helikopter NAS-332 Super Puma
Sungguh satu pemandangan yang menggugah. Di fasilitas produksi PT Dirgantara Indonesia (DI) di Bandung, berpuluh-puluh teknisi muda dengan tekun mengerjakan pesanan pabrik pesawat Airbus, juga pabrik helikopter Eurocopter. Sebagian membuat pinggiran sayap pesawat Airbus 320 dan variannya (A-321 dan A-319), juga bagian sayap superjumbo A-380. Lainnya merampungkan badan pesawat C-212-400 pesanan Thailand serta pesawat CN-235-220 Korea Selatan.
Sementara itu, di bagian produksi helikopter, ada juga pengerjaan untuk merampungkan pesanan Kementerian Pertahanan RI, yakni sebuah heli NAS-332 Super Puma, dan di bagian lain ada pengerjaan untuk pembuatan bagian heli Cougar, lanjutan Super Puma dengan badan lebih panjang dan mesin lebih kuat, yang kini dibuat oleh perusahaan Eurocopter sebagai EC-725.
Para pekerja yang ambil bagian dalam pekerjaan tersebut, menurut Direktur Utama PT DI Budi Santoso, adalah lulusan STM yang mendapat latihan satu-enam bulan, kemudian mereka bisa ambil bagian dalam rantai produksi berskala global. Global karena, selain untuk perusahaan Eropa yang disebut di atas, PT DI juga terus menjalin kemitraan dengan pembuat heli Amerika manakala ada order untuk Bell 412.
Dengan segala kendala yang masih terus dihadapinya, PT DI dan para karyawannya masih menyisakan semangat nasionalisme.
Dewasa ini, PT DI berjuang untuk melanjutkan kelangsungan hidupnya setelah dilanda krisis habis-habisan menyusul krisis ekonomi tahun 1998.
Dengan jejak bernilai yang mewujud pada separuh desain pesawat CN-235, yang kini masih terus diproduksi, dan dibeli oleh angkatan udara sejumlah negara, mulai dari Malaysia, Korea, hingga Turki, bahkan juga oleh pengawal pantai AS, PT DI secara historis telah menorehkan satu riwayat penting. Itu karena melalui CN-235 telah tercipta satu merek yang mendunia.
Ini tentu kontras dengan dunia otomotif, yang seumur-umur tak berhasil keluar dari kungkungan merek asing tanpa sedikit pun upaya untuk mengambil sedikit bagian. Dunia otomotif nyaman-nyaman saja meski setiap tahun menyedot devisa triliunan rupiah. Hal yang sama kini berlangsung pula untuk produk gadget teknologi informasi-komunikasi.
Penyempurnaan Industri
Diakui, ada praktik yang tidak efisien dalam pengembangan industri strategis/pertahanan di masa lalu. Mengutip kembali catatan mantan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dalam satu ceramah di LIPI, kemampuan penguasaan teknologi berhasil dilakukan oleh bangsa Indonesia, tetapi hal itu tak disertai dengan penguasaan ilmu manajemen/pemasaran.
Di masa lalu, belanja amat besar, tetapi pemasukan sangat kecil. Kini, melalui program revitalisasi industri pertahanan, kelemahan masa lalu ingin ditutup. Di era kompetisi global, kalau industri pertahanan ingin survive dan berjaya, ia harus dipandang dan diperlakukan secara berbeda: bukan lagi sebagai BUMN yang gemuk untuk dinikmati, melainkan wahana untuk kemajuan dan kejayaan.
Susunan KKIP, yang diketuai oleh Menteri Pertahanan dan wakil ketuanya adalah Menteri BUMN, dengan anggotanya adalah Menteri Perindustrian, Menteri Riset dan Teknologi, Panglima TNI, serta Kepala Polri, dan sekretarisnya adalah Wakil Menteri Pertahanan, menyiratkan bahwa industri pertahanan Indonesia ingin berbenah diri setelah kebijakan baru dirumuskan, pelaksanaan dikoordinasikan, dan riset dimajukan.
Adanya eksekutif muda yang memperlihatkan komitmen besar, seperti Budi Santoso dan Adik A Soedarsono (Direktur Utama PT Pindad), diharapkan mampu mendinamisasi langkah PT DI, PT Pindad, dan industri BUMNIP lain, seperti PT PAL.
Ke depan, PT DI berharap tidak saja bisa melayani order pabrikan Eropa atau Amerika, tetapi juga bisa membuat pesawat desainnya sendiri, seperti N-219, yang dalam kunjungan Sekretaris KKIP ke PT DI, Senin (20/9), sempat disinggung.
Jika MOU dengan Korea untuk program KF-X juga dapat diwujudkan, Indonesia— yang dengan proyek ini harus mengeluarkan dana 20 persen dari biaya pengembangan sebesar 4,1 miliar dollar AS dalam satu dekade ke depan, tetapi akan mendapat sekitar 50 pesawat (Defence News, 15/7)—melalui PT DI akan belajar banyak.
Namun, sebelum itu, semangat belajar itu kini ingin diwujudkan dengan aktivitas bongkar kaji inventori TNI yang sudah uzur. Seperti disampaikan Budi Santoso kepada Sekretaris KKIP, pihaknya berharap TNI bisa merelakan pesawat yang sudah tidak digunakan, seperti OV-10 Bronco, untuk dijadikan ”obyek studi” bagi pengembangan pesawat PT DI ke depan.
Budi juga berharap hal itu bisa diberikan kepada PT Pindad yang dengan cara sama bisa mendalami rudal antipesawat dengan membedah sistem Rapier (yang dulu dibuat oleh British Aerospace) dan kemarin dioperasikan oleh TNI AD.
Dalam kaitan ini pula orang teringat kepada para insinyur hasil didikan PT DI yang kini justru dimanfaatkan industri kedirgantaraan asing. Meski disadari, untuk memanggil pulang mereka, dibutuhkan ”pemanis”—dan tentu juga pekerjaan—yang meyakinkan.
Kini, dengan sekitar 4.000 karyawan (dari hampir 16.000 orang pada masa jaya tahun 1990-an), PT DI memang sedang dalam periode yang mendebarkan. Tanpa didukung permodalan dan order mencukupi, bahkan karyawan yang 4.000 orang tadi bisa terancam ”disambar” oleh industri asing.
Dari satu sisi, posisi PT DI memang kurang meyakinkan. Namun, bahkan dalam posisi yang lemah itu pun memancar ketegaran yang mengagumkan. Boleh jadi, itu pula yang membuat pemudi Reydina Nurdinah, lulusan fakultas ekonomi tahun 2008—seperti dikutip oleh majalah Jurnal Dirgantara (Februari-Maret 2010)—berani bergabung dengan PT DI untuk memenuhi panggilan sejarah yang sejatinya diamanatkan kepada bangsa Indonesia.
Sumber:
KOMPAS