Laut Cina Selatan : Konflik Masa Depan Dunia.
Beberapa decade terakhir ini, kita disajikan berbagai konflik militer di berbagai belahan dunia. Namun yang paling banyak terdengar gaungnya adalah konflik militer di Timur Tengah, seperti Perang Iran-Irak, Invasi NATO ke Afganistan, Irak, ancaman ‘nuklir’ Iran, dan lain sebagainya. Sehingga dapat dikatakan bahwa dimasa lalu, konflik militer di Timur Tengah merupakan konflik militer yang paling mendapat perhatian dunia Internasional.
Namun Trend ini sepertinya akan sedikit bergeser kearah Asia Tenggara. Hal ini bisa di lihat perkembangan militer dan pengaruh Geopolitik Cina yang semakin besar di kawasan ASEAN yang dahulunya merupakan “wilayah kekuasaan” Amerika Serikat sebagai “penguasa tunggal” pasca tumbangnya Uni Soviet (Perang Dingin). Perkembangan Militer China yang begitu pesat membuat pengaruh China begitu kuat di ASEAN, bahkan sudah bisa menandingi pengaruh Amerika Serikat dan Sekutunya di ASEAN. Nah, Amerika Serikat yang tidak ingin kehilangan pengaruhnya di ASEAN, akhirnya merubah focus kehadiran militer mereka yang semula di fokuskan di Timur Tengah, akhirnya di geser ke Asia Pasific. Hal ini sudah di konfirmasi oleh pemerintah AS, dan ditandai dengan penempatan sekitar 2500 personel Marinir AS di Australia.
Kawasan Laut Cina Selatan di ASEAN yang merupakan jalur pelayaran paling sibuk di dunia, memiliki makna yang sangat penting bagi Amerika Serikat maupun China. Jika mereka bisa menguasai laut Cina Selatan, maka secara otomatis mereka menguasai jalur perdagangan ekonomi yang sangat besar dan akan menaikkan daya tawar negara mereka. Amerika yang selama ini berkuasa disana, sekarang sudah mendapat penantang baru yaitu China.
China yang begitu menyadari pentingnya Jalur Laut Cina Selatan, dengan didukung oleh militer mereka yang semakin kuat secara drastis, melakukan sebuah langkah yang sedikit “tidak masuk akal” namun cukup “beralasan” untuk melakukan Klaim Sepihak atas Kepulauan Paracel dan Spratly yang berada di kawasan Laut Cina Selatan. Dikatakan “tidak masuk akal” karena wilayah yang di klaim berada ribuan kilometer dari wilayah daratan terluar China. Dikatakan “beralasan” karena mereka memang memiliki alasan yang kuat (menurut versi mereka) untuk melakukan claim, yaitu karena begitu pentingnya Jalur Laut Cina Selatan di masa yang akan datang dan begitu kayanya kepulauan yang di klaim tersebut. Disini terlihat jelas bahwa Cina yang didukung militer yang sangat kuat begitu percaya diri untuk melakukan klaim wilayah “hanya” didasari oleh sejarah ribuan tahun yang lalu.
Akhirnya, saat ini, Konflik Laut China selatan mempertemukan dua kekuatan dunia saat ini yaitu China dan Amerika Serikat beserta sekutunya dalam berebut pengaruh di kawasan ASEAN untuk mendapatkan “Kepentingan Mereka Sendiri”. Negara-negara ASEAN yang seharusnya bersatu untuk kepentingan ASEAN, juga terpecah karena masing-masing negara memiliki Kepentingan-kepentingan berbeda di balik konflik ini.
Satu ASEAN, Berbeda Kepentingan di balik Konflik Laut Cina Selatan.
Negara ASEAN yang seharusnya menjadi “pemilik sah” dari Kepualaun Paracell dan Spartly, akhirnya terpecah oleh berbagai konflik kepentingan di baliknya. Kepualauan Paracell yang di Claim oleh China, juga di klaim oleh Vietnam dan Taiwan. Kepulauan Spartly juga diklaim oleh China, dan negara ASEAN lain juga terlibat dalam klaim secara parsial terhadap kepulauan ini. Tercatat Vietnam mengklaim sebagian kepualaun Spartly, Malaysia juga melakukan klaim sebagian kepualaun Spartly, tak tertinggal Filipina, Taiwan dan Brunai Darusalam. Bahkan sesame negara ASEAN juga memiliki klaim yang saling tumpang tindih. Itulah sebabnya negara-negara ASEAN tidak bisa bersatu menghadapi China dalam masalah klaim kepulauan ini.
Negara ASEAN dan Posisi Mereka dalam Konflik Laut Cina Selatan.
Ada satu pepatah yang menurut saya berlaku dalam kasus ini, yaitu “Posisi satu negara dalam satu konflik, bergantung kepada kepentingan negara tersebut terhadap konflik itu”. Bisa dikatakan bahwa semua negara ASEAN, baik yang terlibat secara langsung mauapun tidak langsung dalam konflik LCS, akan menaruh perhatian besar terhadap kepentingan mereka dalam menentukan posisi mereka. Nah, saat ini mari kita kaji posisi negara-negara ASEAN dalam konflik LCS ini. Mungkin tidak semua negara yang saya sebutkan, tetapi hanya negara yang “cukup berpengaruh” saja.
