Pages

Friday, March 4, 2022

Takut Dengan Rusia, Israel Tolak Permintaan Ukraina Membeli Iron Dome

 


Jakarta, IDM – Israel menghentikan upaya Amerika Serikat untuk mentransfer beberapa baterai sistem pertahanan Iron Dome ke Ukraina. Israel khawatir hal itu akan merusak hubungannya dengan Rusia.

Penolakan yang terjadi pada pertengahan Februari lalu dan musim semi tahun lalu itu dilaporkan The Times of Israel pada Senin (28/02/22).

Menurut laporan tersebut, kemampuan sistem pertahanan Iron Dome – terutama selama perang Gaza 2021 – menarik minat para pejabat Ukraina.

Perwakilan negara itu mulai melakukan pendekatan dengan Washington pada tahun lalu untuk membujuk anggota parlemen Amerika Serikat (AS) mulai transfer sistem pertahanan roket dan mortir kepada Ukraina.

Pemerintah Ukraina secara resmi meminta pemerintahan Biden untuk mentransfer rudal Patriot dan Iron Dome ke Ukraina pada musim semi lalu.

Pada saat itu, ketika tidak ada kekhawatiran tentang kemungkinan invasi Rusia, baik anggota parlemen Demokrat maupun Republik mendukung penjualan tersebut.

Namun, karena Iron Dome merupakan proyek bersama Israel-Amerika, penjualan ke pihak ketiga tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan kedua negara pengembang.

Menurut laporan itu, para pejabat Israel menjelaskan kepada pemerintah AS dalam pembicaraan informal bahwa mereka tidak akan menyetujui transfer baterai Iron Dome ke Kyiv. Hal ini karena Isarel khawatir akan merusak hubungannya dengan Rusia, terutama mengingat pengaruh Moskow atas Suriah.

Yakin dengan argumen Israel, AS membatalkan pengiriman rudal Iron Dome dan Patriot.

Ukraina kemudian dalam beberapa bulan terakhir membuat permintaan langsung kepada pemerintah Israel dan meminta pejabat untuk menyetujui penjualan tersebut. Namun, permintaan ini kembali ditolak Israel.

Perang Rusia-Ukraina membuat pening Israel karena hubungan baik dengan kedua negara. Hubungan Israel dengan Rusia sensitif karena Israel melakukan serangan udara terhadap target terkait Iran di Suriah, yang bersekutu dengan Rusia, dan di mana pasukan Rusia hadir.

Ada juga komunitas Yahudi yang signifikan di Ukraina dan Rusia, yang diperhitungkan oleh Israel. (ADT)

 sumber : indonesiadefense.com

Kenapa Sih Rusia Bisa Serang Ukraina


 

Perang anatara Rusia dan Ukraina bukan tanpa sebab, Vladimir Putin betul-betul menggerakkan tentaranya untuk menyerbu Urkaina .

Rusia inigin menunjukkan dan memberi pelajaran saja kepada Amerika Serikat dan NATO bahwa dunia itu engak boleh di rajai oleh satu orang atua satu negara saja atua satu kelompok saja.

ketika Rusia menyerang Ukraina itu karena sudah kelewat kesal , wajar kesal karena sudah berlangsung kasusnya sejak tahun 2008.

"Kasus Unisoviet jatuh dan pecah kemudian Lituania dan Latvia diambil NATO atau masuk kedalam NATO engak apa apa karena jauh, tapi Ukraina kan deket, tapi pada tahun 2008 malah Ukraina dan Georgia diundang NATO untuk masuk, nah disitu awal kisruh, Putin sudah bilang jangan," katanya.

Bahkan pada saat itu sudah mewanti waktu AS agar hati hati. "Bayangin saja posisi Putin saat itu, kalau Putin masuk Mexico lalu taro rudal di Kanada perasaanmu seperti apa, itu kata Putin, nah itu seperti posisi NATO ambil Ukraina," katanya.

memang sejarah Uni Soviet dan Ukraina memang asalnya dari Kief pada abad 9, jadi akarnya sama dari Kiev.

"Jadi makanya ketika jadi Uni Soviet, Moskow sebagai kota pertama, dan Kiev kota kedua. Saat itu semua hulu ledak nuklir reaktor nuklir semuanya berada di Kiev," katanya.

Jadi sebenarnya Kiev dan Moskow memang kota yang penuh sejarah dan penuh cerita histori Rusia sehingga Rusia tidak mau tiba tiba Ukraina masih menjadi anggota NATO.

Rusia akhirnya benar-benar menyerang Ukraina. Presiden Vladimir Putin mengumumkan operasi militer secara resmi Kamis (24/2/2022).

