Pages

Monday, August 19, 2024

PT Pindad yang Pertama di Dunia Ciptakan Senjata Pelumpuh Senyap SPS-1 Anti Drone Bisa Hancurkan UAV Dengan 2 Cara



Penggunaan Unmanned Aerial Vehicle (UAV) alias drone baik untuk keperluan militer maupun sipil terus meningkat setiap harinya yang bisa memabawa manfaat bisa juga menjadi ancaman. PT Pindad perusahaan yang selama ini bergerak di bidang alat pertahanan rupanya cukup menyadari akan perkembangan penggunaan drone yang semakin meningkat.

Alih-alih ikut membuat drone, PT Pindad justru membuat gebrakan dengan membuat senjata anti UAV. Meski di bidang pertahanan, militer Indonesia, khususnya TNI AL memiliki cita-cita untuk memiliki skadron Unmanned Aerial Vehicle (UAV) alias drone untuk melindungi NKRI. Media asing bahkan ikut penasaran dengan rencana pembentukan skadron UAV oleh TNI AL Indonesia. Hal ini seperti dikutip Zonajakarta.com dari artikel The Defense Post edisi 30 Oktober 2023 yang berjudul "Indonesia Incar Skuadron Drone Buatan Dalam Negeri".

"Militer Indonesia telah mengumumkan niatnya untuk membangun skuadron drone buatan dalam negeri untuk meningkatkan kemampuan pengawasan dan pertahanan udaranya," jelas media berbahasa Inggris tersebut. The Defence Post kemudian membongkar investasi drone yang sudah dilakukan Indonesia. "Awal tahun ini, Kementerian Pertahanan Indonesia mengumumkan bahwa mereka membeli selusin drone militer dari Turki dengan nilai total $300 juta.

Kontrak tersebut juga mencakup penyediaan pelatihan dan simulator penerbangan, yang diharapkan selesai pada November 2025. Meskipun jenis drone spesifiknya tidak diungkapkan, beberapa laporan media menyebutkan itu adalah UAV tempur Anka dari Turkish Aerospace Industries. Pada tahun 2019, anak perusahaan Boeing, Insitu, juga mengatakan pihaknya mendapatkan kontrak senilai hampir $48 juta untuk mengirimkan delapan drone ScanEagle ke Indonesia.

UAV portabel dengan ketinggian rendah ini menawarkan ketahanan penerbangan lebih dari 20 jam dan dapat mendukung operasi intelijen, pengintaian, dan pengawasan di medan perang," jelas The Defence Post. Amerika Serikat (AS) secara sukarela memberikah hibah unmanned aerial vehicles (UAV) alias Drone Boeing Insitu ScanEagle kepada TNI AL Indonesia pada 2021 lalu.

Rencana besar TNI AL Indonesia untuk membentuk skadron UAV diumumkan TNI AL lewat unggahan akun Instagram @tni_angkatan_laut pada 26 Oktober 2023 silam. "'Saat ini TNI AL telah memiliki beberapa Unmanned Aerial Vehicle (UAV) baik buatan luar negeri maupun buatan sendiri, kedepan tentu saja kita akan mengembangkan skuadron UAV dan semua yang terkait dengan peralatan nirawak'.

Hal tersebut dikatakan oleh Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI Muhammad Ali, sesaat setelah memimpin pelaksanaan serah terima tiga jabatan strategis di TNI AL, Kamis (26/10), di Mabesal Cilangkap, Jakarta.

Lebih lanjut menurut Kasal, dengan kemajuan peperangan saat ini, kita dapat melihat bagaimana drone sangat efektif untuk digunakan dalam peperangan saat ini, dan Pusat Penerbangan Angkatan Laut (Puspenerbal) harus menguasai tantangan tersebut. 

Laksamana TNI Muhammad Ali juga menekankan dalam mencetak Sumber Daya Manusia (SDM) pengawak TNI AL yang kompeten dan berkualitas dikaitkan dengan kemajuan teknologi, maka dalam pendidikan TNI AL akan ditingkatkan bukan saja teori tapi penguasaan teknologi informasi dan teknologi kesenjataan," jelas akun Instagram @tni_angkatan_laut kala itu 

Tak cuma menguji penggunaan dan melakukan pengadaan drone, Indonesia rupanya juga menyiapkan alutsista anti drone lewat PT Pindad. PT Pindad memperkenalkan produk inovasi terbaru dalam mengembangkan senjata anti-drone buatan dalam negeri yang diberi nama SPS-1 (Senjata Pelumpuh Senyap seri 1) dan kendaraan Maung MV3 Mobile Jammer pada 17 Agustus 2024 di Ibu Kota Nusantara (IKN). 

dari rilis resmi Pindad, senjata SPS-1 dan Maung MV3 Mobile Jammer ini turut berpartisipasi dalam mendukung pengamanan upacara HUT ke-79 RI di IKN yang dihadiri oleh Presiden RI Joko Widodo dan Presiden terpilih RI, Prabowo Subianto. 

PT Pindad yang Pertama di Dunia Ciptakan Senjata Pelumpuh Senyap SPS-1 Anti Drone Bisa Hancurkan UAV Dengan 2 Cara. Direktur Teknologi dan Pengembangan PT Pindad , Sigit P. Santosa dalam keterangan resmi perusahaan menyampaikan keunggulan dan kontribusi produk inovasi dalam mendukung pertahanan negara. Dengan dukungan teknis dan kesiapan purnajual dalam negeri yang dimiliki,  SPS-1 dan Maung MV3 Mobile Jammer mampu memperkuat pertahanan negara dari gangguan dan ancaman drone ilegal, juga sebagai upaya mewujudkan kemandirian alutsista.

Adapun VP Inovasi, Prima Kharisma menjelaskan  proses pengembangan dan keunikan sistem pertahanan didalamnya yang terintegrasi. "Produk ini merupakan jenis varian kombinasi yang belum pernah dikembangkan sebelumnya di dunia, bisa dibilang original desain from Indonesia yang proses pengembangan kendaraannya, senjatanya, dan komponen jammer terintegrasi menjadi satu sistem kesatuan pertahanan anti-drone " ujar Prima. 

SPS-1 dioperasikan oleh 1 orang personil, andal untuk mobilitas  tinggi karena melekat pada senjata. SPS-1 bertenaga baterai sehingga tidak tergantung kepada power system static. 

SPS-1 memiliki kemampuan menetralisir ancaman drone dengan 2 metode. PT Pindad yang Pertama di Dunia Ciptakan Senjata Pelumpuh Senyap SPS-1 Anti Drone Bisa Hancurkan UAV Dengan 2 Cara

Pertama soft kill untuk menonaktifkan drone yang mengancam dengan menutup akses kendali pada jarak 500 m. Kedua hard kill yang bersifat destruktif atau menghancurkan drone pada jarak 150 m.

