Pages

Monday, January 9, 2012

Panglima TNI: Hercules Hibah Perlu Peningkatan Kemampuan


 
BEN BORG CARDONA / AFP
Jurnas.com | PANGLIMA TNI Laksamana Agus Suhartono menyebutkan, yang perlu dilakukan saat ini terkait hibah empat unit pesawat angkut berat Hercules C-130 H series dari Pemerintah Australia adalah menyiapkan peningkatan kemampuan pesawat bekas tersebut. “Pemerintah Australia sudah menyetujui hibah itu. Sekarang tinggal bagaimana caranya meningkatkan kemampuan Hercules agar layak terbang,” kata Panglima TNI di Jakarta, Senin (9/1).

Sebelumnya, Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama Azman Yunus memperkirakan, pesawat tersebut memerlukan pemeliharaan structure dan airframe pesawat atau Programme Depot Maintainance (PDM).

Selain itu, lanjut Panglima, hibah Hercules ini memerlukan persetujuan beberapa pihak. Di dalam negeri, hibah ini harus diajukan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan. Di luar negeri, hibah ini harus mendapat persetujuan dari Pemerintah AS selaku produsen Hercules.

Pemerintah AS menerapkan kebijakan seluruh alutsista produksi AS harus mendapatkan persetujuan Negeri Paman Sam itu jika akan dihibahkan ke negara lain. "Tapi kelihatannya Pemerintah AS sudah setuju," imbuh Panglima.

sumber : JURNAS

Soal Papua Nugini, Pemerintah Tak Boleh Kalah Gertak

TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Tjahjo Kumolo, menyayangkan sikap Perdana Menteri Papua Nugini Peter O'Neill yang mengertak pemerintah Indonesia terkait dengan patroli udara TNI AU terhadap pesawat-pesawat Papua Nugini.

Menurut Tjahjo, patroli udara TNI AU terhadap pesawat penumpang Papua Nugini yang melewati batas wilayah Indonesia itu sudah sesuai dengan prosedur tetap (protap) internasional.

"Pemerintah jangan kalah gertak," kata anggota Komisi Pertahanan DPR dalam pesan pendeknya yang diterima Tempo, Ahad 8 Januari 2012. "Papua Nugini juga tidak bisa seenaknya menggertak Republik Indonesia karena TNI AU berhak menjaga kedaulatan wilayah."

Ketua Fraksi PDIP meminta Kementerian Luar Negeri segera merespons gertakan yang dilontarkan PM O'Neill itu. "Apa pun harga diri kehormatan Indonesia harus tetap kita jaga," kata Tjahjo menandaskan.

Ditegaskan oleh Tjahjo, apa pun yang dilakukan oleh TNI AU sudah benar, dan sudah sesuai dengan prosedur. "Harus ada ancaman balik. Kalau Papua Nugini akan mengusir Dubes RI, ya, kita usir juga Duta Besar Papua Nugini di Indonesia," katanya menegaskan.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin menilai sikap Perdana Menteri Papua Nugini yang akan mengusir Dubes RI itu berlebihan dan overacting.

"Sudah menjadi tugas patroli penerbang-penerbang TNI AU mendeteksi dan mengecek pesawat-pesawat yang melintas di wilayah NKRI," kata Tubagus Hasanuddin. "Apalagi pesawat itu dikategorikan sebagai pesawat 'tidak dikenal' atau 'ragu-ragu dikenal'."