Vietnam adalah negara yang paling keras menentang klaim sepihak Cina atas kepulauan Paracell dan Spratly. Hal ini bisa dilihat dari modernisasi militer Vietnam secara besar-besaran untuk mengimbangi militer China. Sebut saja pembelian 6 Kapal Selam Kilo Class dari Rusia, rudal Yakhont versi Land Based, pembelian puluhan jet Tempur Sukhoi yang semuanya dari Rusia. Ini sudah menunjukkan sikap Vietnam yang menentang China. Amerika Serikat yang mengetahui sikap Vietnam ini berusaha untuk melakukan pendekatan dengan Vietnam untuk membendung pengaruh China di ASEAN. Vietnam “mau” menerima Amerika tetapi tidak dengan tangan yang terlalu terbuka. Memori perang Vietnam jelas masih mengakar secara kuat di Vietnam, sehingga Vietnam tidak terlalu membuka diri bagi Amerika. Vietnam memang membuka diri dengan Amerika berupa latihan gabungan AL Vietnam dan AL AS di sekitar laut China Selatan beberapa waktu lalu. Tapi itu tidak menandakan Vietnam adalah sekutu AS, karena Vietnam lebih Condong kepada Rusia yang juga memiliki “kepentingan tidak langsung” dalam mengimbangi kekuatan Amerika dan China.
Filipina adalah salah satu negara yang telibat langsung dalam konflik ini, dan bisa dikatakan memiliki kekuatan militer yang sangat lemah sekali. Filipina sama sekali tidak memiliki kapabilitas untuk mempertahankan klaim mereka atas Kepulauan Spratly, karena militer yang sangat lemat. Padahal secara letak Geografis, Filipina adalah negara yang “paling masuk akal” sebagai pemilik kepualan Spartly. Oleh sebab itu, mau tidak mau, Filipina harus meminta bantuan negara lain untuk menghadapi China dan Negara lain yang juga melakukan klaim terhadap kepulauan Spartly. Jadilah Filipina menjadi sekutu Amerika, yang sama-sama memiliki kepentingan untuk menghadapi musuh bersama yaitu China.
Malaysia yang juga terlibat secara langsung dalam konflik ini, belum pernah secara langsung menunjukkan keberpihakan mereka ke Amerika Serikat atau China. Malaysia jelas tidak mungkin berpihak kepada China, karena mereka memiliki klaim yang tumpang tindih. Namun Malaysia sepertinya kelihatan masih sedikit “malu-malu” memperlihatkan keberpihakan mereka kepada Amerika dalam membendung pengaruh China di konflik LCS ini. Malaysia kelihatannya mencoba “bermain aman” dengan tidak terlalu terang-terangan menantang China, dan juga tidak terlalu terang-terangan berpihak kepada Amerika Serikat. Malaysia saat ini lebih memilih memodernisai militer mereka dengan membeli produk-produk Rusia dan Prancis dibandingkan produk-produk AS.
Singapura yang tidak terlibat secara langsung dalam konflik ini, namun memiliki kepentingan yang sangat besar dalam konflik ini. Jika terjadi konflik berkepanjangan dalan konflik LCS ini, maka akan mengganggu stabilitas kawasan yang secara langsung akan berdampak kepada perekonomian negara tersebut. Selain itu, Singapura yang merupakan “Sahabat Karib” Amerika Serikat jelas akan berpihak kepada Amerika Serikat karena mereka memiliki kepentingan yang sama, yaitu membendung pengaruh China. Namun Singapura juga tidak mau secara terang-terangan “menentang China”, hal ini bisa dilihat dari pernyataan petinggi Singapura beberapa waktu lalu bahwa Singapura adalah sahabat bagi China. Tentu pengertian sahabat disini adalah bahasa diplomatis yang maknanya sarat dengan kepentingan dan trik diplomasi. Namun dibalik pernyataan Sahabat tersebut, Singapura memberikan ruangan bagi kehadiran militer Amerika di wilayah mereka, untuk memudahkan Amerika menjangkau kawasan Laut Cina Selatan.
Thailand setali tiga uang dengan Singapura, sepertinya akan lebih memihak Amerika Serikat. Hal ini karena mereka tidak secara langsung terlibat, namun mereka memiliki konflik dengan Kamboja yang merupakan sekutu dekat China. Seperti kita ketahui bahwa militer Thailand kebanyakan menggunakan alutsista produk Amerika.
Dimana Posisi Indonesia??
Bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah negara yang paling “netral” dalam konflik Laut China Selatan ini. Netral dalam artian netral yang berdasarkan kepentingan Indonesia juga tentunya. Indonesia tidak mau secara terang-terangan mendukung Amerika dalam membendung pengaruh China. Indonesia juga tidak melakukan penolakan berarti terhadap “pendekatan” yang dilakukan China dalam mengimbangi kekuatan Amerika di ASEAN.
