Pages

Saturday, September 4, 2010

SEJARAH GANYANG MALAYSIA

Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Tanggal 1962-1966
Lokasi Kalimantan, Asia Tenggara
Hasil Perjanjian perdamaian
Perubahan wilayah Kalimantan bagian utara (Serawak) jatuh ke tangan Malaysia, pembentukan Konfederasi Malaysia.
Pihak yang terlibat
Flag of Malaysia.svg Malaysia
Flag of the United Kingdom.svg Britania Raya
Flag of New Zealand.svg Selandia Baru
Flag of Australia.svg Australia
Flag of Indonesia.svg Indonesia
Komandan
Tunku Abdul Rahman
Walter Walker
Soekarno
Omar Dani (Panglima Komando Mandala Siaga)
Soeharto
Jendral A.H Nasution
Kekuatan
tidak diketahui tidak diketahui
Jumlah korban
114 korban jiwa
181 cedera
590 korban jiwa
222 cedera
Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia
Sejarah Indonesia .png
Sejarah Nusantara
Pra-Kolonial (sebelum 1509)
Pra-sejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Kerajaan Islam
Zaman kolonial (1509-1945)
Era Portugis (1509-1602)
Era VOC (1602-1800)
Era Belanda (1800-1942)
Era Jepang (1942-1945)
Sejarah Republik Indonesia
Proklamasi (17 Agustus 1945)
Masa Transisi (1945-1949)
Era Orde Lama (1950-1959)
Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Operasi Trikora (1960-1962)
Konfrontasi Indo-Malaya (1962-1965)
Gerakan 30 September 1965
Era Orde Baru (1966-1998)
Gerakan Mahasiswa 1998
Era Reformasi (1998-sekarang)
[Sunting]
Konfrontasi Indonesia-Malaysia atau yang lebih dikenal sebagai Konfrontasi saja adalah sebuah perang mengenai masa depan Malaya, Brunei, Sabah dan Sarawak yang terjadi antara Federasi Malaysia dan Indonesia pada tahun 1962-1966.
Perang ini berawal dari keinginan Federasi Malaya lebih dikenali sebagai Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1961 untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak kedalam Federasi Malaysia yang tidak sesuai dengan perjanjian Manila Accord Wikisource-logo.svg oleh karena itu Keinginan tersebut ditentang oleh Presiden Soekarno yang menganggap pembentukan Federasi Malaysia yang sekarang dikenal sebagai Malaysia sebagai "boneka Inggris" merupakan kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru serta dukungan terhadap berbagai gangguan keamanan dalam negeri dan pemberontakan di Indonesia.[1][2][3]
Pelanggaran perjanjian internasional konsep THE MACAPAGAL PLAN antara lain melalui perjanjian Manila Accord Wikisource-logo.svg tanggal 31 Juli 1963, Manila Declaration Wikisource-logo.svg tanggal 3 Agustus 1963, Joint Statement Wikisource-logo.svg tanggal 5 Agustus 1963[4] mengenai dekolonialisasi Wikisource-logo.svg yang harus mengikut sertakan rakyat Sarawak dan Sabah yang status kedua wilayah tersebut sampai sekarang masih tercatat pada daftar Dewan Keamanan PBB.[5] sebagai wilayah Non-Self-Governing Territories


