Pages

Tuesday, August 28, 2012

Konflik Laut Cina Selatan dan Posisi Strategis Indonesia

Laut Cina Selatan : Konflik Masa Depan Dunia.


Beberapa decade terakhir ini, kita disajikan berbagai konflik militer di berbagai belahan dunia. Namun yang paling banyak terdengar gaungnya adalah konflik militer di Timur Tengah, seperti Perang Iran-Irak, Invasi NATO ke Afganistan, Irak, ancaman ‘nuklir’ Iran, dan lain sebagainya. Sehingga dapat dikatakan bahwa dimasa lalu, konflik militer di Timur Tengah merupakan konflik militer yang paling mendapat perhatian dunia Internasional.


Namun Trend ini sepertinya akan sedikit bergeser kearah Asia Tenggara. Hal ini bisa di lihat perkembangan militer dan pengaruh Geopolitik Cina yang semakin besar di kawasan ASEAN yang dahulunya merupakan “wilayah kekuasaan” Amerika Serikat sebagai “penguasa tunggal” pasca tumbangnya Uni Soviet (Perang Dingin). Perkembangan Militer China yang begitu pesat membuat pengaruh China begitu kuat di ASEAN, bahkan sudah bisa menandingi pengaruh Amerika Serikat dan Sekutunya di ASEAN. Nah, Amerika Serikat yang tidak ingin kehilangan pengaruhnya di ASEAN, akhirnya merubah focus kehadiran militer mereka yang semula di fokuskan di Timur Tengah, akhirnya di geser ke Asia Pasific. Hal ini sudah di konfirmasi oleh pemerintah AS, dan ditandai dengan penempatan sekitar 2500 personel Marinir AS di Australia.


Laut Cina selatan yang rawan konflik


Kawasan Laut Cina Selatan di ASEAN yang merupakan jalur pelayaran paling sibuk di dunia, memiliki makna yang sangat penting bagi Amerika Serikat maupun China. Jika mereka bisa menguasai laut Cina Selatan, maka secara otomatis mereka menguasai jalur perdagangan ekonomi yang sangat besar dan akan menaikkan daya tawar negara mereka. Amerika yang selama ini berkuasa disana, sekarang sudah mendapat penantang baru yaitu China.


China yang begitu menyadari pentingnya Jalur Laut Cina Selatan, dengan didukung oleh militer mereka yang semakin kuat secara drastis, melakukan sebuah langkah yang sedikit “tidak masuk akal” namun cukup “beralasan” untuk melakukan Klaim Sepihak atas Kepulauan Paracel dan Spratly yang berada di kawasan Laut Cina Selatan. Dikatakan “tidak masuk akal” karena wilayah yang di klaim berada ribuan kilometer dari wilayah daratan terluar China. Dikatakan “beralasan” karena mereka memang memiliki alasan yang kuat (menurut versi mereka) untuk melakukan claim, yaitu karena begitu pentingnya Jalur Laut Cina Selatan di masa yang akan datang dan begitu kayanya kepulauan yang di klaim tersebut. Disini terlihat jelas bahwa Cina yang didukung militer yang sangat kuat begitu percaya diri untuk melakukan klaim wilayah “hanya” didasari oleh sejarah ribuan tahun yang lalu.


Akhirnya, saat ini, Konflik Laut China selatan mempertemukan dua kekuatan dunia saat ini yaitu China dan Amerika Serikat beserta sekutunya dalam berebut pengaruh di kawasan ASEAN untuk mendapatkan “Kepentingan Mereka Sendiri”. Negara-negara ASEAN yang seharusnya bersatu untuk kepentingan ASEAN, juga terpecah karena masing-masing negara memiliki Kepentingan-kepentingan berbeda di balik konflik ini.


Satu ASEAN, Berbeda Kepentingan di balik Konflik Laut Cina Selatan.


Negara ASEAN yang seharusnya menjadi “pemilik sah” dari Kepualaun Paracell dan Spartly, akhirnya terpecah oleh berbagai konflik kepentingan di baliknya. Kepualauan Paracell yang di Claim oleh China, juga di klaim oleh Vietnam dan Taiwan. Kepulauan Spartly juga diklaim oleh China, dan negara ASEAN lain juga terlibat dalam klaim secara parsial terhadap kepulauan ini. Tercatat Vietnam mengklaim sebagian kepualaun Spartly, Malaysia juga melakukan klaim sebagian kepualaun Spartly, tak tertinggal Filipina, Taiwan dan Brunai Darusalam. Bahkan sesame negara ASEAN juga memiliki klaim yang saling tumpang tindih. Itulah sebabnya negara-negara ASEAN tidak bisa bersatu menghadapi China dalam masalah klaim kepulauan ini.


Negara ASEAN dan Posisi Mereka dalam Konflik Laut Cina Selatan.


Ada satu pepatah yang menurut saya berlaku dalam kasus ini, yaitu “Posisi satu negara dalam satu konflik, bergantung kepada kepentingan negara tersebut terhadap konflik itu”. Bisa dikatakan bahwa semua negara ASEAN, baik yang terlibat secara langsung mauapun tidak langsung dalam konflik LCS, akan menaruh perhatian besar terhadap kepentingan mereka dalam menentukan posisi mereka. Nah, saat ini mari kita kaji posisi negara-negara ASEAN dalam konflik LCS ini. Mungkin tidak semua negara yang saya sebutkan, tetapi hanya negara yang “cukup berpengaruh” saja.