Seperti kita ketahui, Indonesia sudah mengalami pengalaman pahit dalam Embargo Militer yang dilakukan Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu. Hal ini menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia untuk tidak lagi sepenuhnya percaya kepada Amerika Serikat. Indonesia memiliki kepentingan untuk “melemahkan” pengaruh Amerika Serikat di ASEAN. Kita tau selama ini, kualitas alutsista yang diizinkan oleh Amerika Serikat untuk dimiliki Indonesia akan selalu berada kualiatas Alutsista yang diberikan kepada Singapura, Australia dan Malaysia. Ini sepertinya sudah merupakan Grand Design dari Amerika dan Sekutunya untuk membatasi kekuatan militer Indonesia. Hal ini karena bayangan kekuatan militer Indonesia seperti di tahun 1960-an didukung posisi geografis strategis dan luas wilayah, akan membuat pengaruh AS dan sekutunya berkurang bila militer Indonesia kuat.
Nah, bila pengaruh China semakin kuat di ASEAN, maka pengaruh Amerika Serikat akan semakin menurun, sehingga Amerika tidak lagi bisa menerapkan Grand Design untuk menempatkan kekuatan militer Indonesia untuk selalu berada di bawah kekuatan miliiter Singapura, Australia dan Malaysia. Meningkatnya pengaruh China dan Rusia di ASEAN dan Asia Pasifik, secara tidak langsung sangat bermanfaat untuk Indonesia untuk tidak lagi pasrah menerima Grand Design Amerika dan Sekutunya untuk membuat militer Indonesia dibawah Singapura, Australia dan Malaysia.
Namun disisi lain, meningkatnya pengaruh China di ASEAN, dimasa yang akan datang akan bisa menjadi blunder bagi Indonesia. Sebut saja wilayah Kepulauan Natuna yang juga berada di laut China Selatan, juga bisa saja diklaim oleh China di masa yang akan datang. Melihat peluang dan tantangan inilah Indonesia melakukan “permainan cantik” dimana satu sisi memberi ruang kepada Amerika Serikat dan disisi lain juga memberi ruang kepada China untuk berebut pengaruh kepada Indonesia.
Mengapa China dan Amerika Berebut pengaruh di ASEAN melalui Indonesia??
Saat ini, bisa dikatakan dua kekuatan dunia yaitu China dan Amerika sedan berebut pengaruh di ASEAN. Tidak hanya berebut pengaruh secara militer, tetapi juga berebut pengaruh dalam hal idiologi dan juga ekonomi. Terkait dengan konflik Laut Cina Selatan, keduanya juga berebut pengaruh secara militer untuk mendapatkan dukungan dari negara-negara ASEAN. Namun seperti yang saya jelaskan diatas, bahwa Indonesia termasuk negara yang paling “netral”. Posisi netral Indonesia dan fakta bahwa Indonesia adalah negara paling besar dan paling berpengaruh di ASEAN, membuat kedua kekuatan tersebut berusaha mengambil hati Indonesia agar Indonesia mendukung salah satunya.
Sebut saja Amerika yang “sedemikian baiknya” bersedia memberikan Hibah 24 F-16 Block 25 plus 6 pesawat F-16 sebagai Sparepart. Hibah tersebut adalah hibah gratis, namun Indonesia menginginkan untuk melakukan upgrade pesawat tersebut agar menjadi “setara” dengan F-16 Block 52. Bahkan desas-desu berkembang, bahwa Amerika Serikat juga memberikan izin kepada Indonesia untuk membeli rudal Canggih yaitu AIM-120 C sebagai senjata untuk F-16 ini nantinya. Hal ini dilihat dari paket upgrade tersebut yang menyertakan launcher untuk rudal AIM-120 C ini. Timbul pertanyaan, kenapa Amerika bisa menjadi sedemikian baik kepada Indonesia?? Bukankah beberapa waktu lalu, Amerika tanpa belas kasihan memberlakukan Embargo Militer kepada Indonesia? Dari beberapa pernyataan yang disampaikan oleh petinggi Amerika, terlihat bahwa mereka memberikan ”kebaikan” ini kepada Indonesia agar Indonesia mau bekerja sama dengan Amerika dalam membendung pengaruh China di ASEAN.
Tidak hanya sebatas itu, parlemen Amerika yang biasanya sangat “cerewet” mengkritisi setiap bantuan/akuisisi alutsista yang dibeli Indonesia dari Amerika maupun negara sekutunya. Namun kali ini, protes mengenai hibah F-16 ke Indonesia ini sepertinya sangat sedikit sekali. Menurut analisa saya sebagai admin AnalisisMiliter.com, hal ini dipengaruhi oleh resesi ekonomi yang dialami Amerika dan juga karena parlemen Amerika sadar bahwa Indonesia memiliki peranan besar dalam membendung pengaruh China di Indonesia.
