Pages

Sunday, May 6, 2012

Philippines Needs 48 Fighter Jets, 6 Mini Submarines



Philippines Air Force need up to four squadrons of fighter jets (photo : Cavok)


WASHINGTON – The Philippines needs up to four squadrons (48) of upgraded Lockheed Martin F-16 fighter jets, more well-armed frigates and corvette-size, fast to surface combatant vessels and minesweepers and four to six mini submarines, possibly obtained from Russia, to build a credible defense force in the face of China’s increasing belligerence in the South China Sea, the Center for a New American Security (CNAS) said.

This level of capability would far exceed current Philippine planning and finances and it would be in Washington’s interest to make it easier for Manila to acquire excess US fighters, frigates and other weapons system and encourage other countries such as Japan and South Korea to help modernize the Armed Forces of the Philippines (AFP), it said in an article “Defending the Philippines: Military modernization and the challenges ahead.”

The CNAS article on Thursday written by Richard Fisher said the AFP’s modernization program was estimated to cost about $1 billion over the course of President Aquino’s six-year term – an amount that pales in comparison to China’s 2012 official military budget of more than $100 billion.

A high-level Philippine delegation led by Foreign Secretary Albert del Rosario and Defense Secretary Voltaire Gazmin was in Washington this week for discussions on each other’s needs to ensure freedom of navigation in the South China Sea.

A Hamilton-class frigate, now the flagship of the Philippine Navy, was turned over by the US last year and a second one is forthcoming. A third frigate is being sought.

The article lauded Aquino’s determination to build up his country’s military forces and said he has spent more than $395 million on AFP modernization since coming into office, compared with $51 million annually in the previous 15 years.

It said he is seeking to purchase a small number of F-16s supported by six to 12 Surface Attack Aircraft (SAA)/Lead-In Fighter Training (LIFT) aircraft such as the subsonic Italian Aermacchi T-346 or the supersonic Korean Aerospace Industries (KAI) T/A-50, both of which could be modified to perform secondary combat missions.

A considerable investment in training, logistical support and basing will have to precede the aircrafts’ service entry, estimated to be in 2016, the article said.

In 2011, the Philippine Navy (PN) restored a program to acquire two multi-role vessels in the form of 5,000-to-10,000-ton Landing Platform Deck (LPD) ships capable of supporting Marine amphibious operations supplying outposts in theSpratly Islands or conducting disaster relief operations.

The PN is also looking for a land-based anti-ship cruise missile like a version of the US Boeing AMG-84 Harpoon which has a range of 120 kms and could also be used by frigates and F-16s, said Fisher, a senior fellow with the International Assessment and Strategy Center, in his article.

“Finally, the PN would like to acquire a submarine by 2020, which would become its most ambitious and expensive program to date,” the article said.

Given the economic and political stakes in ensuring that all East Asian countries maintain unimpeded access to the sea lanes near the Philippines, both those nations and the United States now share a real interest in the success of the AFP modernization.

The timing is also fortuitous, the article said, because “the United States now has a pragmatic partner in President Aquino who has proved his intention to invest in national defense and is willing to rise above nationalist resentments from the bases era.”

The Philippines booted the Americans from Clark Air Base and Subic Bay in 1992.

Tim Ahli untuk Menganalisis Nakhoda Ragam Class Akan Dibentuk



Nakhoda Ragam class korvet dibandingkan dengan korvet lainnya di kawasan (all photos : Juldas-Thaifighterclub)

Beli Kapal Bekas Brunei, TNI Kembali Tuai Kritik
Rencana pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) baru untuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali dikritik oleh Komisi I DPR.
Belum surut kontroversi soal pembelian tank Leopard bekas dari Belanda, kini DPR mengkritik rencana pemerintah untuk memborong tiga buah kapal Light Fregat eks Angkatan Laut Kesultanan Brunei Darussalam seharga 301 juta Euro.
"Ini patut dipertanyakan," kata Wakil Ketua Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin di Jakarta, Selasa (2/5).

Berdasarkan informasi yang diperolehnya, jenis kapal yang akan dibeli tersebut merupakan produk Inggris yang dipesan Kesultanan Brunei tujuh tahun lalu.
Armada kapal itu dilego ke Indonesia setelah kapal tersebut selesai dibangun tiba-tiba Brunei Darussalam membatalkannya karena spesifikasi teknisnya tidak sesuai permintaan Angkatan Laut Kesultanan Brunei.
Hal itupun dibawa ke Pengadilan Arbitrase Internasional. Setelah lewat arbritase internasional, Brunei Darussalam dinyatakan kalah dan mereka tetap harus membayar produsen di Inggris.