Vietnam adalah negara yang paling keras menentang klaim sepihak Cina atas kepulauan Paracell dan Spratly. Hal ini bisa dilihat dari modernisasi militer Vietnam secara besar-besaran untuk mengimbangi militer China. Sebut saja pembelian 6 Kapal Selam Kilo Class dari Rusia, rudal Yakhont versi Land Based, pembelian puluhan jet Tempur Sukhoi yang semuanya dari Rusia. Ini sudah menunjukkan sikap Vietnam yang menentang China. Amerika Serikat yang mengetahui sikap Vietnam ini berusaha untuk melakukan pendekatan dengan Vietnam untuk membendung pengaruh China di ASEAN. Vietnam “mau” menerima Amerika tetapi tidak dengan tangan yang terlalu terbuka. Memori perang Vietnam jelas masih mengakar secara kuat di Vietnam, sehingga Vietnam tidak terlalu membuka diri bagi Amerika. Vietnam memang membuka diri dengan Amerika berupa latihan gabungan AL Vietnam dan AL AS di sekitar laut China Selatan beberapa waktu lalu. Tapi itu tidak menandakan Vietnam adalah sekutu AS, karena Vietnam lebih Condong kepada Rusia yang juga memiliki “kepentingan tidak langsung” dalam mengimbangi kekuatan Amerika dan China.


Filipina adalah salah satu negara yang telibat langsung dalam konflik ini, dan bisa dikatakan memiliki kekuatan militer yang sangat lemah sekali. Filipina sama sekali tidak memiliki kapabilitas untuk mempertahankan klaim mereka atas Kepulauan Spratly, karena militer yang sangat lemat. Padahal secara letak Geografis, Filipina adalah negara yang “paling masuk akal” sebagai pemilik kepualan Spartly. Oleh sebab itu, mau tidak mau, Filipina harus meminta bantuan negara lain untuk menghadapi China dan Negara lain yang juga melakukan klaim terhadap kepulauan Spartly. Jadilah Filipina menjadi sekutu Amerika, yang sama-sama memiliki kepentingan untuk menghadapi musuh bersama yaitu China.


Malaysia yang juga terlibat secara langsung dalam konflik ini, belum pernah secara langsung menunjukkan keberpihakan mereka ke Amerika Serikat atau China. Malaysia jelas tidak mungkin berpihak kepada China, karena mereka memiliki klaim yang tumpang tindih. Namun Malaysia sepertinya kelihatan masih sedikit “malu-malu” memperlihatkan keberpihakan mereka kepada Amerika dalam membendung pengaruh China di konflik LCS ini. Malaysia kelihatannya mencoba “bermain aman” dengan tidak terlalu terang-terangan menantang China, dan juga tidak terlalu terang-terangan berpihak kepada Amerika Serikat. Malaysia saat ini lebih memilih memodernisai militer mereka dengan membeli produk-produk Rusia dan Prancis dibandingkan produk-produk AS.


Singapura yang tidak terlibat secara langsung dalam konflik ini, namun memiliki kepentingan yang sangat besar dalam konflik ini. Jika terjadi konflik berkepanjangan dalan konflik LCS ini, maka akan mengganggu stabilitas kawasan yang secara langsung akan berdampak kepada perekonomian negara tersebut. Selain itu, Singapura yang merupakan “Sahabat Karib” Amerika Serikat jelas akan berpihak kepada Amerika Serikat karena mereka memiliki kepentingan yang sama, yaitu membendung pengaruh China. Namun Singapura juga tidak mau secara terang-terangan “menentang China”, hal ini bisa dilihat dari pernyataan petinggi Singapura beberapa waktu lalu bahwa Singapura adalah sahabat bagi China. Tentu pengertian sahabat disini adalah bahasa diplomatis yang maknanya sarat dengan kepentingan dan trik diplomasi. Namun dibalik pernyataan Sahabat tersebut, Singapura memberikan ruangan bagi kehadiran militer Amerika di wilayah mereka, untuk memudahkan Amerika menjangkau kawasan Laut Cina Selatan.


Thailand setali tiga uang dengan Singapura, sepertinya akan lebih memihak Amerika Serikat. Hal ini karena mereka tidak secara langsung terlibat, namun mereka memiliki konflik dengan Kamboja yang merupakan sekutu dekat China. Seperti kita ketahui bahwa militer Thailand kebanyakan menggunakan alutsista produk Amerika.



Dimana Posisi Indonesia??


Bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah negara yang paling “netral” dalam konflik Laut China Selatan ini. Netral dalam artian netral yang berdasarkan kepentingan Indonesia juga tentunya. Indonesia tidak mau secara terang-terangan mendukung Amerika dalam membendung pengaruh China. Indonesia juga tidak melakukan penolakan berarti terhadap “pendekatan” yang dilakukan China dalam mengimbangi kekuatan Amerika di ASEAN.


Seperti kita ketahui, Indonesia sudah mengalami pengalaman pahit dalam Embargo Militer yang dilakukan Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu. Hal ini menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia untuk tidak lagi sepenuhnya percaya kepada Amerika Serikat. Indonesia memiliki kepentingan untuk “melemahkan” pengaruh Amerika Serikat di ASEAN. Kita tau selama ini, kualitas alutsista yang diizinkan oleh Amerika Serikat untuk dimiliki Indonesia akan selalu berada kualiatas Alutsista yang diberikan kepada Singapura, Australia dan Malaysia. Ini sepertinya sudah merupakan Grand Design dari Amerika dan Sekutunya untuk membatasi kekuatan militer Indonesia. Hal ini karena bayangan kekuatan militer Indonesia seperti di tahun 1960-an didukung posisi geografis strategis dan luas wilayah, akan membuat pengaruh AS dan sekutunya berkurang bila militer Indonesia kuat.


Nah, bila pengaruh China semakin kuat di ASEAN, maka pengaruh Amerika Serikat akan semakin menurun, sehingga Amerika tidak lagi bisa menerapkan Grand Design untuk menempatkan kekuatan militer Indonesia untuk selalu berada di bawah kekuatan miliiter Singapura, Australia dan Malaysia. Meningkatnya pengaruh China dan Rusia di ASEAN dan Asia Pasifik, secara tidak langsung sangat bermanfaat untuk Indonesia untuk tidak lagi pasrah menerima Grand Design Amerika dan Sekutunya untuk membuat militer Indonesia dibawah Singapura, Australia dan Malaysia.


