August 20, 2024

Marwah Republik Semakin Berkibar

Gambar dibawah adalah ilustrasi jet tempur F15 Id khusus untuk Indonesia yang diterbitkan Boeing Company AS seminggu yang lalu. Ini adalah literasi marketing komunikasi digital sebagai bagian dari upaya percepatan proses pengadaan alutsista canggih dan strategis. Untuk apa sih Indonesia melakukan pengadaan berbagai alutsista strategis. Jawabannya, demi marwah, martabat dan harga diri NKRI serta untuk memperkokoh kekuatan. Sebagai informasi Indonesia akan membeli 24 unit jet tempur canggih, twin engine multi role ini. Alhamdulillah.



Marwah Republik Indonesia saat ini and next adalah posisi geopolitik dan geostrategisnya yang membuat pemilik hegemoni AS dan aliansi AUKUS harus berbaik hati dan bermuka manis dengan Jakarta. Salah satu cara "mengurung" China dengan barikade bulan sabit mulai dari Jepang sampai India adalah melihat Indonesia sebagai pemilik teritori strategis di Asia Tenggara. Dan sekaligus bumper pertahanan bagi Australia. Dengan dinamika yang terjadi di kawasan Asia Pasifik khususnya Laut China Selatan, betapa sesungguhnya Indonesia punya bargaining power atau marwah dalam diplomasi multi dimensi.
Contoh, ketika Prabowo menjadi menteri pertahanan, status visa nya masih di ban AS. Padahal mantan Pangkostrad ini sedang giat-giatnya membeli alutsista canggih. Lalu dia berkunjung ke Austria melirik jet tempur Typhoon. AS mulai mikir neh. Karena ada kesulitan teknis kemudian Menhan ke Perancis untuk beli 42 jet tempur Rafale. Nah ketika beliau berkunjung ke Paris, Washington berubah sikap dan mempersilakan Prabowo berkunjung. Nah pada saat Menhan kita berkunjung beberapa bulan kemudian, Pentagon membentangkan karpet merah. Luar biasa.
Inilah marwah dan martabat yang berkelas. Negara adidaya AS harus berhitung ulang untuk Prabowo dan Indonesia. Ternyata da lagi yang lebih bermarwah. Ketika Indonesia teken kontrak 42 jet tempur Rafale dengan Perancis, pada hari yang sama AS menyetujui penjualan 24 jet tempur F15 Id. Benar-benar surprise. Padahal jet tempur F15 ini hanya untuk sekutu AS seperti Korsel, Jepang dan Singapura. Dari sini bisa terlihat betapa marwah Indonesia menguat dalam diplomasi militer.

Rafale


Penguatan alutsista Indonesia juga mengangkat marwah negeri ini. Ingat ketika konflik Ambalat membara antara tahun 2001sd 2008 betapa marwah kita dilecehkan jiran sebelah. 4 pesawat bronco baling-baling TNI AU ketika patroli di Sipadan diusir 3 jet tempur F5E Malaysia. Presiden SBY ketika mengunjungi Ambalat dengan sejumlah KRI mendapat pelecehan dari pesawat Malaysia. Marwah negeri ini berada di titik terendah padahal jiran kita itu bersebelahan rumah lho. Benar-benar kebangetan. Namun saat ini si jiran sudah mati angin di Ambalat sejak kita mulai penguatan alutsista sepanjang 15 tahun terakhir. Marwah negeri kembali berkibar di Ambalat.

