Pages

Friday, September 3, 2010

Putin: Habis Sudah Kami Dikerjain Amerika

Moskow, IRIB News-Perdana Menteri Rusia, Vladimir Putin seraya menyatakan bahwa hubungan antara Moskow dan Washington memiliki banyak kendala menandaskan, Gedung Putih dengan berbagai cara berusaha menipu kami. Putin dalam sebuah pidatonya menuding Barat melakukan penipuan dalam proses normalisasi hubungan dengan Moskow. Demikian dilaporkan INN mengutip Global Research.
Dalam wawancaranya dengan Koran Commersant Daily, Putin menandaskan, apa yang ia sampaikan dalam Konferensi Keamanan Berlin 2007 yang disebut banyak politikus Barat sebagai "Pengumuman Perang Dingin Baru" hingga saat ini masih berlaku.
Menurut Putin,Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) sebelumnya berjanji tidak akan meluaskan kekuasaannya ke Eropa Timur. Ia mengatakan, bagaimana nasib janji NATO? Saya telah bertanya kepada mereka, namun NATO tidak memberikan jawaban. "Mereka telah menipu kami dengan cara yang paling keji," demikian tegas Putin.
Seraya mengingatkan bahwa hubungan Moskow dan Washington memiliki banyak masalah, Putin menambahkan, "Baru saja kami mencapai kesepakatan terkait pembatalan penempatan sistem anti rudal AS di Polandia, mendadak tersiar berita bahwa Washington akan menempatkan sistem ini di negara Eropa lainnya."
Perdana menteri Rusia menandaskan, meski Presiden Amerika, Barack Obama berniat memulihkan hubungannya dengan Rusia, namun harus dilihat apakah mereka dalam praktiknya melakukan hal tersebut? (IRIB/INN/MF/SL)

IRIB

Sekalipun Sakit Hati, Amerika Masih Membutuhkan Turki

Michael Mullen, Kepala Staf Gabungan Militer Amerika Jum'at hari ini (03/9) melakukan kunjungan ke Turki. Lawatan ini diberitakan oleh CNN Turki dan menyebutkan bahwa Michael Mullen dalam lawatan tersebut melakukan pertemuan dengan para pejabat Turki guna melakukan perundingan. Kedua pihak akan membicarakan soal pemindahan pasukan dan persenjataan militer Amerika dari Irak melewati teritorial Turki. Sementara itu, baru-baru ini pemerintah Turki menyatakan bahwa perundingan soal pemindahan pasukan Amerika dan perlengkapan militer mereka dari Irak melewati Turki terus berlanjut.
Kunjungan Mullen ini dilakukan saat hubungan Ankara-Washington mengalami ketegangan. Semuanya bermula ketika Dewan Keamanan PBB menggelar voting terkait sanksi terhadap Iran. Dalam voting itu Turki menyatakan menolak diberlakukannya sanksi terhadap Iran. Amerika kontan menyatakan akan meninjau kembali hubungannya dengan Turki.
Sekaitan dengan hal ini, surat kabar Israel Yediot Ahoronoth menulis, para senator dari kubu Republik mengritik hubungan Amerika dengan Turki pasca dukungan negara itu terhadap program nuklir sipil Iran. Ketidaksukaan ini semakin memuncak pasca munculnya friksi yang lebar antara Turki dan Israel akibat serangan brutal militer Zionis Israel terhadap konvoi kapal bantuan kemanusiaan untuk Gaza.
Akhir bulan lalu, surat kabar Financial Times menulis, Barack Obama telah mengeluarkan peringatan kepada Turki agar sedikit mengendorkan sikapnya terhadap Israel. Bila hal itu tidak dilakukan, Washington akan mengakhiri kerjasama militer dengan negara ini.
Sesuai dengan berita yang dilansir Kantor Berita Turki Anatoli menyebutkan, sebuah delegasi Turki yang dipimpin oleh Deputi Menteri Luar Negeri Turki baru-baru ini melawat AS. Dalam kunjungan itu delegasi Turki berusaha meyakinkan Washington bahwa ketegangan yang terjadi dengan Israel tidak akan mempengaruhi hubungan persahabatan Turki-AS. Koran Zaman juga menyebut lawatan itu untuk menepis kesalahpahaman yang muncul dalam hubungan dengan Zionis Israel dalam beberapa bulan terakhir.
Namun demikian, televisi Perancis secara transparan menyatakan, Amerika tidak akan membiarkan Turki tersiksa. Karena bagaimanapun juga Turki memiliki peran penting di Timur Tengah. Tapi tampaknya Amerika sendiri membutuhkan Turki di Irak, termasuk soal penarikan mundur pasukannya dari negeri itu yang harus melewati Turki. Masalah ini tentu saja menjadi kendala tersendiri bagi AS dan Washington harus serius memikirkan peninjauan kembali hubungannya dengan Turki. (IRIB/SL/MF)
IRIB

