Oleh: M. Arief Pranoto*)
Turbulensi arah politik terutama dinamika global akhir-akhir ini semakin susah diterka, apalagi ditebak dengan cara meraba-raba. Betapa unpredictable geliat perkembangan. Selain data seringkali berubah akibat kontra atau propaganda via media massa ---memang ini bagian methode perang--- juga tidak sedikit peristiwa terjadi di luar nalar dan logika. Entah kenapa.
Para pakar, peneliti dan pemerhati, kini ibarat tiga orang buta menebak bentuk gajah, masing-masing analisa berdasar persepsi dari data yang dipegangnya, bukan fakta riil yang nyata. Syah-syah saja. Kendati hipotesanya mengarah kepada hal yang sama, tetapi prakiraan pemegang ekor tentu berbeda dengan yang meraba kaki, ataupun analisa yang mendekap telinga. Itulah yang terjadi. Contoh ialah meningkatnya psywar serta memanasnya hubungan antara Amerika Serikat (AS) dan sekutu versus aliansi Iran, Syria Cs.
Merebaknya aura perang di Selat Hormuz akibat "pengusiran" terhadap USS John C. Stennis, kapal induk AS yang hendak melintasi Hormuz: "Kami tidak terbiasa mengulangi peringatan dan kami memberi peringatan hanya sekali", ancam Jenderal Ataolah Salehi, Panglima Militer Iran. Menegangkan!
Dari episode di atas, sepertinya sudah bisa ditarik praduga, bahwa skenario Perang Dunia (PD) III niscaya bakal tergelar di Jalur Sutra dengan Syria dan Iran sebagai (proxy war) medan tempurnya. Percaya atau tidak, begitulah kecenderungan skenario PD ini bergerak.
Namun tatkala dikaji lebih dalam lagi, ditemui analisa tidak sama dengan praduga tadi. Betapa tidak, kelak bila ditutupnya selat apapun penyebab, disinyalir justru akan membawa AS terjungkal ke lembah krisis yang semakin dalam. Pertanyaan kenapa demikian bahwa kedigdayaan dan "ruh" superpower kini, sesungguhnya hanya tinggal di media massa dan utamanya masih digunakannya US Dollar sebagai alat transaksi minyak serta transaksi-transaksi internasional lainnya. Ya. Dunia masih mempercayai dolar di tengah krisis global yang salah satu penyebabnya, karena "ulah dolar" itu sendiri.
Bagi AS, Selat Hormuz adalah key point unggulan sebagai "produksi dolar", dibanding titik-titik lainnya di berbagai belahan dunia. Menyalakan api tempur di Selat Hormuz identik menghancurkan dapur Paman Sam sendiri. Sama saja dengan bunuh diri. Itulah "ruh" baru dalam eskalasi PD III yang mutlak dicermati. Demikian pula Iran, tutupnya Hormuz nanti ---entah karena sanksi yang ia terapkan, atau akibat perang--- memiliki implikasi langsung (sangat negatif) terhadap "kemandirian" dan kepercayaan diri yang selama ini dikagumi banyak negara karena merupakan basis utama melawan hegemoni superpower Cs; ditutupnya Hormuz berpotensi menimbulkan "sengketa baru" antar negara di Kawasan Teluk dan gejolak di internal Iran sendiri.
Tak dapat dipungkiri, Selat Hormuz merupakan satu-satunya jalur perairan dari delapan negara di Teluk Persia atau Dunia Arab (Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Oman, Kuwait, Irak dan Iran). Hampir setiap 10 menit kapal tanker mondar-mandir membawa 40 % impor minyak dunia. Sekitar 90 % ekspor minyak negara-negara Arab Teluk, Irak, dan Iran itu sendiri, berawal dari Perairan Hormuz.