Senjata ini didesain mengikuti perkembangan teknologi terkini dan merupakan hasil penyesuaian dengan kebutuhan pengguna.


zona jakarta

  

Friday, August 16, 2024

Layakkah Prancis Menjadi Sahabat Sejati Indonesia?

 

Rafale

ADA misteri apakah di balik kedatangan enam unit jet tempur Dassault Rafale di Indonesia? Pertanyaan ini menarik ditelisik mengingat rombongan alutsista beserta kru yang dibawa Angkatan Udara dan Dirgantara Prancis (AAE) terbilang besar. Selain Rafale, turut dibawa 5 tanker A330 MRTT, 4 pesawat Airbus A400M, dengan total awak yang menyertai 320 orang. baca juga: Indonesia - Prancis Tingkatkan Kerja Sama Pertahanan Secara formal, kehadiran alutsista AAE ke Indonesia adalah untuk mampir setelah mengikuti serangkaian latihan di Pasifik, yakni partisipasi dalam latihan bersama Northern Edge yang dipimpin Komando Amerika Serikat di Pasifik (Guam, Palau, Hawaii), dan penerbangan bersama para mitra Amerika, Inggris, Kanada, Australia, dan Jepang. Sebelum kembali ke negerinya itulah mereka singgah di Indonesia dan melakukan show of force, dari 24 Juli hingga 1 Agustus. Bisa jadi, AAE sengaja datang untuk mempertontonkan langsung Rafale kedatangannya sangat ditunggu publik Tanah Air. Seperti diketahui, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) memborong 42 pesawat canggih tersebut. Hanya saja, 6 pesawat multirole pesanan batch pertama baru bisa bergabung TNI AU untuk memperkuat pertahanan dirgantara pada 2026 nanti. Selain dua alasan di atas, bila dilihat dalam konteks dinamika geopolitik yang berkembang saat ini, kehadiran rombongan besar AAE tersebut menyampaikan pesan politik yang sangat kuat, bahwa Indonesia adalah sahabat Prancis. Indonesia merupakan negeri penting untuk menatap dan membangun masa depan bersama, termasuk dalam bidang pertahanan dan alutsista. Hubungan Indonesia-Prancis memang tengah menapak level tertinggi. Kemesraan diplomatik ini ditunjukkan pada pertemuan two plus two yang melibatkan Menlu Retno Marsudi-Menhan Prabowo Subianto dengan Menlu Prancis Catherine Colonna-Menhan Prancis Sébastien Lecornu di Prancis pada pekan kemarin. Pertemuan two plus two dengan Prancis disebut sebagai kali pertama dilakukan dengan negara Eropa dan yang pertama pula dengan negara B5. Berdasar keterangan Menlu Retno Marsudi, pertemuan digelar untuk memperkokoh kemitraan strategis yang telah dibangun kedua negara, dengan landasan prinsip saling menghormati dan saling menguntungkan. Penguatan kemitraan strategis juga dilakukan untuk memberi kontribusi positif pada terciptanya dunia yang lebih stabil, aman, dan damai. Selain kerja sama ekonomi, terutama menyelesaikan perundingan Indonesia-Europe Union Comprehensive Economic Partnership Agreement, kerja sama transisi energi dan sejumlah bidang lain, kedua negara juga menjadikan kerja sama pertahanan sebagai poin utama pembahasan. Kerja sama yang dibangun bukan sebatas jual beli alutsista, namun juga transfer of technology (ToT), serta pengembangan dan produksi bersama alutsista. baca juga: Shopee Indonesia Membawa Produk-Produk UMKM Menembus Prancis Walaupun sudah ada perjanjian hitam di atas putih, tak dapat dimungkiri skeptisme tentang sejauh mana kekokohan hubungan Indonesia-Prancis masih muncul. Pertanyaan ini muncul berdasar sejumlah alasan logis. Pertama, menganggap Prancis menoleh ke Indonesia untuk meluapkan kekecewaannya setelah Australia mendepaknya dari proyek pembangunan kapal selam Scorpene, dan kemudian negeri kanguru itu membentuk aliansi AUKUS bersama Amerika Serikat (AS) dan Inggris, pada 2021.

Rafale 

Kedua, Prancis mendekati Indonesia dengan orientasi sebagai stepping stone mengamankan kepentingan mereka di Indo Pasifik untuk mengantisipasi ekskalasi konflik akibat langkah invansif China. Ketiga, sangat mungkin Prancis hadir di Indonesia untuk menunjukkan posisinya sebagai kekuatan dunia seperti dipertunjukkan pada kehadirannya di banyak negara Afrika, sejumlah negara Timur Tengah -seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar. Keempat, pendekatan Prancis terhadap Indonesia berorientasi pragmatisme bisnis semata, yakni untuk jual beli Rafale, Airbus A400M, dan mengegolkan rencana pembelian Scorpene. Kelima, Prancis merupakan bagian dari Uni Eropa (UE). Dengan demikian, perilaku politik kolonial yang selalu mau menang sendiri seperti terjadi pada kasus gugatan minyak kelapa sawit dan kebijakan hilirisasi nikel akan tetap mewarnai bangunan kemitraan dengan Indonesia. Ujung dari skeptisme ini adalah, apakah benar Prancis tepat dijadikan mitra strategis Indonesia? Apakah negeri Napoleon itu layak menjadi sahabat sejati yang konsisten saling dukung-mendukung dalam segala dinamika konflik, termasuk saat harus berhadapan dengan AS dan blok barat yang notabene merupakan teman aliansinya di UE ataupun NATO? Jangan-jangan kemitraan yang dibangun hanya sebatas pragmatisme semata, sehingga Prancis sangat rawan berubah sikap dan mencampakkan Indonesia? baca juga: Indonesia Sepakat Borong 42 Jet Tempur Rafale Prancis Jawaban atas pertanyaan tergantung sejumlah variabel, yakni bagaimana kebijakan politik luar negeri Prancis, termasuk vis a vis sekutunya di Nato maupun UE; bagaimana kebijakan penjualan alat utama sistem senjata (alutsista) Prancis ke negara lain, dalam hal ini terkait adanya pemberlakuan embargo militer; dan sejauh mana track record hubungan yang terjalin dengan Indonesia selama ini, khususnya dalam bidang pertahanan. Gaullisme Hubungan diplomatik antar-negara tentu berangkat dari prinsip-prinsip politik luar negeri masing-masing negara. Berdasar Encyclopaedia Britannica (2015), dinamika politik luar negeri dipengaruhi pertimbangan domestik, kebijakan, perilaku negara lain, atau rencana memajukan desain geopolitik tertentu. Bagi Indonesia, politik luar negeri ditujukan untuk melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi seperti tertuang dalam Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. Implementasinya dilakukan dengan prinsip politik luar negeri bebas dan aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional. baca juga: Spesifikasi Mirage 2000-5, Pesawat Tempur Prancis yang Dibeli Indonesia Sedangkan dari pihak Prancis, bangunan hubungan politik luar negerinya tak terlepas dari watak nasionalisme yang kuat, kebanggaan nasional, kecintaan pada sejarah, dan naluri untuk melestarikan budayanya. Karakter demikian misalnya diwujudkan dalam keanggotaannya dalam UE. Di komunitas yang menaungi negara-negara Eropa ini, Prancis menarasikan diri sebagai negara besar yang berposisi sebagai pendiri, memimpin UE bersama Jerman, dan menjadikannya sebagai wadah mengaltikurasikan kepentingan nasional.

