Gambar dibawah adalah ilustrasi jet tempur F15 Id khusus untuk Indonesia yang diterbitkan Boeing Company AS seminggu yang lalu. Ini adalah literasi marketing komunikasi digital sebagai bagian dari upaya percepatan proses pengadaan alutsista canggih dan strategis. Untuk apa sih Indonesia melakukan pengadaan berbagai alutsista strategis. Jawabannya, demi marwah, martabat dan harga diri NKRI serta untuk memperkokoh kekuatan. Sebagai informasi Indonesia akan membeli 24 unit jet tempur canggih, twin engine multi role ini. Alhamdulillah.
Tuesday, August 20, 2024
Marwah Republik Semakin Berkibar
Monday, August 19, 2024
PT Pindad yang Pertama di Dunia Ciptakan Senjata Pelumpuh Senyap SPS-1 Anti Drone Bisa Hancurkan UAV Dengan 2 Cara
Penggunaan Unmanned Aerial Vehicle (UAV) alias drone baik untuk keperluan militer maupun sipil terus meningkat setiap harinya yang bisa memabawa manfaat bisa juga menjadi ancaman. PT Pindad perusahaan yang selama ini bergerak di bidang alat pertahanan rupanya cukup menyadari akan perkembangan penggunaan drone yang semakin meningkat.
Alih-alih ikut membuat drone, PT
Pindad justru membuat gebrakan dengan membuat senjata anti UAV. Meski di bidang
pertahanan, militer Indonesia, khususnya TNI AL memiliki cita-cita untuk
memiliki skadron Unmanned Aerial Vehicle (UAV) alias drone untuk melindungi
NKRI. Media asing bahkan ikut penasaran dengan rencana pembentukan skadron UAV
oleh TNI AL Indonesia. Hal ini seperti dikutip Zonajakarta.com dari artikel The
Defense Post edisi 30 Oktober 2023 yang berjudul "Indonesia Incar Skuadron
Drone Buatan Dalam Negeri".
"Militer Indonesia telah
mengumumkan niatnya untuk membangun skuadron drone buatan dalam negeri untuk
meningkatkan kemampuan pengawasan dan pertahanan udaranya," jelas media
berbahasa Inggris tersebut. The Defence Post kemudian membongkar investasi
drone yang sudah dilakukan Indonesia. "Awal tahun ini, Kementerian
Pertahanan Indonesia mengumumkan bahwa mereka membeli selusin drone militer
dari Turki dengan nilai total $300 juta.
Kontrak tersebut juga mencakup
penyediaan pelatihan dan simulator penerbangan, yang diharapkan selesai pada
November 2025. Meskipun jenis drone spesifiknya tidak diungkapkan, beberapa
laporan media menyebutkan itu adalah UAV tempur Anka dari Turkish Aerospace
Industries. Pada tahun 2019, anak perusahaan Boeing, Insitu, juga mengatakan
pihaknya mendapatkan kontrak senilai hampir $48 juta untuk mengirimkan delapan
drone ScanEagle ke Indonesia.
UAV portabel dengan ketinggian
rendah ini menawarkan ketahanan penerbangan lebih dari 20 jam dan dapat
mendukung operasi intelijen, pengintaian, dan pengawasan di medan perang,"
jelas The Defence Post. Amerika Serikat (AS) secara sukarela memberikah hibah
unmanned aerial vehicles (UAV) alias Drone Boeing Insitu ScanEagle kepada TNI
AL Indonesia pada 2021 lalu.
Rencana besar TNI AL Indonesia
untuk membentuk skadron UAV diumumkan TNI AL lewat unggahan akun Instagram
@tni_angkatan_laut pada 26 Oktober 2023 silam. "'Saat ini TNI AL telah
memiliki beberapa Unmanned Aerial Vehicle (UAV) baik buatan luar negeri maupun
buatan sendiri, kedepan tentu saja kita akan mengembangkan skuadron UAV dan
semua yang terkait dengan peralatan nirawak'.
Hal tersebut dikatakan oleh
Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI Muhammad Ali, sesaat setelah
memimpin pelaksanaan serah terima tiga jabatan strategis di TNI AL, Kamis
(26/10), di Mabesal Cilangkap, Jakarta.
Lebih lanjut menurut Kasal, dengan kemajuan peperangan saat ini, kita dapat melihat bagaimana drone sangat efektif untuk digunakan dalam peperangan saat ini, dan Pusat Penerbangan Angkatan Laut (Puspenerbal) harus menguasai tantangan tersebut.
Laksamana TNI Muhammad Ali juga menekankan dalam mencetak Sumber Daya Manusia (SDM) pengawak TNI AL yang kompeten dan berkualitas dikaitkan dengan kemajuan teknologi, maka dalam pendidikan TNI AL akan ditingkatkan bukan saja teori tapi penguasaan teknologi informasi dan teknologi kesenjataan," jelas akun Instagram @tni_angkatan_laut kala itu
Tak cuma menguji penggunaan dan melakukan pengadaan drone, Indonesia rupanya juga menyiapkan alutsista anti drone lewat PT Pindad. PT Pindad memperkenalkan produk inovasi terbaru dalam mengembangkan senjata anti-drone buatan dalam negeri yang diberi nama SPS-1 (Senjata Pelumpuh Senyap seri 1) dan kendaraan Maung MV3 Mobile Jammer pada 17 Agustus 2024 di Ibu Kota Nusantara (IKN).
dari rilis resmi Pindad, senjata SPS-1 dan Maung MV3 Mobile Jammer ini turut berpartisipasi dalam mendukung pengamanan upacara HUT ke-79 RI di IKN yang dihadiri oleh Presiden RI Joko Widodo dan Presiden terpilih RI, Prabowo Subianto.