Secara politis, Iran memang memiliki hak hukum menutup baik sementara maupun permanen. Rujukannya ialah kesepakatan Geneva (1958) dan kesepakatan Jamaika (1982). Menurut analis politik Timur Tengah, Hussein Shariatamadari, jika negara-negara Barat menjatuhkan sanksi blokade ekspor minyak, maka Teheran menganggap semua kapal tanker milik negara-negara pemboikot adalah ancaman bagi keamanan nasional bila berlayar di Selat Hormuz, dan Iran berhak menutupnya.
Dua kesepakatan di atas, memberi hak kepada negara-negara yang bertepi ke Selat Hormuz menutup selat itu secara permanen dan sementara jika kedaulatannya terancam oleh kapal dagang atau militer yang hilir-mudik di selat strategis tersebut. Agaknya aturan perundang-undangannya (UU) tengah digodok oleh Iran.
Mengingat implikasi buruk yang telah diurai di muka tadi, kemungkinan besar Ahmaddinejad berpikir ulang untuk menutup total atas Selat Hormuz. Dan materi UU yang tengah digodok oleh Iran perihal Selat Hormuz diperkirakan bersifat "lentur', selain merujuk pada kepentingan nasionalnya juga memperhatikan kepentingan negara-negara lain di kawasan tersebut. Sedangkan bagi AS sendiri, hal yang mustahil ‘menutup' transaksi dan pabrik dolarnya dengan menyalakan perang di selat "basah" tersebut.
Maka pada catatan kecil ini, bolehlah dibuat hipotesa bahwa gejala yang merebak di Selat Hormuz akibat friksi antara militer Iran dan AS adalah sekedar "saling gertak" menebar aura perang, sebatas goro-goro saja. Guyonan timbul, baru tahapan goro-goro saja industri peralatan tempur AS langsung laris manis. Tercatat dalam dokumen Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) sekitar $ 123 miliar dolar terjual (Weapons Sales Maintains U.S. Supremacythe, www.darkgovernment.com).
Menurut Prof Michel Cossudovsky, pendiri dan peneliti pada Central for Research on Globalization, Kanada, jika benar meletus PD III di Jalur Sutra maka seluruh Timur Tengah/Asia Tengah akan masuk ke dalam suatu kebakaran besar. Pertanyaan siapa bakal hancur? Keduanya, atau bahkan seluruh dunia terkena imbas. Harga minyak bisa melambung tinggi diikuti harga-harga barang dan jasa!
Mencermati gejala dan rumor berkembang, tampaknya AS bersikeras menyalakan PD III melalui roadmap (peta perang)-nya di Jalur Sutra sebagaimana paparan Jenderal Wesley Clark, di Pentagon dahulu (2005). Kendati secara kuantitatif, peta perangnya tinggal dua langkah lagi (Syria dan Iran), tetapi dari aspek kualitatif justru "babak belur" terutama sewaktu di Irak, Afghanistan dan Libya yang semakin menjauh dari harapan semula (out of control). Sedang permainan smart power AS di seputaran Jalur Sutra (Yaman, Mesir, Tunisia, Maroko dll) masih belum sepenuhnya memetik hasil. Baru taraf merobek saja. Ada fenomena "kebangkitan Islam" yang mencengangkan dimana rakyat kini menginginkan perubahan sistem bukan sekedar ganti rezim saja.
Timbulnya turbulensi kondisi dan perubahan "ruh" perang di atas, terutama tebaran aura di Selat Hormuz menimbulkan pertanyaan besar: (1) apakah PD III bakal gagal meletus sedang urgensi AS atas pemulihan sistem kapitalis sesuai isyarat Hugo Chaves begitu mendesak; (2) siapa lakon baru dan dimana lokasi tempur bila perang di Selat Hormuz justru akan membuatnya semakin hancur?