Tidak hanya hibah F-16 saja, Amerika juga menjadi “sedemikian baik” dengan memberikan bantuan radar maritime untuk memantau Selat Malaka untuk Indonesia. Tak tanggung-tanggung, Amerika memberikan 12 unit radar maritime untuk Indonesia. Menurut Amerika dan pemerintah Indonesia, radar ini tidak dimaksudkan untuk memata-matai Indonesia. Namun penyataan diplomatis tersebut tidak usah kita terima mentah-mentah. Namun selama itu memberikan keuntungan bagi kepentingan Nasional Indonesia, why not?? Terkait Radar maritime ini, China tidak mau ketinggalan memberikan pengaruh dengan menawarkan bantuan paket radar maritime kepada Indonesia. Tak tanggung-tanggung nilai bantuan ini mencapai Rp 1,5 Triliun sebuah nilai yang cukup fantastis. Terlihat dengan jelas sekali kedua negara ini mencoba berebut pengaruh di Indonesia. Indonesia sih senang-senang saja menerima bantuan tersebut, selama hal itu bermanfaat positif bagi Indonesia dan juga tidak merugikan Indonesia.
China juga tidak mau ketinggalan dengan Amerika dalam berebut pengaruh di Indonesia. Jika Amerika begitu baik dengan memberikan Hibah + Upgrade F-16, maka China memberikan bantuan lain yang memang benar-benar di butuhkan Indonesia. Bantuan yang saya maksud adalah Transfer of Technology untuk rudal anti kapal C-705 dari China. Kita tau sendiri bahwa Indonesia sedang giat mengembangkan roket dengan harapan suatu hari nanti Indonesia bisa memproduksi Rudal sendiri. Kendala yang saat ini dialami Indonesia dalam mengembangkan Rudal adalah masalah pemandu dalam rudal. Teknologi ini belum dikuasai oleh Indonesia. Dengan adanya ToT rudal C-705 dari China ini, maka Indonesia bisa belajar banyak bagaimana membuat pemandu rudal dan juga masalah detail lainnya, sehingga suatu saat Indonesia bisa mengembangkan rudal sendiri. ToT Rudal (walaupun “hanya” sekelas C-705) akan sangat berarti kepada Indonesia, karena jika Indonesia berhasil dalam ToT ini dan punya kapabilitas untuk membuat rudal sendiri, maka secara otomatis akan menaikkan daya gentar militer Indonesia. Jika roket buatan LAPAN saja sudah memberikan efek gentar bagi tetangga, maka Rudal tentunya akan memberikan efek gentar yang jauh lebih besar.
Mengapa China begitu baik kepada Indonesia? Kita tau bahwa Indonesia bukan sekutu dekat China, lalu mengapa China begitu baik kepada Indonesia? Jawabannya adalah untuk mengimbangi pengaruh Amerika di Indonesia, sekaligus memastikan Indonesia tetap pada posisi netral (tidak menentang China) dalam konflik Laut China Selatan. Indonesia yang memang dari awal berada di posisi yang cukup netral tentunya tidak akan terlalu keberatan menerima Tawaran ToT C-705 ini. Bahkan Indonesia sangat senang sekali menyambut tawaran ini. Hal ini karena Indonesia memiliki kepentingan nasional sendiri di balik ToT C-705 ini. Selama kerja sama dengan China ini menguntungkan Indonesia, maka Indonesia akan menerima bantuan dengan tangan terbuka.
Sebenarnya masih banyak lagi perbutan pengaruh antara AS dan China di Indonesia. Namun dari penjelasan diatas sudah cukup menjelaskan bahwa posisi strategis dan posisi netral Indonesia dalam konflik Laut China Selatan sangat penting artinya bagi China maupun Amerika. Jika China berhasil mempengaruhi Indonesia untuk mendukung mereka dalam konflik Laut China Selatan, maka China akan memiliki posisi tawar yang lebih besar dalam konflik ini. Demikian juga dengan Amerika, jika mereka berhasil mempengaruhi Indonesia, maka Amerika juga memiliki posisi tawar yang labih besar di konflik Laut China Selatan ini.
Konflik LCS : Tantangan dan Peluang Bagi Indonesia.
Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa Indonesia benar-benar menjadi primadona dalam konflik Laut China Selatan ini. Ini merupakan sebuah tantangan yang harus di sikapi bijak oleh Indonesia dengan tetap berada pada garis netral yang tidak memihak pihak yang manapun, namun tetap memelihara tercapainya perdamaian dalam konflik LCS ini.
Konflik LCS ini juga menjadi peluang bagi Indonesia untuk melakukan modernisasi militernya dengan menerima bantuan militer baik dari China, Amerika, Rusia, Australia dan lainnya. Posisi netral Indonesia membuat bebagai tawaran datang, dan Indonesia harus menangkap peluang ini untuk melakukan modernisasi militer secara besar-besaran, namun tetap memperhatikan kepentingan Indonesia di balik semuanya.
Modernisasi militer Indonesia ini sangat penting artinya bagi Indonesia untuk menghadapi kemungkinan perkembangan konflik Laut China Selatan di masa yang akan datang dan konflik Ambalat yang saat ini menjadi konsern Indonesia. So, Indonesia harus benar-benar memanfaatkan posisi strategis dan posisi netralnya untuk mendapatkan sebanyak mungkin hal-hal yang menguntungkan kepentingan nasional Indonesia.