Tubagus melanjutkan, kemudian pihak Brunei membarter kapal-kapal tersebut dan diserahkan ke galangan Lursen Jerman untuk dijual. Kesultanan Brunei  lalu membeli kapal baru jenis Ocean Patrol Vessel (OPV).
"Pertanyaannya mengapa kapal yang gagal tidak memenuhi standar spesifikasi teknis harus kita  beli? Jangan-jangan ketika sudah dibeli malah tak bisa dipakai," kata dia.

Politikus PDI Perjuangan itu menambahkan tiga kapal perang itu memang relatif murah dari sisi harga. Namun justru hal itu seharusnya diperjelas.
"Komisi I DPR akan meminta tim ahli untuk menganalisis ketiga kapal tersebut agar setelah dibeli mampu memberikan penguatan optimal pada sistim persenjataan TNI AL," tutur dia.

Thursday, May 3, 2012

Empat kapal perang TNI-AL dipensiunkan


Kamis, 3 Mei 2012 22:31 WIB | 1470 Views
Sebagian dari kapal perang Angkatan Laut Amerika Serikat masa Perang Kedua yang lalu tergabung dalam TNI-AL. KRI Teluk Langsa-501 adalah bekas USS Solano County (LST-1128), yang pernah dikerahkan di perairan Guam, Filipina,Guadalcanal hingga Okinawa di Jepang oleh Komando Armada Ketujuh Amerika Serikat di Pasifik. Yang unik, KRI Teluk Langsa-501 bersua lagi dengan "junior-junior"-nya di Angkatan Laut Amerika Serikat dalam misi kemanusiaan tsunami Aceh 2004.
... Keempat kapal tersebut telah jauh melewati batas usia pakainya, karena itu sudah waktunya diistirahatkan dari jajaran TNI-AL, khususnya Kolinlamil...


Jakarta (ANTARA News) - Ular-ular perang diturunkan dari puncak tiang empat kapal landing ship tank Komando Lintas Laut Militer TNI-AL, di Tanjung Priok, Jakarta, Kamis. Itu simbol bahwa keempat kapal itu tidak lagi termasuk dalam daftar jajaran kapal-kapal perang TNI-AL alias telah dihapus atau dipensiunkan.


Upacara militer penurunan ular-ular perang itu dipimpin Panglima Komando Lintas Laut Militer TNI-AL, Laksamana Muda TNI SM Darojatim, disaksikan banyak petinggi TNI-AL. 

Ular-Ular perang berupa pita pipih merah-putih berselang-seling di puncak tiang tertinggi merupakan salah satu simbol yang menandakan bahwa satu kapal adalah kapal perang dan simbol ini berlaku secara internasional. Upacara ini juga bentuk penghargaan bagi dharma bhakti kapal dalam dinas militer.

Keempat kapal itu adalah KRI Teluk Langsa-501, KRI Teluk Kau-504, KRI Teluk Tomini-508, serta KRI Teluk Saleh-510. Mereka adalah saksi nyata Perang Dunia Kedua dan Perang Viet Nahm, karena sebelum berdinas selama 50 tahun bagi TNI-AL, keempat kapal itu tergabung dalam Angkatan Laut Amerika Serikat pada masa-masa itu.

Telah banyak jasa yang diberi keempat kapal itu bagi Indonesia, mulai dari membawa pasukan dan peralatan perang ke berbagai misi perang, membawa para transmigran, hingga membawa bahan bantuan kemanusiaan --semisal saat tsunami Aceh 2004-- hingga mengenalkan Nusantara kepada banyak pemuda Indonesia.

Keempat kapal itu buatan galangan kapal Chicago Bridge & Iron Company, Seneca, Illinois, Amerika Serikat. KRI Teluk Langsa-501 dibangun di galangan itu pada 19 Pebruari 1945, dan bergabung dengan TNI AL pada 1960. KRI Teluk Kau-504 dibangun pada 1942, dan bergabung dengan TNI-AL pada 1960. 

Selanjutnya KRI Teluk Tomini-508 juga merupakan kapal eks Angkatan Laut Amerika yang bergabung dengan TNI AL pada 1967. Kemudian yang terakhir KRI Teluk Saleh-510 dibangun pada 1943 dan bergabung dengan TNI-AL pada 1970, setelah digunakan dalam perang Viet Nahm pada tahun 1967-1970. 