Ya. Turbulensi situasi akibat berubahnya "ruh" peperangan sebagaimana di atas, disinyalir bakal mengubah lakon dan lokasi tempur. Peperangan itu butuh modal. Dan perang mampu menghancurkan modal itu sendiri, tetapi melalui peperangan bisa mengumpulkan modal. Urgensi Paman Sam memulihkan sistem kapitalis merupakan motivasi utama, maka menjadi keniscayaan PD III tetap digelar apapun yang terjadi. Persoalan apakah AS meniru model pemulihan sewaktu Great Depression (1930) tempo doeloe melalui "peletusan" PD II, tidak akan dibahas lagi dalam catatan ini. Pertanyaan menggelitik, siapa lakon serta dimana lokasi untuk PD yang akan digelar?
Tak boleh dipungkiri, peristiwa paling fenomenal akhir-akhir ini adalah gerakan "menolak US Dollar" oleh Cina dan Jepang. Perusahaan di Cina dan Jepang sepakat mengkonversi mata uang secara langsung tanpa terlebih dahulu mengkonversi ke dolar AS. Hal ini sangat mencengangkan dunia. Prakiraan Global Future Institute (GFI) 2012, Jakarta, menyebut: bahwa sikap kedua negara tadi akan menimbulkan gelombang imitasi global. Ditiru oleh banyak negara di dunia baik karena efek langsung maupun tak langsung, ataupun sebab snawball process alami.
Tampaknya gelombang imitasi menolak dolar telah tiba di Rusia dan Iran. Pernyataan dikemukakan oleh Ahmadinejad dalam pembicaraan dengan Dmitry Medvedev, bahwa akan menghapus mata uang dolar dari transaksi bilateral. Lebih dalam lagi diserukan guna perluasan hubungan ekonomi antara kedua negara dan menggarisbawahi kebutuhan menggunakan mata uang nasional dalam transaksi komersial bersama, dan mendesak penghapusan dolar AS dalam perdagangan bilateral. Konsensus ini akan mendongkrak peningkatan volume transaksi perdagangan antara Iran-Rusia. Ini luar biasa, para adidaya baru dunia mulai mengambil sikap. Lalu, negara mana lagi bakal menyusul?
Maknanya, bahwa tidak lama lagi bakal muncul "tsunami dolar". Dolar akan mudik bersama menerjang negeri asalnya, menjadi tumpukan kertas-kertas tidak berharga. Itulah hal paling ditakuti oleh AS. Dan kemungkinan besar ia akan segera "bertindak".
Sekedar ilustrasi misalnya, invasi militer superpower dan pasukan koalisi ke Irak dekade 2003-an lalu dengan beragam dalih, salah satunya karena Saddam Husein hendak menggunakan uero (bukan dolar lagi) dalam setiap transaksi minyak; atau diserbunya negeri makmur Libya, oleh sebab Gaddafi menginginkan utang AS dan Barat serta transaksi minyaknya harus menggunakan dinar/mata uang emas dan lainnya.
Dengan demikian boleh diterka, bahwa peta PD III nanti tidak lagi antara AS dan sekutu versus Iran, Syria Cs di Selat Hormuz, tetapi niscaya berubah antara AS melawan Cina dan Jepang yang dianggap sebagai pemicu gelombang menolak dolar. Tujuannya, selain menghentikan bola liar menolak dolar agar tidak jauh menjalar, juga sesuai isyarat GFI dahulu, peperangan melawan Cina dan Jepang merupakan penerapan modus baru perang kolonial AS yakni "utang dibayar bom" (Baca: Modus dan Seri Baru Perang Kolonial, Waspada buat Indonesia, di www.theglobal-review.com). Maka siap-siap saja, proxy yang akan diincar diperkirakan antara Taiwan, Semenanjung Korea, atau dimana-mana? Tinggal pilih. Retorikanya, bukankah banyak hutang AS kepada Cina dalam bentuk investasi tak mampu dijalankan dan musnah tak tentu rimbanya? (IRIB Indonesia/Theglobal-review)
*) Research Associate Global Future Institute (GFI)
sumber IRIB
Turbulensi arah politik terutama dinamika global akhir-akhir ini semakin susah diterka, apalagi ditebak dengan cara meraba-raba. Betapa unpredictable geliat perkembangan. Selain data seringkali berubah akibat kontra atau propaganda via media massa ---memang ini bagian methode perang--- juga tidak sedikit peristiwa terjadi di luar nalar dan logika. Entah kenapa.
