Pages

Monday, February 14, 2011

LHD Mistral, Kapal Serang Amfibi Terbaru Rusia Dari Perancis (VII)




Pasar Ekspor

Setelah diperkenalkan pada tahun 1997, LHD Mistral dipromosikan ke negara luar Perancis secara resmi pada Euronaval 2007. DCNS merasa kebutuhan akan kapal serang amfibi cukup bagus pasarnya, terlebih saingan terdekatnya Navantia-Spanyol saat itu baru menjual kapal sejenis (Canberra class) dalam bentuk model. Bahkan konsep desain BPC Mistral dipilih untuk pengembangan lebih lanjut pada LHD Australia kelas Canberra.

Menurut DGA (Institusi yang menangani ekspor persenjataan Perancis) angkatan laut dari beberapa negara telah menunjukkan minatnya membeli Mistral, salah satu diantaranya AL Rusia, AL Afrika Selatan, Deutsche Marine, AL Canada, AL Malaysia dan AL Swedia.

Selain Rusia yang secara terang-terangan menyatakan minatnya mengakuisisi lisensi Mistral beserta blue-printnya, negara lain pun menyatakan hal yang sama. Diantaranya India, Brasil, Aljazair dan Turki.

Kelanjutan Mistral

Tahun 2008 pemerintahan Perancis secara resmi mengeluarkan perundangan-undangan baru menyangkut keamanan nasional, dimana peraturan baru yang diberi nama “The Livre Blanc sur la Défense et la Sécurité nationale 2008” berisi kebijakan-kebijakan pertahanan dalam negeri dan luar negeri Perancis. Dalam dokumen itu juga di ungkapkan bahwa AL Perancis merekomendasikan kebutuhan sekitar 4 buah kapal Mistral yang diharapkan beroperasi hingga tahun 2020.



Menyikapi kebutuhan ini pemerintah Perancis melanjutkan pesanan kapal ketiga kelas Mistral (FS Jeanne d'Arc) pada tahun 2009. Sebenarnya pesanan ini dianggap terlalu dini oleh lembaga legislatif di Perancis, terlebih negara ini tengah dihadapkan pada resesi ekonomi sejak tahun 2008 lalu. Tidak mau kehilangan moment DCNS segera membuat konstruksi kapal yang sudah dimulai pada 18 April 2009 di galangan Chantiers de l ' Atlantique di Saint-Nazaire. Dan dalam rangka penghematan biaya, seluruh konstruksi kapal Mistral ke-3 dan ke-4 dibangun di kota ini.

Sedangkan bagi Rusia, kebijakan membeli kapal amfibi kelas Mistral dari Perancis banyak mendapat protes dari industri pertahanan dalam negerinya. Mereka mengatakan seharusnya pemerintah Rusia berinvestasi pada produk domestiknya, bukannya malah memberikan devisa ke negara lain. Namun protes ini dibantah para pejabat AL Rusia yang menyebutkan bahwa kebijakan ini merupakan suatu langkah besar untuk merubah paradigma yang ada jika Rusia berhasil mendapatkan lisensi pembuatannya. Kita tunggu saja!

Spesifikasi :