Darojatim dalam amanatnya mengatakan, sepanjang pengabdiannya, keempat kapal ini telah berjasa bagi bangsa dan negara dalam pelaksanaan tugas operasi militer perang, maupun operasi militer selain perang. 

"Keempat kapal tersebut telah jauh melewati batas usia pakainya, karena itu sudah waktunya diistirahatkan dari jajaran TNI-AL, khususnya Kolinlamil," katanya. 

Dikatakan juga, selama masa pengabdiannya, kapal perang tersebut telah banyak berkiprah dan menorehkan tinta emas dalam perjalanan bangsa Indonesia. (*)

Tiga Kapal Perang Yang Tergabung Patkor Ausindo 2012 Dihantam Gelombang Tinggi



2 Mei 2012, Surabaya: Tiga kapal perang yang tergabung dalam Satuan Tugas (Satgas) Patroli Kordinasi Australia Indonesia (Patkor Ausindo) tahun 2012, dihantam gelombang setinggi kurang lebih 6 meter, ketika melintasi Samudera Hindia, belum lama ini, Kamis (26/04). Ketiga kapal perang tersebut adalah KRI Kakap-811 yang dikomandani Mayor Laut (P) Himawan, KRI Tongkol-813 yang dikomandani Mayor Laut (P) Bimo Aji dan sebuah kapal perang Australia HMAS Pirie-P87.

Sejak angkat jangkar dari Pulau Pasir (Ashmore Reef) tanggal 25 April 2012 pukul 18.00 (waktu Darwin) menuju Darwin, kapal sudah mulai dihantam gelombang namun skalanya masih tergolong sedang. Setelah keluar dari Pulau Pasir sekitar 4 jam kemudian, konvoi kapal-kapal perang tersebut beranjak memasuki Samudera Hindia. Cuaca saat itu mulai gelap, tiupan angin makin kencang, dengan kecepatan hingga 50 knot disertai derasnya arus air laut yang menimbulkan gelombang tinggi mencapai 5 sampai 7 meter.

KRI Kakap berada disebelah kiri dari formasi berjajar, ditengah ada HMAS Pirie dan sebelah kanan KRI Tongkol. Menyeberangi perairan Samudera Hindia kapal-kapal perang tersebut terus menjalin komunikasi secara periodik. Konvoi ke tiga kapal perang tersebut terus memecah gelombang dan menembus gelapnya malam. Namun pergantian waktu dari malam ke siang hari tidak membuat ombak dan angin kencang menjadi surut. Prajurit KRI Kakap sudah merasa kelelahan akibat semalaman tidak tidur, namun mereka harus berjuang kembali mengendalikan kapal tetap dalam formasi.


Perjuangan para awak kapal perang tidak sampai disitu, setelah melewati sehari semalam melawan ganasnya alam, malam berikutnya yakni malam ke dua perjalanan menuju Darwin, konvoi ke tiga kapal perang, kembali diterjang gelombang setinggi 7 meter. Dalam formasi tersebut kapal menggunakan balingan 700 hingga 1.100 rpm dengan kecepatan rata-rata 8 sampai 16 knot.

Formasi kapal berlawanan dengan gelombang air laut yang datang dari arah selatan menuju ke utara. Hal itu membuat kapal seperti timbul tenggelam ditengah samudera. Sehari semalam tidak dapat istirahat dan makan, kemampuan fisik prajurit KRI Kakap mulai menurun, namun mereka harus tetap membawa kapal dalam formasi sampai ke Darwin. Terjangan ombak yang bertubi-tubi, membuat seisi kapal seolah hancur berantakan, perabotan seperti kursi, tempat tidur, piring, gelas dan benda-benda mudah bergerak lainnya yang luput dari ikatan jatuh berserakan di lantai. Bahkan air yang berada di bak penampungan di kamar madi tumpah bercampur benda-benda lainnya dan menggenangi koridor kapal.

Semetara itu prajurit KRI Kakap terus berusaha mengendalikan kapal dan menyelamatkan benda-benda disekitar mereka. Komandan KRI Kakap Mayor Laut (P) Himawan, menghimbau dan memberikan semangat kepada prajuritnya agar terus berusaha mengendalikan kapal dan tetap berdo’a memohon kepada Tuhan Yang maha Esa, supaya badai dapat segera berlalu. Bintara Utama (Bama) KRI Kakap Serda Bah Dedi Supriadi berusaha menyelamatkan benda-benda yang ada di geladak terbuka dari hantaman gelombang air laut.