Para pakar, peneliti dan pemerhati, kini ibarat tiga orang buta menebak bentuk gajah, masing-masing analisa berdasar persepsi dari data yang dipegangnya, bukan fakta riil yang nyata. Syah-syah saja. Kendati hipotesanya mengarah kepada hal yang sama, tetapi prakiraan pemegang ekor tentu berbeda dengan yang meraba kaki, ataupun analisa yang mendekap telinga. Itulah yang terjadi. Contoh ialah meningkatnya psywar serta memanasnya hubungan antara Amerika Serikat (AS) dan sekutu versus aliansi Iran, Syria Cs.
Merebaknya aura perang di Selat Hormuz akibat "pengusiran" terhadap USS John C. Stennis, kapal induk AS yang hendak melintasi Hormuz: "Kami tidak terbiasa mengulangi peringatan dan kami memberi peringatan hanya sekali", ancam Jenderal Ataolah Salehi, Panglima Militer Iran. Menegangkan!
Dari episode di atas, sepertinya sudah bisa ditarik praduga, bahwa skenario Perang Dunia (PD) III niscaya bakal tergelar di Jalur Sutra dengan Syria dan Iran sebagai (proxy war) medan tempurnya. Percaya atau tidak, begitulah kecenderungan skenario PD ini bergerak.
Namun tatkala dikaji lebih dalam lagi, ditemui analisa tidak sama dengan praduga tadi. Betapa tidak, kelak bila ditutupnya selat apapun penyebab, disinyalir justru akan membawa AS terjungkal ke lembah krisis yang semakin dalam. Pertanyaan kenapa demikian bahwa kedigdayaan dan "ruh" superpower kini, sesungguhnya hanya tinggal di media massa dan utamanya masih digunakannya US Dollar sebagai alat transaksi minyak serta transaksi-transaksi internasional lainnya. Ya. Dunia masih mempercayai dolar di tengah krisis global yang salah satu penyebabnya, karena "ulah dolar" itu sendiri.
Bagi AS, Selat Hormuz adalah key point unggulan sebagai "produksi dolar", dibanding titik-titik lainnya di berbagai belahan dunia. Menyalakan api tempur di Selat Hormuz identik menghancurkan dapur Paman Sam sendiri. Sama saja dengan bunuh diri. Itulah "ruh" baru dalam eskalasi PD III yang mutlak dicermati. Demikian pula Iran, tutupnya Hormuz nanti ---entah karena sanksi yang ia terapkan, atau akibat perang--- memiliki implikasi langsung (sangat negatif) terhadap "kemandirian" dan kepercayaan diri yang selama ini dikagumi banyak negara karena merupakan basis utama melawan hegemoni superpower Cs; ditutupnya Hormuz berpotensi menimbulkan "sengketa baru" antar negara di Kawasan Teluk dan gejolak di internal Iran sendiri.
Tak dapat dipungkiri, Selat Hormuz merupakan satu-satunya jalur perairan dari delapan negara di Teluk Persia atau Dunia Arab (Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Oman, Kuwait, Irak dan Iran). Hampir setiap 10 menit kapal tanker mondar-mandir membawa 40 % impor minyak dunia. Sekitar 90 % ekspor minyak negara-negara Arab Teluk, Irak, dan Iran itu sendiri, berawal dari Perairan Hormuz.