F15-ex/id

Sinergitas pembangunan ekonomi kesejahteraan dan investasi pertahanan yang berlangsung saat ini semakin menguatkan marwah republik. Indonesia saat ini berada di urutan 16 besar dunia dalam pencapaian produk domestik bruto (PDB) sehingga masuk grup elite dunia G20. Demikian juga dengan postur kekuatan militer kita menurut GFP (Global Fire Power) ada di urutan 13 besar dunia. Artinya kedua pilar marwah kita yaitu ekonomi kesejahteraan dan investasi pertahanan semakin mengibarkan kekuatan harkat dan martabat republik.
Di usia ke 79 sebuah perjalanan eksistensi yang penuh dengan nilai perjuangan dan kejuangan adalah evidence historis tak terbantahkan tentang definisi marwah kebangsaan. Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah simbol keberanian dan ketangguhan tak tertandingi untuk menegakkan marwah dan harga diri bangsa. Indonesia adalah satu-satunya negara di kawasan ini yang memerdekakan diri dengan perjuangan "timnas full team" darah dan air mata. Berdirinya republik kebanggaan kita ini, bukan karena hadiah dari penjajah sebagaimana negara lain yang ada di sekitar kita.
Betapa nilai capital gain dari perjuangan itu yang kemudian menjadikan negeri jamrud khatulustiwa ini memiliki semangat kebangsaan nasionalis patriotik tak tergantikan. Marwah Republik Indonesia yang tertinggi adalah seluruh anak negeri antar generasi memiliki jiwa nasionalis patriotik yang diakui dunia sampai saat ini. Seremoni dari akhir pertandingan Timnas sepakbola kebanggaan kita adalah salah satu bukti. Ketika lagu "Tanah Airku" menggema berkumandang di stadion megah bersama seluruh pemain di lingkaran lapangan hijau bersama puluhan ribu penonton dan puluhan juta pemirsa mampu membangkitkan semangat kebangsaan kita. Betapa marwah republik menjulang menggema dan menyelinap di relung bathin anak negeri lintas generasi.
Pencapaian republik di usia ke 79 patut kita syukuri. Republik Indonesia adalah sebuah karunia terbesar untuk kita syukuri. Dunia sebenarnya terpana dan kagum dengan sebuah negara multi dimensi. Beribu pulau, beragam etnis, bervariasi bahasa dan aneka budaya membentuk adonan indah megah yang bernama Indonesia. Sebuah maha karya dari perumus dan pendiri republik tentu dengan ridho Allah jadilah sebuah tatanan yang tersaji indah, besar, megah, ramah dan gemah ripah.
Hidup guyup dua ratus delapan puluh juta anak bangsa menyebar di berbagai pulau nusantara. Masya Allah kalau bukan karena kehendak Allah. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan. Mari kita renungkan betapa kita ditakdirkan menjadi bagian dari warga bangsa besar, bangsa yang menghargai jasa para pahlawan. Bangsa multi etnis multi budaya yang mampu mengikatkuatkan kebhinekaannya. Inilah sejatinya akar jatidiri marwah republik. Dirgahayu Indonesia.
****
Oleh: Jagarin Pane (Pengamat Alutsista)
Semarang / 17 Agustus 2024
Nusantara Baru Indonesia Maju

Monday, August 19, 2024

PT Pindad yang Pertama di Dunia Ciptakan Senjata Pelumpuh Senyap SPS-1 Anti Drone Bisa Hancurkan UAV Dengan 2 Cara



Penggunaan Unmanned Aerial Vehicle (UAV) alias drone baik untuk keperluan militer maupun sipil terus meningkat setiap harinya yang bisa memabawa manfaat bisa juga menjadi ancaman. PT Pindad perusahaan yang selama ini bergerak di bidang alat pertahanan rupanya cukup menyadari akan perkembangan penggunaan drone yang semakin meningkat.

Alih-alih ikut membuat drone, PT Pindad justru membuat gebrakan dengan membuat senjata anti UAV. Meski di bidang pertahanan, militer Indonesia, khususnya TNI AL memiliki cita-cita untuk memiliki skadron Unmanned Aerial Vehicle (UAV) alias drone untuk melindungi NKRI. Media asing bahkan ikut penasaran dengan rencana pembentukan skadron UAV oleh TNI AL Indonesia. Hal ini seperti dikutip Zonajakarta.com dari artikel The Defense Post edisi 30 Oktober 2023 yang berjudul "Indonesia Incar Skuadron Drone Buatan Dalam Negeri".

"Militer Indonesia telah mengumumkan niatnya untuk membangun skuadron drone buatan dalam negeri untuk meningkatkan kemampuan pengawasan dan pertahanan udaranya," jelas media berbahasa Inggris tersebut. The Defence Post kemudian membongkar investasi drone yang sudah dilakukan Indonesia. "Awal tahun ini, Kementerian Pertahanan Indonesia mengumumkan bahwa mereka membeli selusin drone militer dari Turki dengan nilai total $300 juta.

Kontrak tersebut juga mencakup penyediaan pelatihan dan simulator penerbangan, yang diharapkan selesai pada November 2025. Meskipun jenis drone spesifiknya tidak diungkapkan, beberapa laporan media menyebutkan itu adalah UAV tempur Anka dari Turkish Aerospace Industries. Pada tahun 2019, anak perusahaan Boeing, Insitu, juga mengatakan pihaknya mendapatkan kontrak senilai hampir $48 juta untuk mengirimkan delapan drone ScanEagle ke Indonesia.

UAV portabel dengan ketinggian rendah ini menawarkan ketahanan penerbangan lebih dari 20 jam dan dapat mendukung operasi intelijen, pengintaian, dan pengawasan di medan perang," jelas The Defence Post. Amerika Serikat (AS) secara sukarela memberikah hibah unmanned aerial vehicles (UAV) alias Drone Boeing Insitu ScanEagle kepada TNI AL Indonesia pada 2021 lalu.

Rencana besar TNI AL Indonesia untuk membentuk skadron UAV diumumkan TNI AL lewat unggahan akun Instagram @tni_angkatan_laut pada 26 Oktober 2023 silam. "'Saat ini TNI AL telah memiliki beberapa Unmanned Aerial Vehicle (UAV) baik buatan luar negeri maupun buatan sendiri, kedepan tentu saja kita akan mengembangkan skuadron UAV dan semua yang terkait dengan peralatan nirawak'.