Rafale 

Watak politik Prancis yang mengedepankan kebanggaan dan kepentingan nasional tergambar jelas di era kepemimpinan Charles De Gaulle. Sebagai pendiri PBB dan pemegang mandat anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB, pendiri Komunitas Batubara dan Baja Eropa (pendahulu Uni Eropa), Prancis menunjukkan jati dirinya dengan mencoba memblokade pengaruh Amerika Serikat (AS) dan Inggris di komunitas Eropa. Selama kepemimpinannya, De Gaulle mereorientasi kebijakan politik luar negeri Prancis dari pengikut AS menjadi lebih dekat dengan negara-negara non-blok dan berupaya menempatkan dirinya di posisi leader, terutama di kawasan Afrika. Langkah tersebut belakangan menarik minat negara-negar Timur Tengah karena para pemimpin di wilayah itu merasa bisa secara bebas menjalankan kepentingan nasionalnya tanpa terikat pada salah satu blok aliansi. De Gaulle berkeinginan kebijakan yang diusung menjadi landasan bersama membangun hubungan antarbangsa. Kebijakan luar negeri yang tidak lagi sejalan dengan AS atau sekutu barat lainnya dimanifestasikan De Gaulle dalam momen krusial seperti menentang langkah ekspansif Israel pada Palestina dan menggunakan hak veto-nya di DK PBB, serta memihak negara-negara Arab dalam hampir semua masalah yang dibawa ke badan internasional. Untuk alutsista, De Gaulle bahkan memberlakukan embargo senjata terhadap negara Israel, dan di sisi lain kembali menjual persenjataan ke negara-negara Arab. Dampaknya, Prancis mendapat lonjakan kontrak alutsista dari banyak negara, terutama dari Timur Tengah. baca juga: Menteri Suharso Ingin Perkuat Kerja Sama dengan Perancis Jika ditelusuri, ego Prancis secara langsung atau tidak langsung muncul dari sejarah besar yang mereka ukir. Betapa tidak, negeri tersebut adalah salah satu negara kolonial dengan wilayah jajahan terluas di dunia. Penjajahan ini selaras dengan perkembangan kebudayaan mereka, terutama penggunaan bahasa Prancis. Kondisi tersebut bisa disaksikan di sebagian besar negara di benua Afrika. Sikap yang kemudian dikonsepsikan sebagai Gaullisme juga ditunjukkan Jacques Chirac. Indikatornya adalah penolakannya terhadap serangan ke Irak pada 2003, bersama Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden China Hu Jintao, dan Kanselir Jerman Gerhard Schröder. Chirac bahkan tampil sebagai penentang utama perang yang dikomandoi Presiden AS George W. Bush dan Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair, hingga mengancam akan mem-veto resolusi di DK PBB yang akan mengizinkan penggunaan kekuatan militer untuk membersihkan Irak dari dugaan kepemilikan senjata pemusnah massal. Pun kebijakan Emmanuel Macron. Dia mempertajam hubungannya dengan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) dengan fokus tetap pada pembuktian Prancis sebagai kekuatan dunia. Malahan, Macron aktif mendukung keterlibatan kedua negara dalam perang sipil Yaman dan tidak menggubris suara sumbang dari organisasi HAM. Prancis juga menjadi salah satu pemasok senjata penting, seperti kesepakatan Macron dengan Uni UEA pada 2021 untuk memborong alutsista senilai 16 miliar Euro. Pembelian di antaranya untuk akusisi 80 pesawat tempur Rafale yang ditingkatkan. Jejak Kerja Sama Alutsista Sebagai negara berkembang dengan wilayah kepulauan yang sangat luas dan berada di persilangan jalur utama pelayaran dunia, Indonesia membutuhkan alutsista mumpuni untuk memastikan terjaminnya pertahanan dan keamanan. Untuk itulah, pemerintah mencari berbagai jenis alutsista dari negara-negara produsen utama dunia seperti AS, Rusia, Inggris, Prancis, Turki dan negara lainnya. Dengan Prancis, Indonesia pada 1960-an tercatat mendatangkan 275 tank AMX-13. Tank ringan tersebut hingga kini masih aktif beroperasi setelah mengalami program retrofit. Alutsista terkemuka buatan Prancis lain yang diakusisi Indonesia adalah rudal strategis Exocet, tepatnya di tahun 1980-an. Hingga kini TNI AL masih menjadi pengguna rudal tersebut. Radar yang digunakan TNI AU juga buatan pabrikan Prancis, Thales, yakni radar Thomson Alutsista asal Prancis lainnya yang menjadi tulang punggung pertahanan Indonesia adalah meriam Caesar 155 produksi Nexter

 