Malam semakin larut, namun gelombang tinggi tidak kunjung surut. Sudah satu hari dua malam prajurit KRI Kakap tidak makan, dapur dan isinya berantakan, mereka hanya bertahan dengan makan roti kabin, meskipun setelah itu harus di muntahkan kembali karena perut mual akibat goncangan kapal yang bertubi-tubi. Kapal terasa bergetar hebat seolah mau patah ketika dihempas ombak dari arah haluan lambung kanan. Sesekali terjangan air laut sampai di atas anjungan menyapu benda apa saja yang ada di geladak haluan dan sekitarnya.

Sumber: Dispenarmatim

TNI AL Gandeng Perguruan Tinggi Meneliti Kapal Perang Anti Radar


28 April 2012, Surabaya: Indonesia masih belum mandiri dalam bidang pertahanan dan alat utama sistem senjata (alutsista). Dengan berbekal keinginan yang kuat untuk mewujudkan kedaulatan sistem pertahanan nasional, ITS melalui Konsorsium Pengembangan Kapal Perang Nasional (KPKPN) menggagas pembuatan kapal perang anti radar.

Tak tanggung-tanggung, riset ini didanai pemerintah senilai Rp 1,8 Miliar tiap Tahunnya. ITS tak bekerja sendiri, mengingat riset ini adalah riset nasional, maka ITS dibantu oleh beberapa perguruan tinggi negeri lain. Yaitu Akademi Angkatan Laut (AAL), Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS), Universitas Indonesia (UI), Universitas Sebelas Maret (UNS) dan Institut Teknologi Bandung (ITB).

Konsorsium ini bermula dari workshop inisiasi bidang kapal perang yang dilaksanakan Agustus 2011 lalu. Dari workshop itulah ITS mengambil langkah lebih lanjut terkait penelitian kapal perang tersebut. Termasuk pembuatan proposal untuk kemudian diajukan ke pemerintah.

''Pembuatan proposal untuk konsorsium ini telah selesai sejak akhir tahun 2011,'' ungkap Hendro Nurhadi Dipl Ing PhD, Ketua KPKPN. Baru seteleh itu, digelar workshop nasional bidang kapal perang pada akhir Februari lalu.

Penggarapan kapal perang ini dibagi menjadi tujuh kelompok kerja berdasarkan bagian kelengkapan kapal. Ketujuh kelompok kerja tersebut masing-masing menangani karakterisasi komposit, metalurgi fisik, ship standard and Mission Requirement, auto pilot, steering control, material untuk radar dan Combat Material System (CMS).

Dari pembagian tersebut, Mayor Laut (E) Oman Sukirman, M.T dari AAL berperan dalam kegiatan Ship Standard and Mission Requirement serta pengumpulan data primer, Prof. Dr. Kuncoro Diharjo dari UNS turut serta dalam pembuatan karakterisasi komposit. Sedangkan metalurgi fisik ditangani oleh Prof Dr Ir Bondan Tiara Sofyan dari UI.

“Kapal yang banyak sekarang ini sebagian besar merupakan produk-produk lama. Oleh karena itu, sangat disayangkan jika Indonesia terus menerus bergantung pada negeri lain padahal potensi dalam negeri sangat besar” papar Bpk. Mayor Oman dalam paparan sesi ke-2 workshop di Nasdec (22/2).

Keunggulan kapal perang ini nantinya yaitu dibuat dengan material anti radar. ''Anti radar baru pertama kali diterapkan di pesawat tempur Amerika. Konon wartawan tidak bisa mendekat dari jarak 100 meter,'' jelas Drs Mochamad Zainuri M.Si yang juga ditemui saat konferensi pers diskusi ilmiah di Nasdec (22/2). Zainuri yang telah meneliti bahan anti radar sejak tahun 2005 itu mengungkapkan bahwa material anti radar yang digunakan pada kapal tersebut dibuat dari pasir besi. Hingga saat ini, material tersebut telah berhasil dibuat dan dapat menyerap radar hingga 99 persen.

“Kerjasama penelitian dengan perguruan tinggi besar, tentu sangat mengangkat bendera AAL dimata akademisi di seluruh Indonesia. Apalagi kerjasama besar ini hanya melibatkan perguruan tinggi yang memiliki peneliti-peneliti yang dianggap oleh Kementerian Ristek paling berkompeten” kata Gubernur AAL laksda TNI Agus Purwoto. Jenderal berbintang dua ini menegaskan pula bahwa dirinya sangat mendukung bentuk kerjasama ini apalagi bila melibatkan Kadet dan Dosen AAL secara aktif.