Latar belakang

Pada 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan, sebuah provinsi di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan Brunei dan dua koloni Inggris; Sarawak dan Borneo Utara, kemudian dinamakan Sabah. Sebagai bagian dari penarikannya dari koloninya di Asia Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya, Federasi Malaya dengan membentuk Federasi Malaysia.
Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia; Presiden Soekarno berpendapat bahwa Malaysia hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu.
Di Brunei, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) memberontak pada 8 Desember 1962. Mereka mencoba menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang Eropa. Sultan lolos dan meminta pertolongan Inggris. Dia menerima pasukan Inggris dan Gurkha dari Singapura. Pada 16 Desember, Komando Timur Jauh Inggris (British Far Eastern Command) mengklaim bahwa seluruh pusat pemberontakan utama telah diatasi, dan pada 17 April 1963, pemimpin pemberontakan ditangkap dan pemberontakan berakhir.
Filipina dan Indonesia resminya setuju untuk menerima pembentukan Federasi Malaysia apabila mayoritas di daerah yang hendak dilakukan dekolonial memilihnya dalam sebuah referendum yang diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16 September, sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut campur orang luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai perjanjian Manila Accord Wikisource-logo.svg yang dilanggar dan sebagai bukti kolonialisme dan imperialisme Inggris.
Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul RahmanPerdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda[6], amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.
Demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur yang berlangsung tanggal 17 September 1963, berlaku ketika para demonstran yang sedang memuncak marah terhadap Presiden Sukarno yang melancarkan konfrontasi terhadap Malaysia[7]an juga kerana serangan pasukan militer tidak resmi Indonesia terhadap Malaysia. Ini berikutan pengumuman Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia pada 20 Januari 1963. Selain itu pencerobohan sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase pada 12 April berikutnya.
Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan demonstrasi anti-Indonesian yang menginjak-injak lambang negara Indonesia[8] dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan nama Ganyang Malaysia. Soekarno memproklamirkan gerakan Ganyang Malaysia melalui pidato beliau yang amat bersejarah, berikut ini:
Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu juga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar!

Kerahkan pasukan ke Kalimantan hajar cecunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu

Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.

Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki Gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.

Yoo...ayoo... kita... Ganjang...
Ganjang... Malaysia
Ganjang... Malaysia
Bulatkan tekad
Semangat kita badja
Peluru kita banjak
Njawa kita banjak
Bila perlu satoe-satoe!

Soekarno.

Perang

Pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase. Tanggal 3 Mei 1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya:
  • Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia
  • Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia
Pada 27 Juli, Sukarno mengumumkan bahwa dia akan meng-"ganyang Malaysia". Pada 16 Agustus, pasukan dari Rejimen Askar Melayu DiRaja berhadapan dengan lima puluh gerilyawan Indonesia.
Meskipun Filipina tidak turut serta dalam perang, mereka memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.
Federasi Malaysia resmi dibentuk pada 16 September 1963. Brunei menolak bergabung dan Singapura keluar di kemudian hari.
Ketegangan berkembang di kedua belah pihak Selat Malaka. Dua hari kemudian para kerusuhan membakar kedutaan Britania di Jakarta. Beberapa ratus perusuh merebut kedutaan Singapura di Jakarta dan juga rumah diplomat Singapura. Di Malaysia, agen Indonesia ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur.
Di sepanjang perbatasan di Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan; pasukan Indonesia dan pasukan tak resminya mencoba menduduki Sarawak dan Sabah, dengan tanpa hasil.

