Pages

Sunday, March 27, 2011

Panglima TNI : Strategi Penanggulangan Teroris



tni_jcc2Jakarta, Seruu.com - Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono S.E. sebagai keynote speech   menyampaikan pandangan TNI tentang Strategi atau Metode Penanggulangan Terorisme, Operasi Pasukan Pemeliharaan Perdamaian, Bantuan Kemanusiaan dan Penanggulangan Bencana Internasional pada forum Jakarta International Defence Dialogue (JIDD) di Jakarta Convention Centre, Jumat (25/3).  Pandangan TNI tersebut bertujuan untuk dapat menjadi bahan masukan dalam rangka kerjasama meningkatkan stabilitas keamanan di kawasan Asia-Pasifik dan Asia Tenggara di masa yang akan datang.
Mengacu pada resolusi DK PBB No. 1373 (UNSCR 1373) telah disepakati beberapa langkah Strategi Internasional dalam memberantas aksi terorisme yaitu memberantas organisasi yang menggunakan aksi-aksi teror dalam mencapai tujuan politik, menghilangkan segala bentuk bantuan kepada organisasi teroris, baik langsung maupun tidak langsung, menghilangkan faktor-faktor yang dapat menyebabkan organisasi teroris tumbuh subur dalam suatu daerah atau negara tertentu dan membela serta menegakkan Hak Asasi Manusia.
Konvensi ASEAN tentang pemberantasan terorisme memberikan dasar hukum yang kuat guna meningkatkan kerjasama ASEAN di bidang pemberantasan terorisme yang mencakup pencegahan, penindakan dan program rehabilitasi. Negara-negara ASEAN membuat beberapa model program dalam lawan terorisme yang mencakup operasi psikologis/ perang urat saraf, kursus penegakan hukum, pelatihan intelijen, lokakarya dan seminar berkaitan dengan lawan terorisme.
Lebih lanjut Panglima TNI menyampaikan tentang bantuan kemanusiaan dan penanggulangan bencana (HA/DR - Humanitarian Assistance /Disaster Relief).  Pengaturan pertolongan HA/DR  dilakukan melalui koordinasi dengan Aha Centre - Jakarta.  Pada prinsipnya pemberian bantuan HA/DR atas permintaan negara yang terkena bencana (affected country),  atas penawaran negara yang akan memberi bantuan (assisting country) dan dikoordinasikan oleh sekretariat Aha Center, tanpa mengganggu kehormatan dan kedaulatan negara yang akan dibantu.
TNI menyiapkan Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana (SRC-PB). Dalam pelaksanaannya, TNI mendukung BNPB  dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana dengan meningkatkan ketersediaan sumber daya, kapasitas dan peran TNI serta berlandaskan pada prinsip-prinsip bantuan kemanusiaan yang memenuhi standar,  kualitas  dan akuntabilitas nasional maupun internasional. Model yang dikembangkan pada tingkat regional dilakukan dengan latihan penanggulangan bencana terpadu Arf Direx 2011 yang dilaksanakan pada tanggal 14 s.d 20 Maret 2011 di Manado, Sulawesi-Utara.  Latihan tersebut diikuti oleh 24 negara dari kawasan Asia-Pasifik dengan Indonesia dan Jepang sebagai tuan-rumah penyelenggara.
Sebelumnya pandangan-pandangan menghadapi tantangan ke depan disampaikan diantaranya  oleh Menteri Pertahanan Malaysia Dato’ Seri Dr. Ahmad Zahid Hamidi, Secretary Of Deffence Philippines Voltaire Gazmin, dari Pakistan disampaikan oleh General Khalid Shameem Wynne. Usai penyampaian pandangan dilanjutkan dengan tanya jawab dengan para peserta sidang. [is]

