Pages

Sunday, June 5, 2011

Pembelian Sukhoi Kembali Diusulkan




MAKASSAR--Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) Indonesia mengusulkan pembelian pesawat tempur Sukhoi kepada pemerintah Indonesia. Penambahan pesawat tempur buatan Rusia tersebut dianggap perlu mengingat wilayah NKRI yang cukup luas dan harus dipantau oleh Komando Pertahanan Udara Nasional. 

Demikian dikatakan Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) Marsekal Muda TNI Eddy Suyanto usai bertindak sebagai inspektur upacara pada serah terima jabatan Panglima Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional (Pangkosek) II Makassar, Jumat 4 Mei. 

Eddy mengatakan seperti di negara-negara berkembang lainnya, jumlah pesawat tempur ada yang mencapai ratusan buah sementara luas wilayahnya di bandingkan Indonesia masih lebih kecil. "Kita bisa lihat di Alqaedah misalnya, pesawat tempurnya sangat banyak. Harusnya kita juga bisa demikian. Tetapi hal tersebut juga harus dikondisikan dengan keuangan negara, yang lebih penting saat ini adalah kesejahteraan rakyat," ucapnya. 

Eddy mengatakan saat ini jumlah pesawat tempur Sukhoi yang dimiliki Indonesia sebanyak 11 buah. Semuanya ditempatkan di skuadron 11 Lanud Sultan Hasanuddin. Untuk satu skuadron, layaknya memiliki 16 buah pesawat tempur, sehingga Komando Pertahanan Udara Nasional Indonesia akan menambah pesawat suhkoi sebanyak lima buah pesawat lagi.  "Kami mengusulkan tambahan lima pesawat baru lagi tahun ini," katanya. 

Untuk keadaan wilayah udara Indonesia khususnya wilayah timur, Eddy mengatakan secara umum kondisi tersebut aman dari gangguan pihak asing yang ingin mengacaukan pertahanan negara. Komando Pertahanan Udara Nasional Indonesia senantiasa bekerja keras guna pengamanan tersebut. "Ini tentunya tidak telepas dari kerjasama yang baik dengan semua pihak," paparnya. 

Upacara serah terima jabatan berlangsung di markas Kosek Hanudnas Jumat, 4 Mei. Kolonel Agoes Haryadi menduduki jabatan Pangkosek Hanudnas II yang baru menggantikan Marsekal Pertama TNI Abdul Muis yang selanjutnya akan menduduki jabatan barunya sebagai Komandan Landasan Udara (Lanud) Adi Sucipto Yogyakarta.  Upacara dihadiri Wakil Gubernur Sulsel, Agus Arifin Nu'mang, tokoh masyarakat serta unsur muspida. (dya)
 
http://www.fajar.co.id/read-20110603213855--pembelian-sukhoi-kembali-diusulkan

Beli Kapal Selam, Pemerintah Anggarkan Rp 8,6 Triliun

 

TEMPO Interaktif, Jakarta - Pemerintah menyiapkan anggaran lebih dari US$ 1 miliar (sekitar Rp 8,6 triliun) untuk membeli kapal selam TNI Angkatan Laut. Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan, Laksamana Muda TNI Susilo, mengatakan rencana pembelian kapal selam sudah dianggarkan sejak 2005. Anggarannya, "Tidak lebih dari US$ 2 miliar," kata Susilo kepada Tempo kemarin.

Pada 2005, pemerintah hanya menganggarkan US$ 700 juta, dengan asumsi harga kapal selam US$ 350-400 juta per unit. Seiring dengan berjalannya waktu, anggaran pun bertambah.

Tahap awal, dua kapal selam akan dipesan untuk memperkuat armada TN AL. "Tahun ini kami harapkan bisa eksekusi," ujar Susilo.

Dia enggan menyebutkan harga setiap unit kapal selam yang akan dipesan. Susilo hanya mencontohkan kapal selam Scorpen produk Prancis yang dibeli Malaysia dengan harga 550 juta euro atau sekitar US$ 800 juta. "Tergantung kelengkapannya. Sekarang masih pembahasan teknis," katanya. Kapal selam TNI AL itu bakal dilengkapi senjata, seperti torpedo dan peluru kendali.

Selain Scorpen dari Prancis, ada tawaran kapal selam jenis U-209 dari Jerman dan Chang Bogo dari Korea Selatan. Tawaran mana yang bakal dipilih kini masih digodok Tim Evaluasi Pengadaan Kementerian Pertahanan. "Bisa Jerman, Prancis, atau Korea," kata Kepala Staf TNI AL Laksamana TNI Soeparno ketika dihubungi kemarin.