Tank AMX-13 yang sudah diretrofit

Selain jual beli putus, Indonesia-Prancis juga kerja sama produksi alutsista dalam bentuk tranfer of knowledge (ToT). Salah produk yang populer adalah panser Anoa 6x6 Pindad yang mengadopsi panser VAB Prancis. Kerja sama bersifat jangka panjang dan berlangsung hingga saat ini dengan mengembangkan berbagai varian panser. baca juga: Kembangkan Geothermal, PLN Pelajari Proyek di Kawasan Padat Penduduk Perancis Seiring dengan keluarnya UU No 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, kerja sama dengan skema ToT kian intensif digalakkan. Dalam konteks ini Prancis menjadi salah satu negara terdepan. Misalnya, Arquus dari Prancis berkolaborasi dengan Pindad meningkatkan kualitas panser Anoa dan panser kanon Badak 6x6. Pindad juga menjalin kerja sama dengan Nexter untuk memproduksi amunisi kaliber besar, dalam hal ini amunisi tank 120 mm. Tak ketinggalan, PT Dahana merangkul dua perusahaan Prancis, Eurenco dan Roxel, untuk membuat propelan yang merupakan bahan dasar pembuatan amunisi. Dari catatan sejarah kerja sama alutsista Indonesia-Prancis, belum tercoreng noda hitam berupa embargo yang merupakan momok TNI. Sikap Prancis ini berseberangan dengan sekutunya seperti AS dan Inggris yang kerap menggunakan instrumen embargo untuk membatasi kerja sama militer, pembelian, dan penggunaan alutsista kepada Indonesia. Bahkan Prancis konsisten memberi kesempatan kepada Indonesia untuk mengakusisi alutsista produksinya hingga melakukan kerja sama pengembangan, termasuk untuk teknologi militer penting seperti amunisi, propelan, hingga radar. Kemitraan Terus Menguat Hubungan bilateral Indonesia-Prancis resmi berlangsung mulai September 1950. Sejak saat itu, hubungan menunjukkan konsistensi dan tren positif melalui kerja sama di berbagai sektor dan bentuk. Selanjutnya menginjak 2011, kedua negara bersepakat meningkatkan hubungan tersebut ke level kemitraan strategis. Momen penting ini terjadi saat Perdana Menteri François Fillon berkunjung ke Indonesia pada 30 Juni - 2 Juli. Pada fase awal, kemitraan fokus pada lima bidang kerja sama, yaitu perdagangan dan investasi, pendidikan, industri pertahanan, sosial dan budaya atau people-to-people contacts, dan penanganan dampak perubahan iklim. Kemitraan strategis diperkuat pada Maret 2017, saat Presiden François Hollande berkunjung ke Jakarta bertemu Presiden Joko Widodo . Pada kesempatan itu kedua pemimpin bersepakat terus memperluas kerja sama, khususnya di bidang ekonomi kreatif, pendidikan, maritim, pembangunan kota berkelanjutan, energi, pertahanan, serta infrastruktur. Khusus untuk kerja sama pertahanan, sudah menjadi fokus utama sebelum Indonesia-Prancis menjalin kemitraan strategis disepakati. Pada 1996, kementerian pertahanan kedua negara meneken memorandum of understanding (MOU) untuk cooperation in equipment, logistics dan defense industries. Kerja sama ini kemudian ditingkatkan lebih lanjut melalui penyelenggaraan military bilateral talks antara Mabes TNI Cilangkap dengan AP French Headquarters untuk menggarap kerja sama bidang pendidikan, pertukaran informasi, dan forum dialog. baca juga: Kemhan Teken Kontrak Pengadaan 13 Unit Sistem Radar GCI dari Perancis Hubungan bilateral Indonesia-Prancis semakin hangat di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kerja sama pertahanan kedua negara secara kongkrit ditindaklanjuti dengan lima kerja sama baru yang diteken Menhan Prabowo Subianto dan Menteri Angkatan Bersenjata Republik Prancis Florence Parly di Jakarta.

Caesar 155 TNI AD


Kerja sama dimaksud meliputi kontrak pembelian pesawat tempur Rafale dari perusahaan penerbangan Dassault Aviation, MoU kerja sama di bidang riset dan pengembangan kapal selam antara PT PAL Indonesia (Persero) dan Naval Group, MoU kerja sama program offset dan ToT antara Dassault dan PT Dirgantara Indonesia (Persero), MoU kerja sama PT Len Industri (Persero) dengan Thales Group untuk menyediakan radar canggih Ground Master 400 yang berdaya jangkau 515 km, serta kerja sama pembuatan munisi kaliber besar antara PT Pindad (Persero) dan Nexter Munition. Tidak cukup dengan level kerja sama yang telah ada, kedua negara menaikkan kerja sama pertahanan pada status tertinggi, yang ditandai dengan penandatanganan Persetujuan Kerja Sama Pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA) pada 28 Juni 2021, oleh Prabowo dengan Florence Parly. Kesepakatan itu diiringi dengan penguatan kerja sama pertahanan, khususnya untuk pembuatan alutsista. Menteri Parly menegaskan kesepakatan sebagai bentuk tekad negaranya mendukung secara aktif program-program strategis besar Indonesia, seperti untuk mengembangkan industri pertahanan Indonesia. Ia menganggap kontrak pembelian pesawat Rafale sebagai bukti kuatnya level kemitraan strategis kedua negara, termasuk memajukan industri pertahanan Indonesia. Pilihan Strategis Dalam politik, termasuk politik luar negeri, adagium threre is no permanent friend but only permanent interest tetap menjadi pegangan. Kendati demikian, negara-negara -termasuk Indonesia- harus tetap mengedepankan pilihan rasional dengan mempertimbangkan aspek internal-internal tanpa menanggalkan prinsip politik luar negeri. Termasuk, untuk mencari sahabat dalam mengembangkan bidang pertahanan, khususnya dalam memperkuat alutsista yang dibutuhkan untuk pertahanan negara dan membangun kemandirian alutsista. Keputusan yang harus diambil Indonesia tidaklah mudah, karena masing-masing memiliki konsekuensi. Negeri ini tidak mungkin bergantung pada AS dan sekutu baratnya yang telah mencatatkan noda hitam dalam sejarah pertahanan dan militer Indonesia melalui kebijakan yang diskriminatif, sanksi militer, embargo, serta mental kolonialisme mereka yang selalu mau menangnya sendiri. Di sisi lain, walaupun memiliki komitmen sangat tinggi, Indonesia sangat sulit merangkul Rusia karena ganjalan instrument hukum AS yang disebut CAATSA. Apalagi pasca-pecahnya perang dengan Ukraina. baca juga: MUI Heran Media Prancis Kok Permasalahkan Suara Azan di Indonesia Sementara Prancis merupakan negara dengan kemampuan advance di bidang militer dan negara produsen senjata terbesar ketiga di dunia. Kapasitasnya tidak lah kalah dengan negara-negara maju lain seperti AS, Rusia, Inggris, hingga China. Tak kalah pentingnya adalah Prancis memiliki kemandirian yang kuat untuk memproduksi alutsista. Hal ini dibuktikan dengan penolakan Prancis bergabung dengan konsorsium Inggris, Jerman, Spanyol membuat pesawat Eurofighter Typhoon dan memilih mengembangkan Rafale sendiri. Selain Rafale, alutsista made Prancis yang diakui kapabilitasnya adalah kapal serbu amfibhi kelas Mistral, Tank Lecrelc, helikopter EC 665 Tiger, meriam Caesar, kapal selam Scorpene, berbagai jenis kapal perang, hingga rudal Exocet yang sangat melegenda dan battle proven dalam sejumlah medan laga dunia. Karena itulah, bekerja sama dengan Prancis merupakan pilihan rasional ekaligus pilihan strategis. Selain karena penguasaan state of the art teknologi militer, watak politik Gaullisme lebih menjamin keamanan dan kenyamaaan kerja sama partahanan. Dukungan Prancis terhadap Saudi Arabia dan UEA terkait konflik Yaman menjadi bukti kesetiaan Prancis terhadap negara sahabatnya. Tak kalah pentingnya, dengan ego sebagai negara besar dan orientasi politik luar negeri yang mengedepankan kepentingan nasional membuat Prancis relatif independen dalam menghadapi tekanan AS dan sekutu baratnya.

