Pages

Sunday, May 22, 2011

Presiden Terima Satgas Pembebasan "Sinar Kudus"


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ( tengah), didampingi oleh Panglima TNI, Laksamana TNI Agus Suhartono ( kanan), saat menyambut kedatangan Satuan Tugas Merah Putih di Dermaga Kolinlamil, Jakarta, Minggu ( 22/5). Penyambutan kedatangan Satuan Tugas Merah Putih, seusai melaksanakan misi kemanusiaan menyelamatkan sandera awak Kapal MV Sinar Kudus yang dibajak oleh Perompak Somalia di Perairan Somalia. (Foto: ANTARA/Ujang Zaelani/ss/pd/11)

22 Mei 2011, Jakarta (ANTARA News): Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima Satuan Tugas Pembebasan MV Sinar Kudus yang telah disandera perompak Somalia selama hampir satu bulan lebih, dengan sandi "Merah Putih"

Upacara penerimaan dilaksanakan di Dermaga Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil) Tanjung Priok Jakarta, pada Minggu (22/5).

Dalam penyambutan itu, Presiden didampingi Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono dan tiga kepala staf angkatan serta beberapa menteri Kabinet Indonesia Bersatu II.

Upacara penyambutan diawali dengan kehadiran dua "sea riders" yang memiliki kapasitas 15 personel.

Dilanjutkan dengan LCVP kendaraan air untuk mendukung penurunan personel yang mendukung operasi pembebasan.

Kemudian dihadirkan tiga kapal perang Indonesia yang terlibat dalam operasi pembebasan MV Sinar Kudus KRI Yos Sudarso, KRI Abdul Halim Perdanakusuma dan KRI Banjarmasin.

Kapal MV Sinar Kudus dibajak perompak Somalia pada 16 Maret 2011 dan membawa 20 ABK.

Kapal berbobot 8.911 ton itu membawa feronikel dengan tujuan Belanda.

Ketika dibajak, MV Sinar Kudus berada di Perairan Somalia tepatnya di sekitar 350 mil laut tenggara Oman.

Sejak itulah selama 46 hari MV Sinar Kudus dan 20 ABK di sandera para pembajak dengan tuntutan meminta tebusa uang kepada pemilik kapal, sampai akhirnya dibebaskan pada 1 Mei 2011.

Kapal MV Sinar Kudus dibebaskan dengan membayar tebusan disertai operasi militer bersandikan "Merah Putih" pimpinan Kolonel Laut (P) M. Taufiqurochman

Satgas melibatkan dua kapal fregat yakni KRI Abdul Halim Perdanakusuma-355 dan KRI Yos Sudarso-353, satu kapal LPD KRI Banjarmasin-592 dan satu helikopter, "sea riders" dan LCVP.

Personel yang dikerahkan terdiri atas pasukan khusus dari Kopassus, Korps Marinir dan Kopaska.

Sumber: ANTARA News

Saturday, May 21, 2011

PERANCIS - INDONESIA : INGIN KERJASAMA INDUSTRI PERTAHANAN

Tiga kapal perang milik Angkatan Laut Perancis akan singgah di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, dari tanggal 24 s.d. 28 Mei 2011. Kunjungan tersebut akan semakin mempererat hubungan persahabatan dan kerjasama antara Angkatan Laut Perancis dan Indonesia.

Armada Angkatan Laut Perancis ini terdiri atas tiga kapal. Untuk pertama kalinya Angkatan Laut Perancis singgah di Indonesia dengan armada sebesar ini. Mistral juga merupakan kapal perang Perancis dengan bobot mati terbesar yang pernah berkunjung ke Indonesia. Bertolak dari Toulon (Bagian Tenggara Perancis), kapal tersebut mempunyai spesialisasi di bidang operasi amfibi. Kapal ini sangat cocok untuk misi bantuan kemanusian, seperti penanggulangan bencana alam. Mistral dikawal oleh kapal perusak Georges-Leygues, yang berpangkalan di Brest (bagian Barat Perancis), dan fregat Vendémiaire, yang berpangkalan di Noumea, Kaledonia Baru. Fregat Vendémiaire kerap mengadakan kunjungan ke seluruh wilayah Asia Tenggara, terutama di Indonesia. Kapal ini pernah singgah di Bali pada tahun 2010. Dari Jakarta, fregat ini akan berkunjung ke Surabaya, dari tanggal 30 Mei s.d. 2 Juni 2011.
Kapal amfibi Mistral