Sebelumnya, menurut Soeparno, ada empat negara yang mengajukan penawaran. Namun, satu negara produsen, yakni Rusia, mundur karena produk yang mereka tawarkan tak sesuai dengan spesifikasi teknis yang dibutuhkan TNI AL. "Mereka menawarkan kapal selam besar," ujar dia.

Kapal selam yang dibutuhkan TNI AL tidak terlampau besar karena disesuaikan kondisi perairan Indonesia. Lagi pula, kata Soeparno, "Kalau kapal selam besar, anggarannya tidak cukup."

Soeparno menambahkan, TNI AL minimal memerlukan enam kapal selam. Saat ini TNI AL baru memiliki dua buah, yakni KRI Cakra dan KRI Nanggala, yang dibeli pada 1980-an. KRI Cakra masih dalam perbaikan dan baru rampung Januari tahun depan.

Di samping bergantung pada ketersediaan dana, menurut Soeparno, pengadaan kapal selam memerlukan waktu lama. Pembuatan satu kapal selam, misalnya, bisa memakan waktu paling cepat tiga tahun.

Pada bagian lain, Laksamana Muda Susilo menambahkan, idealnya TNI AL memiliki sepuluh kapal selam untuk menjaga pertahanan seluruh wilayah laut Indonesia. Tiga unit untuk disiagakan di kawasan timur, tengah, dan barat perairan Indonesia. Tiga lainnya untuk pelatihan. Sisanya, "Cadangan jika kapal lain diperbaiki," kata dia.

TEMPOINTERAKTIF

Jaga Wilayah, Angkatan Laut Butuh 10 Kapal Selam

Kapal TNI AL/TEMPO/Fransiskus S

TEMPO Interaktif, Jakarta - Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan, Laksamana Muda TNI Susilo mengatakan, TNI Angkatan Laut setidaknya membutuhkan 10 unit kapal selam untuk kebutuhan penjagaan dan pertahanan wilayah laut Indonesia. "Saat ini kita cuma punya dua. Itu pun yang satu sedang diperbaiki," kata Susilo ketika dihubungi Tempo, Minggu 5 Juni 2011.


Tiga kapal selam, menurut Susilo, harus selalu disiagakan masing-masing di kawasan timur, tengah dan barat perairan Indonesia. Tiga kapal selam lain untuk infrastruktur pelatihan. Sisanya, "Cadangan jika salah satu kapal selam sedang diperbaiki atau menjalani perawatan rutin," ujarnya

Jika kebutuhan 10 kapal selam itu terpenuhi, dipastikan setiap saat selalu ada kapal selam bersiaga di wilayah laut Indonesia. Karena saat ini TNI hanya memiliki dua kapal selam, otomatis hanya satu kapal selam yang beroperasi saat yang lain menjalani perawatan. Apalagi, kapal selam harus menjalani proses kalibrasi secara rutin.

TNI AL saat ini juga belum memiliki kapal selam khusus untuk keperluan latihan. Kebutuhan kapal selam dinilai menjadi salah satu kebutuhan strategis karena kondisi perairan Indonesia yang terdiri dari banyak layer (lapisan). Perairan Indonesia juga memiliki temperatur ideal untuk beroperasinya kapal selam. Layer-layer ini membuat kapal selam sulit dilacak oleh radar musuh dan sulit ditembus oleh gelombang elektromagnetik.





Dihubungi secara terpisah, Kepala Staf TNI AL Laksamana TNI Soeparno mengatakan, TNI AL sekurang-kurangnya butuh enam buah kapal selam. Saat ini TNI AL baru memiliki dua kapal selam, yakni KRI Cakra dan KRI Nenggala yang dimiliki sejak tahun 1980-an. Itu pun, KRI Cakra masih dalam perbaikan dan baru rampung Januari tahun depan. Untuk memenuhi jumlah miminal itu, "TNI AL butuh empat buah kapal selam lagi," katanya.

Namun untuk dapat memenuhi jumlah ideal itu masih dibutuhkan waktu yang cukup lama. Pasalnya, setelah dipesan, proses pembuatan kapal selam butuh waktu bertahun-tahun. "Minimal 3 tahun," ujar Soeparno.





Pemerintah berencana membeli dua unit kapal selam untuk melengkapi armada TNI AL pada tahun ini. "Tahun ini kami harapkan bisa eksekusi," kata Laksamana Muda Susilo. Tim Evaluasi Pengadaan (TEP) Kementerian Pertahanan saat ini tengah menggodok rencana pembelian tersebut. Penggodokan sudah memasuki tahap memilih satu diantara tiga negara produsen yang telah mengajukan penawaran. Yakni Jerman, Perancis atau Korea.

