Pages

Thursday, September 29, 2011

Komisi I DPR Tetap Pergi ke Spanyol & Korsel untuk RUU Alutsista




Jakarta - Komisi I DPR ternyata tetap pergi ke Spanyol dan Korea Selatan. Tujuannya pun diganti, semula studi banding RUU Intelijen kini menjadi studi banding RUU Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista). 

"Jadi yang kunjungan untuk RUU Intelijen tidak ada. Tetapi untuk Alutsista tetap berangkat," kata Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin saat dihubungi detikcom, Kamis (29/9/2011).

Hasanuddin yang juga politikus PDIP ini menerangkan, tim Komisi I akan mulai berangkat esok Jumat (30/9). "Besok tetap berangkat," tuturnya.

Pernyataan Hasanuddin ini berbeda dengan apa yang disampaikan anggota Komisi I DPR Max Sopacua. Dia sebelumnya menyebut sepenuhnya keberangkatan dibatalkan, baik untuk RUU Intelijen maupun RUU Alutsista.

"Itu kan tidak urgent juga toh, ya akhirnya kita batalkan. Jadi tidak ada kunjungan ke Spanyol dan Korsel," imbuh Wakil Ketua Umum Partai Demokrat itu di DPR.

detik

Ketua Komisi I DPR: Kita Masih Perlu Kunjungan ke Korsel







Jakarta - Spanyol dan Korea Selatan semula menjadi target studi banding RUU Intelijen Komisi I DPR. Berhubung RUU tersebut sudah hampir selesai, studi banding dibatalkan. Namun Korsel masih menjadi target studi banding komisi pertahanan dan luar negeri ini.

"Kalau untuk kunjungan terkait RUU Intelijen yaitu ke Spanyol dan Korea Selatan memang dibatalkan karena sudah hampir selesai dan sudah mau diparipurnakan. Tetapi kita juga sedang membahas terkait RUU Industri Strategis Pertahanan. Nah itu juga direncanakan, kita perlu kunjungan ke Korea Selatan," kata Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddik di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (29/9/2011).

Awalnya, Komisi I DPR berencana untuk melakukan kunjungan ke Korea Selatan untuk studi banding dua RUU. Namun karena RUU Intelijen sudah hampir selesai, maka dibatalkan.

"Kalau yang RUU Industri Strategis Pertahanan itu ada dijadwalkan ke sana, tetapi hanya ke Korea Selatan. Tapi itu masih nanti, belum tahu kapan," sambung Mahfudz.

RUU Industri Strategis Pertahanan saat ini masih dibahas bersama dengan Badan Legislatif. Karena itu Komisi I DPR masih belum tahu kapan akan melakukan studi banding. "Jadi nggak-nya kita belum tahu karena baru direncanakan," ucap politisiP.S ini.

Pernyataan Mahfudz berbeda dengan Wakil Ketua Komisi I TB Hassanudin. Menurutnya, kunjungan untuk RUU Intelijen tidak ada, tetapi untuk Alutsista tetap berangkat. Tim Komisi I DPR akan mulai berangkat esok Jumat (30/9).

Sementara itu anggota Komisi I DPR Max Sopacu menyebut, sepenuhnya keberangkatan dibatalkan, baik untuk RUU Intelijen maupun RUU Alutsista. "Itu kan tidak urgent juga toh, ya akhirnya kita batalkan. Jadi tidak ada kunjungan ke Spanyol dan Korsel," ucap Wakil Ketua Umum Partai Demokrat itu di DPR.


detik

Kasad Terima Dubes Rusia



Kamis, 29 September 2011 - 16:44 WIB
Kasad Terima Dubes Rusia
H. E. Mr. A. Ivanov, Duta Besar Rusia Untuk Indonesia, didampingi Atase Pertahanan Colonel Vladimir Afanasenkov, melakukan kunjungan kehormatan yang diterima Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad), Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo, di Markas Besar TNI Angkatan Darat, Jl. Veteran No. 5 Jakarta Pusat, Kamis (29/9/2011). Kunjungan tersebut dalam rangka meningkatkan hubungan antara kedua pemerintahan, khususnya di bidang industri pertahanan, yang dihadiri oleh para pejabat teras TNI Angkatan Darat




sumber : POSKOTA

Indonesia Akan Punya Satu Lagi Pabrik Pesawat



"Sebelumnya saya katakan, kenapa tidak dibangun di Bandung?" ujar Gubernur Jawa Timur.

KAMIS, 29 SEPTEMBER 2011, 19:51 WIB
Syahid Latif
Perakitan pesawat terbang di PTDI (VIVAnews/Tri Saputro)

VIVAnews - Meski Indonesia sudah memiliki PT Dirgantara Indonesia yang merupakan perusahaan pembuat pesawat di tanah air, ternyata pemerintah masih berambisi membangun pabrik serupa di Jawa Timur.
Hal itu diketahui dari permintaan Menteri Perhubungan Freddy Numberi kepada pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk segera menyiapkan lahan 1.000 hektar yang akan diperuntukan bagi pembangunan pabrik pesawat terbang.

