Pages

Wednesday, February 2, 2011

India Rejects US F-35 JSF Offer

India Rejects US F-35 JSF Offer

India has no plans as of now to either join the US-led joint strike fighter (JSF) programme or buy the F-35 `Lightning-II' fifth-generation fighter aircraft (FGFA) when it finally becomes operational.
"We cannot have two types of FGFA. We have already launched preliminary work for our FGFA after inking the $295 million preliminary design contract (PDC) with Russia last month,'' said a top defence ministry official on Friday.
This comes in the wake of comments made by a top Pentagon official, undersecretary of defence for acquisition, technology and logistics Ashton Carter, in Washington that the US was open to Indian participation in its JSF project.
Interestingly, the comments came during a function where an aggressive sales pitch was made for India to select either the American F/A-18 `Super Hornet' (Boeing) or F-16 ‘Falcon' (Lockheed Martin) over their European rivals in the ongoing IAF's medium multi-role combat aircraft (MMRCA) contest.
The other 4.5-generation fighters in the hotly-contested race to bag the $10.4 billion MMRCA project, under which 18 jets will be bought off-the-shelf and another 108 will be manufactured in India under transfer of technology, are Eurofighter Typhoon, Swedish Gripen (Saab), French Rafale (Dassault) and Russian MiG-35 (United Aircraft Corporation).
The IAF force matrix for the coming years revolves around the 270 Sukhoi-30MKIs contracted from Russia for around $12 billion, the 126 MMRCA and 120 indigenous Tejas Light Combat Aircraft, apart from upgraded MiG-29s and Mirage-2000s.
In the decades ahead, the advanced stealth FGFA to be developed with Russia will be the mainstay of India's combat fleet. "Our FGFA will be cheaper than the F-35. Moreover, the intellectual property rights of the FGFA will equally and jointly vest on both India and Russia, with full access to the source code and the like,'' said another senior official.
With a potent mix of super-manoeuvrability and supersonic cruising ability, the "swing-role'' FGFA will of course not come cheap. The cost of designing, infrastructure build-up, prototype development and flight testing has been pegged at around $11 billion, with India and Russia chipping in with $5.5 billion each.
Over and above this, each of the 250-300 FGFA India hopes to begin inducting from 2020 onwards will cost around $100 million each. In all, India will spend upwards of $35 billion over the next two decades in its biggest-ever defence project till now.
The Indian FGFA will primarily be based on the single-seater Sukhoi T-50, the prototype of which is already flying in Russia, but will include a twin-seater version and a more powerful engine with greater thrust.
"Its complete design will be frozen by the end of the 18-month PDC. Six to seven of its prototypes should be flying by 2017. After that, there will be 2,500 hours of flight-testing over 25 months before the series production begins in 2019,'' he said.

DEFENCE TALK

Obama Katakan Kepada Mubarak: Transisi Harus Dimulai "Sekarang"


Rabu, 02 Februari 2011 08:02 WIB
Presiden Amerika Serikat, Barack Obama. (FOTO ANTARA/REUTERS/Jim Young)
Berita Terkait
Washington (ANTARA News) - Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengatakan, Selasa, ia telah memberitahu Presiden Mesir Hosni Mubarak, transisi politik yang tertib, damai, harus dimulai "sekarang" di Mesir, tapi tidak menasehati ia agar mengacuhkan permintaan untuk mundur dengan segera.

Dalam reaksi pertamanya terhadap pernyataan Mubarak bahwa ia akan menyerahkan kekuasaan setelah pemilihan pada September mendatang, Obama menegaskan kembali bahwa bukan hak AS untuk memilih pemimpin Mesir.

Obama mengalirkan lagi tekanan pada Mubarak, sekutu AS selama 30 tahun, tapi tak sampai mensahkan tuntutan massa demonstran kepadanya untuk meninggalkan jabatannya dengan segera.

"Hal yang jelas, dan apa yang saya indikasikan malam ini kepada Presiden Mubarak adalah keyakinan saya bahwa peralihan yang tertib harus berarti, harus damai, dan harus mulai sekarang," kata Obama, beberapa menit setelah menelpon pemimpin Mesir itu.

