Pages

Monday, July 23, 2012

TNI dan Pembangunan Ekuilibrium Regional.


FOTO: Connie Rahakundini Bakrie (http://rahakundini.multiply.com)
Oleh: Connie Rahakundini Bakri.

Strategi dan keinginan atas pembangunan kekuatan militer di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk mendukung kemerdekaan. Langkah itu diambil dengan menyadari bahwa perjuangan tidak cukup hanya dilakukan melalui cara-cara diplomasi, tetapi dibutuhkan juga intervensi militer yang melibatkan kontak senjata dengan para penjajah dan pemertahanan kemerdekaan.
Indonesia pernah mengecap era saat anggaran pertahanan mencapai 29% dari GDP. Hasil yang dirasakan langsung adalah pada pembangunan kekuatan dan kapabilitas militer yang menjadikan Indonesia sebagai negara yang paling advanced dalam kekuatan militer di kawasan. Selain itu mendorong terciptanya hubungan Washington dengan Jakarta yang penuh sikap respect di mana kemudian kita mendapatkan kembali Irian Jaya dengan hanya sebuah serangan one way ticket.
Pada era pemerintahan Orde Baru, pembangunan kekuatan negara diarahkan pada upayaupaya penciptaan stabilitas nasional sebagai syarat utama tercapainya pembangunan nasional. Pada dekade kepemimpinan ini, militer dituntut untuk masuk ke ranah politik pembangunan bangsa dengan lahirnya dwifungsi ABRI.
Di Orde Reformasi, pembangunan kekuatan kita berubah dengan adanya tuntutan untuk menciptakan militer yang profesional. Muncul keinginan untuk melahirkan militer yang bersifat outward looking. Kondisi ini akhirnya berdampak pada strategi nasional atas pembangunan kekuatan negara dengan kesalahan utama terletak pada tekad tersebut yang tidak diimbangi dengan perumusan strategi pertahanan nasional. Ada defisit pada penyusunan landasan serta kerangka hukum yang mengatur peran dan posisi TNI, termasuk visi dan misi dari transformasi militer yang dimiliki kalangan sipil sendiri mengenai pembentukan militer yang tangguh dan profesional.
Hal ini ditandai dengan banyaknya ketidaksepakatan mengenai konsep keamanan pertahanan negara dan inkonsistensi regulasi yang dilahirkannya. Misalnya persoalan pembangunan doktrin pertahanan melalui doktrin-doktrin strategis, tidak pernah terwujudnya Lembaga Pertahanan Keamanan Nasional (NSC), bersikerasnya Polri untuk tidak berada di bawah pengendalian sebuah departemen hingga persoalan anggaran pertahanan. Maka menjadi suatu momentum penting pada HUT kemerdekaan RI beberapa hari lalu, Presiden SBY untuk pertama kalinya mengumumkan bahwa Indonesia akan kembali memasuki sejarah penting militernya.
Pemerintah menetapkan anggaran pertahanan menempati urutan pertama belanja negara dengan anggaran yang mencapai jumlah Rp64,4 triliun pada 2012. Mengapa langkah itu menjadi penting? Menurut Cline dan Liddle, kekuatan militer dapat digunakan sebagai alat penekan (bargaining position) dalam memperjuangkan pembangunan perekonomian suatu negara.
Ekonomi dan militer pada dasarnya merupakan perhubungan dua variabel yang bersifat timbal-balik.Artinya, jika militer kuat, ekonominya juga akan kuat. Pertahanan Laut Indonesia berdasarkan tinjuan sejarah sebenarnya adalah negara yang berwatak maritim. Fakta bahwa visi maritim merupakan visi pertahanan politik, ekonomi, dan militer yang terbaik bagi negeri ini telah ditunjukkan secara nyata pada era Sriwijaya dan Majapahit. Namun watak kemaritiman tersebut menghilang bersama waktu. Dengan perkembangan abad ke-21 ini sudah selayaknya kita menengok konsepsi “1.000 Navy” dari Admiral Mullen. Konsepsi itu mendorong secara tidak langsung seluruh dunia untuk melirik kembali pembangunan kekuatan maritim bagi terciptanya regional equilibrium (ekuilibrium regional).