"Sebelumnya saya katakan, kenapa tidak dibangun di Bandung?" ujar Gubernur Jawa Timur Soekarwo dalam diskusi Forum Rektor Perguruan Tinggi Negeri (PTN) se-Jatim di kampus ITS, Surabaya, Jawa Timur, Kamis, 29 September 2011.

Soekarwo mengaku telah berbicara dengan sejumlah kepala daerah perihal rencana pembangunan pabrik pesawat tersebut. "Mereka umumnya siap merealisasikan rencana itu," katanya.

Pemilihan Jatim sebagai lokasi pembangunan pabrik pesawat, ujar Soekarwo, dikarenakan provinsi ini dianggap memiliki pertumbuhan ekonomi yang stabil. Bahkan tingkat pertumbuhan ekonomi Surabaya cenderung meningkat melebihi DKI Jakarta.

Pemerintah Provinsi Jawa Timur berharap jika proyek pembangunan pabrik pesawat tersebut itu terwujud, pelayanan transportasi udara di tanah air akan mengalami peningkatan.

Lebih jauh, Soekarwo berharap keberadaan pabrik pesawat itu akan membantu percepatan pertumbuhan perekonomian di Kawasan Timur Indonesia (KTI) (Laporan : Tudji Martudji | Surabaya) (adi)
• VIVAnews

Indonesia minta PBB lakukan reformasi

_"&class="img_default"







Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa. (FOTO ANTARA/Prasetyo Utomo)



PBB, New York (ANTARA News) - Indonesia berharap Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang saat ini beranggotakan 193 negara, memperkuat peran sentralnya dalam mendorong kerjasama negara di dunia dengan melakukan reformasi.

"Guna mengatasi tantangan baru dan yang akan muncul serta mengetahui kesempatan baru, reformasi PPBB merupakan kunci," kata Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa ketika menyampaikan pernyataan Indonesia dalam Sidang ke-66 Majelis Umum PBB di Markas Besar PBB, New York, Senin.

Reformasi PBB, kata Marty, merupakan satu-satunya jalan untuk membuat PBB tetap relevan dan memastikan kerjasama dunia dalam mengatasi tantangan global.

Ia mengingatkan bahwa dunia terus dihadapkan pada berbagai tantangan rumit, mulai dari ancaman senjata nuklir, perompakan, terorisme, krisis keuangan dan ekonomi hingga keadaan terburuk serta paling mendasar, yang ditemui di berbagai penjuru dunia, yaitu kemiskinan dan kelaparan sangat parah.

Dunia juga menghadapi ancaman kerusakan lingkungan hidup dan bencana alam, masalah ketahanan pangan dan energi, intoleransi, diskriminasi serta penguasa lalim, yang menindas keinginan demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Mengingat tidak dapat dipecahkan secara nasional, tantangan itu seharusnya dapat memotivasi negara untuk mendorong kemitraan dan kerjasama di antara mereka, kata Marty.

"Pertama, kita perlu memperkuat multilateralisme untuk mengatasi tantangan global. Itu berarti peran sentral PBB," katanya mengingatkan.

Melalui reformasi, kata Marty, harus dipastikan bahwa PBB dan proses di badan dunia itu dalam pengambilan keputusan menjadi lebih efektif, transparan dan melibatkan semua pihak.

Indonesia menginginkan seluruh masalah kunci reformasi PBB dibahas sebagai bagian integrasl dari paket terpadu, termasuk menyangkut Dewan Keamanan.

"Dewan Keamanan harus dapat mencerminkan keadaan dunia saat ini dengan lebih baik. Dewan Keamanan harus lebih mewakili, transparan dan efektif," kata Marty.

Selain secara multilateral, Indonesia juga mengingatkan bahwa kerjasama dan kemitraan antara PBB dengan lembaga kawasan merupakan kunci lain untuk mengatasi tantangan global saat ini.

Dalam pidatonya, Marty juga menyentuh beberapa soal lain, termasuk yang mencuat dalam rangkaian pertemuan tingkat tinggi di Sidang Umum sejak Senin (19/9) lalu, yaitu permohonan Palestina menjadi negara anggota penuh PBB.

"Dalam mendorong perdamaian dan Vembangungan di kawasan Timur Tengah, langkah pertama dan yang utama harus dilakukan adalah mengkoreksi ketidakadilan sejarah, yang dibiarkan berlangsung lama terhadap rakyat Palestina," kata Marty.

Marty menegaskan dukungan Indonesia terhadap hak rakyat Palestina untuk hidup secara bebas, damai, adil dan bermartabat di tanah air mereka sendiri telah berlangsung lama dan tidak akan pernah berhenti.

"Karena itu, Indonesia sangat mendukung keinginan Palestina menjadi negara anggota penuh PBB. Itu sejalan dengan visi solusi dua negara, yaitu penyelesaian secara damai, adil dan terpadu di Timur Tengah," katanya.

