Kesultanan Aceh Darussalam |
|
Bendera |
Berkas:Aceh Sultanate id.svg
Berkas ini berasal dari Wikimedia Commons dan mungkin digunakan oleh proyek-proyek lain. Deskripsi dari halaman deskripsinya ditunjukkan di bawah ini. Riwayat berkasKlik pada tanggal/waktu untuk melihat berkas ini pada saat tersebut.
| Tanggal/Waktu | Miniatur | Dimensi | Pengguna | Komentar |
terkini | 19:22, 28 Desember 2009 | | 539×565 (361 KB) | Gunkarta | |
| 19:19, 28 Desember 2009 | | 539×565 (359 KB) | Gunkarta | |
Pranala berkas2 halaman berikut memiliki pranala ke berkas ini:
Penggunaan berkas globalWiki lain berikut menggunakan berkas ini:
- Penggunaan pada ms.wikipedia.org
Luas Kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, 1608-1637. |
Ibu kota | Bandar Aceh Darussalam (sekarang Banda Aceh) |
Bahasa | Aceh, Melayu, Arab |
Agama | Islam |
Pemerintahan | Monarki |
Sultan |
- 1496-1528 | Ali Mughayat Syah |
- 1874-1903 | Muhammad Daud Syah |
Sejarah |
|
- Penobatan sultan pertama | 1496 |
- Aceh War | 1903 |
Mata uang | Koin emas dan perak lokal |
|
Kesultanan Aceh Darussalam berdiri menjelang keruntuhan dari
Samudera Pasai yang pada tahun
1360 ditaklukkan oleh
Majapahit hingga kemundurannya di
abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau
Sumatera dengan ibu kota Kutaraja (
Banda Aceh) dengan sultan pertamanya adalah
Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada pada Ahad, 1 Jumadil awal 913
H atau pada tanggal
8 September 1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu (
1496 -
1903), Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.
Awal mula
Kesultanan Aceh didirikan oleh
Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun
1496. Di awal-awal masa pemerintahannya wilayah Kesultanan Aceh berkembang hingga mencakup
Daya,
Pedir,
Pasai,
Deli dan
Aru. Pada tahun
1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama
Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun
1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh
Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun
1568.
Masa kejayaan
Kesultanan Aceh mengalami masa keemasan pada masa kepemimpinan
Sultan Iskandar Muda (
1607 -
1636). Pada masa kepemimpinannya, Aceh telah berhasil memukul mundur kekuatan Portugis dari selat Malaka. Kejadian ini dilukiskan dalam La Grand Encyclopedie bahwa pada tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan pengaruhnya atas pulau-pulau Sunda (Sumatera, Jawa dan Kalimantan) serta atas sebagian tanah Semenanjung Melayu. Selain itu Aceh juga melakukan hubungan diplomatik dengan semua bangsa yang melayari Lautan Hindia. Pada tahun 1586, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas
Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Walaupun Aceh telah berhasil mengepung Melaka dari segala penjuru, namun penyerangan ini gagal dikarenakan adanya persekongkolan antara Portugis dengan
kesultanan Pahang.
Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing, seperti
Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U Adyan,
Syamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman,
Nuruddin Al-Raniri dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan
Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil.
Kemunduran
Kemunduran Kesultanan Aceh bermula sejak kemangkatan Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1641. Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tapanuli dan Mandailing, Deli serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan diantara pewaris tahta kesultanan.
Traktat London yang ditandatangani pada 1824 telah memberi kekuasaan kepada Belanda untuk menguasai segala kawasan British/Inggris di Sumatra sementara Belanda akan menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka di India dan juga berjanji tidak akan menandingi British/Inggris untuk menguasai Singapura.
Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan
Traktat Sumatera, dimana disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Setelah melakukan peperangan selama 40 tahun, Kesultanan Aceh akhirnya jatuh dan digabungkan sebagai bagian dari negara Hindia Timur Belanda. Pada tahun 1942, pemerintahan Hindia Timur Belanda jatuh di bawah kekuasan Jepang. Pada tahun 1945, Jepang dikalahkan Sekutu, sehingga tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan di ibukota Hindia Timur Belanda (Indonesia) segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Aceh menyatakan bersedia bergabung ke dalam Republik indonesia atas ajakan dan bujukan dari
Soekarno kepada pemimpin Aceh
Tengku Muhammad Daud Beureueh saat itu
[rujukan?].
Perang Aceh
Tuanku Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, sultan Aceh yang terakhir.
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan
perang terhadap Aceh pada
26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun
1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada
1892 dan
1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli
Islam dari
Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para
ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun
1898,
Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya,
Hendrikus Colijn, merebut sebagian besar Aceh.
Sultan Muhammad Daud akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda pada tahun
1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun
1904. Saat itu, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.
Sultan Aceh
Sultan Aceh merupakan penguasa / raja dari
Kesultanan Aceh, tidak hanya sultan, di Aceh juga terdapat Sultanah / Sultan Wanita. Daftar
Sultan yang pernah berkuasa di Aceh dapat dilihat lebih jauh di artikel utama dari
Sultan Aceh.
WIKIPEDIA