Namun disisi lain, meningkatnya pengaruh China di ASEAN, dimasa yang akan datang akan bisa menjadi blunder bagi Indonesia. Sebut saja wilayah Kepulauan Natuna yang juga berada di laut China Selatan, juga bisa saja diklaim oleh China di masa yang akan datang. Melihat peluang dan tantangan inilah Indonesia melakukan “permainan cantik” dimana satu sisi memberi ruang kepada Amerika Serikat dan disisi lain juga memberi ruang kepada China untuk berebut pengaruh kepada Indonesia.



Mengapa China dan Amerika Berebut pengaruh di ASEAN melalui Indonesia??


Saat ini, bisa dikatakan dua kekuatan dunia yaitu China dan Amerika sedan berebut pengaruh di ASEAN. Tidak hanya berebut pengaruh secara militer, tetapi juga berebut pengaruh dalam hal idiologi dan juga ekonomi. Terkait dengan konflik Laut Cina Selatan, keduanya juga berebut pengaruh secara militer untuk mendapatkan dukungan dari negara-negara ASEAN. Namun seperti yang saya jelaskan diatas, bahwa Indonesia termasuk negara yang paling “netral”. Posisi netral Indonesia dan fakta bahwa Indonesia adalah negara paling besar dan paling berpengaruh di ASEAN, membuat kedua kekuatan tersebut berusaha mengambil hati Indonesia agar Indonesia mendukung salah satunya.


Sebut saja Amerika yang “sedemikian baiknya” bersedia memberikan Hibah 24 F-16 Block 25 plus 6 pesawat F-16 sebagai Sparepart. Hibah tersebut adalah hibah gratis, namun Indonesia menginginkan untuk melakukan upgrade pesawat tersebut agar menjadi “setara” dengan F-16 Block 52. Bahkan desas-desu berkembang, bahwa Amerika Serikat juga memberikan izin kepada Indonesia untuk membeli rudal Canggih yaitu AIM-120 C sebagai senjata untuk F-16 ini nantinya. Hal ini dilihat dari paket upgrade tersebut yang menyertakan launcher untuk rudal AIM-120 C ini. Timbul pertanyaan, kenapa Amerika bisa menjadi sedemikian baik kepada Indonesia?? Bukankah beberapa waktu lalu, Amerika tanpa belas kasihan memberlakukan Embargo Militer kepada Indonesia? Dari beberapa pernyataan yang disampaikan oleh petinggi Amerika, terlihat bahwa mereka memberikan ”kebaikan” ini kepada Indonesia agar Indonesia mau bekerja sama dengan Amerika dalam membendung pengaruh China di ASEAN.


F-16 Block 52 Angkatan Udara Oman


Tidak hanya sebatas itu, parlemen Amerika yang biasanya sangat “cerewet” mengkritisi setiap bantuan/akuisisi alutsista yang dibeli Indonesia dari Amerika maupun negara sekutunya. Namun kali ini, protes mengenai hibah F-16 ke Indonesia ini sepertinya sangat sedikit sekali. Menurut analisa saya sebagai admin AnalisisMiliter.com, hal ini dipengaruhi oleh resesi ekonomi yang dialami Amerika dan juga karena parlemen Amerika sadar bahwa Indonesia memiliki peranan besar dalam membendung pengaruh China di Indonesia.


Tidak hanya hibah F-16 saja, Amerika juga menjadi “sedemikian baik” dengan memberikan bantuan radar maritime untuk memantau Selat Malaka untuk Indonesia. Tak tanggung-tanggung, Amerika memberikan 12 unit radar maritime untuk Indonesia. Menurut Amerika dan pemerintah Indonesia, radar ini tidak dimaksudkan untuk memata-matai Indonesia. Namun penyataan diplomatis tersebut tidak usah kita terima mentah-mentah. Namun selama itu memberikan keuntungan bagi kepentingan Nasional Indonesia, why not?? Terkait Radar maritime ini, China tidak mau ketinggalan memberikan pengaruh dengan menawarkan bantuan paket radar maritime kepada Indonesia. Tak tanggung-tanggung nilai bantuan ini mencapai Rp 1,5 Triliun sebuah nilai yang cukup fantastis. Terlihat dengan jelas sekali kedua negara ini mencoba berebut pengaruh di Indonesia. Indonesia sih senang-senang saja menerima bantuan tersebut, selama hal itu bermanfaat positif bagi Indonesia dan juga tidak merugikan Indonesia.


China juga tidak mau ketinggalan dengan Amerika dalam berebut pengaruh di Indonesia. Jika Amerika begitu baik dengan memberikan Hibah + Upgrade F-16, maka China memberikan bantuan lain yang memang benar-benar di butuhkan Indonesia. Bantuan yang saya maksud adalah Transfer of Technology untuk rudal anti kapal C-705 dari China. Kita tau sendiri bahwa Indonesia sedang giat mengembangkan roket dengan harapan suatu hari nanti Indonesia bisa memproduksi Rudal sendiri. Kendala yang saat ini dialami Indonesia dalam mengembangkan Rudal adalah masalah pemandu dalam rudal. Teknologi ini belum dikuasai oleh Indonesia. Dengan adanya ToT rudal C-705 dari China ini, maka Indonesia bisa belajar banyak bagaimana membuat pemandu rudal dan juga masalah detail lainnya, sehingga suatu saat Indonesia bisa mengembangkan rudal sendiri. ToT Rudal (walaupun “hanya” sekelas C-705) akan sangat berarti kepada Indonesia, karena jika Indonesia berhasil dalam ToT ini dan punya kapabilitas untuk membuat rudal sendiri, maka secara otomatis akan menaikkan daya gentar militer Indonesia. Jika roket buatan LAPAN saja sudah memberikan efek gentar bagi tetangga, maka Rudal tentunya akan memberikan efek gentar yang jauh lebih besar.