Kapal Mistral dan Georges-Leygues mengemban tiga misi sekaligus. Keduanya melakukan sejumlah kunjungan bergengsi, ke berbagai tempat di Samudera Indonesia (misalnya, mengikuti pameran IMDEX di Singapura). Kapal-kapal tersebut juga mengangkut lebih dari seratus perwira siswa, delapan belas orang di antaranya berkebangsaan asing yang telah menyelesaikan pendidikan awal mereka. Dalam hal ini, Mistral menggantikan peran kapal Jeanne d’Arc yang termasyhur, yang kini telah dipensiunkan setelah aktif berkeliling dunia mengarungi samudera selama lima puluh tahun. Sebagai rangkaian dari misi tersebut, sejumlah kegiatan kerjasama dengan Angkatan Laut Indonesia diselenggarakan, selama kunjungan. Akhirnya, armada angkatan laut ini apabila diperlukan dapat bertolak kapan saja untuk mengemban tugas yang sifatnya lebih operasional. Sepanjang perjalanan dari Perancis, armada ini telah mengikuti berbagai operasi singkat, seperti evakuasi kemanusiaan di Tunisia dan penumpasan bajak laut di lepas pantai Somalia. Kegiatan tersebut tentunya merupakan ajang latihan bagi para perwira siswa. Dengan cara seperti ini mereka mempelajari pekerjaan yang akan menjadi santapan sehari-hari, dalam tugas mereka di kemudian hari.
Kapal perusak Georges-Leygues

Mistral, dengan bobot mati 20.000 ton dan panjang 200m yang mulai dioperasikan pada tahun 2006, merupakan salah satu produk paling mutakhir industri perkapalan Perancis. Kapal ini menjadi daya tarik yang kuat bagi ekspor dan sangat siap untuk mendukung serta mempromosikan industri pertahanan Perancis. Oleh karena itu lah pada tanggal 25 Mei siang akan diselenggarakan pameran kecil peralatan pertahanan Perancis di atas kapal Mistral bagi berbagai divisi Kementerian Pertahanan yang terkait, Angkatan Bersenjata Indonesia, maupun industri pertahanan Indonesia. Sekitar dua puluh perusahaan Perancis skala kecil, menengah maupun besar akan hadir dalam pameran ini. Beberapa di antaranya telah membuka perwakilannya di Indonesia dan menjalin kerja sama dengan industri Indonesia. Perusahaan lainnya sedang mengikuti tender, sementara yang lainnya menjajaki peluang kerjasama. Dengan demikian, pameran tersebut merupakan sarana bagi Perancis dan Indonesia untuk mengembangkan kerjasama industri strategis, yang sejalan dengan semangat deklarasi kemitraan bersama, yang pada bulan Desember 2009 telah disepakati oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Nicolas Sarkozy.

http://www.ambafrance-id.org/spip.php?article663

Indonesia Defence Matters


Indonesia’s attainment of political respectability has yet to be matched by a corresponding increase in strategic power. Jakarta has made clear its hopes of changing this, but whether it has the political will to fund the military transformation remains to be seen.
Turning the country’s armed forces, the TNI, into an effective military by regional standards will involve costly investments in the navy and air force, as well as the enactment of bold reforms, so far avoided by the government, to reduce the autonomy of local military commanders and divest them of their off-budget income sources. Procurement has received far more attention than reform, although both are needed.