Indonesia dapat belajar banyak dari negeri kecil Israel dengan luasnya yang hanya sekitar 1% Indonesia memiliki peringkat ke-14, sementara Indonesia berada di urutan ke- 18 dunia versi Global Fire Power 2011. Salah satu kunci penting tercapainya urutan Israel di daftar tersebut dikarenakan di Israel sistem organisasi militer merupakan ruang eksklusif yang hanya dimiliki militer dan posisinya tetap di luar sistem sipil. Hal sebaliknya terjadi di Indonesia.
Kekuasaan dan intervensi sipil terhadap masalah jabatan militer strategis,‘menguji’ dan ikut menetapkan Panglima TNI, menetapkan alokasi anggaran pertahanan hingga ke pembelian alutsista. Elite sipil sering kali menentukan dengan berpedoman teguh pada konsep ‘civilian supremacy over military’. Hal ini akhirnya berimbas pada pembangunan kekuatan dan kapabilitas TNI. Terbukti, hingga 12 tahun reformasi berjalan, sulit bagi kita mencari solusi atas persoalan pembangunan kekuatan pertahanan. Padahal Indonesia harus menghadapi tantangan dan bentuk “perang baru”yang bertumpu pada kekuatan maritim baik di tataran kawasan maupun global.
Kekuatan angkatan laut (AL) secara prinsip berbasis pada alutsista bukan kekuatan personel seperti angkatan darat (AD). Perumusan postur TNI AL ideal harus diawali dengan penghitungan alutsista yang diperlukan dengan beberapa pertimbangan strategis sesuai dengan karakteristik geografis dan ultrastrategis berbagai alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) yang dimilikinya. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa rata-rata biaya operasional alutsista TNI AL yang berbasis kekuatan senjata yang diawaki (berbeda dengan TNI AD) untuk memenuhi hitungan keseimbangan maritim kawasan membutuhkan anggaran tambahan sebesar 70% per unit. Jika dihitung jumlah anggaran sebesar ini, termasuk biaya pengadaan alutsista baru yang harus disediakan, maka total anggaran rata-rata seyogianya mencapai sekitar USD11,78 miliar per tahun.
Pembangunan kejayaan Indonesia dan pencapaian mimpi bangsa-bangsa dunia untuk terwujudnya ekuilibrium regional yang nyata bagi seluruh umat manusia harus menjadi visi dalam mengembangkan sistem pertahanan. Kerangka itu juga digunakan untuk kembali mengangkat Indonesia sebagai negara yang disegani dan berwibawa berlandaskan pada visi maritim dengan fokus pembangunan TNI berdasarkan kekuatan AL. Langkah itu akan mengubah secara fundamental sistem pertahanan dan politik negara yang sudah ada.
Pertanyaan mendasar yang harus diajukan adalah mau dan siapkah kita semua dan para elite politik untuk sungguh-sungguh berkonsentrasi melaksanakannya? Kita harus membenahi dan membangun kembali kekuatan ekonomi dan kesejahteraan bangsa dengan mengembalikan kejayaan dan kekuatan Indonesia sebagai negara yang berdaulat, terhormat, dan berwawasan maritim. Dengan begitu kita mampu memanfaatkan dengan tepat dan benar centre of gravity pertahanan bangsa serta posisi ultrastrategis geopolitik kita.Karenanya tekad kita harus mampu membuat kita berkata, “Aut viam inveniam aut vaciam, I will eith.