Secara politis, Iran memang memiliki hak hukum menutup baik sementara maupun permanen. Rujukannya ialah kesepakatan Geneva (1958) dan kesepakatan Jamaika (1982). Menurut analis politik Timur Tengah, Hussein Shariatamadari, jika negara-negara Barat menjatuhkan sanksi blokade ekspor minyak, maka Teheran menganggap semua kapal tanker milik negara-negara pemboikot adalah ancaman bagi keamanan nasional bila berlayar di Selat Hormuz, dan Iran berhak menutupnya.
Dua kesepakatan di atas, memberi hak kepada negara-negara yang bertepi ke Selat Hormuz menutup selat itu secara permanen dan sementara jika kedaulatannya terancam oleh kapal dagang atau militer yang hilir-mudik di selat strategis tersebut. Agaknya aturan perundang-undangannya (UU) tengah digodok oleh Iran.
Mengingat implikasi buruk yang telah diurai di muka tadi, kemungkinan besar Ahmaddinejad berpikir ulang untuk menutup total atas Selat Hormuz. Dan materi UU yang tengah digodok oleh Iran perihal Selat Hormuz diperkirakan bersifat "lentur', selain merujuk pada kepentingan nasionalnya juga memperhatikan kepentingan negara-negara lain di kawasan tersebut. Sedangkan bagi AS sendiri, hal yang mustahil ‘menutup' transaksi dan pabrik dolarnya dengan menyalakan perang di selat "basah" tersebut.
Maka pada catatan kecil ini, bolehlah dibuat hipotesa bahwa gejala yang merebak di Selat Hormuz akibat friksi antara militer Iran dan AS adalah sekedar "saling gertak" menebar aura perang, sebatas goro-goro saja. Guyonan timbul, baru tahapan goro-goro saja industri peralatan tempur AS langsung laris manis. Tercatat dalam dokumen Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) sekitar $ 123 miliar dolar terjual (Weapons Sales Maintains U.S. Supremacythe, www.darkgovernment.com).
Menurut Prof Michel Cossudovsky, pendiri dan peneliti pada Central for Research on Globalization, Kanada, jika benar meletus PD III di Jalur Sutra maka seluruh Timur Tengah/Asia Tengah akan masuk ke dalam suatu kebakaran besar. Pertanyaan siapa bakal hancur? Keduanya, atau bahkan seluruh dunia terkena imbas. Harga minyak bisa melambung tinggi diikuti harga-harga barang dan jasa!
Mencermati gejala dan rumor berkembang, tampaknya AS bersikeras menyalakan PD III melalui roadmap (peta perang)-nya di Jalur Sutra sebagaimana paparan Jenderal Wesley Clark, di Pentagon dahulu (2005). Kendati secara kuantitatif, peta perangnya tinggal dua langkah lagi (Syria dan Iran), tetapi dari aspek kualitatif justru "babak belur" terutama sewaktu di Irak, Afghanistan dan Libya yang semakin menjauh dari harapan semula (out of control). Sedang permainan smart power AS di seputaran Jalur Sutra (Yaman, Mesir, Tunisia, Maroko dll) masih belum sepenuhnya memetik hasil. Baru taraf merobek saja. Ada fenomena "kebangkitan Islam" yang mencengangkan dimana rakyat kini menginginkan perubahan sistem bukan sekedar ganti rezim saja.
Timbulnya turbulensi kondisi dan perubahan "ruh" perang di atas, terutama tebaran aura di Selat Hormuz menimbulkan pertanyaan besar: (1) apakah PD III bakal gagal meletus sedang urgensi AS atas pemulihan sistem kapitalis sesuai isyarat Hugo Chaves begitu mendesak; (2) siapa lakon baru dan dimana lokasi tempur bila perang di Selat Hormuz justru akan membuatnya semakin hancur?