Karena itu, menurut purnawirawan TNI tersebut, tak ada yang salah dari patroli-patroli TNI AU. "Itu merupakan prosedur yang layak di mana pun di semua negara berdaulat. Kalau PM Papua Nugini tidak bersedia menerima penjelasan resmi pemerintah RI, saya menyarankan agar segera putuskan hubungan diplomatik dengan Papua Nugini," ujarnya.

sumber Tempo.co

Beginilah Aksi 37 Menit 'Menjepit' Jet Papua Nugini

 

foto
Pesawat Jet P2-ANW Dassault Falcon 900EX, yang dioperasikan maskapai Air Niugini untuk Pemerintah Papua Nugini. Keith Anderson/aviationwa.org.au

TEMPO.CO - Aksi intersepsi atau pencegatan di langit Banjarmasin hingga Makassar itu berlangsung November 2011 lalu. Namun, entah kenapa, Perdana Menteri Papua Nugini Peter O'neil baru memperkarakannya di depan media Jumat, 6 Januari 2012 lalu, setelah selang hampir dua bulan kemudian. Banyak yang bertanya, ada apa di balik motif Papua Nugini berniat mengusir Duta Besar Indonesia Andreas Sitepu dari negara tetangga itu? Bagaimana sesungguhnya insiden itu bermula?

Peristiwa itu bermula ketika Selasa, 29 November 2011, pukul 10.13 WITA, radar Pangkalan Udara (Lanud) Sjamsuddin Noor Banjarmasin mendeteksi pesawat jet P2-ANW Dassault Falcon 900 Ex. Jet itu bergerak dari Subang (Selangor), Malaysia, ke arah Papua Nugini. Dari titik ordinat terbang, pesawat itu akan melintasi wilayah udara Indonesia. (Baca: Jet Papua Nugini Dibayangi dari Banjarmasin)

Petugas pengawas udara Makassar kemudian mencoba mengontak pesawat Falcon untuk menanyakan asal pesawat, tujuan, serta izin penerbangan. Pesawat itu diketahui masuk dalam unschedule flight (penerbangan tidak rutin). Namun pesawat tidak merespons, bahkan juga tidak membuka komunikasi. Petugas mengontak Kohanudnas dan Departemen Perhubungan. Dicek lagi, tidak ada data penerbangan Falcon 900 Ex. (Baca: Jet Papua Nugini Gunakan Izin Terbang India)

Sekitar pukul 10.40 WITA, sepasang Sukhoi milik TNI AU melesat dari Pangkalan Udara (Lanud) Sultan Hasanuddin Makassar mendekati pesawat Falcon. Keduanya mendekat, lalu menjepit kiri dan kanan, sambil terus membuka komunikasi. "Sesuai prosedur memang begitu" kata juru bicara Markas Besar TNI Angkatan Udara, Marsekal Pertama Azman Yunus, kepada Tempo, Ahad, 8 Januari 2012.

Awak jet tempur RI terus berkoordinasi dengan Komando Pertahanan Udara Nasional. Sukhoi melaporkan ciri utama pesawat Falcon adalah berwarna putih dan terdapat gambar burung merah di bagian sayap belakang. Akhirnya diketahui bahwa Falcon tersebut baru mengurus izin melintas pada hari itu sehingga belum diperoleh ketika melintasi Indonesia. (Baca: Lewati RI, Jet Papua Nugini Kudu Punya Tiga Izin)

Sekitar pukul 11.17, Sukhoi membebaskan Falcon yang ditumpangi Deputi Perdana Menteri Papua Nugini H.O.N. Belden Namah itu untuk melanjutkan perjalanan. Perintah pembebasan dilakukan Komando Pertahanan Udara Nasional. "Itu tugas utama kami sebagai TNI AU. Kami ingin memastikan tak semua pesawat asing bisa melintas di wilayah udara kita tanpa izin," kata Azman lagi. "Pukul 11.42, Sukhoi kembali mendarat di Makassar.”

Peristiwa di udara itu hanya berlangsung sekitar 37 menit. "Tidak ada ancaman, tidak pula ada senggolan," kata Menko Polkam Djoko Suyanto dalam pesan pendeknya kepada Tempo. Karenanya, Djoko menganggap prosedur pencegatan yang dilakukan Mabes TNI AU sudah sesuai prosedur yang berlaku.

Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas), kata Djoko, melakukan identifikasi visual dengan cara intersepsi. "Lagi-lagi ini karena data flight clearance yang diterima berbeda dengan hasil tangkapan radar bandara maupun radar Kohanudnas," ujarnya. "Tidak ada istilah mengancam atau membahayakan.”

Semua prosedur, menurut Djoko, dilakukan di bawah kontrol, baik radar di darat maupun pilot pesawat tempur. Djoko menegaskan intersepsi ini merupakan prosedur standar jika ada ketidakcocokan data aktual di udara. “Itulah gunanya Komando Pertahanan Udara,” ujarnya. Karenanya, Djoko minta media untuk tidak melebih-lebihkan insiden ini.

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan pemerintah pada Jumat pekan lalu telah memberi penjelasan kepada Duta Besar Papua Nugini Peter Ilau perihal intersepsi. "Duta Besar Papua Nugini menyampaikan apresiasi atas penjelasan yang disampaikan dan akan meneruskan ke pemerintahannya," ujar Menteri Marty Natalegawa.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Michael Tene, kemarin menyatakan belum ada juga pengusiran terhadap Andreas Sitepu. Sedangkan juru bicara kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, mengatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum berencana berbicara langsung dengan Peter O'Neil. "Dibicarakannya di tingkat menteri luar negeri," katanya.

Pengamat intelijen, Mardigu Wawiek Prabowo, menilai Indonesia sedang ditantang untuk bisa lebih tegas soal perbatasan. Ia menyatakan intersepsi oleh Sukhoi sudah tepat. Menurut dia, Papua Nugini sudah bertindak sewenang-wenang dengan hanya menggunakan izin pesawat Global Express milik India untuk memasuki wilayah udara Indonesia.

sumber : Tempo.CO

Panglima TNI: Intersepsi Pesawat Sukhoi Sudah Sesuai Prosedur


Gunawan Mashar - detikNews
Senin, 09/01/2012 16:40 WIB
Jakarta - Panglima TNI, Laksamana Agus Suhartono menilai intersepsi 2 pesawat Sukhoi milik TNI AU terhadap pesawat Jet Falcon milik Papua Nugini (PNG) sudah sesuai prosedur. Agus optimis masalah dengan PNG akan cepat selesai.

"Sesuai prosedur," ujar Agus kepada wartawan di Kantor Wapres, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Senin (9/1/2012).

Agus menjelaskan, Dubes Papua Nugini telah diberi penjelasan oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa. Ia yakin persoalan ini sudah selesai.

"Tapi saya kira sudah clear," katanya.

Insiden ini terjadi pada 29 November 2011 lalu, 2 Sukhoi TNI AU melakukan intersepsi terhadap pesawat jet Falcon yang ditumpangi Wakil Perdana Menteri PNG, Belden Namah. Saat itu jet Falcon berada di atas langit Indonesia setelah pulang dari kunjungannya di Malaysia.

Insiden ini membuat Namah tersinggung, ia menyebut aksi militer Indonesia sebagai agresi militer dan intimidasi. Namah lalu mengancam mengusir Dubes Indonesia atas insiden itu dan memanggil pulang Dubes PNG dari Jakarta.

Detik

Pasdaran Iran Berhasil Uji Kemampuan Regu Tembak Pesawat Siluman

e

Angkatan Darat Pasukan Garda Revolusi Islam Iran (IRGC) meluncurkan fase kunci dari manuver militer "Shohada-ye Vahdat" (Martir Persatuan) di Iran timur.

Juru bicara manuver militer Shohada-ye Vahdat, Jenderal Hamid Sarkheili mengatakan angkatan darat Pasdaran berhasil menguji taktis baru khususnya di daerah gurun, serta pertahanan pasif pada hari Senin (9/1).

"Kemampuan dan inovasi angkatan darat Pasdaran dalam aspek taktis akan ditampilkan selama manuver militer," kata Sarkheili hari ini.