Jenis: Landing Platform Helicopter/ Landing Helicoper Dock/ Amphibious Assault Vessel
Konstruktor: DCNS (Direction des Constructions Navales Services) dan Chantiers de l'Atlantique Dockyards
Bobot: 16.500 ton (kosong), 21.300 ton (penuh)Maksimum 32.300 ton (dengan ballast)
Panjang: 199 m (650 feet)
Lebar: 32 m (100 feet)
Kedalaman apung: 6.3 m (21 feet)
Sumber tenaga: 3 x 16 V32 (6,2 MW) Wartsila diesel generator
1 x 18 V200 (3 MW) Wartsila Vasaa Auxiliary diesel generator
Propulsi: 2 x Mermaid electric motor (2 X 7 MW)2 x Propeler
Kecepatan: 18,8 knot (35 Km/jam)
Jarak Jelajah: 10.800 Km (18 knot), 19.800 Km (15 knot)
Kapal pendarat: 4 CTM (Chaland de transport de materiel), alternatif 2 LCAC (Landing craft air cushion)
Kapasitas angkut kendaraan: 59 kendaraan (termasuk 13 tank MBT Leclerc)
Kapasitas angkut pasukan: 900 personel (jarak pendek), 450 pesonel (jarak panjang)
150 personel (bertugas di komando operasi)
Kapasitas angkut helikopter: 16 heli angkut berat atau 35 heli ringan
Awak kapal: 20 perwira, 80 bintara senior dan 60 operator
Sensor dan pemroses sistem data: Radar navigasi DRBN-38A Decca bridgemaster E250
Radar udara dan permukaan: MRR3D-NG 2 radar optronic sistem kendali tembak
Persenjataan: 2 x Rudal anti serangan udara Simbad system, 2 x 30mm meriam Breda-mauser, 4 x 12,7mm senapan mesin M2-HB Browning

Copyright ALUTSISTA

Indonesia Tawarkan Fasilitas PKC pada SAF


Personil SAF mengoperasikan Puna di provinsi Uruzgan, Afghanistan. (Foto: Mindef)

14 Pebruari 2011, Jakarta -- (DMC): Indonesia melalui Kementerian Pertahanan menawarkan kerja sama dalam penggunaan fasilitas Peace Keeping Center (PKC), yang sebagian rencananya akan selesai pembangunannya pada bulan Oktober 2011, kepada Singapore Armed Force (SAF) Singapura sebagai sarana pelatihan bagi pelatih maupun pasukan Perdamaian Bangsa Bangsa. Hal tersebut disampaikan Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan), Sjahfrie Sjamsoeddin, saat menerima kunjungan kehormatan (Courtesy Call) Sekretaris Jenderal (Sekjen) Menhan Singapura, Mr. Chang Chien Foo, di Kantor Kemhan, Jakarta, Jumat (11/2).

Selain itu, Wamenhan juga menyampaikan rencana kegiatan Indonesia sebagai tuan rumah latihan bersama penanggulangan bencana yang dihadiri oleh 33 negara dengan nama ASEAN Regional Forum (ARF)-Disaster Relief Exercise pada bulan Maret 2011 di Manado. ARF Direx ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan Indonesia yang tahun ini ditunjuk menjadi Ketua ASEAN dan Menhan Indonesia sebagai Ketua ASEAN Defence Ministry Meeting (ADMM). Wamenhan mengharapkan Singapura melalui Kemhan Singapura dapat turut aktif berpatisipasi pada kegiatan tersebut.

Adapun maksud kunjungan Sekjen Kemhan Singapura adalah untuk meningkatkan hubungan dan kerjasama yang lebih erat antara Singapura dengan Pemerintah Indonesia, khususnya di bidang pertahanan kedua negara yang sudah terjalin dengan baik selama ini.

Mr. Chang mengatakan, kunjungan kedinasan ke Indonesia baru yang pertama kali dan merupakan realisasi persahabatan antara Pemerintah Singapura dan Indonesia yang diharapkan mempunyai nilai positif. Selain itu kunjungannnya juga dimaksudkan untuk bertukar pandangan mengenai situasi saat ini, baik yang ada di Singapura mapun di Indonesia. Kunjungan ini juga tidak lepas dari kesuksesan kegiatan latihan bersama tahunan TNI AU dengan Angkatan Udara Singapura (RSAF) yang telah berlangsung 30 tahun dengan sandi “Indopura 2010″, yang dilaksanakan di Bali tahun lalu, dimana saat itu Menhan Singapura, Mr. Teo Chee Hean hadir.

Pada kunjungan tersebut Wamenhan didampingi Sekjen Kemhan RI, Marsdya TNI Eris Herryanto, S.Ip., M.A., Staf Ahli Menhan Bidang Ideologi dan Politik Dr Agus Broto Susilo SH,MA serta Kapuskom Publik, Brigjen TNI I Wayan Midhio, M. Phil., sedangkan Sekjen Kemhan Singapura didampingi Deputi Direktur bidang Kebijakan, Kolonel Tan Ya Yie dan Mr Ye Yongfeng. Sesuai kunjungan ke Wamenhan, Mr Chang beserta rombongan melanjutkan kunjungan kepada Sekjen Kemhan.