PT Pindad yang Pertama di Dunia Ciptakan Senjata Pelumpuh Senyap SPS-1 Anti Drone Bisa Hancurkan UAV Dengan 2 Cara. Direktur Teknologi dan Pengembangan PT Pindad , Sigit P. Santosa dalam keterangan resmi perusahaan menyampaikan keunggulan dan kontribusi produk inovasi dalam mendukung pertahanan negara. Dengan dukungan teknis dan kesiapan purnajual dalam negeri yang dimiliki, SPS-1 dan Maung MV3 Mobile Jammer mampu memperkuat pertahanan negara dari gangguan dan ancaman drone ilegal, juga sebagai upaya mewujudkan kemandirian alutsista.
Adapun VP Inovasi, Prima Kharisma menjelaskan proses pengembangan dan keunikan sistem pertahanan didalamnya yang terintegrasi. "Produk ini merupakan jenis varian kombinasi yang belum pernah dikembangkan sebelumnya di dunia, bisa dibilang original desain from Indonesia yang proses pengembangan kendaraannya, senjatanya, dan komponen jammer terintegrasi menjadi satu sistem kesatuan pertahanan anti-drone " ujar Prima.
SPS-1 dioperasikan oleh 1 orang personil, andal untuk mobilitas tinggi karena melekat pada senjata. SPS-1 bertenaga baterai sehingga tidak tergantung kepada power system static.
SPS-1 memiliki kemampuan menetralisir ancaman drone dengan 2 metode. PT Pindad yang Pertama di Dunia Ciptakan Senjata Pelumpuh Senyap SPS-1 Anti Drone Bisa Hancurkan UAV Dengan 2 Cara
Pertama soft kill untuk
menonaktifkan drone yang mengancam dengan menutup akses kendali pada jarak 500
m. Kedua hard kill yang bersifat destruktif atau menghancurkan drone pada jarak
150 m.
Senjata ini didesain mengikuti
perkembangan teknologi terkini dan merupakan hasil penyesuaian dengan kebutuhan
pengguna.
zona jakarta
Friday, August 16, 2024
Layakkah Prancis Menjadi Sahabat Sejati Indonesia?
ADA misteri apakah di balik kedatangan
enam unit jet tempur Dassault Rafale di Indonesia? Pertanyaan ini menarik
ditelisik mengingat rombongan alutsista beserta kru yang dibawa Angkatan Udara
dan Dirgantara Prancis (AAE) terbilang besar. Selain Rafale, turut dibawa 5
tanker A330 MRTT, 4 pesawat Airbus A400M, dengan total awak yang menyertai 320
orang. baca juga: Indonesia - Prancis Tingkatkan Kerja Sama Pertahanan Secara
formal, kehadiran alutsista AAE ke Indonesia adalah untuk mampir setelah
mengikuti serangkaian latihan di Pasifik, yakni partisipasi dalam latihan
bersama Northern Edge yang dipimpin Komando Amerika Serikat di Pasifik (Guam,
Palau, Hawaii), dan penerbangan bersama para mitra Amerika, Inggris, Kanada,
Australia, dan Jepang. Sebelum kembali ke negerinya itulah mereka singgah di
Indonesia dan melakukan show of force, dari 24 Juli hingga 1 Agustus. Bisa
jadi, AAE sengaja datang untuk mempertontonkan langsung Rafale kedatangannya
sangat ditunggu publik Tanah Air. Seperti diketahui, Kementerian Pertahanan
(Kemenhan) memborong 42 pesawat canggih tersebut. Hanya saja, 6 pesawat
multirole pesanan batch pertama baru bisa bergabung TNI AU untuk memperkuat
pertahanan dirgantara pada 2026 nanti. Selain dua alasan di atas, bila dilihat
dalam konteks dinamika geopolitik yang berkembang saat ini, kehadiran rombongan
besar AAE tersebut menyampaikan pesan politik yang sangat kuat, bahwa Indonesia
adalah sahabat Prancis. Indonesia merupakan negeri penting untuk menatap dan
membangun masa depan bersama, termasuk dalam bidang pertahanan dan alutsista.
Hubungan Indonesia-Prancis memang tengah menapak level tertinggi. Kemesraan
diplomatik ini ditunjukkan pada pertemuan two plus two yang melibatkan Menlu
Retno Marsudi-Menhan Prabowo Subianto dengan Menlu Prancis Catherine
Colonna-Menhan Prancis Sébastien Lecornu di Prancis pada pekan kemarin.
Pertemuan two plus two dengan Prancis disebut sebagai kali pertama dilakukan
dengan negara Eropa dan yang pertama pula dengan negara B5. Berdasar keterangan
Menlu Retno Marsudi, pertemuan digelar untuk memperkokoh kemitraan strategis
yang telah dibangun kedua negara, dengan landasan prinsip saling menghormati
dan saling menguntungkan. Penguatan kemitraan strategis juga dilakukan untuk
memberi kontribusi positif pada terciptanya dunia yang lebih stabil, aman, dan
damai. Selain kerja sama ekonomi, terutama menyelesaikan perundingan
Indonesia-Europe Union Comprehensive Economic Partnership Agreement, kerja sama
transisi energi dan sejumlah bidang lain, kedua negara juga menjadikan kerja
sama pertahanan sebagai poin utama pembahasan. Kerja sama yang dibangun bukan
sebatas jual beli alutsista, namun juga transfer of technology (ToT), serta
pengembangan dan produksi bersama alutsista. baca juga: Shopee Indonesia
Membawa Produk-Produk UMKM Menembus Prancis Walaupun sudah ada perjanjian hitam
di atas putih, tak dapat dimungkiri skeptisme tentang sejauh mana kekokohan
hubungan Indonesia-Prancis masih muncul. Pertanyaan ini muncul berdasar
sejumlah alasan logis. Pertama, menganggap Prancis menoleh ke Indonesia untuk
meluapkan kekecewaannya setelah Australia mendepaknya dari proyek pembangunan
kapal selam Scorpene, dan kemudian negeri kanguru itu membentuk aliansi AUKUS
bersama Amerika Serikat (AS) dan Inggris, pada 2021.
