China sepertinya saat ini tengah menjadi negara yang paling agresif sekaligus paling ”sibuk” bersengketa dengan sejumlah negara di kawasan regionalnya, Asia Timur. Penyebab persoalan dipicu aksi saling rebut wilayah teritorial, yang kaya dengan minyak, gas, dan ikan.
Dengan Jepang dan Taiwan, misalnya, China masih bersengketa soal Kepulauan Diaoyu (versi China) atau Kepulauan Senkaku (versi Jepang) di perairan Laut China Timur.
Dengan lima negara di perairan Laut China Selatan, sebagian besar negara anggota ASEAN, China bersengketa memperebutkan Kepulauan Spratly dan Paracel.
China mengklaim wilayah-wilayah itu sebagai daerahnya sejak masa Dinasti Han pada abad kedua Sebelum Masehi (SM).
Dalam konteks sengketa di perairan Laut China Selatan, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Taiwan, juga punya klaim sejarah tersendiri. Tidak hanya mengabaikan latar sejarah, China juga dinilai kerap mengabaikan kesepakatan dan hukum internasional yang berlaku pada era modern.
Pada tahun 1992, ASEAN, terutama yang terlibat sengketa wilayah di Laut China Selatan, sebetulnya sudah menyusun dan menyepakati deklarasi. Isinya, segala sengketa akan diselesaikan secara damai dan mempertimbangkan eksplorasi bersama.
China menolak deklarasi bersama itu dan tetap mengklaim semua dari 51 pulau-pulau kecil di Kepulan Spratly dan Paracel itu. Dengan klaim itu China menegaskan hanya dia yang berhak mengeksplorasi kawasan.
Klaim dan upaya penguasaan China di dua gugus kepulauan tadi berlangsung dalam tiga fase. Pada tahun 1950 China mulai mengklaim Kepulauan Paracel. Nyaris seperempat abad kemudian (tahun 1974) China merampas kepulauan itu dari Vietnam melalui kontak senjata yang menewaskan 18 prajurit.
Sejak itu kawasan tersebut menjadi semacam ”zona terpanas” yang diperebutkan oleh semua negara yang terlibat dalam sengketa, kecuali Brunei. Tercatat 70 personel Angkatan Laut Vietnam tewas. Sejumlah kapal Vietnam hancur saat pecah kontak senjata dengan militer China di Terumbu Karang (Reef) Johnson di Kepulauan Spratly pada tahun 1988.
Aksi saling serang dan saling ganggu, baik antarkekuatan militer maupun kapal-kapal sipil (nelayan dan kargo), terus berlanjut. Pada tahun 1995, Filipina dan Taiwan tercatat pertama kali melakukan kontak senjata dengan China dan juga Vietnam.
Malaysia belakangan ikut ”menceburkan diri” dalam ketegangan. Pada tahun 1999 dua pesawat tempur Malaysia ”berpapasan” dengan dua pesawat pengintai Filipina di angkasa Malaysia.
AS menambah masalah
Ketegangan semakin ”memanas” ketika AS secara terang-terangan menegaskan ingin ”ikut campur” dalam penuntasan sengketa di kawasan itu. Dalam Pertemuan Puncak Pertahanan Asia-Pasifik di Hanoi, Vietnam, awal pekan ini, Menteri Pertahanan AS Robert Gates menekankan pentingnya penuntasan sengketa wilayah secara multilateral.
Selama ini, termasuk dalam konteks sengketa wilayah di perairan Laut China Selatan, pihak China ngotot hanya ingin menuntaskan masalah tersebut secara satu per satu dengan lima negara ASEAN. Menanggapi hal itu pihak Filipina meradang dan memprotes dengan mengingatkan China tentang keberadaan ASEAN dan kesepakatan yang telah dihasilkan pada tahun 2002 sebelumnya.
Sebelum pernyataan Gates tadi, Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton juga berbicara di Hanoi pada 23 Juli lalu. Hillary menegaskan, AS juga punya kepentingan terhadap terciptanya kebebasan navigasi, akses yang terbuka dalam kesamaan maritim di Asia, penghormatan atas hukum internasional (UNCLOS) yang berlaku di Laut China Selatan, sekaligus upaya damai dalam penuntasan sengketa yang terjadi di sana.
Namun, hal itu balas dijawab dengan keras oleh Menteri Luar Negeri China Yang Jiechi, dua hari kemudian, dengan memperingatkan sekaligus mengancam negara-negara yang terlibat agar tidak coba-coba ”menginternasionalisasi” sengketa mereka dengan China karena langkah itu justru hanya akan memperunyam dan mempersulit situasi.
Akan tetapi, dalam Pertemuan Puncak Pertahanan Asia-Pasifik muncul kesan China mulai melunak terhadap tekanan AS, dengan mengundang Gates ke China. Gates pun menyanggupi tawaran itu.
Boleh jadi hal itu menjadi sinyal positif. Namun, bisa juga episode kiprah China masih akan berlanjut panjang mengingat tidak hanya dalam sengketa ini China ”unjuk gigi”. Sebut saja sengketa di kawasan semenanjung Korea, antara Korea Utara dan Selatan, di mana China juga punya kiprah dan pengaruh kuat.
Sumber: KOMPAS
No comments:
Post a Comment
DISCLAIMER : KOMENTAR DI BLOG INI BUKAN MEWAKILI ADMIN INDONESIA DEFENCE , MELAINKAN KOMENTAR PRIBADI PARA BLOGERSISTA
KOMENTAR POSITIF OK