Keterbukaan dan Keinklusifan ASEAN

Pada kesempatan kunjungan Sekjen Kemhan Singapura ini, Sekjen Kemhan RI, yang tahun ini ditunjuk sebagai Ketua ASEAN Defence Senior Officials' Meeting (ADSOM) menyampaikan tentang rencana kegiatan ADMM yang akan dimulai dengan kegiatan ADSOM Working Group pada bulan ini di Surabaya. Pada kesempatan ini keduanaya sepakat bahwa kegiatan ADSOM WG sangat penting untuk menyusun konsep pemikiran tentang ASEAN ke depan khususnya dalam bidang pertahanan.

Dengan jumlah anggota ASEAN PLUS sebanyak 10 negara dan 8 negara tambahan, Mr Chang pada kesempatan tersebut mengharapkan ASEAN ke depan semakin terbuka dan tidak menutup diri (inklusif) baik dengan negara lain atau kawasan lain. Mengingat hal tersebut akan memberikan keuntungan bagi organaisasi ASEAN secara global.

Sumber: DMC

Pemkab Kutai Timur Serahkan KRI Kudungga ke TNI AL


Komandan Lantamal VI Brigjen TNI Marinir Chaidier Patonnory (baret) merah saat berada di Sangata Kutai Timur, Kaltim, untuk menandatangani perjanjian kerjasama Pemkab Kutai Timur dengan TNI Angkatan Laut. Pemkab Kutai Timur diwakili Bupati Isran Noor menyerahkan 1 unit Kapal Patroli sepanjang 38 meter dengan diberi nama "KRI Kudungga" dan Brigjen TNI Marinir Chaidier Patonnory mewakili TNI AL. Disaksikan Gubernur Kalimantan Timur H.Awang Faroek dan Ketua serta anggota DPRD Kutai Timur, berlangsung di gedung serba guna Bukit pelangi, Sangata, minggu 13/2. (Foto: ANTARA/Adi Sagaria)

14 Februari 2011, Sangata (ANTARA News - Kaltim): Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, Minggu (13/2) di Sangata, menandatangani perjanjian kerja sama dengan TNI Angkatan Laut dalam bidang pengamanan laut.

Pemkab Kutai Timur diwakili Bupati Kutai Timur H Isran Noor, sedangkan pihak TNI AL Komandan Tamtamal VI Makassar Brigjen (Mar) Chaidir Patolongi mewakili Kepala Staf Armada Wilayah Timur, disaksikan Gubernur KaltimH Awang Faroek Ishak dan Ketua DPRD Kutai Timur Harti, dan sejumlah petinggi TNI AL dan Pemerintah provinsi dan Kabupaten Kutai Timur

Dalam nota perjanjian Pemkab Kutai Timur menyerahkan satu unit kapal patroli sepanjang 38 meter yang nantinya akan dilengkapi dengan satu unit rudal di lambung dan dua buah meriam di bagian depan yang disediakan oleh TNI AL

"Kapal yang diberi nama KRI Kudungga yang diambil dari nama raja tertua Nusantara di Kalimantan Timur, sebelum kerajaan Mulawarman. Beliau kita berikan penghargaan dengan nama kapal patroli," kata Isran Noor.

Pihaknya berharap agar kapal KRI Kudungga ini memberikan kontribusi dan bantuan pengamanan dan pengawasan laut Kutai Timur sepanjang 150 kilometer dari utara hingga selatan dan Kaltim pada umumnya, serta kawasan ALKI II.

Kapal itu juga berfungsi sebagai pengamanan aset-aset negara dan aset masyarakat, karena tidak sedikit kekayaan negara yang dijarah oleh pihak asing. "Tetapi kita tidak banyak berbuat untuk mengamankannya," katanya.