TEMPOINTERAKTIF

Indonesia Perlu Peningkatan Hubungan Militer Dengan Russia

Jakarta, kompas - Hubungan kerja sama pertahanan dan keamanan dengan Rusia harus bisa dilanjutkan dan ditingkatkan di masa depan. Sejarah membuktikan, Rusia adalah salah satu negara sahabat yang pernah membantu kekuatan militer Indonesia dengan sepenuh hati tanpa ikatan apa pun.


Foto:detik Foto

Demikian salah satu pokok bahasan yang disampaikan mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana (Purn) Slamet Soebijanto dalam seminar sehari berjudul ”Indonesia-Rusia: Menatap Masa Depan” yang berlangsung di Kampus Universitas 17 Agustus 1945 (UTA ’45), Sunter, Jakarta Utara, Sabtu (4/6).
Selain Slamet, pembicara dalam seminar ini adalah mantan Duta Besar RI untuk Rusia Susanto Pudjomartono, Direktur Pusat Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Rusia Yuri N Zozulya, serta dosen sejarah dan nasionalisme UTA ’45 Peter Kasenda.
Slamet mengatakan, pada era Presiden Soekarno, pembangunan kekuatan Angkatan Laut diutamakan karena Bung Karno waktu itu sadar, Indonesia memiliki wilayah laut yang sangat luas dan kaya.
”Salah satu negara yang membantu kita waktu itu adalah Rusia. Dengan kekuatan Rusia, kekuatan Angkatan Laut kita waktu itu sangat besar sehingga tidak ada (negara) yang berani main- main dengan RI,” ungkap Slamet.
Jika kekuatan TNI AL masa kini masih sebesar itu, lanjutnya, Indonesia tidak akan kehilangan Pulau Sipadan-Ligitan dan tidak akan ada masalah dengan negara tetangga di perairan Ambalat.
Ditambahkan, untuk melindungi seluruh kekayaan dan kedaulatan RI, mau tidak mau pembangunan pertahanan ini harus terus ditingkatkan. Meski demikian, berdasarkan pengalaman masa lalu, kerja sama pertahanan dengan negara-negara di luar Rusia (terutama Amerika Serikat dan sekutunya) selalu diembel- embeli dengan ikatan dan syarat- syarat tertentu.
Sementara itu, Rusia selalu siap membantu Indonesia tanpa ikatan apa pun. ”Kita seharusnya tak perlu melihat negara mana yang akan diajak kerja sama, tetapi bagaimana kerja sama itu harus dibangun demi kepentingan bangsa ini,” kata Slamet.
Susanto Pudjomartono menambahkan, pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) dari Rusia menjadi salah satu bidang kerja sama kedua negara yang sangat menjanjikan. Ini karena Rusia tak menuntut ikatan politik apa pun dari pembelian tersebut.
Indonesia pun diuntungkan karena Rusia sampai saat ini masih menjadi produsen utama persenjataan di dunia sehingga hampir seluruh kebutuhan alutsista bisa diperoleh dari negara itu.
Buku Military Balance 2010 yang disusun International Institute for Strategic Studies menyebutkan, Indonesia telah memesan berbagai alutsista senilai lebih dari 1 miliar dollar AS kepada Rusia. Alutsista itu terdiri dari pesawat tempur Sukhoi Su-27/30, helikopter Mi-17 dan Mi-35, kapal selam kelas Kilo, tank amfibi BMP-3F, serta sistem rudal antikapal (ASSM). (DHF)

KOMPAS

Erdogan: Tak Ada yang Bisa Mencegah Konvoi Gaza

 Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan, tidak ada yang bisa mencegah kapal bantuan Gaza. Pernyataan itu dikeluarkan mereaksi ancaman rezim Zionis Israel untuk mencegah konvoi kapal bantuan kemanusiaan Gaza.
Sebagaimana dilaporkan kantor berita Fars, Ahad (5/6), Erdogan dalam sebuah program televisi, menjawab sebuah pertanyaan tentang ancaman Israel untuk menghalangi kapal pengangkut bantuan kemanusiaan Gaza. Dikatakannya, "Apakah mungkin untuk mencegah aktivitas organisasi-organisasi non-pemerintah?" "Apakah kita mungkin menghalangi aktivitas kelompok Greenpeace?" "Bukankah kapal-kapal yang melintas itu mengantongi izin? Oleh karena itu, kita tidak bisa lagi mencegah mereka melintas."
Lebih lanjut, Erdogan menandaskan, "Memang apa yang dibawa oleh kapal-kapal itu? Mereka tidak mengangkut senjata. Sepucuk senjata pun bahkan tidak ditemukan. Karena itu, tidak ada lagi pembicaraan tentang penyelundupan senjata." "Lalu, bagaimana kita akan mencegah perjalanan kapal-kapal tersebut?" tegas Erdogan penuh heran.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Turki Ahmet Davutoglu memperingatkan Israel terkait dampak intervensi rezim itu terhadap pelayaran konvoi kapal bantuan kemanusiaan untuk rakyat Jalur Gaza.
"Ankara akan bersikap keras terhadap segala bentuk tindakan intervensif dan ancaman serangan militer Israel terharap konvoi kedua bantuan kemanusiaan bagi rakyat Gaza," tegasnya. (IRIB/RM)