sumber : SWATT ONLINE

TNI AL Manfaatkan Pesawat Intai Tanpa Awak


JONATHAN DANIEL / AFP
Kerja sama ini mempunyai tujuan jangka panjang memanfaatkan teknologi penginderaan jauh, seperti penggunaan satelit dan pesawat intai tanpa awak (UAV).

Jurnas.com | TENTARA Nasional Indonesia Angkatan Laut akan memanfaatkan pesawat intai tanpa awak (UAV) milik Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh itu ditandai dengan penandatanganan Piagam Kesepakatan Bersama yang dilakukan oleh Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Soeparno dan Kepala LAPAN Bambang S Tejasukmana, di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi kedirgantaraan, di Mabesal, Cilangkap, Jakarta Timur, Senin.

KSAL Laksamana TNI Soeparno, mengatakan, kerja sama yang dilakukannya itu, ada jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendeknya, meningkatkan kapasitas atau kualitas SDM dengan cara pelatihan bersama, saling memberi, saling tukar informasi.

Sementara, jangka panjang memanfaatkan teknologi penginderaan jauh, seperti penggunaan satelit dan pesawat intai tanpa awak (UAV).

"Kerja sama ini dapat membantu tugas TNI AL dalam menjaga kedaulatan negara, seperti pengawasan kapal-kapal yang melintas di perairan Indonesia. Pulau-pulau terluar juga akan diawasi," kata KSAL.

Menurut dia, kerja sama itu dapat menghemat anggaran yang ada karena bisa memadukan dua instansi yang memiliki keterkaitan.

"Untuk pertama ini, kita akan coba lima tahun. Mungkin nanti ditambah lagi lima tahun. Mungkin setelah 10 tahun sudah tercapai apa yang kita inginkan," katanya seraya berharap melalui kerja sama ini pengamanan laut bisa lebih optimal.

Kepala LAPAN Bambang S Tejasukmana, mengatakan, teknis bantuan yang diberikan LAPAN kepada TNI AL, yakni pesawat intai tanpa awak (UAV) dan satelit sebagai penginderaan jauh untuk melakukan pengamatan di daerah laut.

"Kita akan membangun satelit yang bisa dipakai angkatan laut, umumnya TNI. Kami mencoba membangun kemampuan LAPAN ini yang bisa mendukung kegiatan di TNI AL. Satelit yang akan dibangun membawa sensor sistem identifikasi otomatis," katanya Menurut dia, tidak ada target pencapaian karena antariksa itu infrastruktur penting untuk pertahanan.

"Jadi tidak terbatas. Proyeksi ini akan terus diulang lima tahun dan diulang lagi sampai jelas bentuknya. Lima tahun ini kita lebih fokus ke penginderaan jauh, pemantauan pulau kecil, pemanfaatan satelit untuk kegiatan TNI AL," kata Bambang.

Ruang lingkup kerja sama itu, meliputi bidang penelitian, pengkajian, pengembangan, pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) kedirgantaraan. Iptek kedirgantaraan itu sendiri mencakup, penginderaan jauh, sains dirgantara dan teknologi kedirgantaraan.

Selain itu, kedua instansi juga bekerja sama dalam bidang pertukaran ilmu pengetahuan, data, informasi, dan tenaga ahli serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia.

Dalam acara itu, juga ditandatangani dua perjanjian kerja sama antara LAPAN-Dinas Pengamanan AL (Dispamal) tentang pendidikan, pelatihan, dan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dan LAPAN-Dinas Hidro-Oseanografi Angkatan Laut (Dishidros).

Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh menjadi fokus utama dalam kerja sama itu karena teknologi ini sangat membantu dalam pemantauan dan pengamatan laut. Penginderaan jauh juga dapat memberikan data yang akurat, komprehensif dan dapat diterima setiap saat, sehingga membantu tugas TNI AL.

sumber : JURNAS

Pengamat: Saatnya Kemampuan Militer Ditingkatkan


FOTO: Connie Rahakundini Bakrie (http://rahakundini.multiply.com)