Mengapa China begitu baik kepada Indonesia? Kita tau bahwa Indonesia bukan sekutu dekat China, lalu mengapa China begitu baik kepada Indonesia? Jawabannya adalah untuk mengimbangi pengaruh Amerika di Indonesia, sekaligus memastikan Indonesia tetap pada posisi netral (tidak menentang China) dalam konflik Laut China Selatan. Indonesia yang memang dari awal berada di posisi yang cukup netral tentunya tidak akan terlalu keberatan menerima Tawaran ToT C-705 ini. Bahkan Indonesia sangat senang sekali menyambut tawaran ini. Hal ini karena Indonesia memiliki kepentingan nasional sendiri di balik ToT C-705 ini. Selama kerja sama dengan China ini menguntungkan Indonesia, maka Indonesia akan menerima bantuan dengan tangan terbuka.


Rudal c-705 yang di ToT China ke Indonesia


Sebenarnya masih banyak lagi perbutan pengaruh antara AS dan China di Indonesia. Namun dari penjelasan diatas sudah cukup menjelaskan bahwa posisi strategis dan posisi netral Indonesia dalam konflik Laut China Selatan sangat penting artinya bagi China maupun Amerika. Jika China berhasil mempengaruhi Indonesia untuk mendukung mereka dalam konflik Laut China Selatan, maka China akan memiliki posisi tawar yang lebih besar dalam konflik ini. Demikian juga dengan Amerika, jika mereka berhasil mempengaruhi Indonesia, maka Amerika juga memiliki posisi tawar yang labih besar di konflik Laut China Selatan ini.



Konflik LCS : Tantangan dan Peluang Bagi Indonesia.


Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa Indonesia benar-benar menjadi primadona dalam konflik Laut China Selatan ini. Ini merupakan sebuah tantangan yang harus di sikapi bijak oleh Indonesia dengan tetap berada pada garis netral yang tidak memihak pihak yang manapun, namun tetap memelihara tercapainya perdamaian dalam konflik LCS ini.


Konflik LCS ini juga menjadi peluang bagi Indonesia untuk melakukan modernisasi militernya dengan menerima bantuan militer baik dari China, Amerika, Rusia, Australia dan lainnya. Posisi netral Indonesia membuat bebagai tawaran datang, dan Indonesia harus menangkap peluang ini untuk melakukan modernisasi militer secara besar-besaran, namun tetap memperhatikan kepentingan Indonesia di balik semuanya.


Modernisasi militer Indonesia ini sangat penting artinya bagi Indonesia untuk menghadapi kemungkinan perkembangan konflik Laut China Selatan di masa yang akan datang dan konflik Ambalat yang saat ini menjadi konsern Indonesia. So, Indonesia harus benar-benar memanfaatkan posisi strategis dan posisi netralnya untuk mendapatkan sebanyak mungkin hal-hal yang menguntungkan kepentingan nasional Indonesia. 

SUMBER : analisismiliter

ToT Missile C-705 vs Konflik Laut Cina Selatan : Indonesian Perfective

Dalam beberapa waktu terakhir ini, kita disajikan berita di berbagai media massa bahwa Indonesia dan China sepakat untuk melakukan Transfer of Technology rudal C-705. Rudal ini adalah rudal anti kapal permukaan yang sudah dikembangkan oleh China. Saat ini pemerintah Indonesia dan China sedang mempersiapkan tahapan ToT ini agar bisa berjalan dengan secepatnya. Dalam kunjungannya ke Kementerian Pertahanan, tim China yang dipimpin oleh Liu Yunfeng, Deputi Direktur Umum Sains, Teknologi dan Industri Pertahanan China (SASTIND), sepakat melakukan transfer teknologi peluru kendali C-705 secara bertahap. Tahap pertama adalah: Semi Knock Down, Indonesia merakit sedikit/sebagian dari rudal C-705 dan sisanya dikirim langsung dari China. Tahap Kedua: Complete Knock Down. China mengirim semua komponen rudal secara terurai untuk dirakit di Indonesia sepenuhnya. Adapun tahap ketiga adalah riset and development. Ditahapan ini Indonesia, boleh memodifikasi peluru kendali sesuai dengan kebutuhan TNI.


Pihak China menginginkan transfer teknologi rudal C-705 ini bisa secepatnya direalisasikan. Mereka mengharapkan proposal tahapan pertama dari China bisa ditanggapi Indonesia paling lama bulan Agustus 2012. Proposal tahapan kedua, sebulan kemudian. Adapun tahapan ketiga dibicarakan setelah tahap I dan II jelas. Persetujuan kontrak itu diharapkan tercapai paling lama tahun 2013.


Laut Cina selatan yang rawan konflik


Sebagai informasi rudal C-705 ini adalah rudal anti kapal yang dikembangkan China dan sudah juga dimiliki oleh Indonesia yang di install pada kapal cepat rudal (KCR). Rudal anti kapal ini sangat dibutuhkan oleh Indonesia sebagai senjata untuk menjaga kedaulatan perairan Indonesia. Rudal C-705 akan disandingkan dengan Yakhont sebagai senjata utama Angkatan Laut Indonesia.



ToT Rudal C-705 hadir di waktu yang tidak tepat??


Seperti kita ketahui bersama, berita ToT Rudal C-705 ini dilakukan “hampir bersamaan” dengan perkembangan konflik Laut Cina Selatan yang sedang memanas. Beberapa negara ASEAN yang terlibat konflik langsung dengan China dalam masalah Laut Cina Selatan ini tentu akan memandang sedikit aneh kepada Indonesia. Hal ini dikarenakan, Indonesia sebagai sebuah negara besar dan negara paling berpengaruh di ASEAN, “kelihatannya seperti” mendekat kepada China. Negara ASEAN seperti Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunai tentu bertanya-tanya, ada apa gerangan Indonesia begitu dekat dengan China. Disaat mereka “menentang” China, Indonesia malah menunjukkan sikap “persahabatan” dengan China.