komando aksi sukarelawan
Pada 1964 pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Di bulan Mei dibentuk Komando Siaga yang bertugas untuk mengkoordinir kegiatan perang terhadap Malaysia (Operasi Dwikora). Komando ini kemudian berubah menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga). Kolaga dipimpin oleh Laksdya Udara Omar Dani sebagai Pangkolaga. Kolaga sendiri terdiri dari tiga Komando, yaitu Komando Tempur Satu (Kopurtu) berkedudukan di Sumatera yang terdiri dari 12 Batalyon TNI-AD, termasuk tiga Batalyon Para dan satu batalyon KKO. Komando ini sasaran operasinya Semenanjung Malaya dan dipimpin oleh Brigjen Kemal Idris sebaga Pangkopur-I. Komando Tempur Dua (Kopurda) berkedudukan di Bengkayang, Kalimantan Barat dan terdiri dari 13 Batalyon yang berasal dari unsur KKO, AURI, dan RPKAD. Komando ini dipimpin Brigjen Soepardjo sebagai Pangkopur-II. Komando ketiga adalah Komando Armada Siaga yang terdiri dari unsur TNI-AL dan juga KKO. Komando ini dilengkapi dengan Brigade Pendarat dan beroperasi di perbatasan Riau dan Kalimantan Timur.
Di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di Johor. Aktivitas Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan juga meningkat. Tentera Laut DiRaja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit saja yang diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan unit komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke Malaysia. Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah Inggris dan Australia, terutama pasukan khusus mereka yaitu Special Air Service(SAS). Tercatat sekitar 2000 pasukan khusus Indonesia (Kopassus) tewas dan 200 pasukan khusus Inggris/Australia (SAS) juga tewas setelah bertempur di belantara kalimantan (Majalah Angkasa Edisi 2006).
Pada 17 Agustus pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya Johor dan mencoba membentuk pasukan gerilya. Pada 2 September 1964 pasukan terjun payung didaratkan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat di Pontian di perbatasan Johor-Malaka dan membunuh pasukan Resimen Askar Melayu DiRaja dan Selandia Baru dan menumpas juga Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu 20, Muar, Johor.
Ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap. Sukarno menarik Indonesia dari PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mencoba membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif.
Sebagai tandingan Olimpiade, Soekarno bahkan menyelenggarakan GANEFO (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10-22 November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.
Pada Januari 1965, Australia setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah menerima banyak permintaan dari Malaysia. Pasukan Australia menurunkan 3 Resimen Kerajaan Australia dan Resimen Australian Special Air Service. Ada sekitar empat belas ribu pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu. Secara resmi, pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalu perbatasan Indonesia. Tetapi, unit seperti Special Air Service, baik Inggris maupun Australia, masuk secara rahasia (lihat Operasi Claret). Australia mengakui penerobosan ini pada 1996.
Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada 28 Juni, mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan berhadapan dengan Resimen Askar Melayu Di Raja dan Kepolisian North Borneo Armed Constabulary.
Pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang melabrak pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Semporna. Serangan dan pengepungan terus dilakukan hingga 8 September namun gagal. Pasukan Indonesia mundur dan tidak penah menginjakkan kaki lagi di bumi Malaysia. Peristiwa ini dikenal dengan "Pengepungan 68 Hari" oleh warga Malaysia.
malaysia mencuri kebudayaan dan wilayah indonesia...

Akhir konfrontasi

Menjelang akhir 1965, Jendral Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya G30S/PKI. Oleh karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda.
Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok, Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian.

Catatan kaki

  1. ^ (en)Witton, Patrick; Mark Elliott (2003). "INTRODUCTION". Indonesia. Lonely Planet. hlm. 944. ISBN 1740591542, 9781740591546. 
  2. ^ (en)Mezerik, Avrahm (1965). "Malaysia Says Bloody Revolution Not Only Way to Independence". Malaysia-Indonesia conflict: creation of Malaysia, Indonesia's confrontation policy, Philippine and Indonesian claims, UN involvement, Indonesian withdrawal from UN, roles of UK, US, USSR, and China. University of Michigan Press, International Review Service. hlm. 122. 
  3. ^ Survei UI: Malaysia Ancaman Utama Keamanan Indonesia
  4. ^ United Nations — Treaty No. 8029 PHILIPPINES, FEDERATION OF MALAYA and INDONESIA (31 JULY 1963)
  5. ^ United Nations list of Non-Self-Governing Territories, North Borneo and Sarawak
  6. ^ Tunku tak mahu pijak Pancasila.
  7. ^ Tunku tak mahu pijak Pancasila.
  8. ^ Artikel Kompas bertajuk "Sukarno, Malaysia, dan PKI" tanggal Sabtu, 29 September 2007

Referensi dan bacaan lebih lanjut

  • (en) Easter, D. Britain and the Confrontation with Indonesia, 1961-1965, (2004, London) I.B.Tauris, ISBN 1-85043-623-1
  • (en) Jones, M. Conflict and Confrontation in South East Asia, 1961-1965: Britain, the United States and the Creation of Malaysia. (2002, Cambridge) Cambridge University Press. ISBN 0-521-80111-7
  • (en) Mackie, J.A.C. Konfrontasia: the Indonesia-Malaysia Dispute 1963-1966'. (1974, Kuala Lumpur) Oxford University Press.
  • (en) Subritzky, J. Confronting Sukarno: British, American, Australian and New Zealand Diplomacy in the Malaysian-Indonesian Confrontation, 1961-1965, (2000, London) Palgrave. ISBN 0-312-22784-1
WIKIPEDIA