Kedua, Prancis mendekati Indonesia
dengan orientasi sebagai stepping stone mengamankan kepentingan mereka di Indo
Pasifik untuk mengantisipasi ekskalasi konflik akibat langkah invansif China.
Ketiga, sangat mungkin Prancis hadir di Indonesia untuk menunjukkan posisinya
sebagai kekuatan dunia seperti dipertunjukkan pada kehadirannya di banyak
negara Afrika, sejumlah negara Timur Tengah -seperti Arab Saudi, Uni Emirat
Arab, dan Qatar. Keempat, pendekatan Prancis terhadap Indonesia berorientasi
pragmatisme bisnis semata, yakni untuk jual beli Rafale, Airbus A400M, dan
mengegolkan rencana pembelian Scorpene. Kelima, Prancis merupakan bagian dari
Uni Eropa (UE). Dengan demikian, perilaku politik kolonial yang selalu mau
menang sendiri seperti terjadi pada kasus gugatan minyak kelapa sawit dan
kebijakan hilirisasi nikel akan tetap mewarnai bangunan kemitraan dengan
Indonesia. Ujung dari skeptisme ini adalah, apakah benar Prancis tepat
dijadikan mitra strategis Indonesia? Apakah negeri Napoleon itu layak menjadi
sahabat sejati yang konsisten saling dukung-mendukung dalam segala dinamika
konflik, termasuk saat harus berhadapan dengan AS dan blok barat yang notabene
merupakan teman aliansinya di UE ataupun NATO? Jangan-jangan kemitraan yang
dibangun hanya sebatas pragmatisme semata, sehingga Prancis sangat rawan
berubah sikap dan mencampakkan Indonesia? baca juga: Indonesia Sepakat Borong
42 Jet Tempur Rafale Prancis Jawaban atas pertanyaan tergantung sejumlah
variabel, yakni bagaimana kebijakan politik luar negeri Prancis, termasuk vis a
vis sekutunya di Nato maupun UE; bagaimana kebijakan penjualan alat utama
sistem senjata (alutsista) Prancis ke negara lain, dalam hal ini terkait adanya
pemberlakuan embargo militer; dan sejauh mana track record hubungan yang
terjalin dengan Indonesia selama ini, khususnya dalam bidang pertahanan.
Gaullisme Hubungan diplomatik antar-negara tentu berangkat dari prinsip-prinsip
politik luar negeri masing-masing negara. Berdasar Encyclopaedia Britannica
(2015), dinamika politik luar negeri dipengaruhi pertimbangan domestik,
kebijakan, perilaku negara lain, atau rencana memajukan desain geopolitik
tertentu. Bagi Indonesia, politik luar negeri ditujukan untuk melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi seperti
tertuang dalam Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. Implementasinya dilakukan dengan
prinsip politik luar negeri bebas dan aktif yang diabdikan untuk kepentingan
nasional. baca juga: Spesifikasi Mirage 2000-5, Pesawat Tempur Prancis yang
Dibeli Indonesia Sedangkan dari pihak Prancis, bangunan hubungan politik luar
negerinya tak terlepas dari watak nasionalisme yang kuat, kebanggaan nasional,
kecintaan pada sejarah, dan naluri untuk melestarikan budayanya. Karakter
demikian misalnya diwujudkan dalam keanggotaannya dalam UE. Di komunitas yang
menaungi negara-negara Eropa ini, Prancis menarasikan diri sebagai negara besar
yang berposisi sebagai pendiri, memimpin UE bersama Jerman, dan menjadikannya
sebagai wadah mengaltikurasikan kepentingan nasional.
Watak politik Prancis yang
mengedepankan kebanggaan dan kepentingan nasional tergambar jelas di era
kepemimpinan Charles De Gaulle. Sebagai pendiri PBB dan pemegang mandat anggota
tetap Dewan Keamanan (DK) PBB, pendiri Komunitas Batubara dan Baja Eropa (pendahulu
Uni Eropa), Prancis menunjukkan jati dirinya dengan mencoba memblokade pengaruh
Amerika Serikat (AS) dan Inggris di komunitas Eropa. Selama kepemimpinannya, De
Gaulle mereorientasi kebijakan politik luar negeri Prancis dari pengikut AS
menjadi lebih dekat dengan negara-negara non-blok dan berupaya menempatkan
dirinya di posisi leader, terutama di kawasan Afrika. Langkah tersebut
belakangan menarik minat negara-negar Timur Tengah karena para pemimpin di
wilayah itu merasa bisa secara bebas menjalankan kepentingan nasionalnya tanpa
terikat pada salah satu blok aliansi. De Gaulle berkeinginan kebijakan yang
diusung menjadi landasan bersama membangun hubungan antarbangsa. Kebijakan luar
negeri yang tidak lagi sejalan dengan AS atau sekutu barat lainnya dimanifestasikan
De Gaulle dalam momen krusial seperti menentang langkah ekspansif Israel pada
Palestina dan menggunakan hak veto-nya di DK PBB, serta memihak negara-negara
Arab dalam hampir semua masalah yang dibawa ke badan internasional. Untuk
alutsista, De Gaulle bahkan memberlakukan embargo senjata terhadap negara
Israel, dan di sisi lain kembali menjual persenjataan ke negara-negara Arab.