Hal tersebut dikatakan oleh Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI Muhammad Ali, sesaat setelah memimpin pelaksanaan serah terima tiga jabatan strategis di TNI AL, Kamis (26/10), di Mabesal Cilangkap, Jakarta.

Lebih lanjut menurut Kasal, dengan kemajuan peperangan saat ini, kita dapat melihat bagaimana drone sangat efektif untuk digunakan dalam peperangan saat ini, dan Pusat Penerbangan Angkatan Laut (Puspenerbal) harus menguasai tantangan tersebut. 

Laksamana TNI Muhammad Ali juga menekankan dalam mencetak Sumber Daya Manusia (SDM) pengawak TNI AL yang kompeten dan berkualitas dikaitkan dengan kemajuan teknologi, maka dalam pendidikan TNI AL akan ditingkatkan bukan saja teori tapi penguasaan teknologi informasi dan teknologi kesenjataan," jelas akun Instagram @tni_angkatan_laut kala itu 

Tak cuma menguji penggunaan dan melakukan pengadaan drone, Indonesia rupanya juga menyiapkan alutsista anti drone lewat PT Pindad. PT Pindad memperkenalkan produk inovasi terbaru dalam mengembangkan senjata anti-drone buatan dalam negeri yang diberi nama SPS-1 (Senjata Pelumpuh Senyap seri 1) dan kendaraan Maung MV3 Mobile Jammer pada 17 Agustus 2024 di Ibu Kota Nusantara (IKN). 

dari rilis resmi Pindad, senjata SPS-1 dan Maung MV3 Mobile Jammer ini turut berpartisipasi dalam mendukung pengamanan upacara HUT ke-79 RI di IKN yang dihadiri oleh Presiden RI Joko Widodo dan Presiden terpilih RI, Prabowo Subianto. 

PT Pindad yang Pertama di Dunia Ciptakan Senjata Pelumpuh Senyap SPS-1 Anti Drone Bisa Hancurkan UAV Dengan 2 Cara. Direktur Teknologi dan Pengembangan PT Pindad , Sigit P. Santosa dalam keterangan resmi perusahaan menyampaikan keunggulan dan kontribusi produk inovasi dalam mendukung pertahanan negara. Dengan dukungan teknis dan kesiapan purnajual dalam negeri yang dimiliki,  SPS-1 dan Maung MV3 Mobile Jammer mampu memperkuat pertahanan negara dari gangguan dan ancaman drone ilegal, juga sebagai upaya mewujudkan kemandirian alutsista.

Adapun VP Inovasi, Prima Kharisma menjelaskan  proses pengembangan dan keunikan sistem pertahanan didalamnya yang terintegrasi. "Produk ini merupakan jenis varian kombinasi yang belum pernah dikembangkan sebelumnya di dunia, bisa dibilang original desain from Indonesia yang proses pengembangan kendaraannya, senjatanya, dan komponen jammer terintegrasi menjadi satu sistem kesatuan pertahanan anti-drone " ujar Prima. 

SPS-1 dioperasikan oleh 1 orang personil, andal untuk mobilitas  tinggi karena melekat pada senjata. SPS-1 bertenaga baterai sehingga tidak tergantung kepada power system static. 

SPS-1 memiliki kemampuan menetralisir ancaman drone dengan 2 metode. PT Pindad yang Pertama di Dunia Ciptakan Senjata Pelumpuh Senyap SPS-1 Anti Drone Bisa Hancurkan UAV Dengan 2 Cara

Pertama soft kill untuk menonaktifkan drone yang mengancam dengan menutup akses kendali pada jarak 500 m. Kedua hard kill yang bersifat destruktif atau menghancurkan drone pada jarak 150 m.

Senjata ini didesain mengikuti perkembangan teknologi terkini dan merupakan hasil penyesuaian dengan kebutuhan pengguna.


zona jakarta

  

Friday, August 16, 2024

Layakkah Prancis Menjadi Sahabat Sejati Indonesia?

 