    CN-235 ROKAF Beraksi


    04 September 2010 -- CN-235 AU Korsel menyebarkan kembang api saat peringatan Pertempuran Sungai Nakdong saat, sekitar 290 km arah Tenggara ibu kota Seoul, Jumat (3/9). Korsel membeli CN-235 dari PT. DI. (Foto: Getty Images)

    Berita HanKam

    Friday, September 3, 2010

    AS Bantu Perlengkapan Radar RI


    0diggsdigg
    illutrasi (foto: ANTARA)

    Batam (ANTARA News) - Pemerintah Amerika Serikat (AS) memberikan bantuan perlengkapan alat radar kepada Departemen Pertahanan Republik Indonesia (RI) yang akan digunakan Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Batam.

    "Bantuan diberikan kepada Dephan, namun nantinya akan dipergunakan oleh Lanal Batam," kata Komandan Gugus Keamanan Laut Armada Barat Laksamana Pertama Ade Supandi di Batam, Senin.

    Ia mengatakan, bantuan yang akan diberikan di Markas Komando Lanal Batam, pada Selasa (29/6) itu berupa berupa integrated maritime system.

    Sistem yang diberikan pemerintah ASitu, kata dia, terdiri dari beberapa unit, diantaranya radar.

    Radar akan dipasang untuk memantau dan mengawal keamanan Selat Malaka, katanya.

    "Bantuan akan diterima Irjen Dephan, lalu diserahkan kembali untuk dipergunakan Lanal Batam," katanya menambahkan.

    Sumber: ANTARA

    Inggris Dukung Diplomasi Damai RI-Malaysia


    0diggsdigg

    VIVAnews - Ketegangan yang meningkat antara Indonesia dan Malaysia menimbulkan beragam wacana di masyarakat. Di antaranya adalah peran penting Inggris sebagai sekutu suatu aliansi pertahanan dengan Malaysia jikalau terjadi skenario paling buruk, yaitu perang.

    Jika Indonesia berperang dengan Malaysia, maka Malaysia yang merupakan anggota Five Power Defence Arrangements (FPDA) akan mendapat bantuan dari anggota lainnya, yaitu Singapura, Selandia Baru, Australia, dan Inggris. Dibentuk pada 1971, para peserta FPDA akan bekerja sama satu sama lain bila ada agresi atau ancaman terhadap Malaysia atau Singapura.

    Muncul spekulasi, jika Inggris yang merupakan anggota pakta pertahanan Atlantik utara (NATO) ikut berperang melawan Indonesia, maka anggota NATO lainnya akan ikut mendukung Inggris. Maka makin runyamlah Indonesia dikeroyok banyak negara.

    Namun, Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Martin Hatfull, menampik spekulasi itu. Dia mengatakan tidak ingin berandai-andai dan menolak untuk berkomentar ketika ditanya mengenai dukungan Inggris jika Malaysia berperang dengan Indonesia.

    Menurut Hatfull, Malaysia dan Indonesia adalah dua mitra penting bagi Inggris, dan yang utama dari itu semua adalah tetap menjalin hubungan baik.

    “Walaupun Inggris mempunyai hubungan yang kuat dengan negara-negara persemakmuran, namun saya menegaskan bahwa Inggris mempunyai kepentingan yang besar dalam menjaga hubungan yang damai dan stabil,” ujar Hatfull yang ditemui di kediamannya di Jakarta, Kamis, 2 September 2010.

    Hatfull mengatakan bahwa Inggris sebagai anggota pakta pertahanan NATO dan anggota tetap Dewan Keamanan PBB tetap mengedepankan dialog dalam mengatasi permasalahan. Dia yakin permasalahan antara kedua negara dapat diselesaikan dengan jalan diplomatis .

    “Kami akan mendukung setiap solusi yang diplomatis dan damai. Inggris jelas akan akan ikut andil dalam upaya menciptakan keadaan yang aman dan stabil,” jelasnya.