Dampaknya, Prancis mendapat lonjakan kontrak alutsista dari banyak negara,
terutama dari Timur Tengah. baca juga: Menteri Suharso Ingin Perkuat Kerja Sama
dengan Perancis Jika ditelusuri, ego Prancis secara langsung atau tidak
langsung muncul dari sejarah besar yang mereka ukir. Betapa tidak, negeri
tersebut adalah salah satu negara kolonial dengan wilayah jajahan terluas di
dunia. Penjajahan ini selaras dengan perkembangan kebudayaan mereka, terutama
penggunaan bahasa Prancis. Kondisi tersebut bisa disaksikan di sebagian besar
negara di benua Afrika. Sikap yang kemudian dikonsepsikan sebagai Gaullisme
juga ditunjukkan Jacques Chirac. Indikatornya adalah penolakannya terhadap
serangan ke Irak pada 2003, bersama Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden
China Hu Jintao, dan Kanselir Jerman Gerhard Schröder. Chirac bahkan tampil
sebagai penentang utama perang yang dikomandoi Presiden AS George W. Bush dan
Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair, hingga mengancam akan mem-veto
resolusi di DK PBB yang akan mengizinkan penggunaan kekuatan militer untuk
membersihkan Irak dari dugaan kepemilikan senjata pemusnah massal. Pun kebijakan
Emmanuel Macron. Dia mempertajam hubungannya dengan Arab Saudi dan Uni Emirat
Arab (UEA) dengan fokus tetap pada pembuktian Prancis sebagai kekuatan dunia.
Malahan, Macron aktif mendukung keterlibatan kedua negara dalam perang sipil
Yaman dan tidak menggubris suara sumbang dari organisasi HAM. Prancis juga
menjadi salah satu pemasok senjata penting, seperti kesepakatan Macron dengan
Uni UEA pada 2021 untuk memborong alutsista senilai 16 miliar Euro. Pembelian
di antaranya untuk akusisi 80 pesawat tempur Rafale yang ditingkatkan. Jejak
Kerja Sama Alutsista Sebagai negara berkembang dengan wilayah kepulauan yang
sangat luas dan berada di persilangan jalur utama pelayaran dunia, Indonesia
membutuhkan alutsista mumpuni untuk memastikan terjaminnya pertahanan dan
keamanan. Untuk itulah, pemerintah mencari berbagai jenis alutsista dari
negara-negara produsen utama dunia seperti AS, Rusia, Inggris, Prancis, Turki
dan negara lainnya. Dengan Prancis, Indonesia pada 1960-an tercatat
mendatangkan 275 tank AMX-13. Tank ringan tersebut hingga kini masih aktif
beroperasi setelah mengalami program retrofit. Alutsista terkemuka buatan
Prancis lain yang diakusisi Indonesia adalah rudal strategis Exocet, tepatnya
di tahun 1980-an. Hingga kini TNI AL masih menjadi pengguna rudal tersebut.
Radar yang digunakan TNI AU juga buatan pabrikan Prancis, Thales, yakni radar
Thomson Alutsista asal Prancis lainnya yang menjadi tulang punggung pertahanan
Indonesia adalah meriam Caesar 155 produksi Nexter
Selain jual beli putus,
Indonesia-Prancis juga kerja sama produksi alutsista dalam bentuk tranfer of
knowledge (ToT). Salah produk yang populer adalah panser Anoa 6x6 Pindad yang
mengadopsi panser VAB Prancis. Kerja sama bersifat jangka panjang dan berlangsung
hingga saat ini dengan mengembangkan berbagai varian panser. baca juga:
Kembangkan Geothermal, PLN Pelajari Proyek di Kawasan Padat Penduduk Perancis
Seiring dengan keluarnya UU No 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, kerja
sama dengan skema ToT kian intensif digalakkan. Dalam konteks ini Prancis
menjadi salah satu negara terdepan. Misalnya, Arquus dari Prancis berkolaborasi
dengan Pindad meningkatkan kualitas panser Anoa dan panser kanon Badak 6x6.
Pindad juga menjalin kerja sama dengan Nexter untuk memproduksi amunisi kaliber
besar, dalam hal ini amunisi tank 120 mm. Tak ketinggalan, PT Dahana merangkul
dua perusahaan Prancis, Eurenco dan Roxel, untuk membuat propelan yang
merupakan bahan dasar pembuatan amunisi. Dari catatan sejarah kerja sama alutsista
Indonesia-Prancis, belum tercoreng noda hitam berupa embargo yang merupakan
momok TNI. Sikap Prancis ini berseberangan dengan sekutunya seperti AS dan
Inggris yang kerap menggunakan instrumen embargo untuk membatasi kerja sama
militer, pembelian, dan penggunaan alutsista kepada Indonesia. Bahkan Prancis
konsisten memberi kesempatan kepada Indonesia untuk mengakusisi alutsista
produksinya hingga melakukan kerja sama pengembangan, termasuk untuk teknologi
militer penting seperti amunisi, propelan, hingga radar. Kemitraan Terus
Menguat Hubungan bilateral Indonesia-Prancis resmi berlangsung mulai September
1950. Sejak saat itu, hubungan menunjukkan konsistensi dan tren positif melalui
kerja sama di berbagai sektor dan bentuk. Selanjutnya menginjak 2011, kedua
negara bersepakat meningkatkan hubungan tersebut ke level kemitraan strategis.