Oleh karena itu pemerintah dan DPRD Kutai Timur sepakat membuat satu fasilitas untuk menjaga keamanan laut Kutai Timur yang juga banyak menyimpan kekayaan dan potensi, dan menjaga kejahatan laut dan pembalakan liar hutan serta pelanggaran hukum

"Kesepakatan kerja sama ini sudah dilakukan saat Jenderal TNI Djoko Santoso masih menjabat Panglima TNI dan kemudian diteruskan dengan Panglima TNI saat ini Laksamana TNI Agus Suhartono," katanya.

Komandan Tamtamal VI Makassar Brigjen (Mar) Chaidir Patolongi dalam sambutannya mengatakan, kerja sama ini merupakan satu langkah strategis bagi kedua pihak yang selanjutnya diharapkan bisa berkontribusi terhadap keberhasilan pembangunan nasional pada sektor kelautan.

"Kerja sama ini merupakan langkah tepat, karena keterbatasan anggaran dan Alutsista yang dimiliki dan kita dituntut untuk mengefektifkan dan mengefesienkan pencapaian tugas masing-masing, terutama dalam system pertahanan untuk menjaga kedaulatan wilayah NKRI," katanya.

Sumber: ANTARA Kaltim

Sunday, February 13, 2011

Enam Tank Ampibi Marinir "Serang" Makassar


Sejumlah pasukan marinir mendarat dengan menggunakan tank amfibi saat melakukan penyerangan terhadap musuh di Pulau Tanah Tumbuh Makassar, Minggu (13/2). Latihan pendaratan amfibi tersebut dilakukan guna meningkatkan kemampuan pasukan TNI AL dalam menjaga NKRI dari ancaman luar dan dalam negeri. (Foto: ANTARA/Yusran Uccang/pd/11)

13 Februari 2011, Makassar (ANTARA News): Sebanyak 70 orang pasukan marinir dilengkapi enam unit kendaraan tempur tank ampibi menyerang kawasan Tanjung Bunga Makassar, dalam latihan militer operasi pendaratan ampibi, Minggu.

Pasukan katak membangun serangan dari KRI Banjarmasin-592 di Selat Pulau Lae-lae dan mendarat di tanah tumbuh depan Pantai Losari yang dipersenjatai tiga unit Tank PT 76, tiga unit Ranratfib, satu helikopter tempur TNI AL, dua kapal Sea Rider.

Tugas Sea Rider melakukan pengintaian dan pegamatan pantai, selanjutnya melaporkan ke KRI Banjarmasin untuk melaporkan titik koordinat sasaran, tinggi gelombang laut, serta memastikan bahwa pendaratan tank ampibi tidak diketahui musuh.

Sebelum tank ampibi mendarat, helikopter sudah melakukan penyerangan frontal untuk membuat musuh kalang-kabut sekaligus mengalihkan perhatian musuh untuk tidak mengetahui adanya tank yang muncul dari laut.

Sekitar satu jam, tanah tumbuh menjadi lautan perang dengan dentuman peluru dan bom terdengar dimana-mana, setelah tank ampibi yang didahului oleh pasukan pengintai dari Sea Rider, serta didukung satu helikopter tempur mendarat lebih dahulu di tempat pembangunan mega proyek Center Point of Indonesia (CPI).

Tank PT 76 berada di garis paling depan, di belakanggnya tank Ranratfib memuat pasukan serbu yang bergerak cepat pantang mundur merebut Sulawesi Selatan yang diskenariokan dalam pembebasan dari cengkeraman gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia.

Latihan pendaratan ampibi terbatas, juga melibatkan Lantamal VI Makassar yang melakukan penyekatan di lokasi pendaratan, dengan dilengkapi 40 personil dari Batalyon Marinir Pertahanan Pangkalan (Yonmarhanlan), tiga Satuan Pengamanan Laut (Satkamla), serta dua perahu karet.