Deretan F-16 Fighting Falcons USAF. (Foto: USAF/ Tech. Sgt. Michael R. Holzworth)
Growing public awareness of the air force’s dreadful safety record has helped push aircraft procurement up the national agenda. In February the US, having rehabilitated Indonesia as a defence partner, agreed to sell the country 24 second-hand F-16A/Bs to supplement the 10 new Sukhoi fighters (Su-27s and Su-30s) already in the air force’s inventory. The announcement in April of the purchase of 16 KAI T-50 advanced trainer aircraft from South Korea for USD400 million, following on from a late 2010 order for eight EMB-341 Super Tucano trainer/light attack aircraft (with a second tranche of eight likely to follow), should help the TNI to realise the potential of its fighter fleet.
The trajectory of Indonesia’s air force development lies somewhere between the cautious “minimum essential force” outlined in general terms by Air Chief Marshal Imam Sufaat and the overambitious 180-strong Sukhoi fleet aspired to by Defence Minister Purnomo Yusgiantoro. In April the Indonesian press quoted a senior air force officer as saying that his service aimed to field 10 modern fighter squadrons by 2025 (giving them seven more to procure, or just five if the T-50s and Super Tucanos are deployed in dual fighter-trainer roles). The potential purchase of 24 Eurofighter Typhoons – about which Jakarta has reportedly contacted the UK government – would signal Indonesia’s seriousness about achieving this target and mark a step-change in the TNI’s horizons, although it would add yet another aircraft type to an inventory which, like Malaysia’s, is beginning to contain an unruly mix of kit. “Purnomo is really talking about aspirations; there is a huge gap between desired needs and what Indonesia can realistically achieve,” says Dewi Fortuna Anwar, a former assistant minister of foreign affairs and now of the Indonesian Institute of Sciences (LIPI). “At the level of real procurement, the government will still be aiming only for the minimum.”
In any case, fighter procurement may be curtailed by an urgent need to update the TNI’s airlift capability. In January the TNI announced that it was to spend USD64 million modernising five of its C-130Bs and discussions continue with the US and others about procuring additional, second-hand C-130s.
The air force’s targets are achievable, but only if the government follows through on promises to ramp up investment in defence. The Indonesian economy has been growing strongly at around 6 per cent per year and Jakarta has increased the 2011 defence budget to USD6.5 billion in line with that. However, the defence budget has yet to break through the 1 per cent of gross domestic product (GDP) threshold, despite presidential assurances that it would top 1.5 per cent by 2014. The forecast 2014 defence budget of around USD8.8 billion would be more in the 1.2 per cent range.
As with dreams of a 180-aircraft fighter fleet, the navy’s ambitions for a 40-boat submarine force as outlined in 2010 by the navy’s deputy chief are highly implausible. The recognition that an island nation such as Indonesia requires an effective navy – naval investment is the highest priority of all, according to Anwar – is, however, resulting in much-needed investment coming on stream. An order for two submarines (Russian or South Korean) is expected to be placed in 2011. As the navy prepares to scrap many of its ageing warships, it is aiming to add to its fleet of four new Diponegoro-class corvettes by procuring up to 20 frigates, as well as 30 to 40 corvettes and fast patrol craft. Domestic shipbuilder PT Pal and Dutch partner Damen Schelde Naval Shipbuilding are expected to begin construction of the first new frigate in 2011, but it is unclear whether the navy’s full requirement of 20 ships is currently envisaged.
Indonesia’s urgent need to rejuvenate its offshore patrol capability has yet to yield the kind of numbers required to effectively monitor the country’s vast coastline. However, the domestic construction of a new fleet of Lürssen PB-57 large patrol craft is continuing and negotiations with Italy about the construction of fast patrol boats are expected to conclude in 2011. This all indicates progress, but the TNI needs 300 new surface ships, Anwar argues, if it is to monitor and control Indonesia’s territorial waters effectively.
Though army procurement will generally take a backseat to the costly process of re-equipping the air force and navy, army aviation in particular has seen some investment. A mix of 12 Mil Mi-35M ‘Hind’ attack helicopters and Mi-17 ‘Hip’ transport helicopters ordered from Russia in 2003 have now been delivered and PT Dirgantara Indonesia finalised a USD250 million deal at the end of 2010 to license-produce 20 Bell 412EP utility helicopters.
The government plans to build a modern defence industry to help justify its military spending andIndonesia’s first defence offset policy is expected to come into effect in 2011 (it will require 30-40 per cent of contracted work to be carried out domestically). Industrial partnerships – especially the burgeoning defence relationship with South Korea - will make or break these aspirations. However, the determination to bankroll TNI modernisation will be most essential of all. When the defence budget finally cracks 1.5 per cent of GDP, it will be time to take Indonesian ambitions seriously.
Reference: Trefor Moss (Jane’s), 6th May 2011.