Momen penting ini terjadi saat Perdana Menteri François Fillon berkunjung ke
Indonesia pada 30 Juni - 2 Juli. Pada fase awal, kemitraan fokus pada lima
bidang kerja sama, yaitu perdagangan dan investasi, pendidikan, industri
pertahanan, sosial dan budaya atau people-to-people contacts, dan penanganan
dampak perubahan iklim. Kemitraan strategis diperkuat pada Maret 2017, saat
Presiden François Hollande berkunjung ke Jakarta bertemu Presiden Joko Widodo .
Pada kesempatan itu kedua pemimpin bersepakat terus memperluas kerja sama,
khususnya di bidang ekonomi kreatif, pendidikan, maritim, pembangunan kota
berkelanjutan, energi, pertahanan, serta infrastruktur. Khusus untuk kerja sama
pertahanan, sudah menjadi fokus utama sebelum Indonesia-Prancis menjalin
kemitraan strategis disepakati. Pada 1996, kementerian pertahanan kedua negara
meneken memorandum of understanding (MOU) untuk cooperation in equipment,
logistics dan defense industries. Kerja sama ini kemudian ditingkatkan lebih
lanjut melalui penyelenggaraan military bilateral talks antara Mabes TNI
Cilangkap dengan AP French Headquarters untuk menggarap kerja sama bidang
pendidikan, pertukaran informasi, dan forum dialog. baca juga: Kemhan Teken
Kontrak Pengadaan 13 Unit Sistem Radar GCI dari Perancis Hubungan bilateral
Indonesia-Prancis semakin hangat di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo
(Jokowi). Kerja sama pertahanan kedua negara secara kongkrit ditindaklanjuti
dengan lima kerja sama baru yang diteken Menhan Prabowo Subianto dan Menteri
Angkatan Bersenjata Republik Prancis Florence Parly di Jakarta.
Kerja sama dimaksud meliputi kontrak
pembelian pesawat tempur Rafale dari perusahaan penerbangan Dassault Aviation,
MoU kerja sama di bidang riset dan pengembangan kapal selam antara PT PAL
Indonesia (Persero) dan Naval Group, MoU kerja sama program offset dan ToT
antara Dassault dan PT Dirgantara Indonesia (Persero), MoU kerja sama PT Len
Industri (Persero) dengan Thales Group untuk menyediakan radar canggih Ground
Master 400 yang berdaya jangkau 515 km, serta kerja sama pembuatan munisi
kaliber besar antara PT Pindad (Persero) dan Nexter Munition. Tidak cukup
dengan level kerja sama yang telah ada, kedua negara menaikkan kerja sama
pertahanan pada status tertinggi, yang ditandai dengan penandatanganan
Persetujuan Kerja Sama Pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA) pada
28 Juni 2021, oleh Prabowo dengan Florence Parly. Kesepakatan itu diiringi
dengan penguatan kerja sama pertahanan, khususnya untuk pembuatan alutsista.
Menteri Parly menegaskan kesepakatan sebagai bentuk tekad negaranya mendukung secara
aktif program-program strategis besar Indonesia, seperti untuk mengembangkan
industri pertahanan Indonesia. Ia menganggap kontrak pembelian pesawat Rafale
sebagai bukti kuatnya level kemitraan strategis kedua negara, termasuk
memajukan industri pertahanan Indonesia. Pilihan Strategis Dalam politik,
termasuk politik luar negeri, adagium threre is no permanent friend but only
permanent interest tetap menjadi pegangan. Kendati demikian, negara-negara
-termasuk Indonesia- harus tetap mengedepankan pilihan rasional dengan
mempertimbangkan aspek internal-internal tanpa menanggalkan prinsip politik
luar negeri. Termasuk, untuk mencari sahabat dalam mengembangkan bidang
pertahanan, khususnya dalam memperkuat alutsista yang dibutuhkan untuk
pertahanan negara dan membangun kemandirian alutsista. Keputusan yang harus
diambil Indonesia tidaklah mudah, karena masing-masing memiliki konsekuensi.
Negeri ini tidak mungkin bergantung pada AS dan sekutu baratnya yang telah
mencatatkan noda hitam dalam sejarah pertahanan dan militer Indonesia melalui
kebijakan yang diskriminatif, sanksi militer, embargo, serta mental
kolonialisme mereka yang selalu mau menangnya sendiri. Di sisi lain, walaupun
memiliki komitmen sangat tinggi, Indonesia sangat sulit merangkul Rusia karena
ganjalan instrument hukum AS yang disebut CAATSA. Apalagi pasca-pecahnya perang
dengan Ukraina. baca juga: MUI Heran Media Prancis Kok Permasalahkan Suara Azan
di Indonesia Sementara Prancis merupakan negara dengan kemampuan advance di
bidang militer dan negara produsen senjata terbesar ketiga di dunia.
Kapasitasnya tidak lah kalah dengan negara-negara maju lain seperti AS, Rusia,
Inggris, hingga China. Tak kalah pentingnya adalah Prancis memiliki kemandirian
yang kuat untuk memproduksi alutsista. Hal ini dibuktikan dengan penolakan
Prancis bergabung dengan konsorsium Inggris, Jerman, Spanyol membuat pesawat
Eurofighter Typhoon dan memilih mengembangkan Rafale sendiri. Selain Rafale,
alutsista made Prancis yang diakui kapabilitasnya adalah kapal serbu amfibhi
kelas Mistral, Tank Lecrelc, helikopter EC 665 Tiger, meriam Caesar, kapal
selam Scorpene, berbagai jenis kapal perang, hingga rudal Exocet yang sangat
melegenda dan battle proven dalam sejumlah medan laga dunia. Karena itulah,
bekerja sama dengan Prancis merupakan pilihan rasional ekaligus pilihan
strategis. Selain karena penguasaan state of the art teknologi militer, watak
politik Gaullisme lebih menjamin keamanan dan kenyamaaan kerja sama partahanan.