Serangan Rusia kemudian dimulai dengan ledakan di sejumlah kota di Ukraina, termasuk Kyiv, Odessa, Kharkiv dan Mariupol. Hingga saat ini ketegangan masih berlangsung.

Sebenarnya, dulu Ukraina "rapat" dengan Rusia. Namun pemimpin Ukraina yang sekarang lebih dekat ke Barat dan ingin menjadi bagian NATO.

Padahal ketika Perang Dingin terjadi, sebelum 1990, orang-orang Ukraina dan Rusia bersatu dalam sebuah negara federasi bernama Uni Soviet. Negara komunis yang kuat di zaman itu.

Uni Soviet setelah Jerman kalah dan PD II selesai, memiliki pengaruh di belahan timur Eropa. Tak heran jika negara-negara di benua Eropa bagian timur juga menjadi negara-negara komunis.

Pada 1991, Uni Soviet dan Pakta Warsawa bubar. Di tahun yang sama, Ukraina memberikan suara untuk memerdekakan diri dari Uni Soviet dalam sebuah referendum.

Presiden Rusia Boris Yeltsin pada tahun itu, menyetujui hal tersebut. Selanjutnya Rusia, Ukraina dan Belarusia membentuk Commonwealth of Independent States (CIS).

Namun perpecahan terjadi. Ukraina menganggap bahwa CIS adalah upaya Rusia untuk mengendalikan negara-negara di bawah Kekaisaran Rusia dan Uni Soviet.

Pada Mei 1997, Rusia dan Ukraina menandatangani perjanjian persahabatan. Hal tersebut adalah upaya untuk menyelesaikan ketidaksepakatan.

Rusia diizinkan untuk mempertahankan kepemilikan mayoritas kapal di armada Laut Hitam yang berbasis di Krimea Ukraina. Rusia pun harus membayar Ukraina biaya sewa karena menggunakan Pelabuhan Sevastopol.

Hubungan Rusia dan Ukraina memanas lagi sejak 2014. Kala itu muncul revolusi menentang supremasi Rusia.

Massa antipemerintah berhasil melengserkan mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Kerusuhan bahkan sempat terjadi sebelum berdamai di 2015 dengan kesepakatan Minsk.

Revolusi juga membuka keinginan Ukraina bergabung dengan Uni Eropa (UE) dan NATO. Ini, mengutip Al-Jazeera, membuat Putin marah karena prospek berdirinya pangkalan NATO di sebelah perbatasannya.

Hal ini juga didukung makin eratnya hubungan sejumlah negara Eropa Timur dengan NATO. Sebut saja Polandia dan negara-negara Balkan.

Saat Yanukovych jatuh, Rusia menggunakan kekosongan kekuasaan untuk mencaplok Krimea di 2014. Rusia juga mendukung separatis di Ukraina timur, yakni Donetsk dan Luhansk, untuk menentang pemerintah Ukraina.

 Mulai Panas sejak Akhir 2021

Isu serangan bergulir sejak November 2021. Sebuah citra satelit menunjukkan penumpukan baru pasukan Rusia di perbatasan dengan Ukraina.

Moskow diyakini Barat memobilisasi 100.000 tentara bersama dengan tank dan perangkat keras militer lainnya. Intelijen Barat menyebut Rusia akan menyerang Ukraina.

Di Desember, pemimpin dunia seperti Presiden AS Joe Biden memperingatkan Rusia tentang sanksi ekonomi Barat jika menyerang Ukraina karena laporan yang semakin intens soal militer di perbatasan. Sejumlah pemimpin Eropa seperti Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan juga "turun gunung" menginisiasi negosiasi antara keduanya.

Di sisi lain, Rusia juga mulai melakukan latihan militer besar-besaran sejak awal Januari 2022. Semua angkatan laut dikerahkan. Latihan ini juga dilakukan di darat. Rusia bekerja sama dengan Belarusia, tetangga dekat sekaligus sekutunya.

Rusia membantah akan menyerang kala itu. Namun, negeri Putin mengajukan tuntutan keamanan yang terperinci kepada Barat.

Salah satu poinnya meminta NATO menghentikan semua aktivitas militer di Eropa Timur dan Ukraina. Rusia meminta aliansi tersebut untuk tidak pernah menerima Ukraina atau negara-negara bekas Soviet lainnya sebagai anggota.

Dalam wawancara esklusif dengan CNBC Indonesia 16 Februari, Duta Besar Rusia Untuk Indonesia, Lyudmila Georgievna Vorobieva, mengatakan Rusia tidak pernah berniat menyerang tetangganya itu. Ia menyebut isu ini muncul setelah dihembuskan AS, NATO dan para aliansinya.

