Pages

Sunday, August 29, 2010

India Tawari Indonesia Rudal Jelajah

Spek: Pengetahuan Rudal

BrahMos tampil di Naval Defence 2009 di Surabaya secara penuh. Menampilkan rancangan rudal BrahMos dipasang di kapal perang Indonesia. Tidak terlihat pejabat TNI AL berkunjung ke booth BrahMos saat admin berada di pameran. (Foto: @beritahankam)

17 Februari 2010, New Delhi -- Rudal jelajah supersonik produksi bersama India-Rusia telah ditawarkan ke sedikitnya empat negara, termasuk Indonesia. Demikian, ungkap seorang pejabat senior India, Selasa.

BrahMos Aerospace, perusahaan patungan India-Rusia, membutuhkan persetujuan kedua pemerintah untuk mengekspor senjata yang diklaim produsennya sebagai rudal jelajah tercepat di dunia itu.Rudal tersebut dijual dengan harga tiga juta dolar AS.

"Kami sedang dalam proses untuk mendapatkan izin (bagi penjualan) itu," kata pejabat eksekutif BrahMos Aerospace, A. Sivathanu Pillai, di sela pameran senjata di New Delhi.

Seorang eksekutif senior BrahMos mengatakan kepada AFP bahwa pembicaraan serius tentang penjualan versi rudal maritim telah berlangsung dengan Afrika Selatan, Brazil dan Chile.

Negara lain yang ditawari BrahMos adalah Indonesia. Negara ini ditawari rudal-rudal darat produksi BrahMos.

Direktur Pemasaran BrahMos, Praveen Pathak, mengatakan, pihaknya sepakat untuk tidak menjual rudal-rudal produk mereka ke negara-negara yang tidak bersahabat.

Rudal produksi India-Rusia itu dapat terbang dengan kecepatan satu kilometer per detik. BrahMos yakin bahwa dalam 10-15 tahun ke depan para produsen rudal jelajah Amerika maupun Prancis tidak dapat menyainginya karena perusahaan itu tidak hanya mampu meraih pertumbuhan tercepat tetapi juga biaya produksinya paling efisien, kata Pillai.

Rudal BrahMos membawa hulu ledak konvensional seberat 200 kilogram dengan jangkauan tembak 280 kilometer. Para pakar India dan Rusia memulai kerja sama mereka dalam pembuatan rudal ini pada 2001.

Rudal yang namanya merupakan perpaduan antara Brahmaputra India dan Moscova Rusia itu telah masuk jajaran alat utama sistim senjata militer India pada 2007.

KOMPAS.com

Rudal Yakhont Dipasang di KRI Oswald Siahaan-354

spek: Pengetahuan Rudal

KRI Karel Satsuitubun-356 sekelas dengan KRI Oswald Siahaan-354.

18 Februari 2010 -- Pembelian rudal Yakhont dan suku cadang Sukhoi senilai Rp 540 miliar pada tahun 2005. Sempat dipermasalahkan oleh DPR masa bakti 2004 - 2009, dianggap menyalahi aturan Kepmen No. 01 tahun 2005. DPR juga mempermasalahkan pembelian langsung dilakukan oleh TNI AU dan TNI AL tanpa melalui Dephan. Beruntunglah proses pembelian tetap berjalan tidak terhambat oleh birokrasi.

Saat ini, Divisi Kapal Perang PT. PAL Indonesia sedang memasang instalasi rudal Yakhont di fregat kelas Van Speijk KRI Oswald Siahaan-354. Menurut Kepala Proyek Pemasangan Rudal Yakhont Sutrisno, rudal Yakhont yang dibeli berjumlah empat buah, baru tiba di galangan kapal PT. PAL Indonesia bulan April. Pemasangan instalasi rudal sudah berlangsung tiga minggu dan diharapkan rampung Juni.

Sistim Sewaco fregat kelas Van Speijk/Ahmad Yani telah dimodernisasi oleh Thales.

Simulasi modernisasi Sewaco fregat kelas Van Speijk/Ahmad Yani ditampilkan Thales di Pameran Naval Defence di Surabaya tahun lalu. (Foto: @beritahankam)


Rudal SS-N-26 Yakhont buatan Rusia mampu melesat dengan kecepatan 2,5 Mach hingga maksimal jarak 300 km dan minimal 50 km. Yakhont mempunyai dimensi panjang 8,9 meter dan diameter 0,7 meter.