Dukungan Prancis terhadap Saudi Arabia dan UEA terkait konflik Yaman menjadi
bukti kesetiaan Prancis terhadap negara sahabatnya. Tak kalah pentingnya,
dengan ego sebagai negara besar dan orientasi politik luar negeri yang
mengedepankan kepentingan nasional membuat Prancis relatif independen dalam
menghadapi tekanan AS dan sekutu baratnya.
Semenjak membangun hubungan bilateral
dengan Indonesia pada 1950, Prancis juga menunjukkan track record positif dan
komitmen kuat untuk menjaga hubungan yang terbangun dan terus meningkatkan
kerja sama, termasuk mendukung pengadaan alutsista dan membantu Indonesia agar
mampu memproduksi alutsista secara mandiri. DCA yang telah diteken kedua negara
dan pertemuan two plus two menjadi milestone penting Indonesia dan Prancis
untuk menatap masa depan kerja sama pertahanan lebih kuat. Seperti disampaikan
Menhan Prabowo Subianto, melalui pertemuan two plus two ini Presiden Joko
Widodo menghendaki peningkatan kerja sama di bidang pertahanan, termasuk di
dalamnya program ToT dan akuisisi alutsista, berjalan signifikan. Dengan
demikian, kerja sama di bidang pertahanan antar kedua negara bisa berjalan
untuk jangka waktu yang panjang. (*)
By Alex Aji SAPUTRA
Sumber : SINDO NEWS
Korea Setuju Kurangi Porsi Pembayaran RI dalam Proyek Jet Tempur KF-21
Korea Selatan menerima usulan Indonesia untuk mengurangi porsi pembayaran yang signifikan dalam proyek bersama mengembangkan jet tempur baru.
Badan
Program Akuisisi Pertahanan (DAPA), mengatakan pihaknya menyetujui usulan
pemotongan kontribusi Jakarta terhadap proyek KF-21 dari 1,6 triliun won
(Rp18,5 triliun) menjadi 600 miliar won (Rp6,9 triliun), sekitar sepertiga dari
jumlah awal.
"Kami
mempertimbangkan hubungan bilateral antara kedua negara dan faktor-faktor lain
seperti apakah kami akan mampu menutupi lubang keuangan," kata DAPA dalam
sebuah pernyataan pada Jumat (16/8/2024), seperti dikutip Korea Times.
"Setelah
menyelesaikan kesepakatan pembagian biaya (baru) dengan Indonesia, kami akan
berusaha memenuhi harapan publik dengan menyelesaikan proyek tersebut dengan
sukses," tambah badan pengadaan senjata negara Korsel tersebut.
Keputusan
ini muncul di tengah perjuangan Indonesia untuk memenuhi kewajibannya membayar
bagiannya dari proyek tersebut.
Pejabat
DAPA mengatakan manfaat yang akan diperoleh pemerintah Indonesia dari proyek
tersebut, yaitu transfer teknologi, juga akan dikurangi secara proporsional.
Namun, mereka belum memberikan perincian tentang bagaimana mereka akan
melakukannya.
Indonesia
awalnya setuju untuk mendanai 20% dari program senilai 8,1 triliun won, yang
diluncurkan pada tahun 2015 untuk mengembangkan jet tempur supersonik canggih.
Namun,
Indonesia sejauh ini hanya tercatat menyumbang sekitar 400 miliar won. Mengutip
masalah ekonomi yang muncul selama dan setelah pandemi Covid-19, DAPA meminta
pemerintah dan perusahaan peserta di Korea untuk mengurangi tanggung jawab
keuangannya.
Keputusan
untuk menerima permintaan tersebut berarti bahwa peserta Korea, pemerintah
Korea dan Korea Aerospace Industries (KAI), yang awalnya masing-masing
menanggung 60% dan 20% ddari total biaya, sekarang harus menyerap dampak
keuangan tersebut.
Pada
catatan positif, pejabat Korea mengatakan mereka telah menemukan cara untuk
memangkas total biaya proyek menjadi 7,6 triliun won. Ini berarti mitra Korea
harus membayar tambahan 500 miliar won untuk menyelesaikannya pada tahun 2026
sesuai jadwal.
Meskipun pembayaran tertunda, proyek tersebut berjalan sesuai rencana untuk mulai mengirimkan jet tempur canggih tersebut, yang dirancang untuk menggantikan jet F-4 dan F-5 Korea era Perang Dingin, ke Angkatan Udara pada tahun 2026.
Pada
Juli, DAPA mengatakan KAI secara resmi memulai produksi KF-21 di kantor
pusatnya di Sacheon, Provinsi Gyeongsang Selatan.
Pada
bulan sebelumnya, KAI menandatangani perjanjian senilai 1,96 triliun won dengan
DAPA untuk membangun 20 unit KF-21 hingga tahun 2027. Militer Korea berupaya
untuk membangun lebih banyak unit dan mengoperasikan total 120 KF-21 pada tahun
2032. Model produksi pertama dijadwalkan akan dikirimkan ke Angkatan Udara pada
akhir tahun 2026.
Sumber CNBC NEWS
Tuesday, August 6, 2024
F-22 Raptor jet tempur siluman kebanggaan Amerika Serikat (AS) Mendarat di Indonesia ( Bali)
F-22 Raptor jet tempur siluman kebanggaan Amerika Serikat (AS) sudah dihadapi TNI AU pakai F-16 di ajang Pitch Black 2024 di Australia. Di hari keempat latihan AMX Pitch Black 2024, TNI AU Indonesia mendapat pengalaman berharga saat menghadapi F-22 Raptor Amerika Serikat.
