Menteri Riset dan Teknologi Suharna Surapranata mengatakan Indonesia telah siap membangun reaktor nuklir sebagai pembangkit tenaga listrik. "Kita harus pahami sudah siap, secara teknologi kita sudah mampu," ujarnya saat memberi kuliah umum di Aula Barat Institut Teknologi Bandung, Sabtu 12 Maret 2011. Sebagaimana dikutip laman Tempointeraktif, menurut Suharna, Indonesia telah memiliki kemampuan teknologi nuklir sejak tahun 1950-an. Beberapa reaktor nuklir yang telah dibangun Badan Tenaga Atom Nasional, seperti di Bandung, Yogyakarta, dan Serpong digunakan untuk riset obat dan pangan.
Ia mengakui reaktor nuklir memang berbahaya. Adapun terkait bahayanya jika dilanda gempa, keamanan reaktor tergantung teknologi yang akan dipakai nantinya. "Seperti di Jepang, begitu gempa langsung berhenti (operasi)," katanya.
Menurut Suharna, saat ini lebih penting mengetahui kapan Indonesia akan memulai membangun PLTN daripada berbicara teknologi reaktor nuklir yang akan dipakai. "Sebab Malaysia, Vietnam, Singapura, sudah mengarah ke sana," ujarnya. Indonesia juga harusnya mengambil pilihan membuat PLTN.
Saat ini, selain kajian tapak lokasi di Jepara, Jawa Tengah, pemerintah juga mempelajari calon lokasi PLTN di Bangka Belitung dan Kalimantan Timur. Usulan lokasi tersebut telah diajukan kepala daerah masing-masing. "Lokasi di Pulau Jawa sebagai alternatif," katanya.
Kebijakan dibangun tidaknya PLTN kini masih menunggu keputusan Dewan Energi Nasional. Rumusan Dewan itu selanjutnya akan dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat. "Mungkin dalam tahun ini selesai," ujarnya.
Urgensi PLTN bagi Indonesia
Sampai saat ini Indonesia belum berhasil membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), sehingga belum ada sebuah PLTN yang dapat dioperasikan untuk mengurangi beban kebutuhan energi listrik yang saat ini semakin meningkat di Indonesia. Padahal energi nuklir saat ini di dunia sudah cukup berkembang dengan menguasai pangsa sekitar 16 persen listrik dunia. Hal ini menunjukkan bahwa energi nuklir adalah sumber energi potensial, berteknologi tinggi, berkeselamatan handal, ekonomis, dan berwawasan lingkungan, serta merupakan sumber energi alternatif yang layak untuk dipertimbangkan dalam Perencanaan Energi Jangka Panjang bagi Indonesia guna mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Di Indonesia, ide pertama untuk pembangunan dan pengoperasian PLTN sudah dimulai pada tahun 1956 dalam bentuk pernyataan dalam seminar-seminar yang diselenggarakan di beberapa universitas di Bandung dan Yogyakarta. Meskipun demikian ide yang sudah mengkristal baru muncul pada tahun 1972 bersamaan dengan dibentuknya Komisi Persiapan Pembangunan PLTN (KP2PLTN) oleh Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) dan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (Departemen PUTL). Kemudian berlanjut dengan diselenggarakannya sebuah seminar di Karangkates, Jawa Timur pada tahun 1975 oleh BATAN dan Departemen PUTL, dimana salah satu hasilnya suatu keputusan bahwa PLTN akan dikembangkan di Indonesia. Pada saat itu juga sudah diusulkan 14 tempat yang memungkinkan di Pulau Jawa untuk digunakan sebagai lokasi PLTN, dan kemudian hanya 5 tempat yang dinyatakan sebagai lokasi yang potensial untuk pembangunan PLTN.
Hasil studi yang dilakukan pada tahun 2002 oleh sebuah Tim Nasional di bawah koordinasi BATAN dan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dengan dukungan IAEA menunjukkan bahwa kebutuhan energi di Indonesia diproyeksikan meningkat di masa yang akan datang. Kebutuhan energi final (akhir) akan meningkat dengan pertumbuhan 3,4 persen per tahun dan mencapai jumlah sekitar 8146 Peta Joules (PJ) pada tahun 2025. Jumlah ini adalah sekitar 2 kali lipat dibandingkan dengan kebutuhan energi final di awal studi tahun 2000.