TNI AL membeli enam fregat kelas Van Speijk/Ahmad Yani dari Belanda, fregat dibuat pada era tahun 1960-an. KRI Ahmad Yani-351 (eks HrMs Tjerk Hiddens F804) dan KRI Slamet Riyadi-352 (eks HrMs Van Speijk F802) dioperasikan TNI AL sejak 1986, kemudian KRI Yos Sudarso-353 (eks HrMs Van Galen F803) 1987, KRI Oswald Siahaan-354 (eks HrMsVan Nes F805) 1988, KRI Abdul Halim Perdanakusumah-355 (eks HrMs Evertsen F815) 1989 dan terakhir KRI Karel Satsuitubun-356 (eks HrMs Isaac Sweers F814) 1990.

TEMPO Interaktif/@beritahankam

Malaysia Klaim Beberapa Wilayah RI

Kapal KF 2382 berbendera Malaysia disita petugas Stasiun Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Belawan, Medan, beberapa waktu lalu. Kapal ini satu dari dua kapal yang disita petugas di perairan Selat Malaka wilayah teritori Indonesia. Kedua kapal ini tak memiliki izin resmi menangkap ikan. (Foto: KOMPAS/Andy Riza Hidayat)

29 Agustus 2010 -- Indonesia adalah negara kepulauan terbesar dunia. Secara fisik, dia punya panjang garis pantai mencapai 81.000 kilometer dengan jumlah pulau mencapai lebih dari 17.500 pulau. Luas daratan 1,9 juta kilometer persegi, sementara luas perairan 3,1 juta kilometer persegi.

Bukan perkara mudah menjaga wilayah seluas itu. Apalagi sebagai negara kepulauan yang letaknya berada di antara dua samudra dan dua benua, Indonesia berbatasan setidaknya dengan 10 negara, mulai dari Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Australia, Papua Niugini, Timor Leste, Palau, hingga India.

Belum semua wilayah perbatasan dengan negara-negara tadi sudah disepakati. Beberapa di antaranya tengah dirundingkan, sementara sebagian lain masih dalam perencanaan walau beberapa segmen kawasan sudah disepakati. Sejumlah kawasan perbatasan yang masih dalam sengketa berpotensi besar memicu persoalan, seperti terakhir terjadi di perairan sebelah utara Pulau Bintan, Kepulauan Riau.

Pada saat berpatroli dan berhasil menangkap lima kapal nelayan Malaysia yang tengah beroperasi secara ilegal, tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) malah ditangkap dan ditahan Polisi Marin Diraja Malaysia di sel tahanan mereka di Johor Bahru. Insiden itu memicu kemarahan.

Insiden perbatasan, terutama di wilayah perairan tersebut, memang rentan terjadi, mengingat setiap negara punya klaim wilayah sendiri. Dalam kasus itu, Indonesia berpegangan pada Peta 349 Tahun 2009, sementara Malaysia berpatokan pada peta tahun 1979. Keduanya sama-sama mengklaim secara unilateral (sepihak).

Proses perundingan dengan Malaysia sayangnya terkendala banyak persoalan. Indonesia masih harus menunggu tuntasnya proses perundingan atas klaim kepemilikan gugus karang South Ledge, antara Malaysia dan Singapura.

Perundingan lanjutan, menurut Kementerian Luar Negeri Indonesia, telah digelar berkali-kali sejak 1969, juga terkendala pergantian pejabat pemerintahan terkait, terutama di Malaysia.

Terkait perbatasan dengan Malaysia, sejumlah wilayah perairan yang masih menjadi sengketa, antara lain, batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) untuk Segmen Selat Malaka; batas laut wilayah Indonesia-Malaysia untuk Segmen Selat Malaka Selatan; batas laut wilayah di Segmen Selat Singapura meliputi wilayah perairan seputar Pulau Batam, Bintan, dan Johor (Malaysia); batas ZEE Indonesia-Malaysia untuk Segmen Laut China Selatan; dan batas laut wilayah, ZEE, serta landas kontinen di Segmen Laut Sulawesi.

Namun begitu, sejak lima tahun terakhir (per tahun 2005 hingga Oktober 2009), sudah ada 15 kali perundingan digelar pada tingkat teknis dan serangkaian pertemuan informal. Rencananya kedua negara telah menyepakati proses pembahasan dipercepat menyusul insiden kali ini, dari yang seharusnya Oktober mendatang menjadi 6 September 2010 dalam bentuk Joint Ministrial Committee.