Beberapa decade terakhir ini, kita disajikan berbagai konflik militer di berbagai belahan dunia. Namun yang paling banyak terdengar gaungnya adalah konflik militer di Timur Tengah, seperti Perang Iran-Irak, Invasi NATO ke Afganistan, Irak, ancaman ‘nuklir’ Iran, dan lain sebagainya. Sehingga dapat dikatakan bahwa dimasa lalu, konflik militer di Timur Tengah merupakan konflik militer yang paling mendapat perhatian dunia Internasional.
Namun Trend ini sepertinya akan sedikit bergeser kearah Asia Tenggara. Hal ini bisa di lihat perkembangan militer dan pengaruh Geopolitik Cina yang semakin besar di kawasan ASEAN yang dahulunya merupakan “wilayah kekuasaan” Amerika Serikat sebagai “penguasa tunggal” pasca tumbangnya Uni Soviet (Perang Dingin). Perkembangan Militer China yang begitu pesat membuat pengaruh China begitu kuat di ASEAN, bahkan sudah bisa menandingi pengaruh Amerika Serikat dan Sekutunya di ASEAN. Nah, Amerika Serikat yang tidak ingin kehilangan pengaruhnya di ASEAN, akhirnya merubah focus kehadiran militer mereka yang semula di fokuskan di Timur Tengah, akhirnya di geser ke Asia Pasific. Hal ini sudah di konfirmasi oleh pemerintah AS, dan ditandai dengan penempatan sekitar 2500 personel Marinir AS di Australia.
Kawasan Laut Cina Selatan di ASEAN yang merupakan jalur pelayaran paling sibuk di dunia, memiliki makna yang sangat penting bagi Amerika Serikat maupun China. Jika mereka bisa menguasai laut Cina Selatan, maka secara otomatis mereka menguasai jalur perdagangan ekonomi yang sangat besar dan akan menaikkan daya tawar negara mereka. Amerika yang selama ini berkuasa disana, sekarang sudah mendapat penantang baru yaitu China.
China yang begitu menyadari pentingnya Jalur Laut Cina Selatan, dengan didukung oleh militer mereka yang semakin kuat secara drastis, melakukan sebuah langkah yang sedikit “tidak masuk akal” namun cukup “beralasan” untuk melakukan Klaim Sepihak atas Kepulauan Paracel dan Spratly yang berada di kawasan Laut Cina Selatan. Dikatakan “tidak masuk akal” karena wilayah yang di klaim berada ribuan kilometer dari wilayah daratan terluar China. Dikatakan “beralasan” karena mereka memang memiliki alasan yang kuat (menurut versi mereka) untuk melakukan claim, yaitu karena begitu pentingnya Jalur Laut Cina Selatan di masa yang akan datang dan begitu kayanya kepulauan yang di klaim tersebut. Disini terlihat jelas bahwa Cina yang didukung militer yang sangat kuat begitu percaya diri untuk melakukan klaim wilayah “hanya” didasari oleh sejarah ribuan tahun yang lalu.
Akhirnya, saat ini, Konflik Laut China selatan mempertemukan dua kekuatan dunia saat ini yaitu China dan Amerika Serikat beserta sekutunya dalam berebut pengaruh di kawasan ASEAN untuk mendapatkan “Kepentingan Mereka Sendiri”. Negara-negara ASEAN yang seharusnya bersatu untuk kepentingan ASEAN, juga terpecah karena masing-masing negara memiliki Kepentingan-kepentingan berbeda di balik konflik ini.
Satu ASEAN, Berbeda Kepentingan di balik Konflik Laut Cina Selatan.
Negara ASEAN yang seharusnya menjadi “pemilik sah” dari Kepualaun Paracell dan Spartly, akhirnya terpecah oleh berbagai konflik kepentingan di baliknya. Kepualauan Paracell yang di Claim oleh China, juga di klaim oleh Vietnam dan Taiwan. Kepulauan Spartly juga diklaim oleh China, dan negara ASEAN lain juga terlibat dalam klaim secara parsial terhadap kepulauan ini. Tercatat Vietnam mengklaim sebagian kepualaun Spartly, Malaysia juga melakukan klaim sebagian kepualaun Spartly, tak tertinggal Filipina, Taiwan dan Brunai Darusalam. Bahkan sesame negara ASEAN juga memiliki klaim yang saling tumpang tindih. Itulah sebabnya negara-negara ASEAN tidak bisa bersatu menghadapi China dalam masalah klaim kepulauan ini.
Negara ASEAN dan Posisi Mereka dalam Konflik Laut Cina Selatan.
Ada satu pepatah yang menurut saya berlaku dalam kasus ini, yaitu “Posisi satu negara dalam satu konflik, bergantung kepada kepentingan negara tersebut terhadap konflik itu”. Bisa dikatakan bahwa semua negara ASEAN, baik yang terlibat secara langsung mauapun tidak langsung dalam konflik LCS, akan menaruh perhatian besar terhadap kepentingan mereka dalam menentukan posisi mereka. Nah, saat ini mari kita kaji posisi negara-negara ASEAN dalam konflik LCS ini. Mungkin tidak semua negara yang saya sebutkan, tetapi hanya negara yang “cukup berpengaruh” saja.