Wakil Komandan Lantamal VI Makassar, Kol Laut (P) Dwi Tjahjono mengatakan, salah satu tujuan utama latihan tersebut adalah menguji fungsi "docking" dan "undocking" KRI Banjarmasin produksi PT PAL di Surabaya yang baru diluncurkan 8 Agustus 2008.

"Hasil yang dicapai sudah sesuai dengan standar yang diwajibkan oleh Aramada Laut Timur. Kecepatan sekitar 15 knot," ucapnya.

KRI yang dikomandoi, Letkol Laut (P) Eko Jokowiyono memiliki panjang 125 meter dan lebar 22 meter, mampu mengangkut 507 personel, 13 unit tank, serta memiliki dua tempat pendaratan helikopter.

Latihan perang yang berlangsung sekitar dua jam dihadiri seluruh parwira tinggi Lantamal VI Makassar, pejabat Kodam VII Wirabuana, dan menjadi tontonan gratis masyarakat Makassar, yang memadati Pantai Losari dan kawasan Tanjung Bunga.

Orang tua, pemuda maupun anak-anak terkesima melihat atraksi tank ampibi yang mampu berputar 360 derajat dalam melaksanakan misinya, mereka juga berlomba-lomba untuk foto di atas atau samping tank, maupun bersama dengan pasukan marinir yang baru saja selesai latihan perang.

Latihan pendaratan Ampibi adalah rangkaian kegiatan yang disebut "Long Sea Trial". Untuk Indonesia Timur juga akan dilakukan di Manado dan Ambon.





Sejumlah pasukan marinir mendarat dengan menggunakan tank amfibi saat melakukan penyerangan terhadap musuh di Pulau Tanah Tumbuh Makassar, Minggu (13/2). (Foto: ANTARA/Yusran Uccang/pd/11)

Sejumlah pasukan pengintai marinir melakukan pengintaian terhadap musuh sebelum dilakukan pendaratan amfibi di Pulau Tanah Tumbuh Makassar, Minggu (13/2). Latihan pendaratan amfibi tersebut dilakukan guna meningkatkan kemampuan pasukan TNI AL dalam menjaga NKRI dari ancaman luar dan dalam negeri. (Foto: ANTARA/Yusran Uccang/pd/11)

Sumber: ANTARA Sulawesi Selatan
 

Saturday, February 12, 2011

Militer AS Promosikan Perdamaian Ruang Angkasa

Jakarta (ANTARA News) - "US military promotes peace in space", itulah pesan dari US National Security Space Strategy (NSSS) ketika mempromosikan perdamaian di ruang angkasa.

Sebuah laporan NSSS pekan lalu menjelaskan untuk pertama kalinya militer AS dan komunitas intelijen sepakat untuk menanggulangi ancaman yang ditimbulkan senjata ruang angkasa.

Banyak negara mengandalkan GPS dan satelit komunikasi, tetapi perangkat itu rentan terhadap kerusakan jika pesawat ruang angkasanya atau satelitnya diserang seperti sebuah rudal China menghancurkan sebuah satelit cuaca pada 2007.

Jadi, badan intelijen AS dan Pentagon akan "meminta pertanggung jawaban negara-negara tentang insiden yang terjadi di ruang angkasa," kata Gregory Schulte, Wakil Menteri Pertahanan AS untuk kebijakan ruang angkasa.

Itu berarti AS akan membentuk aliansi internasional yang mempromosikan sebuah "norma" perilaku di ruang angkasa. Norma itu bertujuan untuk mencegah penghancuran satelit secara sengaja atau tidak disengaja.

Satu Menyerang, Semua Membalas

Laura Grego, seorang ahli keamanan ruang angkasa dari Union of Concerned Scientists di Cambridge, Massachusetts, menyambut strategi baru tersebut.

"Ini adalah dokumen yang rahasia dengan banyak hal yang positif di dalamnya," katanya. Grego juga menyetujui dampak negatif dari tindakan agresif di ruang angkasa.

Pembentukan koalisi itu juga masuk akal, kata komentator keamanan John Pike yang membela GlobalSecurity.org. "Membuat koalisi berarti jika satu negara menyerang maka semua negara koalisi akan ikut menyerang,"katanya.

