Kapal Perang TNI AL
Indonesia berdasarkan tinjuan sejarah sebenarnya adalah negara yang berwatak maritim. Namun watak kemaritiman tersebut saat ini sudah menghilang bersama waktu.
Beberapa kalangan berkesimpulan agar dapat kembali menjadi bangsa yang kuat dan disegani di mata internasional, Indonesia harus kembali berwawasan maritim.Fakta ini melahirkan pertanyaan, jika visi maritim merupakan visi pertahanan politik, ekonomi, dan militer yang terbaik di era Sriwijaya dan Majapahit, lalu mengapa sejarah kerajaan-kerajaan ini tidak mampu menghadapi gelombang kolonialisasi Eropa? Jawabannya adalah–– mungkin seperti apa yang terjadi pada hari ini––banyak elite pemerintahan yang kurang memiliki visi jauh ke depan,mudah diadu domba, dan secara bersamaan rajin “bermain mata” melindungi kepentingan asing (Kunio,1990).
Terjadinya pergeseran watak kemaritiman kita juga dikarenakan tidak dipenuhinya prakondisi menuju visi maritim.Patut diingat bahwa tidak ada kedaulatan negara di dunia ini yang dibangun di atas lautan. Hancurnya kekuatan maritim bangsa ini pada dasarnya disebabkan tidak memiliki basis pertahanan matra darat. Jelaslah visi kekuatan maritim tidak akan efektif jika tidak didasarkan pada konsepsi mengenai pertahanan negara yang menyeluruh dan terintegrasi.
Merujuk Amerika Serikat, kekuatan angkatan lautnya yang besar dan terbagi dalam lima teritori kekuatan yang terbentang membelah dunia dan sudah terbukti mampu menyerang dari laut, udara, dan darat, secara serentak, sesungguhnya terwujud karena tetap dibangun atas dasar pertahanan negara yang kuat secara menyeluruh.
Mengapa? Karena ketika sebuah negara bertekad membangun dan memperkuat angkatan lautnya, apalagi bertujuan menjadi outward looking military dengan terpenuhinya naval capabilities, maka negara tersebut harus memiliki pertahanan darat dan udara yang terintegrasi dengan pertahanan laut. Integrasi itu berikut sistem intelijen, pemimpin, dan pemerintahan yang kuat dengan dasar strategi politik internasional yang tangguh dalam menjaga kedaulatan negaranya.
National Interest
Kekuatan negara dalam memperjuangkan kepentingan nasional adalah prioritas utama. Indonesia dapat belajar banyak dari negeri kecil, Israel (luasnya sekitar 1% luas Indonesia), yang mampu membangun kekuatan negara dan mengamankan kepentingan nasionalnya. Di Israel sistem organisasi militer merupakan ruang eksklusif yang hanya dimiliki militer dan posisinya tetap di luar sistem sipil.
Dengan demikian, sipil bukan menjadi pengambil keputusan atas anggaran atau besaran persentase GDP yang dialokasikan untuk militer. Berbeda dengan Indonesia, mulai dari masalah jabatan militer strategis, alokasi anggaran sampai pembelian alutsista elite sipil sering kali “memaksa” untuk ikut menentukan.
Di Israel terbangun kesadaran pada publik sekaligus elite sipilnya bahwa mereka tidak memiliki alat analisis yang tepat untuk menghitung kebutuhan militer dan karenanya mereka memilih tidak ikut “bertanggung jawab” jika terjadi kesalahan dalam konteks militer dan pertahanan. Di Indonesia,khususnya pascareformasi sektor keamanan,justru elite sipillah yang menentukan anggaran militer yang akhirnya berimbas pada pembangunan TNI menjadi seperti sekarang ini.Sipil bahkan memiliki hak ‘’bebas masuk’’ ke wilayah militer sehingga TNI tidak memiliki ruang eksklusif seperti halnya Israel.
Terbukti, hingga 12 tahun reformasi berjalan, sulit bagi kita mencari solusi atas persoalan pembangunan kekuatan pertahanan, bahkan mentransformasi militer dan alutsistanya. Untuk masalah politik luar negeri, solusi umum yang sering digunakan adalah diplomasi dan sejarah pun mencatat sering kali politisi sipil kita kecolongan ketika berhadapan dengan Mahkamah Internasional seperti dalam kasus Sipadan dan Ligitan atau Timor Timur atau bahkan kasus terakhir kita dengan Malaysia yang berakhir pada “barter”15 nelayan Malaysia dengan 3 petugas DKP.
Mengingat Indonesia adalah kepulauan, maka wajar jika laut bermakna penting. Secara politis, laut melahirkan konsepsi tentang persatuan tidak hanya ke dalam, melainkan juga ke luar seperti telah diakui oleh UNCLOS/l982.Laut juga menjadi media perhubungan dan perdagangan yang vital. Kecenderungan ke depan dengan meningkat hingga 150% jumlah kapal yang akan melalui Selat Malaka telah menunjukkan betapa strategisnya Indonesia bagi jalur perhubungan dan perdagangan laut.
Dengan demikian, perumusan kebijakan pertahanan maupun kepentingan nasional yang harus dilindungi, terutama di perairan Indonesia, yaitu keamanan ALKI, keamanan sumber alam laut, perlindungan ekosistem laut.Tak lupa stabilitas kawasan strategis perbatasan dengan negara tetangga patut mendapat antisipasi dengan prioritas tinggi bagi munculnya segera konflik di masa mendatang, yaitu dengan Australia 26 pulau,
Malaysia 21 pulau,Filipina 12 pulau, India 11 pulau,Palau 7 pulau, Timor Leste 5 pulau, Singapura 4 pulau,Vietnam 2 pulau,dan PNG 1 pulau. Perlu juga diperhatikan antisipasi dan kemampuan pengamanan seluruh ZEE serta peningkatan kemampuan industri pertahanan maritim yang harus dicapai bersama kedua matra lain menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan.