Vietnam adalah negara yang paling keras menentang klaim sepihak Cina atas kepulauan Paracell dan Spratly. Hal ini bisa dilihat dari modernisasi militer Vietnam secara besar-besaran untuk mengimbangi militer China. Sebut saja pembelian 6 Kapal Selam Kilo Class dari Rusia, rudal Yakhont versi Land Based, pembelian puluhan jet Tempur Sukhoi yang semuanya dari Rusia. Ini sudah menunjukkan sikap Vietnam yang menentang China. Amerika Serikat yang mengetahui sikap Vietnam ini berusaha untuk melakukan pendekatan dengan Vietnam untuk membendung pengaruh China di ASEAN. Vietnam “mau” menerima Amerika tetapi tidak dengan tangan yang terlalu terbuka. Memori perang Vietnam jelas masih mengakar secara kuat di Vietnam, sehingga Vietnam tidak terlalu membuka diri bagi Amerika. Vietnam memang membuka diri dengan Amerika berupa latihan gabungan AL Vietnam dan AL AS di sekitar laut China Selatan beberapa waktu lalu. Tapi itu tidak menandakan Vietnam adalah sekutu AS, karena Vietnam lebih Condong kepada Rusia yang juga memiliki “kepentingan tidak langsung” dalam mengimbangi kekuatan Amerika dan China.
Filipina adalah salah satu negara yang telibat langsung dalam konflik ini, dan bisa dikatakan memiliki kekuatan militer yang sangat lemah sekali. Filipina sama sekali tidak memiliki kapabilitas untuk mempertahankan klaim mereka atas Kepulauan Spratly, karena militer yang sangat lemat. Padahal secara letak Geografis, Filipina adalah negara yang “paling masuk akal” sebagai pemilik kepualan Spartly. Oleh sebab itu, mau tidak mau, Filipina harus meminta bantuan negara lain untuk menghadapi China dan Negara lain yang juga melakukan klaim terhadap kepulauan Spartly. Jadilah Filipina menjadi sekutu Amerika, yang sama-sama memiliki kepentingan untuk menghadapi musuh bersama yaitu China.
Malaysia yang juga terlibat secara langsung dalam konflik ini, belum pernah secara langsung menunjukkan keberpihakan mereka ke Amerika Serikat atau China. Malaysia jelas tidak mungkin berpihak kepada China, karena mereka memiliki klaim yang tumpang tindih. Namun Malaysia sepertinya kelihatan masih sedikit “malu-malu” memperlihatkan keberpihakan mereka kepada Amerika dalam membendung pengaruh China di konflik LCS ini. Malaysia kelihatannya mencoba “bermain aman” dengan tidak terlalu terang-terangan menantang China, dan juga tidak terlalu terang-terangan berpihak kepada Amerika Serikat. Malaysia saat ini lebih memilih memodernisai militer mereka dengan membeli produk-produk Rusia dan Prancis dibandingkan produk-produk AS.
Singapura yang tidak terlibat secara langsung dalam konflik ini, namun memiliki kepentingan yang sangat besar dalam konflik ini. Jika terjadi konflik berkepanjangan dalan konflik LCS ini, maka akan mengganggu stabilitas kawasan yang secara langsung akan berdampak kepada perekonomian negara tersebut. Selain itu, Singapura yang merupakan “Sahabat Karib” Amerika Serikat jelas akan berpihak kepada Amerika Serikat karena mereka memiliki kepentingan yang sama, yaitu membendung pengaruh China. Namun Singapura juga tidak mau secara terang-terangan “menentang China”, hal ini bisa dilihat dari pernyataan petinggi Singapura beberapa waktu lalu bahwa Singapura adalah sahabat bagi China. Tentu pengertian sahabat disini adalah bahasa diplomatis yang maknanya sarat dengan kepentingan dan trik diplomasi. Namun dibalik pernyataan Sahabat tersebut, Singapura memberikan ruangan bagi kehadiran militer Amerika di wilayah mereka, untuk memudahkan Amerika menjangkau kawasan Laut Cina Selatan.
Thailand setali tiga uang dengan Singapura, sepertinya akan lebih memihak Amerika Serikat. Hal ini karena mereka tidak secara langsung terlibat, namun mereka memiliki konflik dengan Kamboja yang merupakan sekutu dekat China. Seperti kita ketahui bahwa militer Thailand kebanyakan menggunakan alutsista produk Amerika.
Dimana Posisi Indonesia??
Bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah negara yang paling “netral” dalam konflik Laut China Selatan ini. Netral dalam artian netral yang berdasarkan kepentingan Indonesia juga tentunya. Indonesia tidak mau secara terang-terangan mendukung Amerika dalam membendung pengaruh China. Indonesia juga tidak melakukan penolakan berarti terhadap “pendekatan” yang dilakukan China dalam mengimbangi kekuatan Amerika di ASEAN.