“Hal tersebut guna lebih meningkatkan kemampuan analisis para Dosen AAL maupun Kadet, serta lebih menimbulkan kemauan untuk mengembangkan Alutsista yang ada khususnya milik TNI AL” tegas orang nomor satu di AAL ini.

Sumber: AAL

Wednesday, May 2, 2012

Indonesia Defence and Security Report Q2 2012


Indonesia Defence and Security Report Q2 2012
In an announcement that could have far-reaching implications for South East Asia’s strategic landscape, Defence Minister Purnomo Yusgiantoro signalled in January 2012 that the Indonesian military was poised to embark on a major procurement drive. For the last decade, Purnomo said, the TNI had refrained from spending heavily on equipment in order to give priority to political reform. That is now set to change.
At the end of 2011, the finance ministry’s 2012 spending plan revised the annual defence budget upwards to IDR72.5bn (USD8.0bn) – a 50% increase on the 2011 defence allocation. This total should bring the defence budget to over 1% of GDP for the first time in many years, and could make President Yudhoyono’s stated aim of spending 1.5% of GDP on defence by 2015 achievable (though 20-25% increases would be needed in each of the next three financial years to make that happen).
By the time Purnomo made his remarks, the Defence Ministry had already announced at the end of 2011 that it had selected South Korea’s Daewoo Shipbuilding Marine Engineering (DSME) to supply three new submarines under the terms of a USD1.07bn contract. Two of the ordered Chang Bogo-class submarines are to be built in South Korea, with the third to be constructed locally by Indonesian shipbuilder PT PAL. Deliveries are due in 2015-16. Indonesia’s close ally Turkey, which submitted an unsuccessful bid for the submarine requirement, was informed by TNI Chief of Staff Admiral Agus Suhartono that it would have the opportunity to bid for follow-on submarine contracts, with the Indonesian navy planning to procure between five and seven more submarines by 2024. Meanwhile, Indonesia and Turkey are considering co-operation on rocket, armoured vehicle and military radio programmes.
Other significant procurements in the last quarter included the acquisition of: six Sukhoi Su-30MK2 fighter aircraft (which will increase the size of the air force’s Sukhoi fleet to 16 aircraft); nine C-295 tactical transport aircraft, which are built by Airbus Military and local aerospace firm PT Dirgantara; and four missile-equipped stealth trimarans built by PT Lundin Industry Invest. The navy also launched the second of a new class of fast patrol boat built by local firm PT Palindo Marindo, while the air force inducted a second air defence radar station supplied by ThalesRaytheonSystems to cover the eastern part of the country.
However, two procurement programmes have run into difficulty due to parliamentary interventions: the acquisition of unmanned aerial vehicles from Israel; and the purchase of ex-Dutch Army Leopard 2 main battle tanks. The latter procurement, which would see 100 tanks transferred to Indonesia for around USD600mn, has become controversial, with lawmakers unhappy with the Ministry of Defence’s lack of communication in explaining why the procurement is necessary. Some analysts have argued that tanks would be unsuitable in Indonesian conditions and that other requirements – such new maritime patrol vessels – should be given priority.
Politically, Indonesia earned praise for ratifying the nuclear Comprehensive Test Ban Treaty in December, and also for bringing accused Bali bomber Umar Patek to trial in February 2011. However, criticism of Jakarta’s handling of unrest in Papua continued. The indictment of five Papuan activists on treason charges drew particular condemnation, with human rights groups arguing that in a democracy individuals should be free to advocate Papuan independence. The fact remains that the East Timor experience has left the Indonesian political establishment highly sensitive to any threats of further separatism, and President Yudhoyono was unrepentant with regard to his Papuan policy, arguing that the security forces there were simply enforcing the law. Nonetheless, the unrest in Papua shows no sign of abating, and the policies of the Yudhoyono administration do not currently appear to be helping to reconcile the Papuans to life within the Indonesian republic.
 