Panser VAB TNI AD

Semenjak membangun hubungan bilateral dengan Indonesia pada 1950, Prancis juga menunjukkan track record positif dan komitmen kuat untuk menjaga hubungan yang terbangun dan terus meningkatkan kerja sama, termasuk mendukung pengadaan alutsista dan membantu Indonesia agar mampu memproduksi alutsista secara mandiri. DCA yang telah diteken kedua negara dan pertemuan two plus two menjadi milestone penting Indonesia dan Prancis untuk menatap masa depan kerja sama pertahanan lebih kuat. Seperti disampaikan Menhan Prabowo Subianto, melalui pertemuan two plus two ini Presiden Joko Widodo menghendaki peningkatan kerja sama di bidang pertahanan, termasuk di dalamnya program ToT dan akuisisi alutsista, berjalan signifikan. Dengan demikian, kerja sama di bidang pertahanan antar kedua negara bisa berjalan untuk jangka waktu yang panjang. (*)

Panser ANOA TNI AD


By Alex Aji SAPUTRA

Sumber : SINDO NEWS

Korea Setuju Kurangi Porsi Pembayaran RI dalam Proyek Jet Tempur KF-21



Korea Selatan menerima usulan Indonesia untuk mengurangi porsi pembayaran yang signifikan dalam proyek bersama mengembangkan jet tempur baru.

Badan Program Akuisisi Pertahanan (DAPA), mengatakan pihaknya menyetujui usulan pemotongan kontribusi Jakarta terhadap proyek KF-21 dari 1,6 triliun won (Rp18,5 triliun) menjadi 600 miliar won (Rp6,9 triliun), sekitar sepertiga dari jumlah awal.

"Kami mempertimbangkan hubungan bilateral antara kedua negara dan faktor-faktor lain seperti apakah kami akan mampu menutupi lubang keuangan," kata DAPA dalam sebuah pernyataan pada Jumat (16/8/2024), seperti dikutip Korea Times.

"Setelah menyelesaikan kesepakatan pembagian biaya (baru) dengan Indonesia, kami akan berusaha memenuhi harapan publik dengan menyelesaikan proyek tersebut dengan sukses," tambah badan pengadaan senjata negara Korsel tersebut.




Keputusan ini muncul di tengah perjuangan Indonesia untuk memenuhi kewajibannya membayar bagiannya dari proyek tersebut.

Pejabat DAPA mengatakan manfaat yang akan diperoleh pemerintah Indonesia dari proyek tersebut, yaitu transfer teknologi, juga akan dikurangi secara proporsional. Namun, mereka belum memberikan perincian tentang bagaimana mereka akan melakukannya.

Indonesia awalnya setuju untuk mendanai 20% dari program senilai 8,1 triliun won, yang diluncurkan pada tahun 2015 untuk mengembangkan jet tempur supersonik canggih.

Namun, Indonesia sejauh ini hanya tercatat menyumbang sekitar 400 miliar won. Mengutip masalah ekonomi yang muncul selama dan setelah pandemi Covid-19, DAPA meminta pemerintah dan perusahaan peserta di Korea untuk mengurangi tanggung jawab keuangannya.

Keputusan untuk menerima permintaan tersebut berarti bahwa peserta Korea, pemerintah Korea dan Korea Aerospace Industries (KAI), yang awalnya masing-masing menanggung 60% dan 20% ddari total biaya, sekarang harus menyerap dampak keuangan tersebut.

Pada catatan positif, pejabat Korea mengatakan mereka telah menemukan cara untuk memangkas total biaya proyek menjadi 7,6 triliun won. Ini berarti mitra Korea harus membayar tambahan 500 miliar won untuk menyelesaikannya pada tahun 2026 sesuai jadwal.



Meskipun pembayaran tertunda, proyek tersebut berjalan sesuai rencana untuk mulai mengirimkan jet tempur canggih tersebut, yang dirancang untuk menggantikan jet F-4 dan F-5 Korea era Perang Dingin, ke Angkatan Udara pada tahun 2026. 

Pada Juli, DAPA mengatakan KAI secara resmi memulai produksi KF-21 di kantor pusatnya di Sacheon, Provinsi Gyeongsang Selatan.

Pada bulan sebelumnya, KAI menandatangani perjanjian senilai 1,96 triliun won dengan DAPA untuk membangun 20 unit KF-21 hingga tahun 2027. Militer Korea berupaya untuk membangun lebih banyak unit dan mengoperasikan total 120 KF-21 pada tahun 2032. Model produksi pertama dijadwalkan akan dikirimkan ke Angkatan Udara pada akhir tahun 2026.

Sumber CNBC NEWS

Tuesday, August 6, 2024

F-22 Raptor jet tempur siluman kebanggaan Amerika Serikat (AS) Mendarat di Indonesia ( Bali)

 


F-22 Raptor jet tempur siluman kebanggaan Amerika Serikat (AS) sudah dihadapi TNI AU pakai F-16 di ajang Pitch Black 2024 di Australia. Di hari keempat latihan AMX Pitch Black 2024, TNI AU Indonesia mendapat pengalaman berharga saat menghadapi F-22 Raptor Amerika Serikat.

Memasuki hari keempat latihan Multinasional Air Maneuver Exercise (AMX) Pitch Black 2024, delegasi TNI AU melaksanakan latihan bersama pesawat tempur generasi kelima F-22 Raptor milik Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF) di Langit Darwin, Northern Territory, Australia, pada Kamis (18/07/2024).


Pada latihan tersebut, dua pesawat tempur F-16 Fighting Falcon milik TNI AU berlatih melaksanakan manuver pertempuran dengan dua F-22 Raptor USAF. F-16 TNI AU Sudah Dekat Tapi Sensornya Tetap Tak Bisa Tangkap F-22 Raptor Amerika Serikat yang dalam 3 Detik Bisa Balik Arah 180 Derajat

Sebelumnya, pada sesi latihan pagi, TNI AU mengerahkan empat pesawat tempur F-16 Fighting Falcon untuk berlatih dengan empat JAS-39 Gripen milik Royal Thai Air Force (RTAF). Latihan tidak hanya berfokus pada penguasaan teknik terbang, tetapi juga mencakup Dissimilar Air Combat Training (DACT) dan Dissimilar Air Combat Manuever (DACM).