Obama juga memberikan isyarat kepada kerumunan massa muda di Mesir yang menanggapi dengan marah pernyataan Mubarak bahwa ia akan tetap pada jabatannya hingga September mendatang.

"Kepada masyarakat Mesir, khususnya orang-orang muda Mesir, saya ingin menjelaskan, kami mendengar suara anda. Saya memiliki keyakinan yang sangat kuat bahwa anda akan memutuskan tujuan anda sendiri," kata Obama di Gedung Putih  seperti dilaporkan AFP.

Pemimpin AS itu kemudian berbicara yang ditujukan secara langsung pada seluruh militer Mesir yang sangat kuat.

"Saya ingin memuji militer Mesir karena profesionalisme yang mereka tunjukkan sementara melindungi rakyat Mesir."

"Kami menyaksikan tank-tank ditutup dengan spanduk dan tentara serta demonstran berpelukan di jalan dan bergerak maju, saya minta militer untuk meneruskan upayanya membantu menjamin bahwa perubahan sekarang ini damai." (S008/C003/K004)
Editor: B Kunto Wibisono
COPYRIGHT © 2011
ANTARA

Israel Uring-uringan Mengkambinghitamkan Obama


Selasa, 01 Februari 2011 11:47 WIB
Obama dan Mubarak (ANTARA News/istimewa)
Pertanyaannya adalah apakah kita bisa menilai Obama mampu atau tidak?
Jakarta (ANTARA News/Reuters) - Jika Presiden Mesir Hosni Mubarak tanggal dari kekuasaannya, maka Israel akan kehilangan salah satu dari sedikit kawannya di kawasan yang memusuhinya dan Presiden AS Barack Obama akan dianggap sebagai biang keladi dari semua itu, demikian sejumlah tokoh di Israel, Selasa.

Para pengamat politik mengekspresikan keterkejutannya atas bagaimanan AS dan juga sekutu utamanya Uni Eropa,  mencampakkan sekutu strategis mereka selama tiga dekade terakhir, hanya demi berkompromi dengan keyakinan ideologis yang tengah mereka yakin benar.

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah memerintahkan para menterinya untuk tidak mengomentari keadaan di Mesir agar tidak menyulut sentimen anti Israel di negeri piramid itu.

Tapi Presiden Israel Shimon Peres jelas bukan bawahan Netanyahu sehingga dia bebas berkata apa saja.

"Kita selalu dan akan selalu menghormati sekali Presiden Mubarak," katanya.

Peres menambahkan, "Saya tidak menyebut segala apa yang dilakukannya baik, namun dia melakukan sesuatu yang membuat kita semua harus berterimakasih kepadanya, (yaitu) menciptakan perdamaian di Timur Tengah."

Para kolumnis suratkabar Israel bahkan lebih terang-terangan.

Aviad Pohoryles dari harian Maariv menyampaikan kritik dalam artikelnya berjudul "A Bullet in the Back from Uncle Sam" (Tikaman dari Paman Sam).

Pohoryles menuduh Obama dan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton menerapkan diplomasi yang naif, tinggi hati, dan picik yang tak mengindahkan risiko-risiko yang bakal timbul.

"Siapa sih yang menasihati mereka (para demonstran Mesir) untuk menyulut gerombolan marah di jalan-jalan Mesir dan menuntut kepala dari orang yang lima menit lalu adalah sekutu utama presiden (Obama)...seseorang yang hampir menjadi satu-satunya paling waras di Timur Tengah?"

Pohoryles melanjutkan, "Diplomasi benar secara politik yang dianut para presiden Amerika selama bergenerasi-generasi...benar-benar naif."

Tentu saja yang disasar Pohoryles adalah Presiden Barack Obama.

Hari Minggu lalu, Obama menyerukan sebuah transisi demokrasi yang tertib di Mesir dan permintaan kepada Mubarak untuk mundur. Namun itu semua hanya mengisyaratkan hari-hari terakhir Mubarak semakin dekat.

Netanyahu telah menginstruksikan para duta besar Israel di sejumlah ibukota-ibukota negara kunci di dunia untuk meyakinkan pemerintah-pemerintah setempat bahwa stabilitas di Mesir itu penting, kata sejumlah sumber.

Mesir yang adalah tetangga paling kuat Israel, adalah negara Arab pertama yang menyepakati perdamaian dengan Israel pada 1979.