seruu.com

Menteri Pertahanan Malaysia : Kami Serius Untuk Selesaikan Sengketa Perbatasan

 
menhan_malaysia 

Jakarta, Seruu.com - Menteri Pertahanan Malaysia Ahmad Zahid Hamidi menyatakan negaranya serius menyelesaikan masalah perbatasan dengan Indonesia."Yang penting bukan hanya aspek legal tentang perbatasan, tapi semangat untuk menyelesaikan masalah, dan pembagian sumber daya alam yang ada di kedua negara," katanya, di Jakarta, Jumat (25/03).
Berbicara pada Dialog Pertahanan Internasional, ia mengemukakan keyakinan masalah perbatasan kedua negara dapat diselesaikan dalam waktu dekat. Ahmad Zahid mengatakan, Presiden Indonesia dan Perdana Menteri Malaysia telah sama-sama bekerja keras merampungkan sengketa perbatasan.
Namun, tambah dia, upaya keras pemerintah kedua negara tidak akan efektif jika masyarakat kedua pihak tidak mendukung upaya tersebut terutama peran media massa. Ia meminta media Indonesia memuat pemberitaan yang kondusif terkait permasalahan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. "Media konvensional seperti elektronik dan cetak, juga media sosial, harus berperan menciptakan atmosfir yang baik," katanya.
Tanpa menyebut nama media dimaksud, Ahmad Zahid mengatakan, selama ini media di Indonesia kerap menyerang kebijakan perbatasan negeri jiran tersebut. "Kedua pemerintahan telah bekerja keras untuk menyelesaikan segala masalah perbatasan, tapi jika rakyatnya menciptakan masalah, maka masalah perbatasan akan makin pelik," katanya menegaskan.
Masalah perbatasan RI-Indonesia mencakup perbatasan darat dan laut. Di darat Indonesia memiliki perbatasan dengan Malaysia di Kalimantan sepanjang 1.024 kilometer. Di laut Indonesia dan Malaysia masih berupaya menyelesaikan perundingan di perairan Ambalat yang kini status quo.

seruu.com

NATO Hanya Beraksi Lindungi Penduduk Sipil di Libya

Minggu, 27 Maret 2011 23:28 WIB | 702 Views
ilustrasi (FOTO ANTARA/REUTERS/Jean-Paul Pelissier)
Brussel (ANTARA News/AFP) - Rencana militer yang dirancang NATO, yang akan mengambil alih semua operasi di Libya, hanya terbatas pada penggunaan kekuatan untuk melindungi warga sipil dan daerah berpenduduk, kata sejumlah diplomat kepada AFP, Minggu.

Rencana tiga bulan itu tidak menetapkan NATO campur tangan untuk mendukung pemberontak bersenjata yang memerangi pasukan Moamer Kadhafi karena aliansi itu akan bersikap tidak berpihak dalam konflik di Libya, kata diplomat-diplomat NATO itu.(*)

(Uu.M014)


antara

Thailand Beli Dua Kapal selam Tipe 206A Bekas AL Jerman



26 Maret 2011, Medan -- (Berita HanKam): Pemerintah Thailand telah menyetujui pembelian dua kapal selam diesel bekas pakai tipe 206A dari Angkatan Laut Jerman, menurut seorang pejabat Thailand dikutip Jane’s.

Anggaran pembelian diperkirakan mencapai 200 juta dolar, diharapkan berasal dari anggaran pertahanan tahun fiskal 2012.

AL Jerman pensiunkan empat kapal selam tipe 206A pada pertengahan 2010. Usia kapal selam telah 35 tahun, seharusnya dipensiunkan antara 2011 dan 2015. Karena Berlin meninjau ulang anggaran pertahanan, kapal selam dipensiunkan dini untuk menghemat biaya operasi.

Perwira AL Jerman telah berkunjung ke Thailand akhir 2010 dan menawarkan kapal selam tersebut menurut perwira senior AL Thailand pada Jane’s pada 21 Maret. Beliau menambahkan kapal selam asal Jerman dipilih, menyingkirkan Korea Selatan Tipe 209 dan Cina Tipe 039. AL Thailand juga melakukan pembicaraan dengan pabrik kapal selam asal Swedia Kockums mengenai ketersediaan kelas Gotland.

Kapal selam diesel tipe 206 dikembangkan oleh Howaldtswerke-Deutsche-Werft AG (HDW), dirancang berdasarkan kesuksesan tipe 205. Kapal selam dibangun saat Perang Dingin dan ditujukan beroperasi di perairan dangkal di Laut Baltik dan menyerang kapal Pakta Warsawa jika terjadi perang.

AL Jerman Barat membangun 18 kapal selam, 12 telah dimodernisasi awal 1990-an dan diberina nama tipe 206A, sisanya dipensiunkan. AL Jerman mulai pensiunkan tipe 206A dan digantikan tipe 212.

Panjang keseluruhan tipe 206A 48,6 meter dan lebar 4,6 meter, berbobot 450 ton dipermukaan dan 498 ton saat menyelam. Kecepatan menyelam 17 knot sedangkan dipermukaan 10 knot. Kapal mempunyai jarak jelajah 8300 km pada kecepatan 5 knot di permukaan dan 420 km dengan kecepatan 4 knot saat menyelam. Kapal selam dipersenjatai 8 tabung torpedo 533 mm.