Postur TNI AL
Kekuatan angkatan laut secara prinsip berbasis pada alutsista bukan kekuatan personel sepertiAD. Artinya,kekuatanAL bertumpu pada senjata yang diawaki. Armada laut yang kuat didukung skuadron penerbang maupun divisi marinir dengan persenjataan udara dan darat yang modern.Perumusan postur TNI AL ideal harus diawali dengan penghitungan alutsista yang diperlukan sesuai dengan karakteristiknya geografisnya.
Dalam membangun TNI dengan visi negeri maritim,kebutuhan kapal selam yang ideal misalnya dapat ditentukan dengan beberapa pertimbangan strategis. Pertama, mengingat wilayah laut Indonesia yang luas dan strategis sebagai perairan internasional yang dilalui oleh berbagai kapal dari seluruh dunia yang sarat kepentingan, sangat berpotensi terjadi konflik.
Dengan adanya kapal selam modern, minimal aspek psikologi musuh dapat dipengaruhi.Kedua, mengingat strategisnya perairan laut di sekitar Indonesia,terutama Selat Malaka dan Laut China Selatan yang berpotensi memicu konflik inter-state, TNI AL harus dilengkapi dengan kapal selam yang modern untuk mampu berjagajaga atau bahkan mengantisipasi terjadinya konflik.
Ketiga, memahami serta melihat fakta perkembangan teknologi kapal selam dan perimbangan kekuatan di Asia Pasifik, maka TNI AL idealnya harus dilengkapi dengan 2 unit SSK, tetapi perlu di-up grade menjadi SSN (tactical submarine) dan membeli 12 submarine lagi, 8 unit bertipe SSN dan 4 unit lagi bertipe SSBN (strategic submarine). Untuk kapal perang, berdasarkan data IISS, Indonesia memiliki 29 unit (13 frigate dan 16 corvette). Frigate TNI AL dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu tipe FFG (guided missile frigate) yang dilengkapi SAM, SSM, dan senjata berkaliber 76- 120 mm serta torpedo anti-submarine.
Semantara 16 corvetteTNI AL m e r u p a k a n patrol combat c o r v e t t e (PCC). Jika dilihat dari perbandingan jumlah kapal di kawasan Asia Pasifik, bahkan dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara sekalipun, jumlah kapal TNI AL masih jauh di bawah rata-rata. Di kawasan Asia Tenggara, jumlah PCC Malaysia berada di peringkat teratas dengan 185 unit.
Bahkan Malaysia berada di urutan kelima berdasarkan jumlah di Asia Pasifik setelah Jepang, Korea Utara, China,dan Rusia. Ada beberapa hal yang harus kita lakukan sebagai negeri bervisi maritim. Pertama, merumuskan jumlah principle surface combatant (PSC) yang ideal yang disesuaikan dengan kebutuhan skuadron tempur laut di setiap Kowilhan dan penambahan kategori kapal.Kedua, dalam merumuskan PCC didasarkan pada perimbangan jumlah, komposisi maupun spesifikasi berbasis perbandingan di Asia Pasifik.
Bagi Indonesia, untuk perumusan jumlah PCC ideal dapat didasarkan pada besaran rata-rata jumlah PCC di Asia Pasifik. Jadi, jumlah PCC TNI AL ideal adalah 98 corvette. Untuk perumusan PSC ideal guna membangun postur TNI AL yang kuat dan berwibawa, perlu menambah destroyer dan cruiser, masing-masing 14 unit, 9 aircraft carrier (CV), 4 nuclear powered aircraft carrier (CVN),dan 1 helicopter carrier (CVH).
PSC tersebut harus digelar untuk mendukung kekuatan TNI AL di perairan Indonesia di mana 1 unit CVH secara khusus diposisikan di Selat Malaka.Semua kekuatan tersebut tergabung dalam 14 flotila di mana setiap flotila menaungi 1 skuadron kapal perang (1 cruiser,1 destroyer,2 frigate,dan 7 corvette), 1 skuadron kapal support (KRI), 3 skuadron terbang (KAL), dan 1 skuadron supportKAL dalam 1 CV. Dengan demikian, skuadron terbang TNI AL juga harus diperkuat.
Dengan perhitungan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa rata-rata biaya operasional alutsista TNI AL untuk memenuhi hitungan ideal membutuhkan anggaran tambahan sebesar 70% per unit. Jika dihitung jumlah anggaran sebesar ini, termasuk biaya pengadaan alutsista baru yang harus disediakan, maka total anggaran per tahun rata rata sekitar USD11,78 miliar (sekitar Rp100 triliun).
Jelaslah, pandangan yang menyatakan bahwa arah kebijakan pemerintah untuk membangun Indonesia menjadi negara yang disegani dan berwibawa berlandaskan pada visi maritim dengan fokus pembangunan TNI berdasarkan kekuatan AL patut disadari akan mengubah secara fundamental sistem pertahanan dan politik negara yang sudah ada pada saat ini.
Pertanyaan mendasar yang harus diajukan adalah sejauh mana konsepsi kemaritiman ini dapat dijalankan berdasarkan sistem yang telah ada dan terbangun saat ini? Lalu siapkah kita semua dan para pemimpin kita untuk sungguh-sungguh membangun kembali kekuatan militer Indonesia sebagai negara yang dahulu berdaulat, terhormat, dan berwawasan maritim?(*)
Connie Rahakundini Bakrie
Institute Maritim Indonesia,
Research Fellow INSS Israel
Sumber:
SEPUTAR INDONESIA