Tribunnews.com - Kamis, 8 September 2011 12:11 WIB
Laporan Wartawan Tribunnews.com Hasanuddin Aco TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA
- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta TNI dan Polri
mengutamakan pengadaan alat utama sistem persenjataan (Alutsista) dari
produk dalam negeri ketimbang harus impor.
"Wajib hukumnya
saudara-saudara di TNI Angkatan Darat, Laut dan Udara dan Kepolisian
untuk membeli Alutsista itu manakala sudah bisa dibuat industrinya
dalam negeri kita. Sekali lagi jangan karena pertimbangan yang lain kita
justru tidak membeli atau mengadakan yang nyata-nyata sudah bisa kita
bikin sendiri. Agar industri kita juga bisa berkembang, ada lapangan
pekerjaan," kata SBY dalam pengantar Sidang Kabinet Terbatas bidang
Polhukan di kantor Presiden Jakarta, Kamis (8/9/2011).
Presiden
mengatakan, jika ada Alutsista yang belum mampu di buat oleh PAL dan
Pindah maka diusahakan dibuat kerjasama misalnya joint investment atau
join production dengan industru serupa di negara lain.
Rapat siang
ini membahas khusus mengenai Pengadaan Alutsista. Hadir antara lain
Wakil Presiden Boediono dan menteri bidang Polhukam seperti Menko
Polhukam Djoko Suyanto, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, Kapolri
Jenderal Polisi Timur Pradopo, dan beberapa menteri lainnya.
Jakarta -
Korupsi dalam proses pengadaan yang diungkap KPK di
beberapa kementerian, hendaknya dijadikan pelajaran. Kementerian
Pertahanan yang sedang meremajakan alat utama sistem senjata (Alutsista)
untuk TNI dan Polri, diminta tidak terjebak masalah yang sama.
Demikian
wanti Presiden SBY dalam pengantar pembukaan rapat kabinet terbatas
bidang polkam. Rapat berlangsung di Kantor Presiden, Jl Medan Merdeka
Utara, Jakarta, Kamis (8/9/2011).
"Saya tidak ingin ada yang
meleset di manapun, apalagi ada penyimpangan dan korupsi dalam proses
ini. Biayanya besar," tegas SBY.
Di dalam APBN beberapa tahun
terakhir, Kemenhan selalu mendapat alokasi dana yang tinggi untuk proyek
peremajaan alutsista di jajaran TNI dan Polri. Hal ini karena alusista
yang ada memang dinilai sudah tidak lagi memadai dengan kebutuhan dan
tantangan di masa-masa mendatang.
"Pastikan pengadaan alutsista
yang mahal, ratusan miliar bahkan triliunan kalau menyangkut kapal
selam, pesawat tempur dan sejenisnya, tepat sasarannya. Fokus pada
pengadaan dan peremajaan alutsista yang sungguh diperlukan untuk
kepentingan pertahanan negara kita," sambung SBY.
Peringatan
tersebut SBY tekankan kembali, sebab di masa lalu kerap terjadi praktek
yang tidak tepat dalam pengadaan alutsista. Dia minta dilakukan koreksi
dalam proses pengadaan alutsista agar lebih transparan dan akuntabel.
"Saya
telah berikan koreksi untuk perbaikan proses dan mekanisme pengadaan
alutsista yang di sana-sini kurang tepat di waktu lalu. Juga masalah
transparansi dan akuntabilitas. Setiap rupiah harus dapat
dipertanggungjawabkan," tegas SBY.
September 7, 2011 (by Eric L. Palmer) - F-16.net has learned from an unnamed source, that earlier this year a presentation was given by an industry air combat threat assessment expert to defense officials of a NATO country which showed that the F-35 Joint Strike Fighter (JSF) would not survive air combat against threats it is likely to see in its alleged service lifetime.
AddThis Feed Button
USAF F-35A #08-7046, the third production model of the F-35 Lightning II, completed its inaugural flight on May 6th, 2011 from NAS Fort Worth with Lockheed Martin test pilot Bill Gigliotti at the controls. Part of the presentation showed a computer simulation which calculated that the F-35 would be consistently defeated by the Russian-made SU-35 fighter aircraft. The defeat calculated by the scenario also showed the loss of the F-35's supporting airborne-early warning and air-to-air refueling aircraft.
The technology in the SU-35 will also see its way into growth upgrades of other SU-fighter variants used by countries like Indonesia, India, Malaysia and Vietnam. Chinese variants of these aircraft should also see similar growth capability in the coming years.
The Russian-made T-50, PAK-FA low-observable fighter now in development is expected to be much more lethal than the SU-35 in air-to-air combat against the U.S. made F-35. The SU-35 and T-50 made appearances this year at the Russian aerospace industry air show known as MAKS2011. Both aircraft will include sensors and networking which can minimise the effects of the limited low-observable qualities of the F-35. They will also have higher performance and carry more air-to-air weapons than an F-35.