Memasuki hari keempat latihan Multinasional Air Maneuver Exercise (AMX) Pitch Black 2024, delegasi TNI AU melaksanakan latihan bersama pesawat tempur generasi kelima F-22 Raptor milik Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF) di Langit Darwin, Northern Territory, Australia, pada Kamis (18/07/2024).
Pada latihan tersebut, dua pesawat tempur F-16 Fighting Falcon milik TNI AU berlatih melaksanakan manuver pertempuran dengan dua F-22 Raptor USAF. F-16 TNI AU Sudah Dekat Tapi Sensornya Tetap Tak Bisa Tangkap F-22 Raptor Amerika Serikat yang dalam 3 Detik Bisa Balik Arah 180 Derajat
Sebelumnya, pada sesi latihan pagi, TNI AU mengerahkan empat pesawat tempur F-16 Fighting Falcon untuk berlatih dengan empat JAS-39 Gripen milik Royal Thai Air Force (RTAF). Latihan tidak hanya berfokus pada penguasaan teknik terbang, tetapi juga mencakup Dissimilar Air Combat Training (DACT) dan Dissimilar Air Combat Manuever (DACM).
Usai melaksanakan latihan, Kapten Pnb Hangga "Rocket" memuji kemampuan manuver F-22 Raptor dalam kondisi pertempuran kecepatan rendah dan pelaksanaan manuver Super High Angle of Attack yang memungkinkan pesawat tersebut berbalik arah 180 derajat dalam waktu kurang dari tiga detik.
Sementara itu, Kapten Pnb Didik "Frigate" mengungkapkan bahwa kemampuan stealth F-22 Raptor terbukti tidak terdeteksi oleh sensor pesawat hingga jarak yang cukup dekat.
Menurutnya, hal ini merupakan kesempatan berharga bagi penerbang TNI AU untuk menambah pengalaman dan pembelajaran di masa yang akan datang. Sebagai bagian terakhir dari fase Force Integration Training (FIT), latihan ini akan memasuki fase Large Force Employment (LFE).TNI Angkatan Udara (TNI AU) dan US Pacific Air Forces (US PACAF) telah menyelesaikan Iron Blade Fighter Interaction Site Survey dan Fighter Logistic Subject Matter Expert Exchange (SMEE) 2024 di Lanud I Gusti Ngurah Rai, Badung dari tanggal 11 hingga 13 Juni 2024.
Site survey dilakukan sebagai persiapan kedatangan enam pesawat F-22 Raptor dari 27th Fighter Squadron, yang akan transit di Indonesia setelah berpartisipasi dalam latihan militer multinasional Pitch Black 24 di Australia pada bulan Agustus mendatang. F-22 Raptor dijadwalkan melaksanakan hot pit refueling di Bali sebelum melanjutkan perjalanan ke Brunei Darussalam. Kunjungan ini menandai momen bersejarah, karena untuk pertama kalinya pesawat F-22 Raptor akan mendarat dan transit di Indonesia.
Selain site survey, kegiatan mencakup Fighter Logistic SMEE yang melibatkan penerbang dan teknisi dari Skadron Udara 3 Lanud Iswahjudi dan Skadron Udara 16 Lanud Roesmin Nurjadin. Para penerbang dan teknisi tersebut mendapatkan pengalaman dan pengetahuan dari personel US PACAF tentang persiapan expeditionary mission dan rapid deployment di daerah operasi. Kini AS pecah telor membawa jet tempur siluman generasi kelima miliknya mendarat ke Indonesia.
Bukan di Jakarta, F-22 Raptor justru dibawa AS ke Indonesia untuk mendarat di Bali.
Empat jet tempur F-22 generasi kelima dari Skuadron Tempur Ekspedisi ke-27, Pangkalan Gabungan Langley-Eustis, Virginia, mendarat di Bandara Internasional Bali pada tanggal 6 Agustus 2024.
dari rilis resmi Kedutaan Besar dan Konsulat AS di Indonesia pada 6 Agustus 2024, pendaratan ini menandai pertama kalinya pesawat generasi kelima AS mendarat di Indonesia.
Kunjungan Angkatan Udara Amerika Serikat, yang direncanakan dengan koordinasi Pemerintah Indonesia, memberikan kesempatan kepada pilot dan tim perawatan untuk meningkatkan kesadaran akan operasi wilayah udara Indonesia dan menguji kemampuan pengisian bahan bakar cepat.
Kedutaan besar AS menyebut pada bulan November 2023, Menteri Pertahanan Austin dan Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto menandatangani Perjanjian Kerja Sama Pertahanan yang bersejarah dan membahas cara-cara untuk memperluas kesempatan pelatihan, meningkatkan pertukaran pendidikan, dan meningkatkan kesadaran domain maritim.
Angkatan Udara Amerika Serikat melakukan pelatihan dan keterlibatan rutin dengan Indonesia untuk lebih mengembangkan kemampuan operasional dan memastikan kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.
zonajakarta
Sunday, August 4, 2024
Keterlibatan Indonesia Tak Kunjung Berlanjut, KF-21 Boramae Mengungguli Rafale dan Eurofighter Typhoon
Korea
Aerospace Industries (KAI) seolah terus meninggalkan Indonesia dalam
pengembangan jet tempur KF-21 Boramae yang didesain mengungguli Rafale. Indonesia
sebenarnya sudah melakukan kontrak dengan KAI untuk melakukan kerja sama
produksi K-21 Boramae.