Usai melaksanakan latihan, Kapten Pnb Hangga "Rocket" memuji kemampuan manuver F-22 Raptor dalam kondisi pertempuran kecepatan rendah dan pelaksanaan manuver Super High Angle of Attack yang memungkinkan pesawat tersebut berbalik arah 180 derajat dalam waktu kurang dari tiga detik.

Sementara itu, Kapten Pnb Didik "Frigate" mengungkapkan bahwa kemampuan stealth F-22 Raptor terbukti tidak terdeteksi oleh sensor pesawat hingga jarak yang cukup dekat.

Menurutnya, hal ini merupakan kesempatan berharga bagi penerbang TNI AU untuk menambah pengalaman dan pembelajaran di masa yang akan datang. Sebagai bagian terakhir dari fase Force Integration Training (FIT), latihan ini akan memasuki fase Large Force Employment (LFE).TNI Angkatan Udara (TNI AU) dan US Pacific Air Forces (US PACAF) telah menyelesaikan Iron Blade Fighter Interaction Site Survey dan Fighter Logistic Subject Matter Expert Exchange (SMEE) 2024 di Lanud I Gusti Ngurah Rai, Badung dari tanggal 11 hingga 13 Juni 2024.

Site survey dilakukan sebagai persiapan kedatangan enam pesawat F-22 Raptor dari 27th Fighter Squadron, yang akan transit di Indonesia setelah berpartisipasi dalam latihan militer multinasional Pitch Black 24 di Australia pada bulan Agustus mendatang. F-22 Raptor dijadwalkan melaksanakan hot pit refueling di Bali sebelum melanjutkan perjalanan ke Brunei Darussalam. Kunjungan ini menandai momen bersejarah, karena untuk pertama kalinya pesawat F-22 Raptor akan mendarat dan transit di Indonesia.

 Selain site survey, kegiatan mencakup Fighter Logistic SMEE yang melibatkan penerbang dan teknisi dari Skadron Udara 3 Lanud Iswahjudi dan Skadron Udara 16 Lanud Roesmin Nurjadin. Para penerbang dan teknisi tersebut mendapatkan pengalaman dan pengetahuan dari personel US PACAF tentang persiapan expeditionary mission dan rapid deployment di daerah operasi. Kini AS pecah telor membawa jet tempur siluman generasi kelima miliknya mendarat ke Indonesia.



Bukan di Jakarta, F-22 Raptor justru dibawa AS ke Indonesia untuk mendarat di Bali.

Empat jet tempur F-22 generasi kelima dari Skuadron Tempur Ekspedisi ke-27, Pangkalan Gabungan Langley-Eustis, Virginia, mendarat di Bandara Internasional Bali pada tanggal 6 Agustus 2024.

dari rilis resmi Kedutaan Besar dan Konsulat AS di Indonesia pada 6 Agustus 2024, pendaratan ini menandai pertama kalinya pesawat generasi kelima AS mendarat di Indonesia.

Kunjungan Angkatan Udara Amerika Serikat, yang direncanakan dengan koordinasi Pemerintah Indonesia, memberikan kesempatan kepada pilot dan tim perawatan untuk meningkatkan kesadaran akan operasi wilayah udara Indonesia dan menguji kemampuan pengisian bahan bakar cepat.

Kedutaan besar AS menyebut pada bulan November 2023, Menteri Pertahanan Austin dan Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto menandatangani Perjanjian Kerja Sama Pertahanan yang bersejarah dan membahas cara-cara untuk memperluas kesempatan pelatihan, meningkatkan pertukaran pendidikan, dan meningkatkan kesadaran domain maritim.

Angkatan Udara Amerika Serikat melakukan pelatihan dan keterlibatan rutin dengan Indonesia untuk lebih mengembangkan kemampuan operasional dan memastikan kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.


zonajakarta

 

Sunday, August 4, 2024

Keterlibatan Indonesia Tak Kunjung Berlanjut, KF-21 Boramae Mengungguli Rafale dan Eurofighter Typhoon

 


Korea Aerospace Industries (KAI) seolah terus meninggalkan Indonesia dalam pengembangan jet tempur KF-21 Boramae yang didesain mengungguli Rafale. Indonesia sebenarnya sudah melakukan kontrak dengan KAI untuk melakukan kerja sama produksi K-21 Boramae.

Indonesia sepakat memasok patungan sebensar 20 persen dan akan mendapatkan pesawat beserta transfer teknologi. Namun, dalam perkembangannya, kerja sama ini mengalami kemacetan karena ada perbedaan persepsi soal pendanaan.

Setelah itu, KAI seolah meninggalkan Indonesia dan terus mengembangkan pesawat tersebut. Bahkan, produksi jet tempur Korea itu terus digalakkan untuk memenuhi permintaan Angkatan Udara Korea Selatan dan permintaan luar negeri.

Sebelumnya, KF-21 Boramae didesain sebagai jet tempur generasi 4,5, setara jet tempur Rafale buatan Dassault Aviation. Indonesia baru saja menyetujui untuk mengakuisisi 42 Rafele dari Prancis. Ternyata, KF-21 Boramae terus dikembangkan untuk mengungguli Rafale.

Dalam wawancara dengan surat kabar Korea seperti dikutip defencesecurityasia.com, 4 Agustus 2024, CEO KAI, Kang Goo-young menyatakan, KF-21 akan mengungguli jet tempur generasi 4,5 seperti Rafale atau Eurofighter Typhoon.

"Mengklasifikasi KF-21 Boramae sebagai jet tempur generasi ke-4,5 menggarisbawahi kemampuannya. Kalau diperbandingkan dengan jet tempur seperti Rafale dan Eurofighter Typhoon, KF-21 lebih superior," kata Kang Goo-young.

"Bahkan, saya menyatakan bahwa ini (KF-21) adalah jet tempur generasi 4,9, mendekati kemampuan pesawat generasi 5 dalam hal performa dan kemampuannya," tegasnya.

Kang goo-young menegaskan, kemampua Seksi Radar Jelajah atau Radar Cross Section (RCS) yang dimiliki KF-21 dikembangkan KAI untuk lebih superior daripada jet tempur generasi 4,5. Bahkann, kemampuan RCS KF-21 bersaing dengan yang dimiliki pesawat tempur generasi ke-5.