Presiden Mesir Anwar Sadat, yang menandatangani perjanjian damai itu, dibunuh dua tahun kemudian oleh seorang Mesir fanatik.

13 tahun kemudian Raja Hussein dari Yordania menyepakati perdamaian dengan Israel. Perjanjian itu ditandatangani oleh Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin, yang setahun kemudian pada 1995 dibunuh oleh seorang Israel fanatik.

Sejak itu tidak pernah ada lagi perjanjian damai yang disepakati Israel dengan negara-negara Arab lainnya.

Lebanon dan Suriah secara teknis masih terlibat perang dengan Israel. Sementara rezim-rezim konservatif di Teluk Arab gagal memajukan ide-ide perdamaian mereka.

Di sisi lain, Iran yang bermusuhan dengan Israel, dengan cepat meningkat pengaruhnya dalam konflik Timur Tengah.

"Pertanyaannya adalah apakah kita bisa menilai Obama mampu atau tidak?" kata seorang pejabat Israel yang menolak menyebutkan namanya.

"Untuk sementara dia tidak terlihat mampu. Itu adalah pertanyaan yang menggelayuti kawasan ini, bukan hanya Israel."

Menulis di suratkabar Haaretz, Ari Shavit mengatakan Obama telah mengkhianati "seorang presiden Mesir yang moderat yang tetap loyal kepada Amerika Serikat dan telah memajukan stabilitas dan menguatkan pelembutan".

Israel meratap, demi memenangkan opini Arab. Obama telah mempertaruhkan status Amerika sebagai negara adidaya dan sekutu yang bisa dipercaya.

"Di seluruh pelosok Asia, Afrika dan Amerika Selatan, para pemimpin kini mencermati apa yang akan terjadi antara Washington dan Cairo. Semua orang mengirim pesan: "Kata-kata Amerika tak lagi berarti ... Amerika telah kehilangan kata," ratap Ari Shavit, mengekspresikan kekesalan kebanyakan orang Israel terhadap sikap Obama terhadap Mubarak. (*)
Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © 2011
ANTARA

Blair: Perubahan di Mesir Baik untuk Timur Tengah


Rabu, 02 Februari 2011 11:47 WIB
Mantan Perdana Menteri Inggris yang juga Utusan Perdamaian Tony Blair (reuters.com)
Saya tidak berpikir mayoritas rakyat ikut dalam Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir ...
Berita Terkait
Los Angeles (ANTARA News) - Mantan Perdana Menteri Inggris yang juga Utusan Perdamain Tony Blair mengatakan, bentuk gerakan people power seperti yang terjadi di Mesir adalah bagian dari jalannya perubahan yang akan berdampak baik bagi seluruh negara Timur Tengah bila diatur dengan tepat.

Namun Balir juga memperingatkan "kekhawatiran nyata" mengenai gerakan yang terjadi saat ini dapat memicu adanya kelompok garis keras atau kekuatan Islam yang mengambil alih kekuasaan di beberapa negara.

Dengan adanya kemungkinan tersebut maka Barat harus waspada.

"Terjadi suatu proses perubahan yang saya pikir akan memberi dampak ke seluruh kawasan. Rakyat menginginkan sistem pemerintahan yang berbeda dan mereka akan mendapatkannya. Pertanyaannya kemudian, apa yang muncul setelah itu?" katanya kepada CNN, Selasa.

Meski memuji peran Presiden Mesir Hosni Mubarak dalam proses perdamaian di Timur Tengah selama ini, ia mengatakan, mengerti mengenai keinginan rakyat untuk menggulingkan presiden mereka.

"Saya tidak berpikir pihak Barat perlu malu dengan fakta bahwa mereka punya hubungan kerja yang sangat dekat dengan Mubarak dalam proses perdamaian... namun di saat yang sama, Barat juga mendesak perubahan dengan Mesir," katanya saat diwawancarai oleh Piers Morgan seperti dikutip AFP.

Saat ditanya mengenai kemungkinan aksi serupa di Yaman, ia memperingatkan: "Saya pikir di negara lain di kawasan, hal tersebut benar, akan ada kekhawatiran nyata mengenai apa yang akan terjadi bila kevakuman kekuasaan muncul,

"Dan karena itulah mengapa sejak lama saya mengatakan bahwa apa yang seharusnya dilakukan pihak barat --barat yang saya maksud adalah Amerika dan Eropa-- ialah kita sebaiknya menjadi mitra perubahan."