Sepanjang sejarah, wilayah perairan Indonesia berubah-ubah luasnya, sesuai dengan rezim aturan yang berlaku pada masanya. Menurut pakar hukum kelautan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Agus Brotosusilo, pada masa kolonialisasi Belanda, berlaku ketentuan Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie (TZMKO) 1939, yang dijiwai prinsip Mare Liberum (Freedom of The Sea) seorang genius hukum dan juga bapak hukum internasional asal Belanda, Hugo Grotius (1604).

Agus saat ini juga menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang Ideologi dan Politik Kementerian Pertahanan RI. Dia juga penulis naskah Expose Hasil Delegasi Indonesia saat mengegolkan prinsip ”Archipelagic State” Nusantara pada United Nations Conference on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982.

Dengan TZMKO itu, wilayah perairan teritorial milik Indonesia hanya diukur dari 3 mil laut dari setiap pulau. Akibatnya, kepulauan Indonesia dikelilingi dan dipisahkan oleh wilayah laut bebas. Dengan ketentuan sama masih diberlakukan saat Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya, 17 Agustus 1945, total luas wilayahnya mencapai 100.000 kilometer persegi.

Pada 13 Desember 1957, pemerintah mendeklarasikan Wawasan Nusantara, dikenal dengan Deklarasi Djuanda. Deklarasi ini menetapkan kawasan perairan di bagian dalam kepulauan Indonesia otomatis menjadi bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia. Sementara itu, ketentuan pengukuran 3 mil dari garis pantai setiap pulau diubah menjadi 12 mil.

Lebih lanjut pada April 1982 konsep Wawasan Nusantara diterima menjadi bagian konvensi hukum laut internasional hasil Konferensi PBB tentang hukum laut yang ketiga (UNCLOS).

Selain pengukuran 12 mil tadi, juga ditetapkan tentang kawasan ZEE yang cakupannya mencapai 200 mil dari garis pantai setiap pulau.

Untuk kawasan ZEE, kewenangan hanya sebatas mengelola dan memelihara kekayaan alam saja, sementara di wilayah 12 mil tadi Indonesia punya kedaulatan penuh di daratan, perairan wilayah, dan bahkan terhadap tanah di bawah permukaan air dan ruang udara yang ada di atasnya (sovereign rights).

Sejak Sipadan dan Ligitan

Memahami sejarah sekaligus aturan yang berlaku terkait penentuan teritorial perairan seperti itu adalah keharusan. Agus mencontohkan, Malaysia sebetulnya mengakui dan menjadi anggota UNCLOS. Namun, sejak kemenangan klaim mereka atas Pulau Sipadan dan Ligitan, beberapa tahun lalu, Malaysia semakin percaya diri dan berkeras tetap berpatokan pada peta wilayah yang dibuatnya sendiri tahun 1979 (klaim unilateral).

”Peta itu memasukkan sejumlah wilayah perairan kita, sesuai UNCLOS, ke dalam wilayah mereka. Maka itu, terjadi sejumlah sengketa akibat klaim sepihak tadi, seperti sebelumnya di perairan Ambalat dan kemarin di sekitar Pulau Bintan,” kata Agus.

”Sayangnya, saat insiden 13 Agustus kemarin itu, posisi kita lemah karena kapal KKP tidak dilengkapi GPS. Padahal, dengan UNCLOS, wilayah kita sudah jelas,” ujar Agus.

Akibatnya, menurut Agus, petugas KKP tidak bisa mengklaim kapal-kapal nelayan dan patroli Polis Marin Diraja Malaysia (PMDM) telah melanggar wilayah kita berdasarkan titik koordinat yang diketahui GPS tadi. Bahkan, dalam wilayah sengketa sekalipun dibenarkan jika kedua belah pihak saling beradu klaim sepanjang memang bisa membuktikannya.

”Kalau memang yakin dan tahu aturan hukumnya, tentu kita bisa dan berani bersikap tegas. Meskipun mereka enggak mengakui, ya, tetap harus diperjuangkan klaim kita tadi. Tidak cuma itu, kalau kita menguasai masalah, dalam perundingan pun kita bisa mengambil keuntungan dari situ dan bahkan bisa menekan pihak lawan,” ujar Agus.