Apakah ToT Rudal C-705 dari China ini hadir di waktu yang salah? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu sedikit susah, karena perlu analisa yang sangat mendalam dan panjang. Namun, sebagai Informasi, rencana Indonesia dalam membangun Rudal sendiri sudah berlangsung sejak lama, namun masih terkendala dalam membuat pemandu untuk mengarahkan rudal ke sasaran. Bahkan beberapa tahun yang lalu, ketika konflik Laut China Selatan belum panas, Indonesia sudah berencana melalukan ToT Rudal anti kapal C-802 juga dari China. Namun dari berbagai pertimbangan, akhirnya ToT rudal C-802 ini dibatalkan dan digantikan dengan ToT rudal C-705. Jadi terlihat bahwa ToT rudal C-705 ini sudah direncanakan Indonesia jauh hari sebelum memanasnya konflik Laut China Selatan. Hanya saja proses ToT ini baru mendekati kata sepakat bertepatan dengan memanasnya konflik laut cina selatan.



Rudal C-705 sebagai persiapan menghadapi potensial Konflik di masa yang akan datang.


Seperti sudah saya tuliskan sebelumnya bahwa ToT Rudal C-705 ini sudah direncanakan jauh hari sebelum memanasnya konflik LCS. Sehingga bisa dikatakan bahwa Indonesia sama sekali tidak bermaksud untuk membela China dalam konflik ini. Indonesia yang memiliki luat laut dan garis pantai yang sangat panjang, tentu memerlukan persenjataan mumpuni dalam menjaga kedaulatannya. Salah satu yang paling di butuhkan Indonesia adalah senjata anti kapal berupa rudal.


Kita mengetahui sendiri bahwa Indonesia saat ini memiliki beberapa potensial konflik dan dimasa yang akan datang bisa saja meletus kembali. Sebut saja Ambalat yang beberapa tahun lalu sangat panas dan hapir saja membawa Indonesia dan Malaysia kedalam konflik berkepanjangan. Selain itu kehadiran Marinir Amerika Serikat di Darwin, Australia berpotensi menjadi ancaman bagi Indonesia. Ditambah lagi akan hadirnya pangkalan militer AS/Australia di pulau Cocos yang cukup berdekatan dengan wilayah Indonesia. Selain itu, konflik perbatasan dengan Singapura yang masih terus melakukan reklamasi pantainya, juga berpotensi menjadi konflik Indonesia di masa yang akan datang.


Potensial konflik Indonesia di Masa yang akan datang


Selain itu, perkembangan militer China yang sedemikian pesanya membuat mereka ingin menjadi penguasa di Asia Pasifik. Amerika dan Australia yang selama ini sudah menjadi “penguasa tunggal” di Asia Tenggara, mulai kalah pengaruh di bandingkan China. Kedua kubu sedang berebut pengaruh secara ekonomi dan militer untuk menjadi penguasa di Asia Tenggara. Indonesia yang berada di tengah-tengah kedua kekuatan ini, tentunya akan menghadapi permasalahan yang besar jika suatu saat konflik antara kedua kubu terjadi. Untuk itulah Indonesia harus mempersiapkan diri jauh sebelum konflik itu terjadi.


Peningkatan kekuatan militer Indonesia adalah hal yang sangat mutlak untuk dilakukan. Dan ToT Rudal C-705 sebagai bagian dari proses menuju kemandirian Alutsista adalah sebuah langkah maju untuk menjawab tantangan tersebut diatas. Jadi jelas sekali bahwa konsern Indonesia dalam menerima ToT Rudal C-705 ini bukan untuk mendukung China dalam klaim mereka di Laut China Selatan, tetapi lebih kepada mempersiapkan Indonesia dari kemungkinan konflik di masa yang akan datang.



Ambalat, salah satu focus utama Indonesia dalam modernisasi Militer Indonesia.


Tidak bisa di pungkiri bahwa Ambalat adalah konflik paling nyata yang di hadapi Indonesia saat ini. Konflik ini memanas dari tahun 2005 sampai pada tahun 2009 yang lalu. Saat itu militer Indonesia masih sangat lemah karena pengaruh embargo militer yang dilakukan Amerika dan Sekutunya. Kini ketika militer Indonesia mulai bangkit, konflik ini mulai mereda. Bisa karena Malaysia mulai menyadari bahwa kekuatan Indonesia sudah mulai meningkat atau bisa jadi karena mereka focus kepada konflik Laut China Selatan dimana mereka harus berhadapan langsung dengan China. Namun konflik Ambalat ini, masih berpotensi pecah dalam waktu yang dekat, sehingga Indonesia harus benar-benar mempersiapkan diri apabila ini terjadi.


Dulu di tahun 2005 ketika konflik Ambalat ini pecah, Indonesia tidak siap secara militer karena masih dalam embargo militer. Maka kini Indonesia tidak boleh lagi lengah, militer Indonesia harus dikuatkan. Salah satunya adalah dengan ToT Rudal C-705 ini untuk meningkatkan efek gentar militer Indonesia khususnya angkatan laut.



Indonesia berkepentingan Mematahkan “Grand Design” Amerika atas Indonesia.


Seperti yang sudah saya tuliskan dalam artikel tentang konflik Laut China Selatan sebelumnya, selama ini terkesan bahwa Amerika menerapkan sebuah “Grand Design” agar kekuatan militer Indonesia akan selalu berada dibawah kekuatan militer Singapura, Australia dan Malaysia. Ini bisa dilihat dari sikap pemerintah Amerika dan Parlemennya, serta negara sekutu mereka yang sering sekali mempermasalahkan setiap akuisis alutsista yang hendak di beli Indonesia.


Hal ini berakibat militer Indonesia beberapa decade belakangan ini menjadi lebih lemah dari Singapura, Australia dan Malaysia. Namun kondisinya sekarang sudah berubah, Amerika yang mulai kehilangan pamor di Asia Pasifik serta China yang semakin kuat pengaruhnya membuat Amerika tidak lagi bisa memaksakan “Grand Design” tersebut kepada Indonesia. Hal ini ditandai dengan sikap AS yang bersedia memberikan Hibah 24 F-16 Block 25 ke Indonesia, bahkan dalam update terakhir hibah ini kemungkinana akan lebih dari 24 pesawat (mungkin sekitar 3 Skuadron F-16). Namun Indonesia yang sudah menghapal betul tingkah AS, tentunya tidak akan mau tunduk sepenuhnya atas “permainan” AS. Itulah sebabnya Indonesia bermain dengan China melalui program ToT Rudal C-705 ini. Ini sebagai sinyal jelas bagi Amerika bahwa Indonesia bukan lagi “mainan” AS. Indonesia tidak lagi bisa didikte dengan sesuka hati oleh Amerika. ToT Rudal C-705 adalah bukti nyatanya.