Selain menyampaikan pernyataan Indonesia, pada Senin, Marty juga melakukan serangkaian pertemuan dwipihak di sela-sela sidang Majelis Umum, termasuk dengan Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat William J Burns dan Sekretaris Jenderal Liga Arab Nabil El Araby.

Marty mengungkapkan, dalam pertemuandngan Burns, keduanya antara lain membahas hubungan dwipihak, persiapan kunjungan Presiden Barack Obama ke Bali pada November nanti, serta persiapan pelaksanaan temu puncak Asia Timur.

Sementara itu, dengan Nabil El Araby, Marty membahas keinginan Indonesia meminta status peninjau di Liga Arab.

"Tentu, Indonesia tidak bisa menjadi anggota, tapi melihat kesinambungan penanganan masalah dari Liga Arab ke Organisasi Kerjasama Islam, ke Gerakan Nonblok dan masalah multlateral lain, Indonesia merasa perlu --sebagaimana halnya sekarang juga sedang merintis status peninjau di Uni Afrika-- minta status peninjau di Liga Arab," katanya.



ANTARA

Typhoon class Ballistic missile submarine




Typhoon class submarine
The Typhoon class submarines are the largest undersea vessels ever built

Entered service1981
Crew150-175 men
Diving depth (operational)400 m
Sea endurance120 days
Dimensions and displacement
Length170 - 172 m
Beam23 - 23.3 m
Draught11 - 11.5 m
Surfaced displacement23 200 - 24 500 tons
Submerged displacement33 800 - 48 000 tons
Propulsion and speed
Surfaced speed12 - 16 knots
Submerged speed25 - 27 knots
Nuclear reactors2 x 190 MW
Steam turbines2 x 37.3 MW
Armament
Missiles20 x SS-N-20 'Sturgeon' SLBMs
Torpedoes2 x 650-mm and 4 x 533-mm torpedo tubes
   The Typhoon class (Project 941 Akula) boats are the largest undersea vessels ever built, and are based on a double hull design that comprises two separate pressure hulls joined by a single outer covering to give increased protection against ASW weapons.
   The class was built specifically for operations with the Soviet Northern Fleet in the Arctic ice pack. The reinforced sail, advanced stern fin with horizontal hydroplane fitted aft of the screws and retractable bow hydroplanes allow the submarine to break easily through spots of thin ice within the Arctic ice shelf.
   The first unit was laid down in 1977 at Severodvinsk and commissioned in 1980, achieving operational status in 1981. To arm the Typhoon, design of a fifth-generation SLBM, the R-39 Taifun (SS-N-20 Sturgeon), began in 1973. Six vessels were constructed between 1981-89, entering service to form part of the 1st Flotilla of Atomic Submarines, within the Western Theatre of the Northern Fleet, and based at Nyerpicha. Construction of a seventh vessel was not completed.
   The R-39 allowed the submarine to fire the weapon from within the Arctic Circle and still hit a target anywhere within the continental US. The Typhoons, were originally to be retrofitted with the improved R-39M (SS-N-28) missiles.
   _wN vessels were decommissioned in 1997, and in 2002 only two remained in service although it has been reported that three of the class will remain active in order to test the R-39M or the new_BTlava SLBM, contravening the Co-operative Threat Reduction Program. The Typhoon class will be
 eventually replaced with the Borei class submarines

Typhoon class submarineTyphoon class submarineTyphoon class submarineTyphoon class submarine

No plans to retire Typhoon class subs soon - Russian military


Typhoon class submarine
The Typhoon class submarines are the largest undersea vessels ever built






05:20 30/09/2011
MOSCOW, September 30 (RIA Novosti)
A high-ranking source in the Russian Defense Ministry has denied rumors of a planned scrapping of Typhoon class strategic submarines in the near future.
Several media sources reported recently that the Russian military had decided to scrap the world's largest nuclear-powered subs by 2014.
"The Defense Ministry has not made such a decision. The submarines remain in service with the Navy," the official told RIA Novosti on Thursday.
The Typhoon class submarines entered service with the Soviet Navy in the 1980s. Three of the six vessels built are still in use.
The Dmitry Donskoy submarine has been modernized as a test platform for Russia's new Bulava submarine-launched ballistic missile and will remain in this capacity for a long time, the source said.
Two reserve vessels, the Arkhangelsk and the Severstal, are awaiting overhaul at a naval base in Severodvinsk in northern Russia.
"The problem is that they do not have the arsenal of R-39 [SS-N-20 Sturgeon] submarine-launched ballistic missiles anymore, as the production of these missiles in Ukraine stopped in 1991," the source said.
The Typhoon class subs have a maximum displacement of 33,800 tons and were built to carry 20 SS-N-20 SLBMs, all of which have been retired.
Nevertheless, these subs will most likely be modernized to carry new-generation sea-based cruise missiles to match the U.S. Ohio-class submarines.
The Typhoons will be replaced in the future with the new Borey class strategic submarines, which will be equipped with Bulava missiles.

RIA NOVOSTI

BERITA POLULER