Indonesia
sepakat memasok patungan sebensar 20 persen dan akan mendapatkan pesawat
beserta transfer teknologi. Namun, dalam perkembangannya, kerja sama ini
mengalami kemacetan karena ada perbedaan persepsi soal pendanaan.
Setelah
itu, KAI seolah meninggalkan Indonesia dan terus mengembangkan pesawat
tersebut. Bahkan, produksi jet tempur Korea itu terus digalakkan untuk memenuhi
permintaan Angkatan Udara Korea Selatan dan permintaan luar negeri.
Sebelumnya,
KF-21 Boramae didesain sebagai jet tempur generasi 4,5, setara jet tempur
Rafale buatan Dassault Aviation. Indonesia baru saja menyetujui untuk
mengakuisisi 42 Rafele dari Prancis. Ternyata, KF-21 Boramae terus dikembangkan
untuk mengungguli Rafale.
Dalam
wawancara dengan surat kabar Korea seperti dikutip defencesecurityasia.com, 4
Agustus 2024, CEO KAI, Kang Goo-young menyatakan, KF-21 akan mengungguli jet
tempur generasi 4,5 seperti Rafale atau Eurofighter Typhoon.
"Mengklasifikasi
KF-21 Boramae sebagai jet tempur generasi ke-4,5 menggarisbawahi kemampuannya.
Kalau diperbandingkan dengan jet tempur seperti Rafale dan Eurofighter Typhoon,
KF-21 lebih superior," kata Kang Goo-young.
"Bahkan,
saya menyatakan bahwa ini (KF-21) adalah jet tempur generasi 4,9, mendekati
kemampuan pesawat generasi 5 dalam hal performa dan kemampuannya,"
tegasnya.
Kang
goo-young menegaskan, kemampua Seksi Radar Jelajah atau Radar Cross Section
(RCS) yang dimiliki KF-21 dikembangkan KAI untuk lebih superior daripada jet
tempur generasi 4,5. Bahkann, kemampuan RCS KF-21 bersaing dengan yang dimiliki
pesawat tempur generasi ke-5.
Maka,
KAI yakin KF-21 Boramae akan lebih baik daripada pesawat semacam F-16, Rafale,
Eurofighter Typhoon, dan F-15. Kang Goo-young memberi catatan, KF-21
deikembangkan dengan Fourth Industrial Revolution Technologies, termasuk
Artificial Intelligence (AI) dan Big Data.
Sehingga,
KF-21 Boramae akan menjadi pesawat tempur modern yang memiliki perangkat
canggih. Dia juga menyebut bahwa pesawat seperti Rafale dan F-16 sebenarnya
hanya pesawat generasi ke-3 yang di-upgrade menjadi pesawat generasi 4,5.
Umur
kedua pesawat itu juga sudah tua dan hanya melakukan upgrading dari tahun ke
tahun. Pesawat F-16 Fighting Falcon dikembangkan Lockheed Martin dan pertama
kali diterbangkan pada 1974, hampir 50 tahun lalu. Sedangkan Rafale
dikembangkan Dassault Aviation dan pertama kali diterbangkan pada 1986 atau 38
tahun lalu.
Sedangkan,
KF-21 Boramae baru pertama kali diterbangkan pada 2022, atau dua tahun lalu. "KF-21
akan berevolusi menjadi pesawat generasi ke-5 dan memiliki potensi untuk
menjadi pesawat tempur generasi ke-6," tegas Kang Goo-young.
Dijelaskan
pula, KF-21 dilengkapi dengan radar Active Electronically Scanne Array (AESA)
dan berbagai sistem serta sensor modern. Kelebihan lain dari KF-21 adalah
biayanya lebih rendah 30 sampai 40 persen dibandingkan pesawat tempur sekelas. KF-21
Boramae melakukan penerbangan pertama pada 2022 dan terus dilakukan berbagai
percobaan hingga terbang selama 2.000 kali.
Selama
itu pula, berbagai ujian dilakukan hingga ditemukan berbagai terobosan yang
diperlukan untuk mendapatkan pesawat tempur KF-21 yang maksimal.H ingga saat
ini, pengembangan KF-21 sudah menacapai 80 persen.
KAI
akan memproduksi kelompok pertama 20 pesawat KF-21 generasi 4,5 untuk Angkatan
Udara Korea Selatan (ROKAF) yang diperkirakan selesai pada 2026. Sebanyak 20
unit KF-21 Block I yang diproduksi merupakan pesawat tempur yang didesain
melakukan misi udara-ke-udara.
Setelah
itu diikuti produksi 20 unit KF-21 Block II yang memiliki kemampuan misi
udara-ke-darat. Meski Indonesia belum bergerak untuk memperbaiki kontrak dalam
proyek KF-21, KAI menyatakan sudah memiliki potensi pasar luar negeri. Negara-negara
yang sudah menyatakan tertarik membeli KF-21 adalah malaysia, Filipina, Irak,
Polandia, dan Thailand. KF-21 akan dijual dengan harga 65 juta dolar AS atau
sekitar Rp 1 triliun.
Harga
ini jauh lebih murah daripada harga pesawat generasi 4,5 lainnya, sehingga akan
semakin diminati banyak negara. ***
BERITA POLULER
-
Rusia Jamin Indonesia Bebas Embargo Militer TEMPO.CO , Jakarta - Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Alexander A. Ivanov, menyatakan pem...
-
Rencana kedatangan alutsista TNI 2010-2014 dengan anggaran pembelian US$ 15 Milyar : Renstra TNI 2010-2014 memberikan nuansa pelangi terhad...
-
T-90S Rusia (Main Battle Tank Russia) Kavaleri Peroleh 178 Unit Kendaraan Tempur Kaveleri TNI Angkatan Darat (AD) akan mendapatkan tambah...