Rafale

ADA misteri apakah di balik kedatangan enam unit jet tempur Dassault Rafale di Indonesia? Pertanyaan ini menarik ditelisik mengingat rombongan alutsista beserta kru yang dibawa Angkatan Udara dan Dirgantara Prancis (AAE) terbilang besar. Selain Rafale, turut dibawa 5 tanker A330 MRTT, 4 pesawat Airbus A400M, dengan total awak yang menyertai 320 orang. baca juga: Indonesia - Prancis Tingkatkan Kerja Sama Pertahanan Secara formal, kehadiran alutsista AAE ke Indonesia adalah untuk mampir setelah mengikuti serangkaian latihan di Pasifik, yakni partisipasi dalam latihan bersama Northern Edge yang dipimpin Komando Amerika Serikat di Pasifik (Guam, Palau, Hawaii), dan penerbangan bersama para mitra Amerika, Inggris, Kanada, Australia, dan Jepang. Sebelum kembali ke negerinya itulah mereka singgah di Indonesia dan melakukan show of force, dari 24 Juli hingga 1 Agustus. Bisa jadi, AAE sengaja datang untuk mempertontonkan langsung Rafale kedatangannya sangat ditunggu publik Tanah Air. Seperti diketahui, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) memborong 42 pesawat canggih tersebut. Hanya saja, 6 pesawat multirole pesanan batch pertama baru bisa bergabung TNI AU untuk memperkuat pertahanan dirgantara pada 2026 nanti. Selain dua alasan di atas, bila dilihat dalam konteks dinamika geopolitik yang berkembang saat ini, kehadiran rombongan besar AAE tersebut menyampaikan pesan politik yang sangat kuat, bahwa Indonesia adalah sahabat Prancis. Indonesia merupakan negeri penting untuk menatap dan membangun masa depan bersama, termasuk dalam bidang pertahanan dan alutsista. Hubungan Indonesia-Prancis memang tengah menapak level tertinggi. Kemesraan diplomatik ini ditunjukkan pada pertemuan two plus two yang melibatkan Menlu Retno Marsudi-Menhan Prabowo Subianto dengan Menlu Prancis Catherine Colonna-Menhan Prancis Sébastien Lecornu di Prancis pada pekan kemarin. Pertemuan two plus two dengan Prancis disebut sebagai kali pertama dilakukan dengan negara Eropa dan yang pertama pula dengan negara B5. Berdasar keterangan Menlu Retno Marsudi, pertemuan digelar untuk memperkokoh kemitraan strategis yang telah dibangun kedua negara, dengan landasan prinsip saling menghormati dan saling menguntungkan. Penguatan kemitraan strategis juga dilakukan untuk memberi kontribusi positif pada terciptanya dunia yang lebih stabil, aman, dan damai. Selain kerja sama ekonomi, terutama menyelesaikan perundingan Indonesia-Europe Union Comprehensive Economic Partnership Agreement, kerja sama transisi energi dan sejumlah bidang lain, kedua negara juga menjadikan kerja sama pertahanan sebagai poin utama pembahasan. Kerja sama yang dibangun bukan sebatas jual beli alutsista, namun juga transfer of technology (ToT), serta pengembangan dan produksi bersama alutsista. baca juga: Shopee Indonesia Membawa Produk-Produk UMKM Menembus Prancis Walaupun sudah ada perjanjian hitam di atas putih, tak dapat dimungkiri skeptisme tentang sejauh mana kekokohan hubungan Indonesia-Prancis masih muncul. Pertanyaan ini muncul berdasar sejumlah alasan logis. Pertama, menganggap Prancis menoleh ke Indonesia untuk meluapkan kekecewaannya setelah Australia mendepaknya dari proyek pembangunan kapal selam Scorpene, dan kemudian negeri kanguru itu membentuk aliansi AUKUS bersama Amerika Serikat (AS) dan Inggris, pada 2021.

Rafale 

Kedua, Prancis mendekati Indonesia dengan orientasi sebagai stepping stone mengamankan kepentingan mereka di Indo Pasifik untuk mengantisipasi ekskalasi konflik akibat langkah invansif China. Ketiga, sangat mungkin Prancis hadir di Indonesia untuk menunjukkan posisinya sebagai kekuatan dunia seperti dipertunjukkan pada kehadirannya di banyak negara Afrika, sejumlah negara Timur Tengah -seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar. Keempat, pendekatan Prancis terhadap Indonesia berorientasi pragmatisme bisnis semata, yakni untuk jual beli Rafale, Airbus A400M, dan mengegolkan rencana pembelian Scorpene. Kelima, Prancis merupakan bagian dari Uni Eropa (UE). Dengan demikian, perilaku politik kolonial yang selalu mau menang sendiri seperti terjadi pada kasus gugatan minyak kelapa sawit dan kebijakan hilirisasi nikel akan tetap mewarnai bangunan kemitraan dengan Indonesia. Ujung dari skeptisme ini adalah, apakah benar Prancis tepat dijadikan mitra strategis Indonesia? Apakah negeri Napoleon itu layak menjadi sahabat sejati yang konsisten saling dukung-mendukung dalam segala dinamika konflik, termasuk saat harus berhadapan dengan AS dan blok barat yang notabene merupakan teman aliansinya di UE ataupun NATO? Jangan-jangan kemitraan yang dibangun hanya sebatas pragmatisme semata, sehingga Prancis sangat rawan berubah sikap dan mencampakkan Indonesia? baca juga: Indonesia Sepakat Borong 42 Jet Tempur Rafale Prancis Jawaban atas pertanyaan tergantung sejumlah variabel, yakni bagaimana kebijakan politik luar negeri Prancis, termasuk vis a vis sekutunya di Nato maupun UE; bagaimana kebijakan penjualan alat utama sistem senjata (alutsista) Prancis ke negara lain, dalam hal ini terkait adanya pemberlakuan embargo militer; dan sejauh mana track record hubungan yang terjalin dengan Indonesia selama ini, khususnya dalam bidang pertahanan. Gaullisme Hubungan diplomatik antar-negara tentu berangkat dari prinsip-prinsip politik luar negeri masing-masing negara. Berdasar Encyclopaedia Britannica (2015), dinamika politik luar negeri dipengaruhi pertimbangan domestik, kebijakan, perilaku negara lain, atau rencana memajukan desain geopolitik tertentu. Bagi Indonesia, politik luar negeri ditujukan untuk melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi seperti tertuang dalam Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. Implementasinya dilakukan dengan prinsip politik luar negeri bebas dan aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional. baca juga: Spesifikasi Mirage 2000-5, Pesawat Tempur Prancis yang Dibeli Indonesia Sedangkan dari pihak Prancis, bangunan hubungan politik luar negerinya tak terlepas dari watak nasionalisme yang kuat, kebanggaan nasional, kecintaan pada sejarah, dan naluri untuk melestarikan budayanya. Karakter demikian misalnya diwujudkan dalam keanggotaannya dalam UE. Di komunitas yang menaungi negara-negara Eropa ini, Prancis menarasikan diri sebagai negara besar yang berposisi sebagai pendiri, memimpin UE bersama Jerman, dan menjadikannya sebagai wadah mengaltikurasikan kepentingan nasional.