Agus mencontohkan, saat ini Malaysia punya pembangkit listrik berkapasitas besar di wilayah Sarawak yang jika ingin disambungkan ke kawasan Semenanjung Malaysia, pastinya kabel bawah laut pembangkit listrik tersebut harus melalui wilayah perairan Indonesia.

Pembangkit tersebut pastinya tidak banyak berguna jika hanya digunakan di seputar wilayah Sarawak yang kebanyakan masih dikelilingi hutan. Dengan pengetahuan seperti itu, bisa saja, menurut Agus, Pemerintah Indonesia memanfaatkannya untuk menekan Malaysia.

Misalnya, boleh saja Malaysia memasang kabel dasar laut penghubung untuk mengalirkan listriknya ke wilayah semenanjung mereka, tetapi sebagai kompensasi, mereka harus mengakui kawasan yang dipersengketakan selama ini, seperti di kawasan tempat terjadi insiden kemarin, sebagai wilayah kedaulatan Indonesia.

Intinya, ujar Agus, dengan memahami dan menguasai aturan hukum yang berlaku serta dukungan peralatan dan personel memadai, Indonesia bisa saja menekan Malaysia untuk mengikuti kemauannya tanpa perlu bersikap emosional setiap kali terjadi insiden provokasi dan pelanggaran wilayah oleh negara jiran itu. (Wisnu Dewabrata)

KOMPAS

RI Sama Sekali Tidak Takut Malaysia, TNI AD Siap Jaga Kedaulatan


Minggu, 29 Agustus 2010
JAKARTA, Ketua Dewan Direktur Sabang-Merauke Circe (SMC) Syahganda Nainggolan, menegaskan bangsa Indonesia lebih lama menahan kesabaran terhadap Malaysia. Namun karena mengaitkan adanya hubungan bangsa serumpun, Indonesia selalu bisa sabar dari waktu-waktu menghadapi Malaysia.
Hal itu disampaikan Syahganda di Jakarta, Minggu (29/8/2010) menanggapi pernyataan Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk Seri Anifah Aman di Putra Jaya, Malaysia, Kamis (26/8/2010) tentang sikap pemerintah Malaysia yang habis kesabarannya pada Indonesia, sekaligus mengancam mengeluarkan larangan bepergian (travel advisory) warganya ke Indonesia.
Parako
foto:kopassus mil
Sikap Menlu Malaysia dikemukakan akibat maraknya demonstrasi yang dilakukan aktivis Bendera (Benteng Demokrasi Rakyat) serta sejumlah massa lainnya di Kedutaaan Besar Malaysia di Jakarta, beberapa waktu lalu, dengan cara merobek bendera Malaysia serta melempari halaman kantar Kedubes dengan kotoran manusia.
"Sebenarnya kita yang sudah lama hilang kesabaran pada Malaysia, setelah melalui berbagai tindakan langsung maupun provokatif Malaysia kepada Indonesia, baik dengan mengganggu kedaulatan hukum dan wilayah Indonesia, pelecehan serta penganiayaan warganegara atau Tenaga Kerja Indonesia, maupun cara lainnya yang bertendensi merendahkan bangsa ataupun kedaulatan negara kita," ujar Syahganda.
Menurutnya, jika tidak bersabar melayani Malaysia, Indonesia sudah lebih lama dapat mengganggu Malaysia secara mudah. Namun sebaliknya hal itu tidak pernah dilakukan pihak Indonesia.
Dikatakan, Malaysia tidak perlu bersikap arogan dengan mengancam Indonesia, karena sebagai bangsa yang besar dan memiliki pengaruh sejarah berupa keberanian dalam berbahadapan dengan bangsa-bangsa lain, Indonesia jelas tidak takut sama sekali terhadap Malaysia.
TNI Siap Jaga Perbatasan

Jakarta - Tentang memanasnya hubungan Malaysia - RI, TNI AD tidak akan mencampuri langkah-langkah politik, namun TNI AD akan selalu siap bersiaga.

Hal ini disampaikan Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad) Brigadir Jenderal S Widjanarko, ketika menjawab pertanyaan mengenai kemungkinan terburuk pasca insiden penangkapan 3 personel KKP.

"Tugas dan fungsi TNI sesuai dengan amanat UUD 45 sebagai penjaga kedaulatan negara," kata Widjanarko, saat jumpa pers di kantornya, Jalan Veteran V, Jakarta Pusat, Jumat (27/8/2010).