"Semua histeria yang terjadi antara Rusia dan Ukraina telah ditargetkan untuk mengalihkan isu dari keamanan negara kami terkait Federasi Rusia. Kami melihat ekspansi NATO yang telah berjalan selama 30 tahun lebih dan kini infrastruktur NATO makin dekat ke perbatasan kami," jelasnya dalam wawancara kala itu.

"Pada situasi ini, Ukraina hanya dijadikan alat untuk mengobarkan informasi perang terhadap Rusia. Sementara negara kami tengah mengupayakan diplomasi, pihak Barat terus mengobarkan informasi perang dan menciptakan ketegangan di perbatasan Rusia-Ukraina."

"Sebenarnya tidak ada yang terjadi dan kami tidak berniat untuk menyatakan perang terhadap Ukraina. Tolong jangan salah paham kami justru menganggap Ukraina sebagai saudara kami," ujarnya lagi.

"Memerangi Ukraina adalah gagasan yang tidak masuk akal bagi kami."

 

Ia membeberkan NATO telah melakukan lima fase ekspansi, dari tahun 1999 hingga 2020.

 

Putin yang Tak Tepat Janji

Pada 15 Februari, Putin menegaskan akan menarik semua pasukan dari perbatasan. Ia mengatakan ini saat konferensi pers bersama Kanselir Jerman Olaf Scholz di Moskow, Rusia.

Putin mengatakan, Rusia tidak menginginkan perang. Menurut dia, Rusia siap mencari solusi dengan Barat.

"Kami siap untuk bekerja sama lebih jauh. Kami siap untuk masuk ke jalur negosiasi," ujar Putin seperti dilansir AFP kala itu.

Meski begitu, negara Barat meragukan hal ini. Bahkan intelijen NATO di Eropa Timur menyebut Rusia mungkin tetap akan menyerang meski terbatas, dengan menggunakan wilayah pemberontak Ukraina Timur.

Senin lalu, Putin tiba-tiba mengumumkan Donetsk (DPR) dan Luhansk (LRP), dua wilayah kontra pemerintah Ukraina, sebagai negara merdeka. Dengan alasan "menjaga perdamaian", Putin menandatangani dekrit mengirim pasukan ke Ukraina.

Kamis (24/2/2022), pernyataan Putin di depan Olaf tak terealisasi. Serangan benar dilakukan.

Putin mengumumkan operasi militer di Ukraina demi membela separatis di timur negeri itu. Ledakan terjadi di sejumlah kota di Ukraina termasuk Kyiv.

"Keadaan mengharuskan kami untuk mengambil tindakan tegas dan segera," kata Putin, dalam pidato yang disiarkan televisi, menurut transkrip RIA-Novosti.

"Donbass (wilayah milisi pro Rusia di Ukraina timur) meminta bantuan kepada Rusia. Dalam hal ini, sesuai dengan Pasal 51, bagian 7 Piagam PBB, dengan sanksi Dewan Federasi dan sesuai dengan perjanjian persahabatan yang diratifikasi oleh Federal Musyawarah dan gotong royong dengan DPR dan LPR, saya putuskan untuk melakukan operasi militer khusus," tambahnya.

Barat mengutuk tindakan Putin. Sejumlah negara bereaksi.

"Rusia memulai serangan ke Ukraina hari ini. Putin memulai perang melawan Ukraina, melawan seluruh dunia demokrasi. Dia ingin menghancurkan negara saya, negara kita, semua yang telah kita bangun, semua yang kita jalani," kata Presiden Ukraina Zelensky.

Mengapa Menyerang Ukraina?

Para ahli percaya Putin melakukan ini untuk tujuan memaksa perubahan di Ukraina. Rusia, ingin kepemimpinan Ukraina diganti menjadi pro Moskow.

"Berdasarkan pidato Putin ... Rusia melancarkan serangan besar di seluruh Ukraina dan bertujuan untuk menggulingkan pemerintah Kyiv melalui cara militer," kata Direktur Penelitian makro global di Eurasia Group, Henry Rome, dikutip CNBC International.

"Meskipun Putin mengklaim sebaliknya, kemungkinan ini akan mencakup pendudukan beberapa wilayah oleh pasukan Rusia."

Dikutip dari CNN International, dalam sebuah essai panjang yang dimuat Putin di Juli 2021, ia sempat menyebut Rusia dan Ukraina adalah "satu orang".

"Barat telah merusak Ukraina dan menariknya keluar dari orbit Rusia melalui perubahan identitas yang dipaksakan," tulis media itu menggambarkan tulisan Putin.