Rafale 

Watak politik Prancis yang mengedepankan kebanggaan dan kepentingan nasional tergambar jelas di era kepemimpinan Charles De Gaulle. Sebagai pendiri PBB dan pemegang mandat anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB, pendiri Komunitas Batubara dan Baja Eropa (pendahulu Uni Eropa), Prancis menunjukkan jati dirinya dengan mencoba memblokade pengaruh Amerika Serikat (AS) dan Inggris di komunitas Eropa. Selama kepemimpinannya, De Gaulle mereorientasi kebijakan politik luar negeri Prancis dari pengikut AS menjadi lebih dekat dengan negara-negara non-blok dan berupaya menempatkan dirinya di posisi leader, terutama di kawasan Afrika. Langkah tersebut belakangan menarik minat negara-negar Timur Tengah karena para pemimpin di wilayah itu merasa bisa secara bebas menjalankan kepentingan nasionalnya tanpa terikat pada salah satu blok aliansi. De Gaulle berkeinginan kebijakan yang diusung menjadi landasan bersama membangun hubungan antarbangsa. Kebijakan luar negeri yang tidak lagi sejalan dengan AS atau sekutu barat lainnya dimanifestasikan De Gaulle dalam momen krusial seperti menentang langkah ekspansif Israel pada Palestina dan menggunakan hak veto-nya di DK PBB, serta memihak negara-negara Arab dalam hampir semua masalah yang dibawa ke badan internasional. Untuk alutsista, De Gaulle bahkan memberlakukan embargo senjata terhadap negara Israel, dan di sisi lain kembali menjual persenjataan ke negara-negara Arab. Dampaknya, Prancis mendapat lonjakan kontrak alutsista dari banyak negara, terutama dari Timur Tengah. baca juga: Menteri Suharso Ingin Perkuat Kerja Sama dengan Perancis Jika ditelusuri, ego Prancis secara langsung atau tidak langsung muncul dari sejarah besar yang mereka ukir. Betapa tidak, negeri tersebut adalah salah satu negara kolonial dengan wilayah jajahan terluas di dunia. Penjajahan ini selaras dengan perkembangan kebudayaan mereka, terutama penggunaan bahasa Prancis. Kondisi tersebut bisa disaksikan di sebagian besar negara di benua Afrika. Sikap yang kemudian dikonsepsikan sebagai Gaullisme juga ditunjukkan Jacques Chirac. Indikatornya adalah penolakannya terhadap serangan ke Irak pada 2003, bersama Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden China Hu Jintao, dan Kanselir Jerman Gerhard Schröder. Chirac bahkan tampil sebagai penentang utama perang yang dikomandoi Presiden AS George W. Bush dan Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair, hingga mengancam akan mem-veto resolusi di DK PBB yang akan mengizinkan penggunaan kekuatan militer untuk membersihkan Irak dari dugaan kepemilikan senjata pemusnah massal. Pun kebijakan Emmanuel Macron. Dia mempertajam hubungannya dengan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) dengan fokus tetap pada pembuktian Prancis sebagai kekuatan dunia. Malahan, Macron aktif mendukung keterlibatan kedua negara dalam perang sipil Yaman dan tidak menggubris suara sumbang dari organisasi HAM. Prancis juga menjadi salah satu pemasok senjata penting, seperti kesepakatan Macron dengan Uni UEA pada 2021 untuk memborong alutsista senilai 16 miliar Euro. Pembelian di antaranya untuk akusisi 80 pesawat tempur Rafale yang ditingkatkan. Jejak Kerja Sama Alutsista Sebagai negara berkembang dengan wilayah kepulauan yang sangat luas dan berada di persilangan jalur utama pelayaran dunia, Indonesia membutuhkan alutsista mumpuni untuk memastikan terjaminnya pertahanan dan keamanan. Untuk itulah, pemerintah mencari berbagai jenis alutsista dari negara-negara produsen utama dunia seperti AS, Rusia, Inggris, Prancis, Turki dan negara lainnya. Dengan Prancis, Indonesia pada 1960-an tercatat mendatangkan 275 tank AMX-13. Tank ringan tersebut hingga kini masih aktif beroperasi setelah mengalami program retrofit. Alutsista terkemuka buatan Prancis lain yang diakusisi Indonesia adalah rudal strategis Exocet, tepatnya di tahun 1980-an. Hingga kini TNI AL masih menjadi pengguna rudal tersebut. Radar yang digunakan TNI AU juga buatan pabrikan Prancis, Thales, yakni radar Thomson Alutsista asal Prancis lainnya yang menjadi tulang punggung pertahanan Indonesia adalah meriam Caesar 155 produksi Nexter