Ya. Turbulensi situasi akibat berubahnya "ruh" peperangan sebagaimana di atas, disinyalir bakal mengubah lakon dan lokasi tempur. Peperangan itu butuh modal. Dan perang mampu menghancurkan modal itu sendiri, tetapi melalui peperangan bisa mengumpulkan modal. Urgensi Paman Sam memulihkan sistem kapitalis merupakan motivasi utama, maka menjadi keniscayaan PD III tetap digelar apapun yang terjadi. Persoalan apakah AS meniru model pemulihan sewaktu Great Depression (1930) tempo doeloe melalui "peletusan" PD II, tidak akan dibahas lagi dalam catatan ini. Pertanyaan menggelitik, siapa lakon serta dimana lokasi untuk PD yang akan digelar?
Tak boleh dipungkiri, peristiwa paling fenomenal akhir-akhir ini adalah gerakan "menolak US Dollar" oleh Cina dan Jepang. Perusahaan di Cina dan Jepang sepakat mengkonversi mata uang secara langsung tanpa terlebih dahulu mengkonversi ke dolar AS. Hal ini sangat mencengangkan dunia. Prakiraan Global Future Institute (GFI) 2012, Jakarta, menyebut: bahwa sikap kedua negara tadi akan menimbulkan gelombang imitasi global. Ditiru oleh banyak negara di dunia baik karena efek langsung maupun tak langsung, ataupun sebab snawball process alami.
Tampaknya gelombang imitasi menolak dolar telah tiba di Rusia dan Iran. Pernyataan dikemukakan oleh Ahmadinejad dalam pembicaraan dengan Dmitry Medvedev, bahwa akan menghapus mata uang dolar dari transaksi bilateral. Lebih dalam lagi diserukan guna perluasan hubungan ekonomi antara kedua negara dan menggarisbawahi kebutuhan menggunakan mata uang nasional dalam transaksi komersial bersama, dan mendesak penghapusan dolar AS dalam perdagangan bilateral. Konsensus ini akan mendongkrak peningkatan volume transaksi perdagangan antara Iran-Rusia. Ini luar biasa, para adidaya baru dunia mulai mengambil sikap. Lalu, negara mana lagi bakal menyusul?
Maknanya, bahwa tidak lama lagi bakal muncul "tsunami dolar". Dolar akan mudik bersama menerjang negeri asalnya, menjadi tumpukan kertas-kertas tidak berharga. Itulah hal paling ditakuti oleh AS. Dan kemungkinan besar ia akan segera "bertindak".
Sekedar ilustrasi misalnya, invasi militer superpower dan pasukan koalisi ke Irak dekade 2003-an lalu dengan beragam dalih, salah satunya karena Saddam Husein hendak menggunakan uero (bukan dolar lagi) dalam setiap transaksi minyak; atau diserbunya negeri makmur Libya, oleh sebab Gaddafi menginginkan utang AS dan Barat serta transaksi minyaknya harus menggunakan dinar/mata uang emas dan lainnya.
Dengan demikian boleh diterka, bahwa peta PD III nanti tidak lagi antara AS dan sekutu versus Iran, Syria Cs di Selat Hormuz, tetapi niscaya berubah antara AS melawan Cina dan Jepang yang dianggap sebagai pemicu gelombang menolak dolar. Tujuannya, selain menghentikan bola liar menolak dolar agar tidak jauh menjalar, juga sesuai isyarat GFI dahulu, peperangan melawan Cina dan Jepang merupakan penerapan modus baru perang kolonial AS yakni "utang dibayar bom" (Baca: Modus dan Seri Baru Perang Kolonial, Waspada buat Indonesia, di www.theglobal-review.com). Maka siap-siap saja, proxy yang akan diincar diperkirakan antara Taiwan, Semenanjung Korea, atau dimana-mana? Tinggal pilih. Retorikanya, bukankah banyak hutang AS kepada Cina dalam bentuk investasi tak mampu dijalankan dan musnah tak tentu rimbanya? (IRIB Indonesia/Theglobal-review)
*) Research Associate Global Future Institute (GFI)
sumber IRIB