CIA: Jika Israel-Iran Perang, Kepentingan AS Terancam!‎

Kepala Staf Angkatan Bersenjata Amerika Serikat Michael Mullen menyatakan ‎bahwa masalah utama yang dihadapi AS saat ini bukan Iran, tapi lonjakan utang ‎negara dan carut-marut ekonomi dalam negeri.‎ Situs Antiwar melaporkan, Mullen dalam statemennya yang disampaikan di Detroit ‎menyebut ancaman terbesar bagi keamanan nasional AS adalah utang. ‎Ditegaskannya, kebutuhan militer berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi.‎
Mereaksi statemen Presiden AS, Barack Obama yang mengklaim pajak sebesar ‎‎600 milyar dolar akan menutupi utang tahun 2012, Mullen mengatakan, dana ini ‎hanya cukup untuk menutupi anggaran setahun Pentagon.‎
Selama perang tujuh tahun di Irak, Washington telah mengucurkan dana lebih dari ‎satu triliun dolar. Baru-baru ini koran Financial Times dalam laporannya menulis, ‎warga AS mengkhawatirkan terulangnya kembali krisis ekonomi, dan mereka lebih ‎memilih mendepositokan uangnya di bank dari pada untuk konsumsi. Federal ‎Reserve memprediksi memburuknya kondisi ekonomi di Negeri Paman Sam itu. ‎
Di saat Kepala Staf Angkatan Bersenjata AS menegaskan Iran bukan ancaman ‎utama negara ini, situs rezim Zionis Israel, Debkafile menulis, Obama tahu ‎kekuatan militer Iran tidak bisa dianggap remeh dan kini tidak ada cara lain untuk ‎menghalangi kemajuan program nuklir sipil Tehran.‎
Bross Riddle, orang terdekat Obama di Badan Intelejen AS (CIA) mengakui bahwa ‎opsi menyerang Iran berarti bencana bagi AS. Karena kepentingan AS secara ‎langsung akan terancam, jika Israel dan Iran berperang.(IRIB/PH/SL) ‎

IRIB

Perundingan Washington dalam Pandangan Ahmadinejad dan Obama

Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad pada Jumat mengatakan rakyat Timur Tengah ‎‎"mampu menyingkirkan rezim Zionis dari forum internasional".

‎"Jika para pemimpin di kawasan itu tak memiliki keberanian, rakyat kawasan itu ‎mampu menyingkirkan rezim itu dari forum dunia," kata Ahmadinejad dalam ‎pidatonya pada Hari Solidaritas Palestina di Teheran sementara massa berteriak ‎‎"Bunuh Amerika !Bunuh Israel!."

Ahmadinejad mengatakan perundingan perdamaian langsung yang dilakukan ‎Presiden Palestina Mahmud Abbas yang didukung Barat dengan Israel ‎diselenggarakan di Washington Kamis setelah 20 bulan macet terancam gagal.

‎"Apa yang mereka ingin rundingkan?" kata Presiden Iran itu tentang pemimpin ‎Palestina dikutip oleh AFP.

‎"Siapa yag memberikan hak kepada mereka untuk menjual tanah-tanah Palestina? ‎Rakyat Palestina dan rakyat kawasan itu tidak akan mengizinkan mereka menjual ‎walaupun seinci tanah Palestina kepada musuh itu."