 

Tank AMX-13 yang sudah diretrofit

Selain jual beli putus, Indonesia-Prancis juga kerja sama produksi alutsista dalam bentuk tranfer of knowledge (ToT). Salah produk yang populer adalah panser Anoa 6x6 Pindad yang mengadopsi panser VAB Prancis. Kerja sama bersifat jangka panjang dan berlangsung hingga saat ini dengan mengembangkan berbagai varian panser. baca juga: Kembangkan Geothermal, PLN Pelajari Proyek di Kawasan Padat Penduduk Perancis Seiring dengan keluarnya UU No 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, kerja sama dengan skema ToT kian intensif digalakkan. Dalam konteks ini Prancis menjadi salah satu negara terdepan. Misalnya, Arquus dari Prancis berkolaborasi dengan Pindad meningkatkan kualitas panser Anoa dan panser kanon Badak 6x6. Pindad juga menjalin kerja sama dengan Nexter untuk memproduksi amunisi kaliber besar, dalam hal ini amunisi tank 120 mm. Tak ketinggalan, PT Dahana merangkul dua perusahaan Prancis, Eurenco dan Roxel, untuk membuat propelan yang merupakan bahan dasar pembuatan amunisi. Dari catatan sejarah kerja sama alutsista Indonesia-Prancis, belum tercoreng noda hitam berupa embargo yang merupakan momok TNI. Sikap Prancis ini berseberangan dengan sekutunya seperti AS dan Inggris yang kerap menggunakan instrumen embargo untuk membatasi kerja sama militer, pembelian, dan penggunaan alutsista kepada Indonesia. Bahkan Prancis konsisten memberi kesempatan kepada Indonesia untuk mengakusisi alutsista produksinya hingga melakukan kerja sama pengembangan, termasuk untuk teknologi militer penting seperti amunisi, propelan, hingga radar. Kemitraan Terus Menguat Hubungan bilateral Indonesia-Prancis resmi berlangsung mulai September 1950. Sejak saat itu, hubungan menunjukkan konsistensi dan tren positif melalui kerja sama di berbagai sektor dan bentuk. Selanjutnya menginjak 2011, kedua negara bersepakat meningkatkan hubungan tersebut ke level kemitraan strategis. Momen penting ini terjadi saat Perdana Menteri François Fillon berkunjung ke Indonesia pada 30 Juni - 2 Juli. Pada fase awal, kemitraan fokus pada lima bidang kerja sama, yaitu perdagangan dan investasi, pendidikan, industri pertahanan, sosial dan budaya atau people-to-people contacts, dan penanganan dampak perubahan iklim. Kemitraan strategis diperkuat pada Maret 2017, saat Presiden François Hollande berkunjung ke Jakarta bertemu Presiden Joko Widodo . Pada kesempatan itu kedua pemimpin bersepakat terus memperluas kerja sama, khususnya di bidang ekonomi kreatif, pendidikan, maritim, pembangunan kota berkelanjutan, energi, pertahanan, serta infrastruktur. Khusus untuk kerja sama pertahanan, sudah menjadi fokus utama sebelum Indonesia-Prancis menjalin kemitraan strategis disepakati. Pada 1996, kementerian pertahanan kedua negara meneken memorandum of understanding (MOU) untuk cooperation in equipment, logistics dan defense industries. Kerja sama ini kemudian ditingkatkan lebih lanjut melalui penyelenggaraan military bilateral talks antara Mabes TNI Cilangkap dengan AP French Headquarters untuk menggarap kerja sama bidang pendidikan, pertukaran informasi, dan forum dialog. baca juga: Kemhan Teken Kontrak Pengadaan 13 Unit Sistem Radar GCI dari Perancis Hubungan bilateral Indonesia-Prancis semakin hangat di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kerja sama pertahanan kedua negara secara kongkrit ditindaklanjuti dengan lima kerja sama baru yang diteken Menhan Prabowo Subianto dan Menteri Angkatan Bersenjata Republik Prancis Florence Parly di Jakarta.