Seperti kita ketahui, Indonesia sudah mengalami pengalaman pahit dalam Embargo Militer yang dilakukan Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu. Hal ini menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia untuk tidak lagi sepenuhnya percaya kepada Amerika Serikat. Indonesia memiliki kepentingan untuk “melemahkan” pengaruh Amerika Serikat di ASEAN. Kita tau selama ini, kualitas alutsista yang diizinkan oleh Amerika Serikat untuk dimiliki Indonesia akan selalu berada kualiatas Alutsista yang diberikan kepada Singapura, Australia dan Malaysia. Ini sepertinya sudah merupakan Grand Design dari Amerika dan Sekutunya untuk membatasi kekuatan militer Indonesia. Hal ini karena bayangan kekuatan militer Indonesia seperti di tahun 1960-an didukung posisi geografis strategis dan luas wilayah, akan membuat pengaruh AS dan sekutunya berkurang bila militer Indonesia kuat.
Nah, bila pengaruh China semakin kuat di ASEAN, maka pengaruh Amerika Serikat akan semakin menurun, sehingga Amerika tidak lagi bisa menerapkan Grand Design untuk menempatkan kekuatan militer Indonesia untuk selalu berada di bawah kekuatan miliiter Singapura, Australia dan Malaysia. Meningkatnya pengaruh China dan Rusia di ASEAN dan Asia Pasifik, secara tidak langsung sangat bermanfaat untuk Indonesia untuk tidak lagi pasrah menerima Grand Design Amerika dan Sekutunya untuk membuat militer Indonesia dibawah Singapura, Australia dan Malaysia.
Namun disisi lain, meningkatnya pengaruh China di ASEAN, dimasa yang akan datang akan bisa menjadi blunder bagi Indonesia. Sebut saja wilayah Kepulauan Natuna yang juga berada di laut China Selatan, juga bisa saja diklaim oleh China di masa yang akan datang. Melihat peluang dan tantangan inilah Indonesia melakukan “permainan cantik” dimana satu sisi memberi ruang kepada Amerika Serikat dan disisi lain juga memberi ruang kepada China untuk berebut pengaruh kepada Indonesia.
Mengapa China dan Amerika Berebut pengaruh di ASEAN melalui Indonesia??
Saat ini, bisa dikatakan dua kekuatan dunia yaitu China dan Amerika sedan berebut pengaruh di ASEAN. Tidak hanya berebut pengaruh secara militer, tetapi juga berebut pengaruh dalam hal idiologi dan juga ekonomi. Terkait dengan konflik Laut Cina Selatan, keduanya juga berebut pengaruh secara militer untuk mendapatkan dukungan dari negara-negara ASEAN. Namun seperti yang saya jelaskan diatas, bahwa Indonesia termasuk negara yang paling “netral”. Posisi netral Indonesia dan fakta bahwa Indonesia adalah negara paling besar dan paling berpengaruh di ASEAN, membuat kedua kekuatan tersebut berusaha mengambil hati Indonesia agar Indonesia mendukung salah satunya.
Sebut saja Amerika yang “sedemikian baiknya” bersedia memberikan Hibah 24 F-16 Block 25 plus 6 pesawat F-16 sebagai Sparepart. Hibah tersebut adalah hibah gratis, namun Indonesia menginginkan untuk melakukan upgrade pesawat tersebut agar menjadi “setara” dengan F-16 Block 52. Bahkan desas-desu berkembang, bahwa Amerika Serikat juga memberikan izin kepada Indonesia untuk membeli rudal Canggih yaitu AIM-120 C sebagai senjata untuk F-16 ini nantinya. Hal ini dilihat dari paket upgrade tersebut yang menyertakan launcher untuk rudal AIM-120 C ini. Timbul pertanyaan, kenapa Amerika bisa menjadi sedemikian baik kepada Indonesia?? Bukankah beberapa waktu lalu, Amerika tanpa belas kasihan memberlakukan Embargo Militer kepada Indonesia? Dari beberapa pernyataan yang disampaikan oleh petinggi Amerika, terlihat bahwa mereka memberikan ”kebaikan” ini kepada Indonesia agar Indonesia mau bekerja sama dengan Amerika dalam membendung pengaruh China di ASEAN.
Tidak hanya sebatas itu, parlemen Amerika yang biasanya sangat “cerewet” mengkritisi setiap bantuan/akuisisi alutsista yang dibeli Indonesia dari Amerika maupun negara sekutunya. Namun kali ini, protes mengenai hibah F-16 ke Indonesia ini sepertinya sangat sedikit sekali. Menurut analisa saya sebagai admin AnalisisMiliter.com, hal ini dipengaruhi oleh resesi ekonomi yang dialami Amerika dan juga karena parlemen Amerika sadar bahwa Indonesia memiliki peranan besar dalam membendung pengaruh China di Indonesia.