Menerima tawaran ToT Rudal dari China adalah salah satu bentuk “perlawanan” Indonesia atas “Grand Design” Amerika terhadap militer Indonesia. Dengan demikian Amerika tidak lagi bisa sembarangan mendikte Indonesia secara militer, karena kalau Amerika melakukan hal yang sama lagi, Indonesia akan berpaling kepada China yang akan membuat pengaruh Amerika di Asia Tenggara menjadi semakin lemah, sebaliknya pengaruh China akan semakin kuat.



Salahkah Indonesia mengedepankan kepentingan Nasionalnya dalam ToT Rudal C-705 ini?


Pertanyaan penting untuk kita renungkan bersama adalah Apakah Indonesia salah mengedepankan kepentingan Nasionalnya dalam ToT Rudal C-705 ini? Pertanyaan ini bukan saja di tujukan kepada warga Indonesia, tetapi juga kepada semua warga negara ASEAN terutama warga negara Malaysia, Vietnam, Filipina dan Brunai yang terlibat langsung dalam konflik Laut China Selatan. Hal ini penting untuk kita renungkan dan dalami sebelum kita menjawab apakah Indonesia sudah salah menerima ToT Rudal C-705 bertepatan dengan konflik Laut China Selatan yang sedang memanas.


Rudal c-705 yang di ToT China ke Indonesia


Mungkin bagi warga negara tetangga terutama yang terlibat langsung dalam Konflik dengan China, sikap Indonesia yang menerima ToT Rudal C-705 ini terasa sikap yang kurang bijak dan kurang menghargai perasaan negara tetangga. Namun Indonesia bukan negara yang tidak mebghargai perasaan negara tetangganya. Indonesia tetap berusaha agar konflik ini bisa diselesai kan dengan cara damai dan secara diplomatis.


Berbicara mengenai menjaga perasaan tetangga, Indonesia sudah merasakan betul sakitnya hati sebuah bangsa yang disakiti oleh tetangganya. Ketika militer Indonesia sangat lemah karena embargo militer dari Amerika, para tetangga memanfaatkan kesempatan untuk “menyakiti” Indonesia. Sebut saja Malaysia yang melakukan provokasi militer di Ambalat di tahun 2005. Lalu ada Singapura yang terang-terangan melanggar kedaulatan Indonesia di perairan Natuna dengan melakukan latihan perang angkatan laut mereka dengan angkatan laut beberapa negara di wilayah Indonesia tanpa izin Indonesia. Di tambah lagi Australia yang berada dibalik lepasnya timor-timur dari Indonesia. Indonesia sudah hapal betul sakitnya disakiti tetangga. Untuk itulah Indonesia melakukan modernisasi militernya, untuk memastikan tidak ada lagi tetangga yang berani menyakiti harga diri Bangsa Indonesia.


Jadi salahkan Indonesia menerima ToT Rudal C-705? Saya rasa tidak. Rudal C-705 sangat diperlukan Indonesia untuk menjaga kedaulatan Indonesia, namun disamping itu Indonesia tetap akan menghargai perasaan negara tetangga dengan tetap mengusahakan konflik Laut China Selatan diselesaikan dengan cara damai dan tanpa kekerasan.



Kesimpulan Akhir


Dari penjelasan saya diatas, saya sebagai admin AnalisisMiliter.com menarik kesimpulan bahwa ToT Rudal C-705 ini merupakan sebuah rencana Indonesia yang sudah lama sebelum konflik Laut China Selatan berkembang. ToT ini tidak dimaksudkan sebagai tanda bahwa Indonesia memihak China dalam konflik ini, Indonesia tetap berdiri pada posisi netral dan terus mengupayakan cara dan jalan damai dalam penyelesaian konflik ini. ToT Rudal C-705 ini adalah merupakan bagian dari ambisi besar Indonesia dalam mencapai kemandirian alutsista khususnya rudal yang selama ini belum di kuasai Indonesia. Selain itu, Rudal C-705 ini sangat diperlukan Indonesia dalam menghadapi potensial konflik yang sedang dan yang akan di hadapi Indonesia.

Wasapada terhadap kerawanan konflik laut cina selata yg dapat menggangu stabilitas nasional

Jakarta - Meski Indonesia tidak terlibat dalam klaim wilayah, namun ketegangan antara Cina, Filipina dan Vietnam di laut Cina Selatan memunculkan kekhawatiran. Ditakutkan adanya kerawanan potensi ancaman yang dapat mempengaruhi stabilitas nasional. Hal ini disampaikan oleh Kepala Staff Umum (Kasum) TNI Marsekal Madya Daryatmo pada saat penyampaian amanat dari Panglima TNI dalam upacara pembukaan latihan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) TNI Kilat XXIX di Cilodong, Depok, Jawa Barat, Senin (27/8/2012). "Perkembangan situasi yang terjadi di kawasan Laut Cina Selatan mengarahkan perhatian kita terhadap munculnya kerawanan dan potensi ancaman yang dapat mempengaruhi stabilitas nasional. Karena di sana juga terletak kepentingan Indonesia, khususnya pada aspek politik, ekonomi, militer dan pertahanan," ujar Kasum TNI Marsekal Madya Daryatmo. Dengan demikian, lanjut Daryatmo, tentu akan perlu adanya penguatan pertahanan dan gelar operasi TNI guna mengamankan kepentingan nasional. Khususnya di utara Kepulauan Natuna, yang berdekatan dengan Laut Cina Selatan. "Hal ini dalam rangka meminimalisasi terjadinya spill over konflik laut Cina Selatan yang muncul. Dan mengamankan berbagai objek vital di zona ekonomi ekslusif Indonesia tersebut," ucapnya. Daryatmo juga mengatakan, TNI harus melakukan analisa secara terus menerus terhadap kecenderungan perkembangan situasi serta mengevaluasi kemampuan dalam menyusun gelar kekuatan. Selain itu juga menyusun strategi atau skenario parsial dalam pengamanan objek vital nasional di kawasan Natuna, yang merupakan gerbang ekonomi Indonesia ke kawasan Asia Timur. "Inilah situasi yang mungkin akan kita hadapi di tahun 2012 dan lima tahun ke depan. Saya berharap kepada seluruh perwira agar benar-benar dapat meningkatkan pemikiran prediktif dan langkah antisipatif dalam rangka menetapkan strategi dan memelihara skala prioritas pembangunan ekonomi dan keuangan negara," ucap Dryatmo di depan pasukan TNI. Sumber : DETIK