Caesar 155 TNI AD


Kerja sama dimaksud meliputi kontrak pembelian pesawat tempur Rafale dari perusahaan penerbangan Dassault Aviation, MoU kerja sama di bidang riset dan pengembangan kapal selam antara PT PAL Indonesia (Persero) dan Naval Group, MoU kerja sama program offset dan ToT antara Dassault dan PT Dirgantara Indonesia (Persero), MoU kerja sama PT Len Industri (Persero) dengan Thales Group untuk menyediakan radar canggih Ground Master 400 yang berdaya jangkau 515 km, serta kerja sama pembuatan munisi kaliber besar antara PT Pindad (Persero) dan Nexter Munition. Tidak cukup dengan level kerja sama yang telah ada, kedua negara menaikkan kerja sama pertahanan pada status tertinggi, yang ditandai dengan penandatanganan Persetujuan Kerja Sama Pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA) pada 28 Juni 2021, oleh Prabowo dengan Florence Parly. Kesepakatan itu diiringi dengan penguatan kerja sama pertahanan, khususnya untuk pembuatan alutsista. Menteri Parly menegaskan kesepakatan sebagai bentuk tekad negaranya mendukung secara aktif program-program strategis besar Indonesia, seperti untuk mengembangkan industri pertahanan Indonesia. Ia menganggap kontrak pembelian pesawat Rafale sebagai bukti kuatnya level kemitraan strategis kedua negara, termasuk memajukan industri pertahanan Indonesia. Pilihan Strategis Dalam politik, termasuk politik luar negeri, adagium threre is no permanent friend but only permanent interest tetap menjadi pegangan. Kendati demikian, negara-negara -termasuk Indonesia- harus tetap mengedepankan pilihan rasional dengan mempertimbangkan aspek internal-internal tanpa menanggalkan prinsip politik luar negeri. Termasuk, untuk mencari sahabat dalam mengembangkan bidang pertahanan, khususnya dalam memperkuat alutsista yang dibutuhkan untuk pertahanan negara dan membangun kemandirian alutsista. Keputusan yang harus diambil Indonesia tidaklah mudah, karena masing-masing memiliki konsekuensi. Negeri ini tidak mungkin bergantung pada AS dan sekutu baratnya yang telah mencatatkan noda hitam dalam sejarah pertahanan dan militer Indonesia melalui kebijakan yang diskriminatif, sanksi militer, embargo, serta mental kolonialisme mereka yang selalu mau menangnya sendiri. Di sisi lain, walaupun memiliki komitmen sangat tinggi, Indonesia sangat sulit merangkul Rusia karena ganjalan instrument hukum AS yang disebut CAATSA. Apalagi pasca-pecahnya perang dengan Ukraina. baca juga: MUI Heran Media Prancis Kok Permasalahkan Suara Azan di Indonesia Sementara Prancis merupakan negara dengan kemampuan advance di bidang militer dan negara produsen senjata terbesar ketiga di dunia. Kapasitasnya tidak lah kalah dengan negara-negara maju lain seperti AS, Rusia, Inggris, hingga China. Tak kalah pentingnya adalah Prancis memiliki kemandirian yang kuat untuk memproduksi alutsista. Hal ini dibuktikan dengan penolakan Prancis bergabung dengan konsorsium Inggris, Jerman, Spanyol membuat pesawat Eurofighter Typhoon dan memilih mengembangkan Rafale sendiri. Selain Rafale, alutsista made Prancis yang diakui kapabilitasnya adalah kapal serbu amfibhi kelas Mistral, Tank Lecrelc, helikopter EC 665 Tiger, meriam Caesar, kapal selam Scorpene, berbagai jenis kapal perang, hingga rudal Exocet yang sangat melegenda dan battle proven dalam sejumlah medan laga dunia. Karena itulah, bekerja sama dengan Prancis merupakan pilihan rasional ekaligus pilihan strategis. Selain karena penguasaan state of the art teknologi militer, watak politik Gaullisme lebih menjamin keamanan dan kenyamaaan kerja sama partahanan. Dukungan Prancis terhadap Saudi Arabia dan UEA terkait konflik Yaman menjadi bukti kesetiaan Prancis terhadap negara sahabatnya. Tak kalah pentingnya, dengan ego sebagai negara besar dan orientasi politik luar negeri yang mengedepankan kepentingan nasional membuat Prancis relatif independen dalam menghadapi tekanan AS dan sekutu baratnya.