    Menanggapi usaha pemerintah dalam menyelesaikan masalah, Hatfull yakin betul bahwa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dapat menyelesaikan ketegangan dengan negara tetangga dengan tangan dingin tanpa perlu bersitegang.

    “Saya yakin setiap pemerintahan yang baik akan dapat pula menyelesaikan permasalahan dengan baik,” ujar Hatfull.

    Sumber: VIVA NEWS

    Kapal Selam Nuklir AS Berlabuh di Jepang


    0diggsdigg
    Kapal Selam Nuklir USS Hawaii(Foto:/honolulunavyleague.org)

    TRIBUNNEWS.COM, TOKYO --- Kapal selam bertenaga nuklir USS Hawaii akhirnya berlabuh di Pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat, Yokosuka, Jepang.

    USS Hawaii merupakan salah satu kapal selam AS yang patut diperhitungkan karena mampu membawa rudal misil Tomahawk serta kemampuan operasi penyerangan ke darat.

    Demikian dikatakan sumber terpercaya AL AS di Tokyo, Jepang, Jumat (3/9/2010).

    Sumber AL AS yang tidak ingin diidentifikasi itu mengatakan kedatangan kapal selam USS Hawaii ke Jepang bertujuan mengisi logistik dan mengistirahatkan para awak yang lelah usai menjalankan perjalanan cukup jauh.

    Selanjutnya, kapal selam kelas Virginia itu akan menjalankan misi selama enam bulan di perairan benua Asia dibawah komando satuan gugus Armada AS Ketujuh, tanpa merinci tugasnya.

    "USS Hawaii bertolak dari pelabuhan Pearl Harbor sebulan lalu guna menjalankan misi di perairan benua Asia," kata nara sumber tersebut. Beberapa pengamat mengatakan sejak diluncurkan 17 Juni 2006 silam.

    USS Hawai merupakan salah satu kapal selam AS yang patut diperhitungkan karena mampu membawa rudal misil Tomahawk dan memiliki kemampuan operasi spesial penyerangan ke darat.

    Rudal Tomahawk

    Tabung Rudal Tomahawk

    Dengan kehadirannya maka Armada Ketujuh telah menambah kekuatan AL di wilayah cukup rawan, berbatas dengan Korea Utara dan Cina.

    Sumber: TRIBUN

    Pentagon Bomber Evolution Underway

    X-wing bomber concept (image : Josef Gatial)
    The latest analysis of future long-range strike needs by the Pentagon will be submitted in time for its recommendations to be reflected in the Fiscal 2012 budget.
    Few people, least of all advocates of an active, nonvintage bomber fleet, expect exciting news. Service-centric politics, a joint-service construct under which ground forces heavily influence the study and pressure on procurement budgets (from overruns in the Joint Strike Fighter program) will result in modest recommendations.
    The most likely include the endorsement of a long-range, nonnuclear ballistic missile capability, although the time­scale and budget remain uncertain. The conventional prompt global strike (CPGS) concept is a favorite of Marine Corps Gen. James Cartwright, vice chairman of the Joint Chiefs.
    Expect some backing but little money for two other concepts: a joint-service, long-range cruise missile, launched from Virginia-class submarines and B-52s, and the Navy’s Unmanned Combat Air Vehicle (UCAV-N), which may be termed a means of extending the range of a carrier air group. Both systems may be linked to another joint-service study defining a future “air-sea battle” and focused on matching China’s growing power in the Western Pacific.
    As for a future USAF bomber, conventional wisdom—i.e., views acceptable to Cartwright and Defense Secretary Robert Gates—is that the idea merits study, over and above several dozen studies carried out in the past decade. In June, Lt. Gen. Philip Breedlove, Air Force deputy chief of staff for operations, plans and requirements, was quoted as saying the word “bomber” can no longer be spoken in the Pentagon and requirements “trickling down from the highest levels” call for a much smaller aircraft. Some sources believe Cartwright is pushing the idea of a USAF variant of UCAV-N.
    Air Force Chief of Staff Gen. Norton Schwartz and Secretary Michael Donley have not taken up the cause of a new bomber. The only four-star to support the bomber has been Strategic Command leader Gen. Kevin Chilton.
    With little high-level support, bomber advocates are doing what they have done before: changing the name to “reconnaissance-strike.” Lt. Gen. David Deptula, in his last press briefing before retirement, reiterated his view that intelligence, surveillance and reconnaissance (ISR) and attack missions are no longer separate. A penetrating ISR platform that cannot be armed makes little sense.
    Industry and service studies of a new ISR and strike platform appear to be converging, driven by technological developments, likely operational requirements and fiscal realism.