Widjanarko enggan berkomentar banyak mengenai sikap TNI AD terhadap masalah RI-Malaysia saat ini. Menurutnya, porsi perhatian TNI AD bukanlah aspek politik dan diplomasi, melainkan pembinaan internal sebagai kesiapan untuk menghadapi segala situasi.
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/c/cc/Kopasus28.jpg
foto Dimuat di INILAH.COM tgl 16/04/2008 – 15:44
Oleh : Mega Simarmata

"TNI AD tetap dalam kerangka pembinaan. Pembinaan itu membina atau menyiapkan suatu wadah untuk supaya siap perang. Siap gunakan bukan kita tapi Panglima TNI. Kalau ada desakan-desakan silakan ke Mabes TNI, tidak ke sini," kata dia.
Komando1
foto kopassus mil

Ia mencontohkan pembinaan yang dilakukan pihaknya dalam mengembleng personel TNI adalah dengan latihan tembak, taktik patroli, bahkan gerilya. "Kita hanya menyiapkan bagaimana prajurit batalyon ini bisa menembak satu kepala satu peluru," jelasnya.(Ars)

Sbr : Kompas, Detik,rindam brawijaya

Diplomasi Menlu Lemah, SBY Diminta Turun Tangan Hadapi Malaysia

Senin, 30/08/2010 02:05 WIB

Hery Winarno - detikNews


Jakarta - Indonesia dan Malaysia akan melakukan pertemuan membahas permasalahan yang sedang hangat di kedua negara. Meskipun pertemuan tersebut adalah pertemuan tingkat menteri, namun sebaiknya SBY sendiri yang memimpin pertemuan tersebut.

"Ini sebenarnya merupakan pertemuan tingkat menteri (joint ministerial level) yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri (Menlu). Namun ada baiknya Presiden sendiri yang menghadiri dan memimpinnya," ujar Guru Besar Hukum Internasional FHUI Hikmahanto Juwana lewat pers rilis yang diterima detikcom, Senin (30/8/2010).

Pertemuan yang direncanakan berlangsung pada Tanggal 6 September 2010 tersebut akan dihadiri Menlu Marty Natalegawa sedangkan dari Malaysia akan diwakili oleh Perdana Menteri Najib Tun Razak. Namun menurut Hikmahanto, publik Indonesia sudah tidak percaya pada kemampuan diplomasi Menlu Marty Natalegawa.

"Diplomasi Marty tidak memadai, bahkan cenderung lemah. Kini saatnya kemampuan berdiplomasi Presiden diuji mengingat kemampuan diplomasi Menlu Marty sudah tidak dipercaya lagi oleh publik Indonesia," tambahnya

Diharapkan Presiden dengan PM Najib dapat mencari solusi yang terbaik untuk kedua negara bertetangga ini.

"Solusi yang terbaik adalah solusi yang tidak hanya bisa diterima di tingkat pemerintahan tetapi juga diterima oleh publik kedua negara," ujarnya.
(her/van)
detik

Royal Navy's Most Powerful Submarine Gets Royal Approval



27 August 2010 -- The UK’s most powerful attack submarine, HMS Astute, has been welcomed into the Royal Navy today.

In a Commissioning ceremony overseen by the boat's patron, the Duchess of Cornwall, Astute officially became 'Her Majesty's Ship'.

HMS Astute is quieter than any of her predecessors, meaning she has the ability to operate covertly and remain undetected in almost all circumstances despite being fifty per cent bigger than any attack submarine in the Royal Navy’s current fleet.

The latest nuclear powered technology means she will never need to be refuelled and can circumnavigate the world submerged, creating the crew's oxygen from seawater as she sails.

The submarine has the capacity to carry a mix of up to 38 Spearfish heavyweight torpedoes and Tomahawk Land Attack Cruise missiles – and can target enemy submarines, surface ships and land targets with pinpoint accuracy, while her world-beating sonar system has a range of 3,000 nautical miles.

The First Sea Lord, Admiral Sir Mark Stanhope, said:

“The Astute Class is truly next generation –- a highly versatile platform, she is capable of contributing across a broad spectrum of maritime operations around the globe, and will play an important role in delivering the fighting power of the Royal Navy for decades to come. A highly complex feat of naval engineering, she is at the very cutting edge of technology, with a suite of sensors and weapons required to pack a powerful punch.

“Today is an important milestone along the road to full operational capability which will follow after a further series of demanding seagoing trials testing the full range of the submarine’s capabilities.”