                                Pengamat Militer : Connie Rahakundini Bakrie





Senin, 23 Juli 2012
YOGYAKARTA (Suara Karya): Pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie menilai saatnya kemampuan militer Indonesia ditingkatkan. Jangan seperti sekarang, dimana alat pertahanan yang dimiliki sangat minim.
Apalagi soal anggaran militer dinilai masih kecil, bahkan sangat kecil bila dibanding negara-negara tetangga ASEAN, sehingga perlu ditingkatkan.
"Ke depan, TNI Angkatan Laut harus mulai mengubah orientasi komandonya. Jika selama ini membagi dengan Komando Armada Barat dan Timur, maka ke depan harus dikembangkan dengan Komando Armada Samudera Hindia dan Komando Armada Samudera Pasifik," kata Connie Rahakundini Bakrie dalam perbincangan 'Dari Yogya Membangun Kultur Indonesia' di Yogyakarta, Sabtu (21/7) petang.
Menurut dia, sebagai negara kelautan, mustinya militer Indonesia bisa menguasai kawasan Samudera Pasifik. Selama ini peranan militer Indonesia di kawasan Samudera Pasifik masih sangat kecil, sehingga kawasan itu sekarang dikuasai Australia.
Indonesia, disebutnya sudah seharusnya berperan di Pasifik, termasuk di bidang militernya. Apalagi, kalau mau melihat lebih jauh, mengingat Indonesia tengah menghadapi posisi seperti halnya Irak menjelang Perang Teluk. Mendekati Perang Teluk, Irak dikelilingi oleh US Military Base. Secara tidak disadari, kondisi sama juga sudah dialami Indonesia. "Kalau kita cermati, ini juga terjadi di Indonesia saat ini," katanya seraya memperlihatkan posisii pangkalan militer AS yang mengitari Indonesia, mulai dari Guam hingga di barat Indonesia.
Isteri mantan Pangkostrad Letjen TNI (Purn) Djadja Suparman ini menyebutkan, TNI Angkatan Udara juga harus terus dikembangkan dan ditingkatkan kemampuannya. Sehingga waktu jangkau dari satu pangkalan ke titik-titik wilayah semakin pendek.
Sementara terhadap minimnya anggaran pertahanan RI tersebut, Hasim Djokohadikusumo mengatakan, partai politik harus bertanggungjawab. Karena minimnya anggaran pertahanan tidak hanya berbuntut pada rendahnya kesejahteraan prajurit. Minimnya anggaran juga telah mengakibatkan merosotnya kemampuan tempur. "Wajar kalau kemudian peralatan militer pun minim dan di bawah persyaratan standar," katanya. (B Sugiharto) 
sumber : SUARA KARYA

Sunday, July 22, 2012

Empat Penerbang TNI AU Ikuti Training di Airbus Military Spanyol


20 Juli 2012
Pesawat C-295 di Skadron 2 TNI AU (photo : Antara)

Empat penerbang TNI Angkatan Udara dari Skadron Udara 2 Lanud Halim Perdanakusuma, diantaranya Letkol Pnb Elistar Silaen Komandan Skadron Udara 2 Lanud Halim, Mayor Pnb Destianto, Mayor Pnb Trinanda dan Kapten Pnb Reza Fahlifie saat ini berada di Airbus Military,n Sevilla, Spanyol untuk menjalani Training dengan menggunakan pesawat C-295 selama kurang lebih tiga Bulan dari Bulan Juli sampai September 2012.
Selain Penerbang TNI Angkatan Udara dua penerbang Test Pilot dari PT Dirgantara Indonesia (DI) Ester Gayatri saleh dan Novirsta Mafriando Rusli serta satu Flight Test Engineer Heru Riadhi Soenardi juga melakukan training dengan menggunakan pesawat C-295 di Airbus Military, Sevilla, spanyol.
Pesawat C-295 buatan Airbus Military yang bekerja sama dengan PT DI direncanakan akan memperkuat jajaran TNI Angkatan Udara di Skadron Udara 2 Lanud Halim Perdanakusuma menggantikan operasional pesawat F-27 yang belum lama dinyatakan tidak boleh terbang lagi oleh Pemerintah.

BERITA POLULER