Pertumbuhan jenis energi yang paling besar adalah pertumbuhan kapasitas pembangkitan energi listrik yang mencapai lebih dari 3 kali lipat dari kondisi semula, yaitu dari 29 GWe di tahun 2000 menjadi sekitar 100 GWe di tahun 2025. Jumlah kapasitas pembangkitan ini, sekitar 75 persen akan dibutuhkan di jaringan listrik Jawa-Madura-Bali (Jamali). Dari berbagai jenis energi yang tersedia untuk pembangkitan listrik dan dilihat dari sisi ketersediaan dan keekonomiannya, maka energi gas akan mendominasi penyediaan energi guna pembangkitan energi listrik, sekitar 40 persen untuk wilayah Jamali. Energi batubara akan muncul sebagai pensuplai kedua setelah gas, yaitu sekitar 30 persen untuk wilayah Jamali. Sisanya sekitar 30 persen akan disuplai oleh jenis energi yang lain, yaitu hidro, mikrohidro, geothermal dan energi baru dan terbarukan lainnya. Diharapkan energi nuklir dapat menyumbang sekitar 5-6 persen pada tahun 2025.
Mengingat situasi penyediaan energi konvensional termasuk listrik nasional di masa mendatang semakin tidak seimbang dengan kebutuhannya, maka opsi nuklir dalam perencanaan sistem energi nasional jangka panjang merupakan suatu solusi yang diharapkan dapat mengurangi tekanan dalam masalah penyediaan energi khususnya listrik di Indonesia.
Amankah Nuklir?
Nuklir merupakan salah satu jawaban energi yang cukup realistis saat ini. Hanya butuh 21 ton Uranium, nuklir dapat menghasilkan energi listrik sebesar 1GWe. Bandingkan dengan gas alam (970 ton), minyak (1310 ton), dan batu bara (2360 ton)! Itulah sebabnya nuklir dapat menghasilkan listrik dengan harga yang lebih murah dari yang lainnya.
Pada pembangkit listrik, nuklir dipasang di boiler yang akan memanaskan air menjadi uap untuk menggerakkan turbin dan menghasilkan listrik. Siklusnya berlangsung tertutup dan pecahan nuklir akan tetap tertahan di matriksnya. Nuklir sendiri terdapat dalam pelet yang dilindungi dengan fuel cladding, pressure vessel, steel containment, dan shield building. Keamanannya bahkan melebihi tabung elpiji yang sering kita gunakan atau mancis yang sering ditaruh di saku celana. Dapat dikatakan, nuklir benar-benar sangat aman. Selain itu, PLTN juga membuat lingkungan sekitar tetap bersih (tidak seperti PLTU).
Sampai saat ini pun, jumlah kecelakaan akibat nuklir jauh sedikit dibanding dengan pembangkit listrik lainnya-Pembangkit listrik tenaga air dan batu bara penyumbang korban terbanyak. Bila ada kejadian Chernobyl-pada 1986 yang sampai melibatkan ribuan penduduk dan sering dibuat contoh betapa tidak amannya nuklir-perlu dilirik konteksnya.
Chernobyl dikembangkan bukan dengan maksud damai. Di sana, nuklir dikembangkan untuk senjata perang. Keselamatan dalam pembangunan nuklir tersebut benar-benar diabaikan. Lalu, ada kesalahan desain yang amat parah, yaitu: tidak ada pengungkung dan koefisien reaktus positif sehingga mudah terjadi pelelehan. Desain modern sekarang sudah aman. Kenaikan temperatur yang tinggi telah diantisipasi.
Limbah radioaktif sendiri tetap tersimpan di PLTN. Bila tidak ada kesengajaan untuk membocorkan, limbah tersebut tidak akan berbahaya. Pengaruh radiasi PLTN terhadap manusia juga sangat rendah. Di banding dengan kontaminasi alami yang mencapai 3 persen, X-ray 0,4 persen, sementara nuklir hanyalah 0.0002 persen. Hal ini membuat radiasi nuklir hampir tidak memiliki pengaruh terhadap manusia.
Jadi apa yang ditakutkan dan apa lagi yang perlu ditunggu? Pemerintah yang bertindak lambat mengembangkan nuklir di Indonesia akan terlambat berkembang secara teknologi juga. Sekitar 30 persen rakyat Indonesia tidak merasakan listrik dalam rumahnya. Selebihnya pun menikmati listrik secara subsidi. Kenapa lagi harus ditunda lama bila nuklir dapat menghasilkan listrik secara lebih besar, aman, murah, dan terjamin?
IRIB