Di Mesir, kelompok Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Islam) adalah gerakan yang harus diwasapadai meskipun mereka tidak mencerminkan kebanyakan pandangan rakyat Mesir katanya.

"Saya tidak berpikir mayoritas rakyat ikut dalam Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir. Di sisi lain apa yang harus selalu diperhatikan adalah mereka (IM) sangat tertata rapi," katanya.

"Anda tahu mereka terorganisasi. Sementara mereka yang berada di jalan saat ini, banyak di antaranya hanya punya niat namun belum terorganisasi dalam partai politik."
(DLN/B010)
Editor: Bambang
COPYRIGHT © 2011

ANTARA

Rusia Kehilangan Satelit Militer

 
AP Photo/NASA 

Moskow (ANTARA/AFP) - Pejabat tinggi militer dan ruang angkasa Rusia pada Selasa mengumumkan pencarian terhadap satelit militer yang hilang akibat tidak mengorbit dengan tepat setelah peluncurannya.

Kementerian Pertahanan Rusia mengkonfirmasi bahwa mereka telah kehilangan jejak pemindai -- kapal berfungsi ganda yang dapat menggambarkan peta tiga dimensi Bumi dan memindai lokasi tepat dari berbagai jenis target.

Insiden tersebut terjadi hanya sebulan setelah Presiden Dmitry Medvedev memecat dua pejabat ruang angkasa akibat kemunduran serupa yang menampar industri ruang angkasa Rusia.

Keseriusan situasi tersebut ditegaskan pada Selasa malam oleh laporan yang menyebutkan kementerian pertahanan telah membentuk kelompok tugas bersama dinas ruang angkasa Rusia untuk mencari pesawat itu.

Satelit Geo-IK-2 dibuat di Rusia untuk membantu survey darat militer dan membuat rincian peta tiga dimensi Bumi. Satelit itu didesain untuk berputar di orbit melingkar 1.000 kilometer di atas permukaan tanah.

Namun beberapa laporan berita mengatakan satelit itu telah ditempatkan dalam orbit elips sehingga titik terendahnya hanya menempatkan satelit itu berjarak 330 kilometer dari Bumi.

"Kami masih belum dapat melakukan kontak dengan satelit itu, dan sepertinya dalam kemungkinan terbesar, benda itu akan dinyatakan hilang," kata seorang sumber antariksa Rusia kepada jaringan berita Interfax-AVN.

"Pesawat luar angkasa itu tidak dapat melaksanakan tugasnya seperti yang diharapkan pada karakteristik orbit," kata pejabat antariksa lainnya kepada kantor berita Interfax.

Laporan-laporan awal menyebutkan kegagalan satelit tersebut disebabkan oleh roket bagian atas Briz-KM satelit itu.

Kegagalan pada Selasa itu terjadi kurang dari lima pekan setelah Medvedev memecat dua pejabat tinggi antaraiksa dan menegur kepala dinas antariksa Rusia atas kegagalan tersebut sehingga negara itu terpaksa menunda pengembangan sistem navigasi milik mereka.

Roket Proton-M telah terbukti bermasalah karena terlalu berat sehingga gagal mencapai orbit tujuan dan terpaksa menjatuhkan tiga satelit canggih Glonass-MM di perairan dekat Kepulauan Hawaii.

Para penyelidik mengatakan kecelakaan tersebut disebabkan oleh miskalkulasi bahan bakar yang membuat pesawat luar angkasa tersebut gagal mencapai ketinggian yang ditargetkan.

Ketiga satelit Glonass sedianya akan menyelesaikan sebuah sistem yang risetnya telah dimulai Uni Soviet pada 1976. (PPT/S008/K004)
Editor: B Kunto Wibison
Antara

LAPAN Gandeng Lembaga Antariksa Inggris Tangani Iklim

Rabu, 02 Februari 2011 00:59 WIB
Kepala Lapan Dr. Adi Sadewo Salatun, M. Sc., dan Chief Executive UKSA, Dr. David Williams berfoto bersama usai menandatangani perjanjian kerja sama bidang keantariksaan untuk menangani perubahan iklim di kantor pusat LAPAN di Jakarta, Selasa (1/2). (Antara News/LAPAN)
Berita Terkait
Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Indonesia bersama United Kingdom Space Agency (UKSA) sepakat berkerjasama dalam bidang keantariksaan penanganan perubahan iklim (climate change).