‎"Perundingan-perundingan itu gagal dan menemui ajal."

Iran menentang keras perundingan perdamaian baru itu dan memberikan ‎dukungan kuat pada gerakan Hamas yang menguasai Gaza dan melancarkan dua ‎serangan terhadap para pemukim Israel di Tepi Barat yang diduduki menjelang ‎dimulainya perundingan itu, menewaskan empat orang dan mencederai dua ‎lainnya. (Antara)‎
‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ Sementara itu, di Washington Barack Obama, Presiden Amerika menyatakan ‎bahwa target perundingan damai kali ini adalah terbentuknya dua negara, yakni ‎Palestina dan Israel. Menurut dia, selama beberapa tahun terakhir pemerintah ‎Palestina dan Israel sebenarnya sudah membangun langkah penting untuk ‎membentuk kepercayaan.

‎"Meski terbentur banyak halangan, kami, pemerintah AS beserta juru runding lain, ‎tidak pernah putus asa akan negosiasi damai antara Palestina dan Israel," kata ‎Obama saat berpidato kemarin. Selain itu, presiden berkulit hitam pertama AS ‎tersebut mengucapkan terima kasih kepada para juru runding. Termasuk, Menlu ‎AS Hillary Clinton dan George Mitchell, utusan khusus Obama untuk perdamaian ‎Timur Tengah.

‎"Tujuan negosiasi itu amat jelas. Yaitu, perundingan langsung antara Palestina dan ‎Israel. Pertemuan tersebut bermaksud menentukan status final isu-isu yang ‎menjadi halangan dalam perundingan," lanjut Obama.

Target lain dalam negosiasi itu, tutur dia, adalah jaminan keamanan warga ‎Palestina dan Israel. Dia juga menyebutkan pentingnya pendudukan Israel yang ‎dimulai pada 1967 serta memastikan terbentuknya negara Palestina yang ‎merdeka, demokratis, dan aman. Obama berharap negara Palestina tersebut nanti ‎bisa berdampingan dengan Israel.

Selain itu, dia memuji Abbas dan Netanyahu sebagai tokoh yang menghendaki ‎perdamaian. Di mata dia, dua pemimpin tersebut berkomitmen menyelesaikan ‎perjanjian perdamaian dalam setahun. "Amerika Serikat akan terus mendukung ‎penuh usaha itu. AS bakal menjadi partisipan yang aktif dan terus menyokong ‎upaya negosiasi damai tersebut," jelasnya.

Obama pun mengimbau para pemimpin Timur Tengah tidak menyia-nyiakan ‎peluang perdamaian itu. "Kesempatan tersebut mungkin tidak segera muncul lagi," ‎ujar Obama seraya menjanjikan dukungan AS untuk perundingan baru. Namun, dia ‎juga mengingatkan mereka akan adanya ekstremis dan rejectionist (yang menolak ‎damai). "Mereka tidak mengupayakan perdamaian, melainkan mencari ‎kehancuran," paparnya.

Menjelang makan malam dengan para pemimpin negara Arab pada Rabu waktu ‎Washington (1/9), Netanyahu menggambarkan Abbas sebagai mitra dalam ‎perdamaian. Karena itu, dia tidak akan membiarkan serangan terbaru menghalangi ‎jalur menuju perdamaian.

Sementara itu, Abbas mengutuk serangan terhadap warga Israel dan meminta ‎pertumpahan darah diakhiri. Dia juga menyerukan pembekuan pembangunan ‎permukiman Yahudi di Tepi Barat. Selain itu, terang dia, kini tiba waktunya ‎mengakhiri pendudukan Israel atas wilayah Palestina yang mulai berlangsung pada ‎‎1967.

‎"Kami berbicara secara terbuka, produktif, dan serius seputar pengaturan ‎keamanan," ucap Netanyahu kepada pers setelah pidato Obama. Dua pemimpin ‎negara Arab itu juga mengutuk serangan yang menewaskan empat warga Israel di ‎Tepi Barat Rabu lalu.