AL Thailand juga segera diperkuat satu kapal perang jenis LPD yang dibeli dari ST Marine, Singapura. Kapal diberi nama HTMS Angthong dan bernomer lambung 791, diluncurkan di Singapura oleh KASAL Thailand Admiral Khamthorn Pumhiran pada 20 Maret.

Sumber: Jane’s
Berita HanKam

Thailand Buy 200 Oplot MBTs


KMDB Oplot main battle tank, the tank has 48 ton weight (photo : Manaxob)

New Ukraine tanks leave soldiers riled

The army's decision to buy a new batch of about 200 main battle tanks from Ukraine has upset soldiers who prefer South Korean vehicles.

"The troops who will have to operate the vehicles do not want the Ukraine-made tanks because they are equipped with an auto-loader that requires the tanks to stop moving when ammunition has been used up and new loading is necessary," said an army source.

"This feature could become a problem when fighting in a war. That's why operators prefer tanks with a manual ammunition-loading system."

An auto-loader is a mechanical aid that removes the need for personnel to load ammunition into weapons.

The army has resolved to replace its old US-made M41A3 tanks with about 200 new ones. Among the top choices were the K1 tank from South Korea and the T92 Oplot tank from Ukraine.

The procurement of 200 Ukraine-made tanks will cost about 7 billion baht, said the source.

The US tanks have been in commission in four cavalry battalions since 1962, just prior to international involvement in the Vietnam War, said the source.

The new tanks will be stationed at the 4th Cavalry Battalion (Royal Guard) in Bangkok, 8th Cavalry Battalion in Nakhon Ratchasima, 9th Cavalry Battalion in Phitsanulok and 16th Cavalry Battalion in Nakhon Si Thammarat.

It is believed the army's procurement committee of high-ranking military officers chose the Ukrainian supplier over the South Korean one because of its connections with the supplier, said the source.

The supplier is the same one that supplied the controversial 96 Ukrainian-made BTR-3E1 armoured personnel carriers to the Royal Thai Armed Forces at a cost of almost 4 billion baht, the source said.

The tank procurement is part of the 10-year package of weapons purchases the government recently approved for the army.

The other choices proposed for consideration by the procurement committee included the Russian-made T-90 tank and the German-made Leopard 2 A4 tank. But the German tank was too expensive, said the source.

Sejumlah Negara Menjajaki Kemungkinan Pembelian dengan Kredit Ekspor Persenjataan



Filipina tengah merundingkan kemungkinan pembelian tiga LPD Makassar class dari Indonesia (photo : sby591)

Kredit Ekspor Persenjataan

Jakarta, Kompas - Sejumlah negara tetangga, seperti Papua Niugini, Filipina, dan Brunei, menjajaki kemungkinan pembelian persenjataan serta memperoleh kredit ekspor dari Pemerintah Republik Indonesia.

Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro yang ditemui di Jakarta, Kamis (24/3), menjelaskan, pihaknya telah mendapatkan banyak permintaan untuk memenuhi kebutuhan persenjataan dari sejumlah negara tetangga dalam Jakarta International Defense Dialogue (JIDD).

Timor Leste
”Timor Leste sudah mendapat kredit ekspor 40 juta dollar AS untuk pembelian dua kapal patroli cepat (fast patrol boat/FPB), ternyata sejumlah negara juga mempertanyakan kemungkinan mendapat fasilitas serupa,” ujar Purnomo.

FPB yang dibuat PT PAL Surabaya itu memiliki dimensi panjang dari 15 meter, 30 meter, 40 meter, hingga 60 meter.

Papua Niugini


Seusai pertemuan dengan delegasi Papua Niugini, negara tetangga tersebut ingin mengunjungi PT Pindad dan PT Dirgantara Indonesia. Mereka telah mengoperasikan sejumlah pesawat CASA-Nurtanio (CN) buatan Indonesia.


Filipina

Pemerintah Filipina menyiapkan dana 100 juta dollar AS (sekitar Rp 900 miliar) untuk membeli tiga kapal landing platform dock (LPD) bagi angkatan lautnya. ”Kita sedang merundingkan spesifikasi LPD yang sesuai dengan anggaran yang dimiliki Filipina,” kata Purnomo.