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/400541/

RI Potensi Pemain Alutsista ASEAN


PDF Print
Sunday, 22 May 2011
CN-235 military version
JAKARTA– Industri pertahanan nasional bisa menjadi pemain penting dalam pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) di tingkat ASEAN jika hasil pertemuan para menteri pertahanan kawasan ini diimplementasikan. 
Roket RX-420

Komisaris Utama PT PAL Tedjo Edhie Purdjiatno mengatakan, industri strategis nasional yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia memiliki potensi yang cukup besar. ”Mereka mampu menghasilkan produkproduk seperti alutsista yang kini tidak hanya digunakan di dalam negeri, tapi sebagian juga menembus pasar internasional,” katanya di Jakarta, Jumat (19/5).

PANSER ANOA
Beberapa industri strategis yang ada adalah PT PAL, PT Pindad, dan PT Dirgantara Indonesia (PT DI).Kemudian, Perum Dahana (industri bahan peledak), PT Krakatau Steel (industri baja pembuatan kapal), PT LEN (industri elektronik bidang pertahanan), dan PT Barata Indonesia (pembuat konstruksi baja). PT PAL yang bergerak di bidang maritim selama ini telah berhasil memproduksi beberapa jenis kapal patroli cepat (fast patrol boat/FPB) untuk Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Adapun PT Pindad menghasilkan berbagai jenis senjata api dan amunisinya. Bahkan, mereka juga mengekspor panser bernama Anoa. Sementara itu, produk-produk dirgantara dari PT DI antara lain beberapa jenis helikopter dan pesawat militer. Dia menyambut positif langkah pemerintah yang membangun kolaborasi dengan negaranegara ASEAN dalam pengadaan alutsista.Menurut dia, Indonesia berpeluang menjadi pemain dominan di kawasan ini.

Sebagaimana diketahui, pertemuan menteri pertahanan tingkat ASEAN telah menyepakati untuk berkolaborasi memperkuat industri pertahanan.Ke depan, negara negara kawasan ini sudah saatnya mandiri dari ketergantungan alutsista di luar ASEAN.Karena itu, mereka sepakat akan mengembangkan alutsista bersama dan saling melengkapi. Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menambahkan, industri pertahanan Indonesia dimulai pada 1958, tetapi sempat kolaps pada 1998 karena krisis ekonomi.

”Baru pada 2010 lalu dimulai lagi untuk memenuhi kebutuhan alutsista hingga 2024,”katanya kemarin. Dia mengakui, revitalisasi bidang industri pertahanan masih mengalami beberapa masalah. Dari segi pengguna, persoalannya antara lain terkait harga produk yang dinilai mahal dan kualitas produk yang diragukan.”Jaminan purna jual juga menjadi masalah,” ungkapnya. Di sisi lain, produsen juga mengalami kendala, terutama permodalan.

Hal ini membuat industri pertahanan tidak berkembang baik. Purnomo menyebut, butuh dana yang cukup besar untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaan BUMN itu. Sementara pemerintah sendiri juga dihadapkan pada persoalan menyangkut pembiayaan. Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Helmy Fauzi mengungkapkan dalam era globalisasi seperti sekarang ini,industri pertahanan akan semakin bagus jika punya jaringan yang kuat di kawasan.