Sebelum perundingan dimulai, Obama berbincang dengan empat pemimpin negara ‎tersebut. Dia mengklaim perundingan langsung antara Palestina dan Israel bisa ‎mengakhiri pendudukan Israel sejak 1967.

Dalam perang enam hari pada 1967, Israel menduduki Tepi Barat, termasuk Timur ‎Al Quds (Yerusalem), Dataran Tinggi Golan di Syria, Semenanjung Sinai di Mesir, ‎dan Jalur Gaza.

‎"Tujuan perundingan jelas. Negosiasi bertujuan menyelesaikan semua masalah," ‎tegas Obama. (Jawapos)‎


IRIB

Ahmadinejad: Hari Quds Sedunia Untuk Membebaskan Al-Quds

Partisipasi luas bangsa Iran dalam aksi pawai akbar memperingati Hari Quds Sedunia direflesikan secara luas juga oleh media-media asing. Jaringan-jaringan televisi penting dunia, termasuk BBC, CNN dan Aljazeera dalam pelbagai acara beritanya menayangkan partisipasi luas dan kompak bangsa Iran. Media-media ini juga tidak lupa menayangkan isi yel-yel yang diteriakkan para peserta pawai di seluruh penjuru negeri. Pawai akbar Hari Quds Sedunia tahun ini diadakan berbarengan dengan penyelenggaraan putaran pertama perundingan ‘damai' antara Otorita Ramallah dan rezim Zionis Israel setelah terhenti selama dua tahun. Dalam perundingan yang diadakan di Washington ini, Barack Obama menjadi tuan rumah bagi kedua pihak.
Mencermati situasi semacam ini, yel-yel warga Iran dalam pawai akbar Jumat ini (03/9) di seluruh Iran dan bahkan di seruluh negara-negara Islam dan dunia berisikan penolakan perundingan ‘damai'. Televisi BBC, CNN dan Aljazeera tidak lupa merefleksikan slogan-slogan umat Islam, khususnya bangsa Iran terkait perundingan ‘damai'.
Bangsa Iran dan umat Islam hari ini dalam pawai akbar Hari Quds Sedunia secara serentak berteriak lantang. Menurut mereka perundingan ‘damai' yang sedang berlangsung di Washington tidak akan pernah dapat membantu menyelesaikan masalah Palestina. Karena satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Palestina adalah muqawama dan resisteni di hadapan kejahatan rezim penjajah Zionis Israel.
Mahmoud Ahmadinejad, Presiden Republik Islam Iran dalam pawai akbar ini mengatakan, "Bila pawai akbar Hari Quds Sedunia pernah menjadi satu gerakan yang terbatas di Iran saja, tapi kini telah menjelma menjadi sebuah gelombang kemanusiaan yang agung dan global. Tujuan pawai akbar Hari Quds Sedunia pada tahapan pertamanya adalah pembebasan al-Quds."
Ahmadinejad pada hari Rabu (01/9) menilai perundingan ‘damai' antara Palestina dan rezim Zionis Israel tidak akan menghasilkan apa-apa. Seraya menekankan kegagalan perundingan ini, Ahmadinejad menyebut masalah Palestina harus diserahkan kepada bangsa Palestina sendiri untuk menyelesaikannya.
Sekaitan dengan solusi yang diwacanakan Republik Islam Iran untuk menyelesaikan masalah Palestina, Ahmadinejad mengatakan, "Sebagaimana setiap bangsa berhak untuk menentukan nasibnya sendiri, bangsa Palestina juga harus memiliki hak serupa untuk menentukan nasibnya." (IRIB/SL/MF)
IRIB

Ahmadinejad: Rakyat Timur Tengah Mampu Singkirkan Israel

Ahmadinejad: Rakyat Timur Tengah Mampu Singkirkan Israel
Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad. (ANTARA/REUTERS)
Teheran (ANTARA News) - Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad pada Jumat mengatakan rakyat Timur Tengah "mampu menyingkirkan rezim Zionis dari forum internasional".