The F-35 defeat briefing runs counter to the claims by the Lockheed Martin corporation that the F-35 will be a go-it-alone aircraft in high threat situations (brief to Israel, 2007) or that it will be “8 times” more effective than “legacy” aircraft in air-to-air combat.
In 2009, then U.S. Secretary of Defense Mr. Gates was successful in halting additional production of the F-22 which is the only aircraft that can take on emerging threats. His reasoning was that the F-35—built in numbers—would be sufficient to fill any strategic gaps in air power deterrence for the U.S. and its allies.
There was never any robust strategic study performed by the U.S. Department of Defense to verify Gates theory.
Since Gates endorsement of the troubled F-35 program, it has continued with its history of cost blow-outs and delay and is unlikely to see a large number built.
If Gates is wrong, he will have helped put the the air power deterrent capability of the U.S. and its allies at significant risk in the coming years. According to the assumptions of the joint operational requirement of the F-35 signed off on in 2000, the F-35 was not supposed to take on high-end threats. The requirement assumed that there would be hundreds of combat-ready F-22s. With the F-22 program ending, the maximum number of combat-ready F-22s will be somewhere between 120 and 140.
Independent air combat analysts from Air Power Australia have also stated that the F-35 is not capable of facing high end threats; that what will be delivered (if it ever arrives) will be obsolete; and that the F-35 is not affordable or sustainable.
A recent briefing by Australian Defence officials, while showing support for the F-35 program, admitted that it will cost more to operate than the F-18 Hornet. A separate U.S. Navy study also agreed. This is counter to the claim by Lockheed Martin, that the F-35 will be cheaper to operate than existing aircraft it is planned to replace.
In 2012, Australian Defence will decide to put down money for its first order of F-35s or to go ahead with a “plan-B” that could include purchase of 24 more F-18 Super Hornets made by Boeing. The Super Hornet is also unable to take on high-end threats in the Pacific Rim region in the coming years.
Para
pejabat militer rezim Zionis memperingatkan keputusan Turki mengirim
pasukan maritimnya guna mendukung kapal-kapal bantuan ke Jalur Gaza.Pusat
informasi Palestina melaporkan, para panglima militer Zionis Israel
setelah berdialog dengan Menteri Peperangan Zionis Israel, Ehud Barak,
mengatakan, "Jika pemerintah Turki merealisasikan ancamannya dan
mengirim pasukan angkatan laut ke dekat pantai Israel maka Ankara akan
menerima konsekuensi yang berat." Menlu
Turki, Ahmet Davutoglu Jumat (2/9/) mengusir Dubes Israel dari Ankara,
setelah publikasi laporan komite investigasi PBB yang membela
penyerangan tentara Israel terhadap kapal Mavi Marmara. Turki juga
membekukan semua kesepakatan militer dengan rezim Zionis dan menyatakan
bahwa Ankara akan mengambil langkah-langkah yang dinilai perlu guna
menjaga keamanan pelayaran di timur Mediterania. Tim
penyidik PBB yang dipimpin Jeffrey Palmer, membenarkan serangan militer
Israel terhadap kapal Mavi Marmara. Tim itu menyatakan bahwa kapal
Marmara (Freedom Flotilla) telah melakukan tindakan ilegal dengan
memasuki wilayah Palestina yang diblokade Israel. Tel
Aviv mengitensifkan blokade di Jalur Gaza sejak tahun 2007. Komando
pasukan Zionis Isreal pada tanggal 31 Mei 2010 menyerang konvoi kapal
bantuan ke Jalur Gaza di perairan internasional. Akibatnya, sembilan
warga Turki tewas.
Selasa
siang (6/9) Farsnews menurunkan berita bertajuk "Balasan Tegas Angkatan
Udara Iran Terhadap Ancaman di Laut Kaspia". Dalam berita itu, Marsekal
Hossein Chitforoush, juru bicara manuver akbar Angkatan Udara Iran,
menyatakan bahwa armada udara Republik Islam akan membalas tegas segala
ancaman di Laut Kaspia. Balasan tegas yang dimaksud Chitforoush adalah
sama seperti yang ditunjukkan Iran pada tahun 2001 lalu. Situs
berita Shafaf yang berbasis di Iran, Rabu (7/9) melaporkan, pada Agustus
2001, kapal eksplorasi minyak Republik Azerbaijan secara ilegal
memasuki perairan Iran hingga ke zona minyak Alborz. Iran membalas
pelanggaran itu dengan mengirim sebuah kapal perangnya dari zona maritim
keempat Iran di pelabuhan Anzali dan mengancam kapal tersebut dengan
serangan rudal jika tidak segera menyingkir. Reaksi
tegas Iran itu menggelitik keusilan kolektif Azerbaijan dan Turki dengan
mengirim jet-jet tempur mereka terbang di atas wilayah perairan Iran.