Anggaran Pengadaan Alutsista Sebesar Rp. 28.2 T

Jakarta - Kondisi alat utama sistem persenjataan (alutsista) negara kita sudah banyak yang uzur. Tak ada cara lain, selain melakukan modernisasi mesin tempur Tentara Nasional Indonesia (TNI). Untuk itu, tahun depan, pemerintah menyiapkan anggaran untuk membeli peralatan perang baru maupun memperbaiki yang lama sebesar Rp 28,2 triliun. Ini naik 36,31% dari total bujet belanja Kementerian Pertahanan (Kemhan) yang mencapai Rp 77,7 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPBN) tahun 2013. Jumlah tersebut meningkat sebanyak Rp 4,8 triliun atau 6,6% ketimbang anggaran belanja Kemhan di APBN Perubahan 2012 yang sebesar Rp 72,9 triliun. Bujet belanja Rp 77,7 triliun ini berasal dari keuangan negara sebesar Rp 64,4 triliun, pinjaman luar negeri sebesar Rp 12,8 triliun, dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp 600 miliar. Hartind Asrin, Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang Keamanan, mengatakan, kenaikan anggaran dari Rp 72,9 triliun menjadi Rp 77,7 triliun akibat melonjaknya seluruh aspek anggaran, mulai dai belanja pegawai, belanja barang hingga belanja modal. Sedang bujet belanja alutsista merupakan rencana strategis lima tahun, yakni 2010 sampai 2014. "Total anggaran belanja alutsista selama lima tahun mencapai Rp 150 triliun," katanya kepada KONTAN, Senin (27/8). Tahun ini, Kemhan menargetkan pengadaan alutsista bisa mencapai 40%. "Kami menunggu undangan DPR untuk membahas alokasi anggaran ini. Mungkin pekan depan," imbuh Hartind. T.B. Hasanuddin, Wakil Ketua Komisi Pertahanan (I) DPR, bilang, pembahasan RAPBN 2013 mulai awal September 2012 nanti."Butuh waktu dua tiga bulan untuk merampungkan pembahasan ini karena substansinya sangat banyak," ujarnya. Menurut Hasanuddin, belanja alutsista sangat penting karena banyak senjata TNI yang sudah tua. "Usia senjatanya bahkan ada yang sudah 30 tahun. Maka, harus diganti dengan senjata yang lebih modern," ungkapnya. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini berharap, anggaran Kemhan bisa digunakan sesuai dengan rencana strategis yang telah ditetapkan. Selain itu, bisa terjadi transfer of technology di setiap pembelian alutsista dari luar negeri, serta mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabel. Hasanuddin menambahkan, pengadaan alutsista dari luar negeri antara lain pesawat yang dibeli dari Rusia, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Brasil. Sementara, pembelian dari dalam negeri melibatkan PT Pindad, PT PAL dan PT Dirgantara Indonesia. Sumber : KONTAN

Anggaran Pengadaan Alutsista Sebesar Rp. 28.2 T

Jakarta - Kondisi alat utama sistem persenjataan (alutsista) negara kita sudah banyak yang uzur. Tak ada cara lain, selain melakukan modernisasi mesin tempur Tentara Nasional Indonesia (TNI). Untuk itu, tahun depan, pemerintah menyiapkan anggaran untuk membeli peralatan perang baru maupun memperbaiki yang lama sebesar Rp 28,2 triliun. Ini naik 36,31% dari total bujet belanja Kementerian Pertahanan (Kemhan) yang mencapai Rp 77,7 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPBN) tahun 2013. Jumlah tersebut meningkat sebanyak Rp 4,8 triliun atau 6,6% ketimbang anggaran belanja Kemhan di APBN Perubahan 2012 yang sebesar Rp 72,9 triliun. Bujet belanja Rp 77,7 triliun ini berasal dari keuangan negara sebesar Rp 64,4 triliun, pinjaman luar negeri sebesar Rp 12,8 triliun, dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp 600 miliar. Hartind Asrin, Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang Keamanan, mengatakan, kenaikan anggaran dari Rp 72,9 triliun menjadi Rp 77,7 triliun akibat melonjaknya seluruh aspek anggaran, mulai dai belanja pegawai, belanja barang hingga belanja modal. Sedang bujet belanja alutsista merupakan rencana strategis lima tahun, yakni 2010 sampai 2014. "Total anggaran belanja alutsista selama lima tahun mencapai Rp 150 triliun," katanya kepada KONTAN, Senin (27/8). Tahun ini, Kemhan menargetkan pengadaan alutsista bisa mencapai 40%. "Kami menunggu undangan DPR untuk membahas alokasi anggaran ini. Mungkin pekan depan," imbuh Hartind. T.B. Hasanuddin, Wakil Ketua Komisi Pertahanan (I) DPR, bilang, pembahasan RAPBN 2013 mulai awal September 2012 nanti."Butuh waktu dua tiga bulan untuk merampungkan pembahasan ini karena substansinya sangat banyak," ujarnya. Menurut Hasanuddin, belanja alutsista sangat penting karena banyak senjata TNI yang sudah tua. "Usia senjatanya bahkan ada yang sudah 30 tahun. Maka, harus diganti dengan senjata yang lebih modern," ungkapnya. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini berharap, anggaran Kemhan bisa digunakan sesuai dengan rencana strategis yang telah ditetapkan. Selain itu, bisa terjadi transfer of technology di setiap pembelian alutsista dari luar negeri, serta mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabel. Hasanuddin menambahkan, pengadaan alutsista dari luar negeri antara lain pesawat yang dibeli dari Rusia, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Brasil. Sementara, pembelian dari dalam negeri melibatkan PT Pindad, PT PAL dan PT Dirgantara Indonesia. Sumber : KONTAN