Maka, KAI yakin KF-21 Boramae akan lebih baik daripada pesawat semacam F-16, Rafale, Eurofighter Typhoon, dan F-15. Kang Goo-young memberi catatan, KF-21 deikembangkan dengan Fourth Industrial Revolution Technologies, termasuk Artificial Intelligence (AI) dan Big Data.

Sehingga, KF-21 Boramae akan menjadi pesawat tempur modern yang memiliki perangkat canggih. Dia juga menyebut bahwa pesawat seperti Rafale dan F-16 sebenarnya hanya pesawat generasi ke-3 yang di-upgrade menjadi pesawat generasi 4,5.

 

 

Umur kedua pesawat itu juga sudah tua dan hanya melakukan upgrading dari tahun ke tahun. Pesawat F-16 Fighting Falcon dikembangkan Lockheed Martin dan pertama kali diterbangkan pada 1974, hampir 50 tahun lalu. Sedangkan Rafale dikembangkan Dassault Aviation dan pertama kali diterbangkan pada 1986 atau 38 tahun lalu.

Sedangkan, KF-21 Boramae baru pertama kali diterbangkan pada 2022, atau dua tahun lalu. "KF-21 akan berevolusi menjadi pesawat generasi ke-5 dan memiliki potensi untuk menjadi pesawat tempur generasi ke-6," tegas Kang Goo-young.

Dijelaskan pula, KF-21 dilengkapi dengan radar Active Electronically Scanne Array (AESA) dan berbagai sistem serta sensor modern. Kelebihan lain dari KF-21 adalah biayanya lebih rendah 30 sampai 40 persen dibandingkan pesawat tempur sekelas. KF-21 Boramae melakukan penerbangan pertama pada 2022 dan terus dilakukan berbagai percobaan hingga terbang selama 2.000 kali.

Selama itu pula, berbagai ujian dilakukan hingga ditemukan berbagai terobosan yang diperlukan untuk mendapatkan pesawat tempur KF-21 yang maksimal.H ingga saat ini, pengembangan KF-21 sudah menacapai 80 persen.

KAI akan memproduksi kelompok pertama 20 pesawat KF-21 generasi 4,5 untuk Angkatan Udara Korea Selatan (ROKAF) yang diperkirakan selesai pada 2026. Sebanyak 20 unit KF-21 Block I yang diproduksi merupakan pesawat tempur yang didesain melakukan misi udara-ke-udara.

Setelah itu diikuti produksi 20 unit KF-21 Block II yang memiliki kemampuan misi udara-ke-darat. Meski Indonesia belum bergerak untuk memperbaiki kontrak dalam proyek KF-21, KAI menyatakan sudah memiliki potensi pasar luar negeri. Negara-negara yang sudah menyatakan tertarik membeli KF-21 adalah malaysia, Filipina, Irak, Polandia, dan Thailand. KF-21 akan dijual dengan harga 65 juta dolar AS atau sekitar Rp 1 triliun.

Harga ini jauh lebih murah daripada harga pesawat generasi 4,5 lainnya, sehingga akan semakin diminati banyak negara. ***

Monday, July 8, 2024

Mana Mesin yang Akan Dipakai Antara F110 GE129 dan TF10000 Jika Indonesia Jadi Beli KAAN dari Turki?

 


Indonesia diinfokan medapat tawaran untuk pengadaan jet tempur stealth/siluman KAAN setelah kunjungan kerja delegasi dari pihak turki  Turki dalam hal ini kemhan turki ke Kantor Kemhan RI beberapa waktu lalu.

namun Turki sendiri masih membuat pilihan apakah harus memilih menggunakan mesin F110 GE129 terlebih dahulu atau langsung menggunakan TF10000 sebagai mesin penopang KAAN saat sudah diproduksi massal.

Kebimbangan ini disinyalir turut mempengaruhi keputusan Indonesia setelah Turki menawarinya untuk kesekian kali setelah pertengahan 2023 lalu. Sebagaimana diketahui, Indonesia pernah menyatakan ketertarikannya untuk membeli KAAN yang digadang-gadang bakal menjadi pesaing berat dari F-35.

"Kita juga sedang menjajaki kerja sama dengan Turki yaitu mengembangkan jet tempur generasi lima," kata Menhan Prabowo dikutip ZONAJAKARTA.com dari kanal YouTube Garuda TV pada 16 Juni 2023. Namun karena satu dan lain hal, keinginan tersebut sampai saat ini belum ditindaklanjuti dengan upaya untuk mencapai kata sepakat.



Faktor anggaran kerap disebut-sebut menjadi salah satu pemicunya. Selain itu, negeri ini cenderung berfokus pada pelunasan 42 unit Rafale yang akhirnya tuntas diselesaikan tepat 9 Januari 2024 lalu.

Apabila dicermati lebih jauh, persoalan internal bukanlah semata-mata alasan Indonesia untuk tidak buru-buru merespons tawaran jet tempur KAAN dari Turki. Bahkan penawaran pesawat buatan Turkish Aerospace Industries (TAI) itu masih dihantui oleh kebimbangan untuk menentukan mesin penopang dari pihak produsen.

Padahal saat pesawat melakoni launching tepat 21 Februari 2024 lalu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dibuat berdecak kagum atas performanya. Usut punya usut, TF10000 yang digadang-gadang menjadi mesin penopang KAAN dengan spesifikasi lebih canggih dan diproduksi Turki sendiri belum dipastikan kapan akan segera memasuki tahap finishing.

Mesin dengan daya dorong sebesar 6.000 lbf itu semula akan langsung dipasangkan ketika KAAN nantinya diproduksi massal. Namun menurut pemberitaan laman Defence Security Asia pada Minggu, 26 Mei 2024, Ankara kemudian masih terus mengupayakan lisensi produksi F110 GE129 sebagai mesin penopang jet tempur tersebut untuk tahap awal.

Sebab mesin tersebut masih dianggap layak digunakan ketika pesawat melakukan uji coba penerbangan perdana walau hanya sebatas mencapai kecepatan maksimum Mach 1,8.

 

Di sisi lain Turki memang memiliki maksud terselubung di balik upayanya mengejar lisensi produksi F110 GE129 dari General Electric. Tujuannya agar Negeri Seribu Pagoda itu bisa menggunakannya pada 40 unit F-16 Block 70 alias Viper yang mereka pesan akhir Januari 2024 lalu. Sehingga diharapkan kombinasi F-16 Viper dengan KAAN akan menjadikan angkatan udara mereka semakin strong di kawasan Mediterania.