Panser VAB TNI AD

Semenjak membangun hubungan bilateral dengan Indonesia pada 1950, Prancis juga menunjukkan track record positif dan komitmen kuat untuk menjaga hubungan yang terbangun dan terus meningkatkan kerja sama, termasuk mendukung pengadaan alutsista dan membantu Indonesia agar mampu memproduksi alutsista secara mandiri. DCA yang telah diteken kedua negara dan pertemuan two plus two menjadi milestone penting Indonesia dan Prancis untuk menatap masa depan kerja sama pertahanan lebih kuat. Seperti disampaikan Menhan Prabowo Subianto, melalui pertemuan two plus two ini Presiden Joko Widodo menghendaki peningkatan kerja sama di bidang pertahanan, termasuk di dalamnya program ToT dan akuisisi alutsista, berjalan signifikan. Dengan demikian, kerja sama di bidang pertahanan antar kedua negara bisa berjalan untuk jangka waktu yang panjang. (*)

Panser ANOA TNI AD


By Alex Aji SAPUTRA

Sumber : SINDO NEWS

Korea Setuju Kurangi Porsi Pembayaran RI dalam Proyek Jet Tempur KF-21



Korea Selatan menerima usulan Indonesia untuk mengurangi porsi pembayaran yang signifikan dalam proyek bersama mengembangkan jet tempur baru.

Badan Program Akuisisi Pertahanan (DAPA), mengatakan pihaknya menyetujui usulan pemotongan kontribusi Jakarta terhadap proyek KF-21 dari 1,6 triliun won (Rp18,5 triliun) menjadi 600 miliar won (Rp6,9 triliun), sekitar sepertiga dari jumlah awal.

"Kami mempertimbangkan hubungan bilateral antara kedua negara dan faktor-faktor lain seperti apakah kami akan mampu menutupi lubang keuangan," kata DAPA dalam sebuah pernyataan pada Jumat (16/8/2024), seperti dikutip Korea Times.

"Setelah menyelesaikan kesepakatan pembagian biaya (baru) dengan Indonesia, kami akan berusaha memenuhi harapan publik dengan menyelesaikan proyek tersebut dengan sukses," tambah badan pengadaan senjata negara Korsel tersebut.




Keputusan ini muncul di tengah perjuangan Indonesia untuk memenuhi kewajibannya membayar bagiannya dari proyek tersebut.

Pejabat DAPA mengatakan manfaat yang akan diperoleh pemerintah Indonesia dari proyek tersebut, yaitu transfer teknologi, juga akan dikurangi secara proporsional. Namun, mereka belum memberikan perincian tentang bagaimana mereka akan melakukannya.

Indonesia awalnya setuju untuk mendanai 20% dari program senilai 8,1 triliun won, yang diluncurkan pada tahun 2015 untuk mengembangkan jet tempur supersonik canggih.

Namun, Indonesia sejauh ini hanya tercatat menyumbang sekitar 400 miliar won. Mengutip masalah ekonomi yang muncul selama dan setelah pandemi Covid-19, DAPA meminta pemerintah dan perusahaan peserta di Korea untuk mengurangi tanggung jawab keuangannya.

Keputusan untuk menerima permintaan tersebut berarti bahwa peserta Korea, pemerintah Korea dan Korea Aerospace Industries (KAI), yang awalnya masing-masing menanggung 60% dan 20% ddari total biaya, sekarang harus menyerap dampak keuangan tersebut.

Pada catatan positif, pejabat Korea mengatakan mereka telah menemukan cara untuk memangkas total biaya proyek menjadi 7,6 triliun won. Ini berarti mitra Korea harus membayar tambahan 500 miliar won untuk menyelesaikannya pada tahun 2026 sesuai jadwal.



Meskipun pembayaran tertunda, proyek tersebut berjalan sesuai rencana untuk mulai mengirimkan jet tempur canggih tersebut, yang dirancang untuk menggantikan jet F-4 dan F-5 Korea era Perang Dingin, ke Angkatan Udara pada tahun 2026. 

Pada Juli, DAPA mengatakan KAI secara resmi memulai produksi KF-21 di kantor pusatnya di Sacheon, Provinsi Gyeongsang Selatan.

Pada bulan sebelumnya, KAI menandatangani perjanjian senilai 1,96 triliun won dengan DAPA untuk membangun 20 unit KF-21 hingga tahun 2027. Militer Korea berupaya untuk membangun lebih banyak unit dan mengoperasikan total 120 KF-21 pada tahun 2032. Model produksi pertama dijadwalkan akan dikirimkan ke Angkatan Udara pada akhir tahun 2026.

Sumber CNBC NEWS

BERITA POLULER