Sebab, industri ini tidak bisa dikerjakan sendiri oleh suatu negara tertentu. Dia mencontohkan Belanda yang membuat kapal Sigma bekerja sama dengan Prancis (radar) dan Polandia (sistem amunisi). Dia menilai, Indonesia bisa meniru apa yang dilakukan Belanda. Sebab,industripertahanan sudah menyebar di kawasan ASEAN.

”Singapura mungkin unggul dalam hal sensor, radar, dan sebagainya,sedangkan kita punya konsep lain. Jadi selama ini menguntungkan dan memperkuat posisi politik ASEAN, saya pikir memang kita harus lebih menyinergikan industri pertahanan di lingkungan ASEAN,”ujarnya. 
 
 
sumber : SINDO

Tiga Kapal Perang Perancis Kunjungi Jakarta & Surabaya




JAKARTA - Tiga kapal perang milik Angkatan Laut Perancis akan singgah di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, mulai 24 s/d 28 Mei 2011. Kunjungan ini untuk mempererat hubungan persahabatan dan kerjasama antara Angkatan Laut Perancis dan Indonesia.

Armada AL Perancis ini terdiri atas tiga kapal, yakni kapal LHD kelas Mistral, kapal Destroyer kelas Georges-Leygues dan fregat Vendémiaire. Fregat Vendémiaire kerap mengadakan kunjungan ke di Indonesia. Terakhir kapal ini pernah singgah di Bali pada tahun 2010. Selanjutnya dari Jakarta, fregat ini akan berkunjung ke Surabaya, dari pada 30 Mei s/d 2 Juni 2011.

Ketiga kapal perang tersebut sebelumnya mengikuti pameran IMDEX ASIA 2011 di Singapura. Kapal-kapal tersebut mengangkut lebih dari seratus kru. Sebagai rangkaian kunjungan ini sejumlah kegiatan kerjasama dengan TNI AL diselenggarakan.

Mistral, berbobot mati 20.000 ton dan mempunyai panjang 200m. Kapal ini mulai dioperasikan pada tahun 2006, dan menjadi salah satu produk paling mutakhir industri perkapalan Perancis.

Kapal ini menjadi daya tarik bagi ekspor dan promosi industri pertahanan Perancis. Oleh karena itu pada 25 Mei 2011 mendatang akan diselenggarakan pameran peralatan pertahanan Perancis skala kecil di atas kapal Mistral yang diperuntukkan bagi berbagai divisi Kementerian Pertahanan, TNI dan industri pertahanan Indonesia.

Sekitar dua puluh perusahaan Perancis skala kecil, menengah maupun besar akan hadir dalam pameran ini. Beberapa perusahaan di antaranya telah membuka perwakilannya di Indonesia dan menjalin kerja sama dengan industri Indonesia. Perusahaan lainnya sedang mengikuti tender dan menjajaki peluang kerjasama.

Sumber : AMBAFRANCE-ID.ORG

Kemhan RI Menampik Kerjasama Pembuatan Senapan Serbu M4


JAKARTA - Kementerian Pertahanan Indonesia belum mengetahui adanya rencana kolaborasi antara Indonesia-Malaysia-Thailand untuk memproduksi senapan serang M4. Kemhan mengatakan Indonesia bisa memproduksi senapan serbu secara mandiri.

Hal ini disampaikan oleh juru bicara Kemhan, Hartind Asrin, yang dihubungi VIVAnews, Jumat, (20/5). Hartind mengatakan bahwa memang ada rencana kolaborasi industri pertahanan antara negara-negara ASEAN, namun belum diputuskan secara teknis jenis kerja samanya.

"Saya belum dengar masalah itu," ujarnya.

Rencana kolaborasi tiga negara disampaikan oleh Menteri Malaysia, Ahmad Zahid Hamidi, pada konferensi pers di Jakarta, Jumat (20/5). Dia mengatakan bahwa Indonesia, Thailand dan Malaysia akan bersama-sama memproduksi senapan serbu M4 dan membuatnya di Indonesia. Hal ini, ujar Hamidi, bertujuan untuk penghematan anggaran pertahanan di ASEAN.