Norma-norma itu memberikan pesan "tidak baik menembak satelit", kata Pike dalam laporan yang ditulis New Scientist.

Sementara itu, Steven Aftergood dari Federasi Ilmuwan Amerika di Washington DC mengatakan bahwa "Pemerintah berhak memperoleh sedikit kredit untuk mengatasi isu-isu rumit dengan cara yang umum", dia ingin mengetahui secara rinci bagaimana sebenarnya strategi itu akan diimplementasikan.

(Adam/S026)

ANTARA 

Posted: 04 Feb 2011 04:36 AM PST
Rudal Penghacur Satelit Buatan China(Foto:pakalertpress.com)

Perlombaan senjata canggih terus dilakukan oleh Amerika Serikat dan China, tetapi kini dilakukan di antariksa. Menurut berita di surat kabar Telegraph, Kamis (3/2), di London, Inggris, kedua negara itu meluncurkan rudal-rudal mutakhirnya ke antariksa untuk memusnahkan satelit-satelit mereka yang sudah tak beroperasi lagi.

Dokumen tentang hal itu dibocorkan oleh situs jaringan WikiLeaks. Disebutkan, AS bereaksi terhadap tindakan China menghancurkan satelit cuacanya dengan "uji coba serangan" pada 2007. Februari 2008, AS membalas dengan meluncurkan rudal penghancur satelit. Pihak AS beralasan, hal itu dilakukan guna mencegah satelitnya masuk ke orbit bumi dengan membawa bahan bakar beracun. Menurut pihak China, penghancuran satelit oleh AS sebenarnya adalah kesempatan untuk menguji senjata ofensifnya.


Sumber: KOMPAS

Fayakhun Andriadi: TNI Tak Hanya Berperang



Ilustrasi (ANTARA/Yusran Uccang
Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Fayakhun Andriadi, mengatakan, TNI tidak hanya mendapat mandat rakyat untuk berperang, tetapi menjalankan tugas non militer, terutama membangun infrastruktur serta hal lain berkenaan dengan kesejahteraan rakyat.

"Berdasarkan Undang Undang Tentara Nasional Indonesia, kalau tak salah pada pasal (7), bisa dicek lagi, maka TNI mempunyai tugas Militer dan Non Perang, termasuk di antaranya membangun infrastruktur dan memberantas terorisme," tegasnya di Jakarta, Sabtu.


Pos Pengamanan Marinir di Pulau Terluar

Ia mengatakan itu, mengomentari penempatan pasukan Korps Marinir di pulau-pulau terdepan kawasan perbatasan RI, yang diharapkan bisa juga membantu pemberdayaan kesejahteraan masyarakat, terutama ikut membenahi infrastruktur, tak hanya urusan militer.

"Komisi I DPR RI mendukung kegiatan penempatan TNI di pulau-pulau terdepan, dengan mengedepankan misi Kesejahteraan Rakyat (Kesra), khususnya membangun infrastruktur," katanya.

Selain itu, ujarnya, para anggota Korps Marinir ini bisa pula disiapkan untuk memberikan pelatihan ketahanan pangan, seperti bercocoktanam, menangkap dan menangkar ikan, serta ketrampilan teknis tertentu, di antaranya mesin, elektronika, maupun bangunan.

"Yang perlu dipahami, bahwa yang disebut menjaga perbatasan, harus diimplementasikan secara komprehensif, yaitu darat, bawah tanah, laut, bawah laut, udara dan atas udara," ungkapnya.

Karenanya, ia lalu mempertanyakan, apakah kemampuan untuk mengamankan batas-batas wilayah tersebut, sudah mumpuni?