    Technologically, one factor that has arisen in the past few years is the successful demonstration of extremely low-observable (ELO) technology, with wideband, all-aspect signature reductions of -40 to -50 dB. or more, under one or more covert test programs. One step in this process may have been Boeing’s Bird of Prey demonstrator, with a radar cross section (RCS) so small that visual signatures became dominant. A consultant on that project was stealth pioneer Denys Overholser, who has been involved with projects envisioning RCS levels to -70 dB.—the size of a mosquito.
    ELO mandates an all-wing or blended-wing body and tailless, subsonic configuration with buried engines. Advances in the computational analysis of the complicated airflows over such shapes improve aerodynamic efficiency and permit simpler inlet and exhaust systems, putting unrefueled ranges of 5,000 nm. within reach for a “demi-B-2”-sized aircraft. Northrop Grumman mentions an unrefueled range of 5,600 nm. for UCAV-N, with new engines based on advanced commercial cores.
    The demonstration of reliable, long-endurance, autonomous operations is important. Many bomber advocates agree that a new ISR/strike aircraft should be optionally piloted. If it acquires a nuclear mission, a crew is likely to be mandatory, and crewing would ease mixed-use airspace concerns. On the other hand, the aircraft would be inherently capable of operations beyond human endurance, and an unmanned mode could avoid sending crews beyond the reach of search-and-rescue assets.

    Northrop Grumman concepts for an advanced unmanned ISR/strike system list a range of autonomous functions—threat awareness and avoidance, electronic and lethal countermeasures, and cooperative defense. Onboard sensor fusion and target recognition would be combined with the ability to match imagery with terrain, passing high-grade target information to other assets.

    Bomber advocates are monitoring laser weapons in the 100-kw.-class, considered adequate to kill an incoming missile. Combined with ELO, this could give a bomber the ability to survive against current and projected threats.
    A survivable aircraft with a large and diverse payload has advantages. It can prosecute targets of uncertain location, and its range is a hedge against antiaccess and area-denial strategies. Unlike the smaller UCAV, it carries a mix of weapons.

    The biggest challenge to the bomber is price. Procurement cost in the $500-million range is likely, equivalent to 4-5 JSFs, but carrying 4-5 times the warload five times farther. The total investment in a force of 100 new bombers would be about the same as the cost of replacing Trident submarines. But, as enthusiasts suggest, the bombers would deliver similar or greater longevity and more flexibility. (/Bill Sweetman)


    (Aviation Week)

    Russia to decide on French warship purchase by yearend


    Topic: Russia's purchase of French Mistral-class warship

    Russia to decide on French warship purchase by yearend
    Russia to decide on French warship purchase by yearend
    19:21 03/09/2010
    © RIA Novosti. Alexei Danichev
    Russia will make a final decision on whether to buy a French Mistral-class amphibious assault ship by the end of the year, the Russian ambassador to France said on Friday.
    Russia is holding talks with France on the purchase of Mistral-class warships on a 2+2 scheme whereby Russia will buy one or two French-built Mistrals and build another two under license at home.
    "Very serious negotiations have been ongoing since March and we need to decide whether or not to buy [them]," Alexander Orlov said.
    He said under Russian laws, "any such purchases are to be made through a tender," adding that France had fairly good chances to win it.
    "That is, of course, if they make a more interesting offer," he said.
    The envoy said the final decision "will be made by a special commission."
    Russian Defense Minister Serdyukov said on August 20 that the ministry had announced an international tender for the construction of two amphibious assault ships and that the results of the tender would be announced before the end of the year.
    BREST (France), September 3 (RIA Novosti)
    RIA NOVOSTI

    BERITA POLULER