Mengenai mesin penopang KAAN yang akan digunakan Indonesia jika jadi membelinya, Turki sampai saat ini belum bisa memberikan kejelasan lebih lanjut. Hanya saja pilihan di antara F110 GE129 dan TF10000 menjadi sangat penting untuk diperhatikan karena akan berpengaruh pada performa sekaligus harga yang harus dibayarkan.

Jika F110 GE129 hanya mampu membuat KAAN melaju hingga kecepatan Mach 1,8, tidak demikian halnya dengan TF10000 karena mampu membuat pesawat yang sama bisa mencapai kecepatan supersonik atau di atas Mach 3.

Andaikata TAI selaku pabrikan pesawat memberikan opsi, Indonesia bisa memilih sesuai kebutuhan tempur yang diperlukan TNI AU serta alokasi anggaran yang tersedia.

Bahkan kombinasi dua opsi pun bisa diambil secara proporsional tergantung jumlah unit pesawat yang dipesan. Terlepas dari polemik mesin yang bakal digunakan, pembelian KAAN akan memberikan benefit yang luar biasa bagi kemajuan pertahanan udara tanah air.

"Kerja sama dengan Turki dapat memberikan kontribusi signifikan dalam pengembangan teknologi pertahanan, serta peningkatan kapasitas militer Indonesia, termasuk pertukaran pengetahuan dan pelajar militer," tutur Wamenhan RI Herindra dikutip dari laman kemhan.go.id pada Rabu, 22 Mei 2024.

ZONAJAKARTA

 

 

TNI AU Bukan Sekedar Peserta, Indonesia Didapuk Jadi Komandan Misi Pimpin 150 Pesawat Asing di Pitch Black 2024 Australia

 


TNI AU Indonesia adalah salah satu peserta di ajang latihan Pitch Black yang bergengsi yang diselenggarakan di Australia. Dikutip Zonajakarta.com dari situs Royal Australian Air Force (RAAF) , Pitch Black merupakan latihan penggunaan kekuatan besar multi-nasional dua tahunan selama tiga minggu yang dilakukan terutama dari Pangkalan RAAF Darwin dan Pangkalan RAAF Tindal.

Latihan seperti ini sangat penting untuk memastikan Angkatan Udara tetap siap memberikan respons kapan pun Pemerintah Australia memerlukannya. Pelatihan dan integrasi kekuatan yang terjadi pada latihan ini secara langsung mendukung kemampuan RAAF dalam melakukan operasi.

Latihan Pitch Black menampilkan serangkaian ancaman simulasi dan realistis yang dapat ditemukan di lingkungan ruang pertempuran modern dan merupakan kesempatan untuk menguji dan meningkatkan integrasi kekuatan, dengan memanfaatkan salah satu wilayah pelatihan udara terbesar di dunia.

Menurut rilis Australian Government pada 15 Februari 2024, Latihan Militer Pitch Black 2024 (PBK24) adalah latihan militer besar Australia dan Internasional yang menggabungkan berbagai aktivitas terbang taktis di seluruh Australia utara selama periode 15 Juli hingga 1 Agustus 2024. Pesawat akan beroperasi dari Darwin dan Tindal. Kegiatan ini akan dilakukan dari Darwin dan Tindal, dan akan mencakup sejumlah besar kawasan terlarang dan berbahaya di NT (Northern Territory).

Untuk memastikan keselamatan publik dan memenuhi tujuan pelatihan, sejumlah besar area terlarang dan berbahaya militer akan diaktifkan. Selain itu, prosedur pendukung, seperti jendela prioritas MIL di Bandar Udara Darwin dan saran mengenai kebutuhan bahan bakar tambahan, diperlukan untuk mengakomodasi operasi jet cepat dengan kepadatan tinggi yang memiliki daya tahan terbatas.

Prosedur-prosedur ini berkaitan untuk memastikan bahwa lalu lintas militer dan sipil dapat dikelola dengan aman dengan tantangan tambahan pekerjaan landasan pacu Darwin yang dijadwalkan sepanjang tahun 2024. Waktunya telah ditentukan melalui konsultasi dengan ATC Darwin dan Bandara Internasional Darwin (DIA), dan telah disetujui. dirancang untuk memastikan kesenjangan yang cukup untuk semua jenis lalu lintas untuk difasilitasi dalam jam ATC. Selain itu, pesawat milik pasukan militer Australia dan Internasional akan melakukan flypast di atas Pantai Mindil sebagai bagian dari acara komunitas lokal pada malam hari Kamis tanggal 18 Juli.

Untuk menjamin keselamatan penerbangan, pesawat yang tidak berpartisipasi tidak akan dapat lepas landas atau mendarat di Darwin selama durasi flypast, atau operasi terbang dengan Zona Kontrol selama periode ini (durasi 90 menit).

Penerbangan prioritas, seperti penerbangan dengan keadaan darurat yang dinyatakan, atau untuk mendukung perlindungan jiwa dan harta benda (MEDEVAC, SAR) harus difasilitasi jika aman untuk dilakukan.

Meski pemerintah Australia awalnya menjadwalkan acara latihan Pitch Black 2024 pada 15 Juli hingga 1 Agustus 2024, namun dalam konferensi perencanaan final jadwal nampaknya dimajukan. 

Hal ini seperti dikutip Zonajakarta.com dari akun Instagram @militer.udara pada 21 April 2024 menyebut latihan multinasional Pitch Black 2024 yang akan dilaksanakan di RAAF Base Darwin pada tanggal 12 Juli 2024 hingga 3 Agustus 2024 mendatang sudah memasuki tahap Final Planning Conferrence.

Delegasi TNI AU yang terlibat dalam tahap finalisasi planning latihan ini diantaranya Letkol Pnb Ripdho Utomo, Mayor Pnb Ferry Rachman, Kapten Pnb Windi Darmawan dan Lettu Pnb Sulistyo Laksono Cahyo selaku Ops Planner, kemudian Kapten Tek Farid A. Winasis selaku Logs Planner serta didampingi Atase udara Kolonel Nav Mohammad Jausan, S.Pd., M.Eng. sebagai security advisor.

Pada latihan ini, penerbang TNI AU akan berkesempatan menjadi Mission Commander dalam sebuah misi latihan Large Force Employment dan memimpin lebih dari 150 pesawat tempur Multinational. 1100 sorties penerbangan dan 4500 personel dilibatkan dalam latihan yang berlangsung selama 3 minggu ini.

Latihan ini juga merupakan sarana untuk menunjukan kemampuan TNI Angkatan Udara demi mewujudkan TNI AU yang AMPUH (Adaptif, Modern, Profesional, Unggul dan Humanis) dalam menjaga kedaulatan NKRI dan stabilitas keamanan di kawasan.

 zonajakarta

BERITA POLULER