"Jika para pemimpin di kawasan itu tak memiliki keberanian, rakyat kawasan itu mampu menyingkirkan rezim itu dari forum dunia," kata Ahmadinejad dalam pidatonya pada Hari Solidaritas Palestina di Teheran sementara massa berteriak "Bunuh Amerika !Bunuh Israel!."

Ahmadinejad mengatakan perundingan perdamaian langsung yang dilakukan Presiden Palestina Mahmud Abbas yang didukung Barat dengan Israel diselenggarakan di Washington Kamis setelah 20 bulan macet terancam gagal.

"Apa yang mereka ingin rundingkan?" kata Presiden Iran itu tentang pemimpin Palestina dikutip oleh AFP.

"Siapa yag memberikan hak kepada mereka untuk menjual tanah-tanah Palestina? Rakyat Palestina dan rakyat kawasan itu tidak akan mengizinkan mereka menjual walaupun seinci tanah Palestina kepada musuh itu."

"Perundingan-perundingan itu gagal dan menemui ajal."

Iran menentang keras perundingan perdamaian baru itu dan memberikan dukungan kuat pada gerakan Hamas yang menguasai Gaza dan melancarkan dua serangan terhadap para pemukim Israel di Tepi Barat yang diduduki menjelang dimulainya perundingan itu, menewaskan empat orang dan mencederai dua lainnya.


ANTARA

Pengamat: Sengketa Jangan ke Mahkamah Internasional

Yogyakarta (ANTARA News) - Pengamat hubungan internasional dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Fatkurrohman menyarankan sengketa perbatasan antara Indonesia dan Malaysia tidak dibawa ke Mahkamah Internasional, melainkan cukup diselesaikan melalui diplomasi.

"Sengketa perbatasan antara Indonesia dan Malaysia tidak perlu dibawa ke Mahkamah Internasional, sebisa mungkin diselesaikan melalui diplomasi kedua negara," katanya, di Yogyakarta, Jumat.

Untuk itu, menurut dia, Indonesia harus mempersiapkan diri sebaik mungkin guna melakukan diplomasi, dengan mempelajari konvensi-konvensi internasional, mendalami pengetahuan tentang peta wilayah Republik Indonesia, serta tetap berpegang pada `The United Nations Convention on the Law of the Sea` (UNCLOS).

"Akan sangat riskan jika kita membawa permasalahan perbatasan ke Mahkamah Internasional, karena akan menimbulkan banyak risiko buruk bagi Indonesia," katanya.

Ia mengatakan kalau sampai gagal memenangkan perundingan tersebut, Indonesia akan semakin dipandang remeh oleh Malaysia, karena sebelumnya pernah kalah pada saat perundingan di Mahkamah Internasional dalam memperebutkan Pulau Sipadan dan Ligitan.

"Sedangkan bagi Malaysia, kemenangan klaim atas Pulau Sipadan dan Ligitan akan menjadi modal tersendiri bagi mereka jika kasus sengketa perbatasan lainnya diajukan ke Mahkamah Internasional," katanya.

Fatkurrohman mengatakan jika sampai berunding di Mahkamah Internasional, tentu Malaysia akan merasa di atas angin dan sangat percaya diri menghadapi Indonesia yang pernah dikalahkan pada sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan.

"Mahkamah Internasional sering menghasilkan keputusan-keputusan yang mengejutkan terkait penyelesaian sengketa wilayah," katanya.

Keputusan Mahkamah Internasional menurut dia bersifat mutlak, artinya pihak yang kalah tidak dapat mengganggu gugat dan mengajukan banding atas keputusan itu.

"Jika maju ke Mahkamah Internasional, Indonesia juga harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk menyewa pengacara-pengacara internasional, terlebih lagi perundingan di Mahkamah Internasional akan memakan waktu lama," katanya.

Saat ini Indonesia dan Malaysia masih belum mencapai kesepakatan terkait batas wilayah kedua negara di segmen Selat Malaka bagian utara, segmen Selat Malaka bagian selatan, segmen Laut China Selatan, dan segmen Laut Sulawesi.(*)
antara

BERITA POLULER