"Pada fase ini angkatan darat juga berhasil menguji kemampuan tembak regu altileri, roket dan rudal ke arah target pesawat tanpa awak dan sasaran udara lainnya," tegasnya.

Tahap pertama dari manuver militer ini dimulai di sekitar kota Khaf, Provinsi Khorasan Razavi pada hari Sabtu.

Sebelumnya, angkatan laut Iran menggelar manuver militer "Velayat 90" selama 10 hari pada tanggal 24 Desember 2011. Latihan perang yang dilakukan dalam empat tahapan itu menyampaikan pesan perdamaian dan persahabatan kepada negara-negara regional demi membela stabilitas dan keamanan kawasan dari intervensi kekuatan asing.

sumber IRIB Indonesia/PH

TNI AU Butuh 30 Unit Hercules, Tersedia Hanya 21 Unit

Jurnas.com | KEPALA Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara (Kadispenau) Marsekal Pertama Azman Yunus mengungkapkan kebutuhan TNI AU terhadap pesawat angkut berat jenis Hercules mencapai 30 unit. Saat ini TNI AU baru memiliki 21 unit pesawat Hercules.

"Kebutuhannya 30 unit agar bisa melakukan operasi bersamaan,"kata Azman di Jakarta, Senin (9/1).

Pesawat angkut yang dikenal tangguh ini, tambahnya, diperlukan untuk memperkuat TNI AU dalam melakukan operasi militer dan non militer, terutama operasi yang bersifat kemanusiaan. "Terutama untuk saat ini agar mudah melakukan distribusi bantuan jika terjadi bencana,"ungkapnya.

Untuk menambah kekurangan ini, TNI AU dipastikan menerima hibah empat unit pesawat Hercules dari pemerintah Australia. Dengan tambahan ini, TNI AU akan memiliki 25 unit pesawat Hercules. "Sudah pasti (hibah tersebut). Kami akan menerima empat unit Hercules tipe H,"ujar Azman.

Dikatakan Azman, tim dari Indonesia yang diantaranya dari TNI AU akan terbang untuk melakukan pengecekan kondisi pesawat tersebut. "Belum tahu, mudah-mudahan secepatnya,"imbuhnya.

Hal ini dikarenakan pemegang keputusan dan leading sector-nya adalah Kementerian Pertahanan. "Jadi tunggu saja dari Kemhan bagaimana keputusannya,"tandasnya.

sumber : JURNAS

Hercules Hibah dari Australia Butuh Dipermak, Tapi TNI AU Yakin Masih Oke

PESAWAT angkut Hercules yang akan diberikan oleh pemerintah Australia sebagai bentuk hibah memerlukan perbaikan dan peremajaan. Namun begitu, kondisi ini diklaim tidak berarti pesawat bekas tersebut berkualitas rendah.

"Kami belum tahu pasti kondisinya seperti apa. Apa yang harus diperbaiki, tapi itu pesawat bagus, apalagi tipe H tipe baru," kata Kepala Dinas Penerangan TNI AU (Kadispenau) Marsma Azman Yunus di Jakarta, Senin (9/1). Tim dari Indonesia akan berangkat ke Australia untuk mengecek kondisi pesawat tersebut.

Kementerian Pertahanan menjadi pemegang keputusan dalam pemberangkatan sekaligus pengadaan Hercules hibah ini.

Azman memperkirakan, pesawat tersebut memerlukan pemeliharaan structure dan airframe pesawat atau Programme Depot Maintenance (PDM). "Setelah itu baru diserahterimakan ke TNI AU," katanya.

Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro Jumat (6/1) lalu mengatakan tim Indonesia dan Australia akan melakukan pertemuan untuk membahas kondisi pesawat dan teknis hibah. Hasil pembicaraan tim itu akan menjadi tolak ukur kebutuhan biaya retrofit dan kemampuan keempat pesawat itu setelah diremajakan.

sumber : JURNAS

BERITA POLULER