Tidak hanya hibah F-16 saja, Amerika juga menjadi “sedemikian baik” dengan memberikan bantuan radar maritime untuk memantau Selat Malaka untuk Indonesia. Tak tanggung-tanggung, Amerika memberikan 12 unit radar maritime untuk Indonesia. Menurut Amerika dan pemerintah Indonesia, radar ini tidak dimaksudkan untuk memata-matai Indonesia. Namun penyataan diplomatis tersebut tidak usah kita terima mentah-mentah. Namun selama itu memberikan keuntungan bagi kepentingan Nasional Indonesia, why not?? Terkait Radar maritime ini, China tidak mau ketinggalan memberikan pengaruh dengan menawarkan bantuan paket radar maritime kepada Indonesia. Tak tanggung-tanggung nilai bantuan ini mencapai Rp 1,5 Triliun sebuah nilai yang cukup fantastis. Terlihat dengan jelas sekali kedua negara ini mencoba berebut pengaruh di Indonesia. Indonesia sih senang-senang saja menerima bantuan tersebut, selama hal itu bermanfaat positif bagi Indonesia dan juga tidak merugikan Indonesia.
China juga tidak mau ketinggalan dengan Amerika dalam berebut pengaruh di Indonesia. Jika Amerika begitu baik dengan memberikan Hibah + Upgrade F-16, maka China memberikan bantuan lain yang memang benar-benar di butuhkan Indonesia. Bantuan yang saya maksud adalah Transfer of Technology untuk rudal anti kapal C-705 dari China. Kita tau sendiri bahwa Indonesia sedang giat mengembangkan roket dengan harapan suatu hari nanti Indonesia bisa memproduksi Rudal sendiri. Kendala yang saat ini dialami Indonesia dalam mengembangkan Rudal adalah masalah pemandu dalam rudal. Teknologi ini belum dikuasai oleh Indonesia. Dengan adanya ToT rudal C-705 dari China ini, maka Indonesia bisa belajar banyak bagaimana membuat pemandu rudal dan juga masalah detail lainnya, sehingga suatu saat Indonesia bisa mengembangkan rudal sendiri. ToT Rudal (walaupun “hanya” sekelas C-705) akan sangat berarti kepada Indonesia, karena jika Indonesia berhasil dalam ToT ini dan punya kapabilitas untuk membuat rudal sendiri, maka secara otomatis akan menaikkan daya gentar militer Indonesia. Jika roket buatan LAPAN saja sudah memberikan efek gentar bagi tetangga, maka Rudal tentunya akan memberikan efek gentar yang jauh lebih besar.
Mengapa China begitu baik kepada Indonesia? Kita tau bahwa Indonesia bukan sekutu dekat China, lalu mengapa China begitu baik kepada Indonesia? Jawabannya adalah untuk mengimbangi pengaruh Amerika di Indonesia, sekaligus memastikan Indonesia tetap pada posisi netral (tidak menentang China) dalam konflik Laut China Selatan. Indonesia yang memang dari awal berada di posisi yang cukup netral tentunya tidak akan terlalu keberatan menerima Tawaran ToT C-705 ini. Bahkan Indonesia sangat senang sekali menyambut tawaran ini. Hal ini karena Indonesia memiliki kepentingan nasional sendiri di balik ToT C-705 ini. Selama kerja sama dengan China ini menguntungkan Indonesia, maka Indonesia akan menerima bantuan dengan tangan terbuka.
Sebenarnya masih banyak lagi perbutan pengaruh antara AS dan China di Indonesia. Namun dari penjelasan diatas sudah cukup menjelaskan bahwa posisi strategis dan posisi netral Indonesia dalam konflik Laut China Selatan sangat penting artinya bagi China maupun Amerika. Jika China berhasil mempengaruhi Indonesia untuk mendukung mereka dalam konflik Laut China Selatan, maka China akan memiliki posisi tawar yang lebih besar dalam konflik ini. Demikian juga dengan Amerika, jika mereka berhasil mempengaruhi Indonesia, maka Amerika juga memiliki posisi tawar yang labih besar di konflik Laut China Selatan ini.
Konflik LCS : Tantangan dan Peluang Bagi Indonesia.
Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa Indonesia benar-benar menjadi primadona dalam konflik Laut China Selatan ini. Ini merupakan sebuah tantangan yang harus di sikapi bijak oleh Indonesia dengan tetap berada pada garis netral yang tidak memihak pihak yang manapun, namun tetap memelihara tercapainya perdamaian dalam konflik LCS ini.
Konflik LCS ini juga menjadi peluang bagi Indonesia untuk melakukan modernisasi militernya dengan menerima bantuan militer baik dari China, Amerika, Rusia, Australia dan lainnya. Posisi netral Indonesia membuat bebagai tawaran datang, dan Indonesia harus menangkap peluang ini untuk melakukan modernisasi militer secara besar-besaran, namun tetap memperhatikan kepentingan Indonesia di balik semuanya.
Modernisasi militer Indonesia ini sangat penting artinya bagi Indonesia untuk menghadapi kemungkinan perkembangan konflik Laut China Selatan di masa yang akan datang dan konflik Ambalat yang saat ini menjadi konsern Indonesia. So, Indonesia harus benar-benar memanfaatkan posisi strategis dan posisi netralnya untuk mendapatkan sebanyak mungkin hal-hal yang menguntungkan kepentingan nasional Indonesia.
SUMBER : analisismiliter