"Memang ada pembicaraan mengenai kolaborasi, namun belum sejauh itu," ujar Hartind.

Hartind mengatakan bahwa konsep kolaborasi disampaikan Malaysia pada berbagai kesempatan, termasuk dalam pertemuan ASEAN Defence Ministerial Meeting (ADMM) kemarin. Inti dari konsep tersebut adalah jual-beli senjata antar negara ASEAN saja.

"Inti dari konsep itu adalah bagaimana pasar ASEAN direbut oleh ASEAN sendiri," ujar Hartind.

Namun jika memang kolaborasi tersebut terlaksana, Hartind mengatakan bahwa Indonesia dengan PT. Pindad siap menjadi pelaksana produksi. "Negara lain akan menjadi supporting unit, sharing dana, dan pengada komponen," ujar Hartind.

Jikapun memang kolaborasi tidak jadi dilakukan, tambah dia, Indonesia sendiri sudah mampu membuat senjata semacam itu. "Indonesia juga mampu kok membuatnya sendiri," ujarnya.

Kolaborasi industri pertahanan ditaksir akan menghemat anggaran pertahanan negara-negara ASEAN hingga 12,5 miliar (Rp106,8 triliun) dari anggaran keseluruhan US$213 triliun. Hal ini dikarenakan, dana yang biasanya dipergunakan untuk mengimpor senjata dari luar kawasan akan berputar di Asia Tenggara saja.

Sumber : VIVANEWS.COM

Malaysia Ajak Indonesia Produksi Senapan M4


20 Mei 2011
Komponen senapan M4 (photo : Military Today)
TEMPO Interaktif, Jakarta - Malaysia mengajak Indonesia dan Thailand berkolaborasi untuk memproduksi senapan jenis Karabin M4. Karabin M14 dirancang oleh perusahaan Amerika untuk menggantikan senapan lama jenis M16 sejak 2010 lalu. Menteri Pertahanan Malaysia, Dato Seri Ahmad Zahid bin Hamidi, menyatakan kerjasama bisa dalam bentuk kepemilikan saham bersama.

"Malaysia sendiri sudah mencanangkan penggantian M16 ke M4," kata Ahmad Zahid di Jakarta, Jumat 20 Mei 2011. Salah satu perusahaan Malaysia telah mendapatkan lisensi untuk memproduksi M4 dari Colt, produsen senapan asal Amerika tersebut.

Ahmad mengatakan produksi pertama senapan M4 sudah dimulai dan diharapkan tahun ini bisa dihasilkan sebanyak 20 ribu laras senapan M4 untuk Malaysia saja. Tawaran kerjasama ini disampaikan sebagai langkah awal kerjasama industri pertahanan negara-negara ASEAN. Jika kerjasama ini bisa dikembangkan untuk mengisi pasar ASEAN, potensi produksinya akan lebih besar.

Kebutuhan akan senapan ini, di Malaysia saja mencapai 100.000 unit. Sementara di Thailand mencapai sekitar 300 ribu unit. Indonesia diperkirakan butuh lebih besar. Total kebutuhan senapan M4 untuk menggantikan M16 di seluruh ASEAN diperkirakan bisa mencapai satu juta unit.

Kerjasama yang ditawarkan Malaysia tak harus dalam dalam bentuk share equity. Malaysia juga menawari Indonesia dan Thailand kerjasama dalam bentuk lain, yakni memproduksi komponen senjata itu untuk dirakit di Malaysia. Bahkan salah satu komponen, yakni alat picu senapan akan diproduksi oleh Indonesia.

Senapan M4 Karabin memiliki panjang laras 37 sentimeter dan dirancang untuk digunakan dalam operasi infanteri, pasukan khusus maupun pasukan komando. Meski tak jauh berbeda dengan versi pendahulu M16, Karabin M4 memiliki bobot lebih ringan dan lebih fleksibel digunakan oleh pasukan dengan tinggi badan yang beragam.

BERITA POLULER