Smith Says Submarine Decisions Soon



HMAS Stirling (photo : Naval Technology)
Defence Minister Stephen Smith says key decisions will soon be made on Australia's next generation submarine to replace the ageing Collins class boats.
With the backdrop of the USS Michigan, a visiting nuclear-powered guided missile submarine moored at HMAS Stirling navy base in Western Australia, Mr Smith told reporters all options remained on the table, except that of nuclear propulsion.
The minister said if Australia was to acquire nuclear-powered submarines all maintenance and sustainment would have to be outsourced to another country because of the lack of a local nuclear industry.
Mr Smith said defence was working on the array of options for the boats which will replace the navy's six Collins class vessels, provisionally set to retire around 2025.
"We are not too far away from making an announcement about the first stage of what will be the single largest capital works program the Commonwealth of Australia has ever engaged in," Mr Smith told reporters.
"That is why we have been proceeding very sensibly, very methodically and very diligently before we start the design and construction stage of the program."
The 2009 Defence White Paper calls for 12 new advanced submarines to provide Australia with a formidable defensive and offensive capability. These vessels would be built in South Australia.
Defence has moved to test the current submarine market, inviting three European builders to submit details of their latest designs.
There are four options - buying an existing design, an existing design with some Australia-specific systems, an existing design with modifications to meet Australian requirements and an all-new design.
Mr Smith said interoperability with the US was an important factor for the new submarines.
"It doesn't make sense for us to have a submarine fleet that is not interoperable with the US fleet so far as communications and weapons systems are concerned," he said.
But that doesn't mean Australia would aim to buy US submarines.
"The US only has nuclear submarines so that option is not open to us," he said.
Mr Smith said he'd had talks at the highest level about the need for Australia and the US to cooperate on Australia's new submarine fleet.
"And that's occurring. There is support at the highest level and support at officer level and the US has indicated any assistance they can give so far as design is concerned, they will do that readily," he said.

Jerman Beri Sinyal Setujui Jual Leopard

Beberapa minggu yang lalu Kabinet Belanda telah menyetujui penjualan 80 Tank Leopard 2 ke Indonesia dengan nilai transaksi sekitar 200 juta Euro, namun untuk merealisasikannya dibutuhkan persetujuan dari parlemen yang masih timbul pro dan kontra (photo : Militaryphotos).
PEMERINTAH dan DPR ber­kukuh membeli tank Leo­pard 2A6. Setelah gagal membeli dari Belanda, pemerintah dan DPR kini beralih ke Jerman.

Anggota Komisi I DPR dari F-PG Yorris Raweyai saat dihubungi, kemarin, menjelaskan anggota dewan sempat mendatangi pabrik produsen tank seberat 60 ton itu saat berkunjung ke Muenchen, Jerman, baru-baru ini.

Rombongan yang mendatangi Jerman dipimpin Wakil Ketua Komisi I DPR Hayono Isman didampingi 12 anggota. Kami ingin mencari kepastian bagaimana teknis tank ini,” ujar Yoris.
Awalnya, pemerintah berencana membeli 100 tank bekas dari Belanda dengan nilai sekitar US$280 juta. Namun, rencana itu terkendala karena ada penolakan dari parlemen Belanda.
Dubes RI di Berlin Eddy Pratomo membenarkan dele­gasi anggota dewan sempat mengunjungi perusahaan produsen tank Leopard, Krauss-Maffei-Wegmann GmbH & Co KG (KMW).

Eddy menjelaskan, dele­gasi sempat berdialog dengan Presiden dan CEO KMW Frank Haun. Pada kesempatan tersebut, Komisi I DPR membicarakan penjajakan pembelian tank Leopard dan perjanjian alih teknologi sebagai bagian dari kontrak pembelian.

Selain itu, sambung Eddy, rombongan sempat bertemu juru bicara luar negeri fraksi CDU/CSU (koalisi partai berkuasa Jerman) Philipp Missfelder serta Ketua Komisi Pertahanan Susanne Kastner.

Anggota dewan juga, lanjut Eddy, sempat bertemu dengan Parliamentary State Secretary Hans-Joachim Otto, untuk meminta penjelasan tentang prosedur pemberian dan izin ekspor alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang menjadi wewenang kementerian tersebut.
Menurut Eddy, pihak Jerman menyatakan tidak melihat ada masalah untuk ekspor alutsista ke Indonesia. Jerman, menurut Eddy, bahkan akan meningkatkan kerja sama ekonomi dan industri strategis kedua negara.

Padahal, Eddy mengakui pihak Jerman menerapkan kebijakan restriktif terhadap ekspor alutsista ke Indonesia. Salah satu isu yang sering menjadi ganjalan adalah isu perlindungan hak asasi manusia.
“Penting bagi Indonesia untuk menjelaskan hal itu kepada Jerman,” ujarnya. (Che/Ant/P-1)

BERITA POLULER