HMS Astute has today also reached an important milestone on the road to operational handover. Following the successful completion of the first rigorous set of sea trials, which began at the end of 2009, she has achieved her In Service Date, signalling that she has proven her ability to dive, surface and operate across the full range of depth and speed independently of other assets, thereby providing an initial level of capability.

Rear Admiral Simon Lister, Director of Submarines, who oversees the build programme of the class for the MOD, said:

“To my mind Astute is a 7,000 tonne Swiss watch. There is an extraordinary amount of expertise that goes into putting one of these submarines together. There are stages when it’s like blacksmithing and there are stages when it’s like brain surgery.

“So to see Astute commissioned is momentous not only for the Royal Navy, who have been eagerly anticipating this quantum leap forward in capability, but for the thousands of people around the country who have been involved in the most challenging of engineering projects.”

Following the Commissioning, HMS Astute will return to sea for further trials of the submarine and her crew before she is declared as operational.

As the base port of all the Navy's submarines from 2016, Faslane will be home to the whole Astute class, which includes Ambush, Artful and Audacious which are already under construction in Barrow-in-Furness by BAE Systems.

Astute was built by BAE in Barrow-in-Furness with hundreds of suppliers around the country contributing component parts, including: Rolls Royce, Derby (Nuclear plant); Thales UK, Bristol (Visual system and Sonar 2076); Babcock, Strachan & Henshaw, Bristol (Weapon handling and discharge system). Astute is affiliated to the Wirral in the North West.


FACTS ABOUT HMS ASTUTE:

· She is 97 metres from bow to stern - longer than a football pitch

· Her 11.2 metre beam is wider than the width of four double-decker buses

· She displaces 7,400 tonnes of sea water - the equivalent of 65 blue whales

· Her cabling and pipe work would stretch from Glasgow to Dundee

She is the first Royal Navy submarine not to have a traditional periscope, instead using electro-optics to capture a 360 image of the surface for subsequent analysis by the Commanding Officer.

Astute is the first submarine to have an individual bunk for each crew member.
She manufactures her own oxygen from sea water as well as drinking water.
She could theoretically remain submerged for her 25 year life if it weren’t for the need to restock the crew’s food supplies.

She is faster under the water than she is on the surface – capable of speeds in excess of 20 knots although her top speed is classified.

Astute’s crew of 98 are fed by five chefs who, on an average patrol, will serve up 18,000 sausages and 4,200 Weetabix for breakfast.

Royal Navy

berita hankam

Malaysia Juga Punya Kepentingan Terkait Keberadaan TKI

Senin, 30/08/2010 04:10 WIB

Elvan Dany Sutrisno - detikNews


foto : dok. detik.com
Jakarta - Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddik menilai keberadaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia tidak hanya bermanfaat bagi Indonesia. Para TKI juga ikut serta menggerakkan roda perekonomian Malaysia disamping menambah devisa Indonesia.

"Soal 2 juta TKI, baik Indonesia maupun Malaysia memiliki kepentingan. TKI bekerja di sejumlah perkebunan di Malaysia dan itu sangat mempengaruhi perekonomian Malaysia," tegas Mahfudz, kepada detikcom, Senin (30/8/2010).

Oleh karena kedua negara saling membutuhkan, Mahfudz berharap Pemerintah Malaysia menghargai Indonesia. Pemerintah Malaysia diimbau untuk tidak mengeluarkan statement yang profokatif dan kontraproduktif.

"Pihak Malaysia kalau memang berkeinginan kuat untuk menjaga kondisi agar tidak panas hendaknya mereka juga menghindari pernyataan yang bisa disalahtafsirkan," imbau Mahfudz.

Pernyataan Mahfudz ini menanggapi pernyataan PM Malaysia Datuk Seri Najib Tun Razak yang memperingatkan Pemerintah Indonesia menertibkan demonstrasi. Najib sempat mengancam warganya akan murka jika Indonesia tidak mengikuti imbauannya. PM Najib juga menyinggung keberadaan 2 juta TKI di Malaysia.

Menurut Mahfudz, pernyataan tersebut sangat sepihak. Mahudz berharap pernyataan pedas seperti itu tidak terulang kembali.

"Kalau menurut saya, pernyataan tersebut kan bisa ditafsirkan bahwa hanya Indonesia yang membutuhkan Malaysia. Kalau memang mau saling menjaga perdamaian ya jangan diulangi," tutupnya.

(van/her)
detik news

BERITA POLULER