Kedua institusi menandatangani naskah kerja sama di kantor pusat LAPAN di Rawamangun, Jakarta, Selasa (1/2), yang diwakili oleh Kepala LAPAN Dr Adi Sadewo Salatun, Msc dan Dr David Williams, Chief Executive UKSA.

Kerja sama ini untuk mendukung kepentingan Indonesia dan Inggris, terutama LAPAN dan UKSA, diantaranya juga terkait pembangunan kapasitas peneliti LAPAN dalam pembuatan satelit Pengindraan Jauh SAR Ekuatorial.

Rangkaian kerja sama akan dilanjutkan dengan Policy Discussion on “SAR Satellite Aplication for Supporting MRV, REDD+, and Climate Change Mitigation” yang akan dihadiri para pembuat kebijakan dari LAPAN, Bappenas, UKP4, dan Dewan Nasional Perubahan Iklim.

Juga sejumlah institusi terkait antara lain Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, BMKG, Bakosurtanal, dan BPPT.

Acara tersebut akan berlangsung pada Rabu, 2 Februari 2011, pukul 09.00 hingga 12.00 WIB di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, kata LAPAN dalam siaran persnya.

Perubahan iklim dan peningkatan ekonomi menjadi fokus sasaran dalam kerja sama Indonesia dan Inggris itu. Kerja sama tersebut akan bermanfaat bagi pembangunan kapasitas Measurement Reporting Verification (MRV) atau pengukuran emisi karbon akibat degradasi dan deforestasi hutan guna menangani perubahan iklim.

Dari sisi ekonomi, kerja sama ini akan bermanfaat di bidang observasi bumi. Hal ini akan membantu Indonesia antara lain untuk pemantauan ketahanan pangan, pemantauan laut dan perikanan, pemantauan penanaman padi, dan penanganan bencana.

Kerja sama dalam bidang perubahan iklim ini sejalan dengan tekad Presiden Dr Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengurangi emisi karbon hingga 26 persen pada 2020.

Dua puluh enam persen dimaksud terdiri dari enam persen dari sektor energi, enam persen dari pengelolaan limbah, dan 14 persen untuk pengelolaan lahan hutan. Presiden juga bertekad menurunkan kebakaran hutan atau lahan di Indonesia sekitar 20 persen per tahun.

Tekad ini dapat terealisasi dengan cara pengelolaan hutan yang benar. Peran Indonesia yang dimotori Lapan dalam upaya ini yakni memantau hutan dengan satelit penginderaan jauh SAR Ekuatorial.

UKSA membantu Indonesia dalam memperkuat hubungan bilateral dengan Inggris untuk memantau hutan dan lahan dengan menyediakan data satelit, keahlian, maupun infrastruktur terkait.

Dengan cara pemantauan efektif dan akurat yang dibantu jaringan internasional, Indonesia diharapkan mampu menunjukkan bukti kepada dunia dalam ikut serta berkontribusi memenuhi tekad pengurangan emisi karbon melalui pemantauan bumi Indonesia.

Iklim erat kaitannya dengan kehidupan manusia. Perubahan iklim dapat berdampak besar terhadap berbagai sektor kesejahteraan manusia. Untuk itulah negara-negara dunia melakukan berbagai upaya sebagai langkah adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim.

"Inilah yang mendasari kerja sama Lapan dan UKSA," kata LAPAN.

Kerja sama ini akan memberi efek bagi peningkatan kapasitas sumber daya manusia Indonesia, terutama terkait program LAPAN di bidang pengembangan satelit.

Lapan telah mengorbitkan satelit Lapan-Tubsat dan sedang mengembangkan tiga satelit eksperimental, yaitu Lapan-Orari dan Lapan A2 (disebut dengan Twin-Sat), serta Lapan-IPB.