"Komisi I DPR RI sendiri menilai, bahwa kemampuan TNI masih kurang dari memadai. Ini yang harus disadari, dan dicarikan solusinya secara bertahap, `multi years`, namun menuju satu tujuan yang jelas," kata Fayakhun Andriadi..(*)
(ANT/M036)

Editor: Ruslan
COPYRIGHT © 2011
ANTARA

Naval Eurofighter: An Aircraft Carrier Version Under Development

Naval Eurofighter: An Aircraft Carrier Version Under Development


The development of carrier aviation during the 20th century led to a dramatic paradigm shift in military capability. For the first time, navies had the ability to exert their influence far over the horizon – supporting land campaigns and allowing hostile fleets to be engaged from beyond the range of a battleship’s guns. From Pearl Harbor to more recent conflicts in the Falklands and the Middle East, the carrier and its aircraft provide commanders with an unrivaled ability to project military and political influence; several acres of sovereign territory which can be moved close to potential trouble spots at short notice.
Historically, carrier aircraft have been highly specialized and designed specifically for the role. In the majority of cases, there is little or no commonality between the aircraft operated by a nation’s air force, and the different aircraft performing the same role in the Navy. Design decisions taken in order to optimise an aircraft for carrier operations can lead to trade-offs elsewhere – such as additional weight and low-speed handling characteristics that compromise performance in other areas of the envelope.
A classic example today is the F-18 in all its versions, heavy, slow and not capable of facing the most advanced threats emerging around the world.
For a number of years, Eurofighter GmbH and its industrial partners have been studying the feasibility of adapting Eurofighter Typhoon for the naval role. These studies have included the assessment of required design changes, piloted simulations to refine the aircraft’s handling qualities and discussions with key suppliers. The studies indicate that these changes are feasible, and would lead to the development of a world-beating, carrier-based fighter aircraft.
READY FOR LAUNCH
Modern carrier aircraft typically take off with the use of a catapult that attaches to the nose gear. These catapults are expensive to procure, maintain and operate. Catapult launch also leads to a heavier aircraft as a result of the additional weight on the aircraft’s structure.
Typhoon is well known for its exceptional thrust-to-weight ratio which has been regularly demonstrated at air shows and in customer flight trials. It also allows the aircraft to take off from a carrier using a “ski-jump”. Detailed simulations have shown that the aircraft will be able to take off in this way with a full weapon and fuel load – providing a nation with a truly potent naval aviation capability.
LANDINGS
Clearly one of the major challenges for any carrier-based aircraft is the arrested landing. Carrier aircraft fly a steep approach path and are brought to a halt rapidly by the arrestor gear. This leads to much higher loads being generated than would be the case for a land-based aircraft. Navalized Typhoon tackles this problem in two ways.
  • The introduction of a thrust-vectored variant of the Eurojet EJ200 engine would allow for a reduction in the aircraft’s approach speed and the resulting landing loads. Thrust vectoring (Engines with TVN are already tested on bench) could be fully integrated into the Typhoon’s advanced Flight Control System (FCS), allowing the pilot to focus on flying the approach path while the FCS manages the engine nozzle position.
  • The basic design of Typhoon also works in its favour during an arrested landing. The aircraft’s structure is exceptionally strong, having been designed from the outset for the high dynamic loads associated with extreme air combat maneuvering. This helps to minimize the structural changes required to enable carrier operations – usually seen as the biggest obstacle to developing a carrier-based variant of the aircraft.
SIMILARITIES
In any discussion of a navalized Typhoon, the differences from the land-based aircraft are the natural focus. However, one should also focus on the similarities. A key design driver for a navalized Typhoon has been to maximize commonality between the two variants. Design changes are minimized, allowing for many spare parts and test equipment to be shared across a customer’s air force and navy fleets. The sensors, systems and weapons available to both variants will be common, allowing for a reduction in the aircrew training requirements. And in addition, the two variants will benefit from a common upgrade path – new capabilities will be available to both the air force and navy in similar timescales.
The introduction of Thrust Vectoring potentially provides an additional boost to Typhoon’s capability. The ability to change the angle of the engines’ thrust will allow for a further enhancement in Typhoon’s already outstanding maneuverability, supercruise performances, fuel consumption and the handling of asymmetric weapon configuration.

BERITA POLULER