Brunei

Selain itu, lanjut Purnomo, pemerintah Brunei juga berminat untuk membeli senapan serbu varian dua (SS-V2) buatan PT Pindad. Menurut dia, Pemerintah Brunei baru menyadari Indonesia telah memproduksi senjata jenis tersebut, yang merupakan produk Indonesia yang berbasis dari senapan Fabrique Nationale Belgia. Militer Brunei juga mengoperasikan perahu karet untuk satuan taktis yang dibuat di Bogor, Jawa Barat. (ONG)

(Kompas)

Odyssey Dawn, Etalase Eropa


Jet tempur Rafale bersiap lepas landas dengan katapel di atas kapal induk Perancis Charles de Gaulle pada 26 Maret. Charles de Gaulle telah melakukan 47 sorti mengempur sasaran di Libya sebagai bagian dari zona larangan terbang NATO. (Foto: Reuters)

27 Maret 2011 -- (KOMPAS): Ada yang ”segar” pada tayangan liputan Operasi Odyssey Dawn, yang digelar untuk mengawal zona larangan terbang di Libya sejak pekan lalu. Tayangan berita di layar televisi tak lagi didominasi gambar-gambar persenjataan canggih buatan Amerika Serikat.

Dalam dua perang besar terakhir yang melibatkan pasukan koalisi, yakni Operasi Enduring Freedom ke Afganistan, 2001, dan Operasi Iraqi Freedom ke Irak, 2003, hampir seluruh media menampilkan kegagahan militer AS.

Gambar pesawat-pesawat F/A-18 Hornet lepas landas dari geladak kapal induk super, rudal-rudal Tomahawk meluncur dari kapal perusak, dan tank-tank M1 Abrams berseliweran di gurun-gurun Irak, disiarkan berulang-ulang baik di layar kaca maupun halaman koran.

Namun, sejak Perancis memimpin serangan ke Libya, Sabtu (19/3) malam, senjata-senjata andalan AS itu seolah ”menghilang” dari layar kaca. Kecuali tayangan klasik rudal-rudal Tomahawk yang meluncur dari kapal, tak banyak alat utama sistem persenjataan (alutsista) buatan AS yang terlihat.

Alih-alih, kini CNN lebih sering menampilkan pesawat Rafale dari Perancis lepas landas dari pangkalan udara di darat maupun dari kapal induk Charles de Gaulle. Di bagian lain, terlihat pesawat tempur tercanggih buatan Eropa saat ini, Eurofighter Typhoon, milik Royal Air Force (RAF) Inggris sedang bersiap-siap lepas landas di sebuah pangkalan udara di Italia.

Nama Tomahawk pun mendapat saingan baru, yakni rudal StormShadow. Rudal udara ke darat buatan Inggris, Italia, dan Perancis ini dibawa oleh pesawat-pesawat Tornado GR4 milik RAF.

Dengan berbagai alasan pembenaran, Eropa kali ini tampil di depan, memimpin operasi militer pasukan sekutu terbesar sejak invasi ke Irak 2003. Perancis, secara khusus, terlihat sangat agresif dengan tampil sebagai pembuka serangan dan mengirimkan persenjataan dalam kapasitas dan kuantitas yang signifikan.

Portal berita pertahanan GlobalSecurity.org menyebut, dalam operasi ini Perancis menggelar satu kapal induk, empat kapal fregat, dan armada pesawat Mirage 2000D serta Rafale F3.

Beberapa pengamat mengatakan, Perancis ingin memperbaiki citra di dunia Arab setelah negara itu dianggap tak cukup aktif saat terjadi krisis di Tunisia, yang memicu gelombang revolusi ke seluruh Timur Tengah dan Afrika Utara, termasuk di Libya saat ini.

Promosi efektif

Jet tempur Mirage 2000 mendarat di Capitaine Preziosi aka Solenzara, Pulau Korsika. (Foto; Getty Images)

Namun, di luar semua alasan itu, sudah bukan rahasia lagi bahwa setiap operasi militer besar menjadi semacam ”etalase” yang sangat efektif untuk memasarkan kemampuan berbagai jenis senjata canggih itu ke seluruh dunia.

Persenjataan AS, mulai dari pesawat F/A-18, tank Abrams, helikopter angkut Blackhawk, helikopter tempur Apache, hingga pesawat angkut kelas berat C-17 Globemaster III, laris manis sejak tampang mereka sering tampil di televisi, baik saat beraksi di Irak maupun Afganistan.

Bahkan, jip militer Humvee menjadi semacam ikon gaya hidup baru bagi para pencinta kemachoan, setelah kendaraan serba guna itu tampil di Operasi Badai Gurun di Irak 1991.

Mark Edward Schwan, seorang perwira Korps Marinir AS, pernah menulis dalam tesis S-2-nya tahun 1995, bahwa Perang Teluk 1991 menjadi ajang promosi luar biasa bagi berbagai persenjataan AS. ”Peningkatan permintaan akan senjata-senjata AS terutama berkat keunggulan terhadap senjata-senjata (buatan) Soviet yang digunakan Irak,” tulis Schwan dalam tesis yang dipublikasikan di GlobalSecurity.org.