IRIB

Konvoi Kedua Berangkat ke Gaza, Turki Peringatkan Israel



Menteri Luar Negeri Turki, Ahmet Davutoglu memperingatkan Rezim Zionis Israel terkait dampak intervensi rezim ini terhadap pelayaran konvoi kapal bantuan kemanusiaan bagi rakyat Jalur Gaza. Oglu dalam wawancaranya dengan Koran Star cetakan Turki seraya mengisyaratkan serangan brutal Israel terhadap Kapal Mavi Marmara pada 31 Juni 2010 mengatakan, Ankara akan bersikap keras terhadap segala bentuk tindakan intervensif dan ancaman serangan militer Israel terharap konvoi kedua bantuan kemanusiaan bagi rakyat Gaza.
Seraya menolak permintaan Israel untuk mencegah pengiriman konvoi kedua bantuan kemanusiaan untuk rakyat Gaza, Oglu menekankan, aksi kejahatan Tel Aviv melanggar konvensi internasional dan menjadi ancaman bagi stabilitas keamanan regional.
Oglu menambahkan, pengiriman konvoi bantuan kemanusiaan bagi rakyat Gaza kedua dilakukan di saat Israel bukan hanya tidak bersedia memberikan ganti rugi kepada keluarga korban Kapal Mavi Marmara, namun juga Tel Aviv enggan meminta maaf kepada pemerintah Turki atas brutalitasnya tersebut. (IRIB/MF)

IRIB

Rusia Mundur Dari Kandidat Pengadaan Kapal Selam TNI AL


JAKARTA - Tim Evaluasi Pengadaan (TEP) Kapal Selam di Kementerian Pertahanan saat ini sudah memasuki tahap memilih satu di antara dua negara produsen yang telah mengajukan penawaran. "Dua negara itu adalah Jerman dan Korea," kata Kepala Staf TNI AL, Laksamana TNI Soeparno kepada Tempo, Minggu (5/6).

Sebelumnya, ada empat negara yang mengajukan penawaran. Namun, Rusia mundur karena produk kapal selam (Kilo Class) yang ditawarkan tak sesuai dengan spesifikasi teknis yang dibutuhkan TNI AL. "Mereka menawarkan kapal selam besar," ujar Soeparno. Kapal selam yang dibutuhkan TNI AL, kata dia, tidak terlampau besar dan yang sesuai dengan kondisi perairan Indonesia.

Selain itu, pembelian kapal selam juga disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. "Kalau kapal selam besar, anggarannya tidak mencukupi," ujarnya. Sayangnya, Soeparno enggan menyebut berapa jumlah anggaran yang disiapkan untuk membeli kapal selam itu. Namun, menurut dia, rencana membeli kapal selam sudah dianggarkan sejak tahun 2005 lalu.

Sebelumnya, Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan, Laksamana Muda TNI Susilo mengatakan bahwa pada tahun ini pemerintah setidaknya akan membeli dua unit kapal selam. "Tahun ini kami harapkan bisa eksekusi," kata Susilo di kantornya, Jakarta, akhir Mei lalu.

Senada dengan Soeparno, Susilo mengatakan pembelian kapal selam disesuaikan dengan anggaran yang tersedia, mengingat mahalnya harga kapal selam. KSAL mengatakan Jerman menawarkan kapal selam jenis U-209 dan U-214. Sedangkan Korea Selatan menawarkan Chang Bogo.

Menurut Soeparno, TNI AL paling tidak membutuhkan sekurang-kurangnya enam buah kapal selam. Saat ini, TNI AL baru memiliki dua kapal selam, yakni KRI Cakra dan KRI Nanggala yang dimiliki sejak tahun 1980-an. "TNI AL butuh empat buah kapal selam lagi," katanya.

Namun, untuk dapat memenuhi jumlah ideal itu masih dibutuhkan waktu yang cukup lama. Pasalnya, setelah dipesan, proses pembuatan kapal selam butuh waktu bertahun-tahun. "Minimal tiga tahun," ujarnya.

Sumber : TEMPOINTERAKTIF.COM

BERITA POLULER