Dalam pertemuan dengan media yang dihadiri CNBC Indonesia pekan lalu, seorang pejabat senior Kedutaan Besar AS di Jakarta mengatakan pelanggaran terang-terangan Rusia terhadap hukum internasional menjadi tantangan langsung terhadap tatanan berbasis aturan internasional. Ukraina sendiri merupakan anggota PBB, yang artinya negara merdeka dan berdaulat.

"Jika Rusia diizinkan untuk membatasi kedaulatan Ukraina dengan mendikte aliansi Ukraina dan pilihan kebijakan luar negeri, dengan memerasnya dan melanggar integritas teritorialnya, itu dapat memberanikan orang lain yang ingin memperluas klaim teritorial ilegal termasuk di Laut China Selatan (LCS)," katanya.

"Merusak prinsip-prinsip tatanan berbasis aturan internasional melemahkan fondasi kerja sama internasional dan pelanggaran Rusia mengancam perdamaian dan stabilitas di benua Eropa."

 

Sumber : Dari berbagai Sumber

Friday, December 31, 2021

Hibah F-5 Korea Selatan Ditolak TNI AU


16 Mei 2013


Korea Selatan berniat menghibahkan satu skadron pesawat F-5 Tiger atas pembelian 16 pesawat latih T-50 Goldean Eagle (photo : daum)

 Jakarta (ANTARA News) - Itikad Korea Selatan menghibahkan F-5 Tiger ditolak TNI AU. Kepala Staf TNI AU, Marsekal TNI IB Putu Dunia,

 menyatakan penolakan lantaran tidak sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan. Tidak disebutkan apakah Korea Selatan telah mendapat pengganti armada F-5-nya.

"Karena spesifikasi pesawat F-5 Korea Selatan berbeda dengan yang dimiliki Indonesia," kata Dunia, usai menghadiri penutupan Sidang Umum dan Kongres Dewan Olahraga Militer Internasional atau Conseil International du Sport Militaire (CISM) Ke-68, di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, pesawat F-5 --tipe F-5E Tiger II-- milik Indonesia sudah banyak dimodifikasi, baik persenjataan atau avioniknya. Sedangkan, pesawat yang ditawarkan Korea Selatan minim modifikasi. Untuk mengaktualkan kemampuannya, TNI AU meluncurkan program MACAN pada masa lalu, yang juga melibatkan penyedia avionika Belgia dan Sagem, Prancis.

"Perbedaan spesifikasi ini justru menjadi beban di biaya perawatannya. Kalau bisa kami diberi pesawat yang sama dengan yang kami punya," katanya. Dunia menyatakan telah melaporkan penolakan itu kepada Menteri Pertahanan, Purnomo Yusgiantoro.

 

Beberapa bulan lalu, Korea Selatan secara sepihak menunda peluncuran Program KFX/IFX --satu proyek ambisius lompatan besar sekaligus jalan pintas perancangan dan pembuatan pesawat tempur generasi 5+ antara negara itu dan Indonesia-- justru pada saat tahap penilaian awal telah selesai ditempuh.

 

Padahal tahap penilaian awal itu menyatakan Program KFX/IFX ini sangat layak diteruskan, baik dari sisi rancang bangun, teknologi, biaya, kemampuan lain, hingga kemauan politik kedua negara. Skema pembiayaan dari kedua negara juga telah disepakati, untuk proyek yang diingini semula digelindingkan mulai 2015.

Korea Selatan juga diketahui sejak awal sangat mengidamkan boleh membeli F-22 Raptor, mengingat temperatur keamanan regionalnya cukup tinggi belakangan ini terkait agresivitas dan sensitivitas tetangganya, Korea Utara. Akan tetapi, Amerika Serikat lebih berselera menjual Raptor itu kepada Jepang.

Sejalan dengan penolakan Amerika Serikat itu, Korea Selatan lalu meluncurkan Program KFX; belakangan mengajak Indonesia mengingat Indonesia mulai memalingkan wajahnya kepada Korea Selatan sebagai sumber persenjataan. KT-1B Wong Bee dari Korea Seatan dan perbaikan menyeluruh KRI Nanggala-402 di negara itu.

Belakangan, ada sinyal dari Amerika Serikat bahwa Korea Selatan mulai dilirik untuk boleh memiliki Raptor. Latihan perang rutinFoal Eagle 2013 bahkan melibatkan B-2 Spirit dan satu flotila gugus tempur kapal induk USS Nimitz (CVN-68) ke Korea Selatan. Ini terbilang pelibatan sangat besar dalam latihan Foal Eagle selama ini.

 

(Antara)

BERITA POLULER