Sementara bagi Inggris, kerja sama ini akan meningkatkan peran dan kontribusi negara tersebut di dunia internasional dalam penanganan perubahan iklim.

(S026/B010)
Editor: Suryanto
 Antara

RI Akan Mandiri Dalam Alutsista


KCR 40 m sedang dibangun oleh industri perkapalan nasional untuk TNI AL. (Foto: Berita HanKam)

2 Februari 2011, Jakarta -- (Koran Jakarta): Kementerian Pertahanan (Kemhan) berkomitmen menghidupkan kem bali industri pertahanan. Kemhan sudah mengevaluasi dan sudah membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Revitalisasi Industri Pertahanan. Dengan itu diharapkan nantinya Indonesia sampai pada kemandirian pengadaan alutsista. “Hasil evaluasi, Kemhan menelurkan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP). Kem han juga menyiapkan road map industri pertahanan, yang itu akan memberikan arah perjalanan industri pertahanan sampai kepada kemandirian alutsista,” kata Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro di Kementerian Pertahanan, Jakarta, Selasa (1/2).

Hal itu disampaikan Menhan menanggapi pernyataan mantan Presiden BJ Habibie tentang perlunya penguatan terhadap industri strategis pertahanan. “RUU tersebut telah kita selesaikan. Tinggal diserahkan ke DPR untuk dibahas lebih lanjut,” katanya. Menhan yakin UU Revitalisasi Industri Pertahanan akan menjadi landasan untuk menghidupkan kembali industri pertahanan. “Sambil menunggu dibahas, kita tetap akan terus bergerak cepat untuk memenuhi kekuatan pokok minimum yang sudah kita rencanakan sampai 2024,” katanya.

Naskah Akademik

Sementara itu, Kepala Pusat Informasi Kemhan Brigjen I Wayan Midhio menjelaskan saat ini RUU Revitalisasi Industri Pertahanan beserta naskah akademiknya sudah ada di tangan presiden dan tinggal menunggu Amanat Presiden untuk diserahkan ke DPR. “Dalam sidang kabinet sudah dibahas,” kata Wayan. Juru Bicara KKIP Silmy Karim mengatakan KKIP telah mengevaluasi industri pertahan an di Indonesia dengan menginventarisasi masalah secara mendalam.

KKIP juga mengindentifikasi potensi sinergi antar lembaga dalam mendukung kebijakan revitalisasi industri pertahanan. “Hasilnya, dari sisi pengguna ada masalah keterlambatan pengiriman, kualitas, kompetensi teknis, serta modal produksi yang belum ideal,” kata Silmy. Sedangkan dari produsen jumlah pesanan dengan skala ekonomi dan kepastian pemesanan, membutuhkan waktu yang panjang. Menyikapi hal itu, KKIP pada 2011 ini akan memaksimalkan penggunaan produksi industri pertahanan dalam negeri dan memformulasi kebutuhan kekuatan pokok minimum (minimum essential forces/MEF) yang dapat menggunakan industri dalam negeri.

KKIP pun berencana merevitalisasi managemen produksi BUMN industri pertahanan. “Modal produksi yang belum ideal disebabkan kondisi keuangan BUMN industri pertahanan yang belum dapat menopang kelancaran produksi untuk memenuhi pesanan pengguna. Masih ada beban keuangan bawaan masa lalu yang belum disikapi lebih lanjut,” katanya. Apalagi dengan adanya fakta bahwa kompetensi teknis industri pertahanan di Indonesia masih jauh dari ideal.

Selain itu, penurunan jumlah karyawan juga terjadi seperti di PT Dirgantara Indonesia dan di PT PAL. Jika dibutuhkan kembali Badan Produksi Industri Strategis (BPIS) seperti yang pernah dibentuk mantan Presiden BJ Habibie, Silmy mengatakan KKIP pasti mendukung.

“Segala yang bisa meningkatkan kinerja industri pertahanan di dalam negeri akan kami dukung,” katanya. Sementara itu, Direktur Tek nologi dan Industri Kemhan Brigjen Agus Suyarso me nambahkan saat ini KKIP sudah menandatangani kesepa katan dengan Turki untuk kerja sama jangka panjang dalam melakukan revitalisasi industri pertahanan.

Sumber: Koran Jakarta

BERITA POLULER