DPR ingatkan Pemerintah dengan hibah F16 yg diberikan AS yg kedua kalinya

Jakarta - Ketua Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat Mahdudz Siddiq yakin Amerika Serikat memiliki kepentingan politik militer di kawasan Asia-Pasifik dengan menghibahkan pesawat F-16 dan penjualan persenjataannya kepada Indonesia. Karena itu, DPR mengingatkan kepada pemerintah agar tidak mudah didikte. Terlebih lagi, hibah pesawat F-16 tersebut tetap mengharuskan Indonesia untuk membayar biaya perbaikan, suku cadang, dan pengiriman. "Semua hibah sistem persenjataan tidak boleh ada kondisionalitas politik yang mengikat. Apalagi Indonesia tetap harus membayar mahal karena sumber dananya pinjaman luar negeri," kata Mahfudz kepada detik kemarin. Seperti diketahui, setelah Amerika menghibahkan 24 pesawat F-16 pada tahun lalu, pemerintah Barack Obama kembali mengusulkan kepada konggres untuk menjual peluru kendali (Rudal) kepada Indonesia senilai US$ 25 juta. Usul itu disampaikan dalam surat pemberitahuan bertanggal 22 Agustus 2012. Indonesia disebutkan ingin membeli 18 rudal AGM-65 Macerick All-Up-Round, 36 rudal pelatihan udara, tiga rudal pelatihan untuk pemeliharaan, ditambah suiku cadang, peralatan uji, dan pelatihan personel. Hal senada disampaikan Wakil Ketua Komisi Pertahanan DPR Tubagus Hasanudin. Tubagus yakin setiap pemberi hibah pasti memiliki kepentingan politik, Karena itu, ujar dia, Komisi Pertahanan akan terus mengontrol proses pemberian hibah tersebut. "DPR sudah mewanti-wanti, Indonesia tak akan mengikuti keinginan negara pemberi hibah", ujarnya. Sumber : DETIK PAGI

Monday, August 27, 2012

496 pemuda ikut "Sail Morotai" bersama KRI Surabaya


Selasa, 28 Agustus 2012 00:46 WIB | 1252 Views

Sejumlah pengunjung mengamati monumen Jenderal Douglas Mc Arthur di pulau Zum Zum, Morotai, Maluku Utara, Rabu (6/6). Monumen tersebut dibangun sebagai napak tilas keberadaan panglima perang sekutu, Jenderal Douglas Mc Arthur yang menjadikan pulau tersebut sebagai tempat persembunyian pada Perang Dunia II . (ANTARA/Prasetyo Utomo)
....Pemuda dari berbagai latar belakang bisa saling bertemu dan bertukar pikiran."
Berita Terkait
Jakarta (ANTARA News) - Sebanyak 496 pemuda dari seluruh Indonesia Selasa (28/8) akan mengikuti "Sail Morotai" yang berlangsung pertengahan September 2012 dengan menggunakan Kapal Perang RI (KRI) Surabaya.

"Ini program yang luar biasa. Pemuda dari berbagai latar belakang bisa saling bertemu dan bertukar pikiran," kata Menpora Andi Malarangeng, saat memberikan pembekalan di atas KRI Surabaya, di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin malam.

Pemuda yang mengikuti pelayaran tersebut berasal dari berbagai komponen seperti pramuka, organisasi karya kepemudaan, mahasiswa pemuda peduli keluarga berencanaan dan juga perwakilan pemuda dari seluruh provonsi.

Menurut rencana pada 4-5 September mereka akan singgah di Ambon (Maluku), 7-8 September di Sorong (Papua Barat), 11-13 September di Raja Ampat, 11-12 September di Ternate, dan 13-15 September di Morotai (Maluku Utara) untuk mengikuti Sail Morotai.

Dalam perjalanan pulang mereka akan singgah di Makassar. Diharapkan pada 24 September mereka sudah tiba di Jakarta.

Selama perjalan mereka juga akan mengikuti berbagai kegiatan antara lain untuk meningkatkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Selain itu juga meningkatkan jiwa kepemimpinan serta juga kewirausahaan. Kegiatan antara lain melalui pelatihan-pelatihan, diskusi dan lainnya.

Pada saat itu, Menpora juga mengharapkan agar para pemuda mengembangkan potensi kebaharian.

Ia mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara bahari sehingga pemudanya harus mampu menguasai masalah kebaharian.

Jika tidak, katanya, maka potensi bahari Indonesia bisa diambil oleh negara lain.

Pemerintah telah menyelenggarakan kegiatan "Sail" sejak tahun 2009, dimulai dengan Sail Bunaken 2009, Sail Banda 2010, dan Sail Wakatobi - Belitong 2011.

Pulau Morotai yang seringkali disebut sebagai "East Indonesia Paradise", merupakan pesona kecantikan timur Indonesia dengan daya tarik wisata alam bahari yang sangat mempesona serta keragaman dan keunikan biota laut.

Selain itu Morotai sering juga disebut sebagai Morotai The Memory Island (Morotai Pulau Kenangan), karena pada saat Perang Pasifik (Perang Dunia II), Morotai dua kali mengalami pendudukan tentara asing. Jepang pada 1942 di bawah pimpinan Jenderal Kawashima, serta tentara Sekutu pada 1944 di bawah komando Jenderal Douglas McArthur. (U002/Z002)

sumber : Antara

BERITA POLULER