Schwan memperkirakan, nilai penjualan senjata berkat ”etalase” Perang Teluk waktu itu mencapai 40 miliar dollar AS. ”Keefektifan sistem persenjataan yang telah teruji dalam perang (combat proven) adalah salah satu aspek permintaan global persenjataan dari AS,” tulis dia.

Tak heran jika muncul dugaan Operasi Odyssey Dawn menjadi kesempatan Eropa memajang produk-produk militer mereka. Di saat negara-negara Eropa masih terpuruk dalam resesi tak berkesudahan, pembelian senjata-senjata berharga mahal ini tentu akan sangat membantu pemulihan ekonomi.

Dr Paul Holtom, Direktur Program Perdagangan Senjata di lembaga riset Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) menyebutkan, negara-negara Eropa saling berkompetisi untuk memperebutkan pasar senjata di Asia, Timur Tengah, Afrika Utara, dan Amerika Latin.

Tahun lalu, misalnya, lima pemimpin negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yakni Inggris, AS, Perancis, China, dan Rusia, silih berganti berkunjung ke India, membujuk negara itu untuk membeli senjata buatan mereka (Kompas, 24/12/2010).

SIPRI menyebut, Perancis, Jerman, Italia, dan Inggris, bersaing memperebutkan order peralatan angkatan laut dari Aljazair. Sementara Inggris, Perancis, Italia, dan Swedia, berebut kontrak pembelian pesawat tempur dari Brasil.

Pasar potensial

Secara khusus, kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara dipandang sebagai pasar potensial bagi produk-produk alutsista ini. Rezeki nomplok dari tingginya harga minyak dunia dalam beberapa tahun terakhir, dan hubungan antarnegara di kawasan serta ketegangan internal di dalam negeri, menjadi pendorong utama panasnya pasar alutsista di kawasan ini.

Salah satu contoh betapa besar potensi pasar di kawasan ini adalah penandatanganan kontrak pembelian persenjataan antara Arab Saudi dengan AS senilai 60 miliar dollar AS, Oktober 2010. Kontrak tersebut meliputi antara lain, pembelian 86 pesawat F-15 Eagle dan 70 helikopter tempur AH-64 Apache, yang diperlukan Arab Saudi untuk menghadapi Iran yang kian agresif.

Namun, segencar apa pun promosi yang dilakukan produsen senjata Eropa, mereka hampir selalu kalah dengan produk-produk AS. Pesawat Rafale yang dibuat pabrikan Dassault dari Perancis, misalnya, sudah dipromosikan sejak tahun 2000, tetapi belum pernah sekalipun memenangkan kontrak pembelian.

Di Maroko, Rafale kalah dengan F-16 Block 52 buatan Lockheed Martin, AS. Sementara AU Korsel dan Singapura lebih memilih F-15 Eagle produksi Boeing daripada Rafale.

Demikian juga dengan Typhoon, pesawat tempur yang dikembangkan bersama oleh Inggris, Jerman, Italia, dan Spanyol dalam konsorsium Eurofighter, itu baru mendapat dua pelanggan di luar negara-negara pembuatnya, yakni Austria dan Arab Saudi.

Salah satu faktornya adalah, persenjataan Eropa itu ”kalah promosi” dibanding AS dalam hal pembuktian di medan perang. Typhoon sama sekali belum pernah dipakai dalam perang sesungguhnya.

Rafale sebenarnya sudah terlibat dalam misi di Afganistan sejak 2002, tetapi nyaris tak dikenal orang karena jarang tampil di layar TV seperti saingan-saingannya dari AS.

Itu sebabnya, kesempatan menampilkan kemampuan tempur yang sesungguhnya di Libya kali ini menjadi kesempatan emas bagi mereka. Portal berita bisnis Bloomberg menyebut, operasi di Libya ini bisa mendorong penjualan pesawat Typhoon, yang berharga 106 juta dollar AS per unit itu.

Pihak Eurofighter sendiri terang-terangan menyebut operasi di Libya ini menjadi ujian penting bagi Typhoon. ”Interoperabilitas sangat penting bagi pesawat tempur, karena pesawat-pesawat itu saling bertukar data di udara, terutama dalam operasi seperti ini,” kata Marco Valerio Bonelli, juru bicara Eurofighter.

Di tengah gelombang perubahan yang melanda Afrika Utara dan Timur Tengah saat ini, AS mungkin saja tak akan lagi jadi kekuatan dominan di kawasan ini. Saatnya bagi Eropa untuk unjuk gigi. (DAHONO FITRIANTO)

Sumber: KOMPAS

BERITA POLULER