Senin, 07 Mei 2012 08:51 wib
PM Najib Razak (Foto: Getty Images)
PARIS - Pengadilan di Paris, Prancis memulai
penyelidikan atas dugaan suap pembelian dua kapal selam Prancis. PM
Najib Razak diduga menerima suap hampir USD200 juta atau sekira Rp1,8
triliun (Rp9.217 per USD).
Seperti dilansir AFP, Senin (7/5/2012), selain atas kasus suap, Pengadilan Prancis juga menyelidiki kasus pembunuhan atas model asal Mongolia yang dibunuh oleh pengawal PM Najib.
Penyelidikan ini dilakukan oleh Hakim Roger Le Loire dan Serge Tournaire yang dinilai sebagai penyidik berpengalaman dalam kasus korupsi dan HAM. Kedua hakim itu akan mencari tahu apakah perusahaan pertahanan Prancis DCNS dan rekannya Thales International membayar sogokan yang seperti dituduhkan.
Sogokan itu dikeluarkan untuk mengamankan kontrak dua kapal selam kelas Scorpene untuk Angkatan Laut Malaysia pada 2002 silam. Kesepakatan tersebut disetujui ketika Najib masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan Malaysia.
Tetapi dalam penyelidikan ini, yang menjadi fokus adalah peran yang dimaikan oleh teman dekat Najib yang juga menjadi penasihat politiknya, Abdul Razak Baginda. Pihak berwenang Prancis mencurigai adanya dua pembayaran yang dilakukan oleh para penjual senjata Prancis.
Satu pembayaran diketahui berjumlah 114 juta euro atau sekira Rp1,3 triliun (Rp12.001 per euro), kepada perusahaan Malaysia bernama Perimekar untuk alasan logistik. Perimekar saat itu dimiliki oleh perusahaan yang dikendalikan oleh Razak Baginda dan istrinya Mazalinda.
Pemeriksaan juga ditujukan pada cerita dibalik pembayaran sebesar USD46 juta atau sekira Rp425,2 miliar, kepada perusahaan bernama Terasasi. Perusahaan ini berdiri di Malaysia tetapi terdaftar di Hong Kong. Terasasi sendiri diketahui dipimpin oleh Razak Baginda dan ayahnya Abdul Malim Baginda.
Penyelidikan atas perjanjian pembelian kapal selam itu makin mengemuka pada Oktober 2006 saat jasad dari model dan penerjemah asal Mongolia Altantunya Shaariibuu, ditemukan di hutan di luar Kual Lumpur. Altantunya diketahui ditembak pada bagian kepala dan jasadnya sempat diupayakan untuk diledakan dengan bom C4.
Altantunya diketahui memiliki hubungan dengan Razak Baginda. Beberapa tahun sebelumnya ia sempat berkarir sebagai model di Prancis dan pada 2004, Altantunya menemani Razak untuk bertindak sebagai penerjemah saat kesepakatan kapal selam Scorpene tersebut.
Dalam tulisan tangan yang ditemukan setelah kematiannya, Altantunya berniat untuk mengkonfrontir Razak Baginda dan menuntut pembayaran sebesar USD500 ribu atau sekira Rp4,6 miliar, sebagai uang tutup mulut.
Langkah pengadilan Prancis ini merupakan cara terakhir dari banyak pihak di Malaysia untuk mendapatkan keadilan, khususnya untuk keluarga Altantunya. Tetapi sepertinya fokus pertama dari penyelidikan, terkait pada kasus penyuapan bukan pembunuhan dari Altantunya.