Namun Iran kembali mereaksi pelanggaran itu dengan mengirim armada
patroli yang diiringi F-14 dan Orion dari pangkalan udara di Shiraz dan
Esfahan. Setelah
insiden tersebut dan pengulangan aksi yang sama serta pelanggaran nyata
Angkatan Udara Turki pada 2008, patroli udara Iran di perairan Kaspia
terus berlanjut hingga kini. Poin
menarik lainnya adalah bahwa pengungkapan kronologi pelanggaran itu
untuk saat ini dapat menyelesaikan teka-teki pengkhianatan Turki
terhadap keamanan regional dan juga terkait penempatan sistem radar
Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Turki. Republik
Islam Iran hendak mengirim pesan secara tidak langsung kepada Turki
bahwa jika Turki menjadi tuan rumah musuh-musuh Iran, maka Ankara juga
akan berada dalam target armada udara Republik Islam.
Ratusan perwira TNI-AL yang baru diwisuda
melempar topi sebagai ungkapan bahagia di Akademi Angkatan Udara (AAU)
Yogyakarta, Kamis (14/7). Wilayah laut seluas 5 juta kilometer persegi
memerlukan jajaran TNI-AL yang kuat sesuai hakekat Indonesia sebagai
negara maritim dan kepulauan. (FOTO ANTARA/Regina Safri)
... letak geografis Indonesia yang sangat strategis dan dikelilingi
wilayah perairan, TNI-AL memang dituntut memiliki kekuatan yang handal
dan tangguh...
Surabaya (ANTARA News) - Percepatan pembangunan postur kekuatan
pokok minimum TNI-Al sudah mendesak diwujudkan. Bukan apa-apa, luas
wilayah laut Indonesia minta ampun luasnya, sampai 5 juta kilometer
persegi; sehingga target 2014 untuk mencapai hal itu ditetapkan.
Kepala
Staf TNI-AL, Laksamana TNI Suparno, menyatakan, "Pembangunan kekuatan
pokok minimum sudah menjadi program TNI AL dan kami harapkan sudah bisa
dicapai pada 2014." Dia menyatakan hal itu seusai serah terima dua
pejabat teras TNI-AL.
Banyak yang harus disiapkan dan dibeli
dalam daftar panjang keperluan arsenal minimum TNI-AL itu. Di antaraya
sejumlah kapal selam memperkuat dua kapal selam kelas Cakra tipe
209/1300 buatan galangan kapal Howaldts Werke, Kiel, Jerman.
Kapal-kapal
kelas Parchim eks Jerman Timur hasil pengadaan pada dasawarsa '90-an
juga termasuk dalam daftar yang harus diremajakan. Masih ada lagi calon
pengganti KRI Dewaruci, kapal layar tiang tinggi tipe Barkentin buatan
galangan kapal Stulcken and Sohns, Hamburg, 58 tahun lalu.
Kapal layar ini adalah kapal latih bagi kadet-kadet TNI-AL sejak 1954 dan telah melahirkan ribuan perwira pertama TNI-AL.
Menurut Suparno, keterbatasan anggaran yang didapat dari pemerintah,
membuat TNI-AL kesulitan memenuhi kebutuhan sistem kesenjataan secara
optimal untuk mendukung tugas-tugas operasional.
"Dengan anggaran yang terbatas, kami harus pandai-pandai menyiasati
kondisi itu. Meskipun umurnya sudah tua, tetap digunakan dan
ditingkatkan," katanya.
Untuk 2012, pemerintah menetapkan alokasi
anggaran sebanyak Rp67 triliun untuk kepentingan pertahanan negara.
Jumlah itu masih dibagi lima, yaitu untuk Kementerian Pertahanan, Markas
Besar TNI, TNI-AL, TNI-AU, dan TNI-AD. Beberapa tahun lalu, jumlah dana
dari APBN itu cuma berkisar Rp41 triliun saja.
Kendati dengan kekuatan pokok minimum, Suparno menegaskan, TNI-AL
tetap bersikap profesional dan siap mengemban tugas mengamankan wilayah
kedaulatan Indonesia.
"Dengan letak geografis Indonesia yang sangat strategis dan
dikelilingi wilayah perairan, TNI-AL memang dituntut memiliki kekuatan
yang handal dan tangguh," ujarnya.
Sementara itu, jabatan Pangarmatim diserahterimakan dari Laksamana
Muda TNI Bambang Suwarto kepada Laksamana Muda TNI Ade Supandi yang
sebelumnya menjabat Gubernur Akademi Angkatan Laut (AAL).
Sedangkan posisi Gubernur AAL yang ditinggalkan Laksda TNI Ade
Supandi, dipegang Laksamana Pertama TNI Agus Purwoto yang sebelumnya
Wakil Asisten Operasional Panglima TNI.
Upacara itu dihadiri sejumlah pejabat sipil dan militer, di
antaranya Gubernur Jatim Soekarwo, Gubernur Jateng Bibit Waluyo, Pangdam
Brawijaya Mayjen TNI Gatot Nurmantyo, Kapolda Jatim Irjen Pol
Hadiatmoko, dan mantan KSAL Laksamana TNI (Purn) Bernard Kent Sondakh.
(D010)