Korsel dan Indonesia memang memiliki hubungan persahabatan yang naik turun. Situasi semakin memanas dengan iuran KF-21 Boramae yang tak kunjung dibayarkan oleh Indonesia ke Korsel.
Menurut
Yohnap News Agency, pada 16 Agustus 2024, dalam artikel berjudul "Korsel
menyetujui pengurangan iuran KF-21 Boramae Indonesia."
Menyebut
bahwa pada akhirnya, Korsel harus menerima pengurangan iuran yang diajukan oleh
Indonesia untuk menylesaikan masalah iuran yang tak kunjung dibayarkan.
Menurut
perjanjian awal tahun 2016, pemerintah Korea, KAI, dan Indonesia sepakat untuk
membagi biaya proyek 8,1 triliun won
untuk pengembangan bersama KF-21 masing-masing sebesar 60%, 20%, dan 20%.
Dengan
demikian, bagian yang harus ditanggung Indonesia adalah sekitar 1,7 triliun won
pada tahun 2026.nDiputuskan untuk mentransfer berbagai teknologi dan
mentransfer satu prototipe.
Namun,
tahun lalu, pihak berwenang Indonesia tiba-tiba mengumumkan bahwa hanya 600
miliar won yang dapat dibayarkan karena kesulitan keuangan. Pemerintah Korea
akhirnya menerima permintaan Indonesia pada bulan Agustus tahun ini untuk
kelangsungan bisnis. Karena kontribusinya berkurang sepertiganya, maka
diputuskan untuk mengurangi transfer teknologi juga.
Sementara
itu Incheontoday.com, dalam artikel 16 Okotober 2024, berjudul "Indonesia,
setara dengan Korea dalam kerja sama industri pertahanan." Menyebut bahwa,
Indonesia sendiri tak bisa begitu saja melepaskan proyek KF-21 Boramae.
Jika
proyek pengembangan bersama KF-21 ditinggalkan secara sepihak, jumlah investasi
yang sudah diinvestasikan tidak hanya akan hilang, namun kredibilitas industri
pertahanan global juga bisa rusak parah.
Kepercayaan
adalah faktor yang sangat penting dalam industri pertahanan, tempat pertukaran
puluhan triliun won.
Oleh
karena itu, pemerintah Indonesia meminta Korea untuk menyesuaikan
kontribusinya, yang juga diterima oleh pemerintah Korea setelah negosiasi.
Dari
sudut pandang Korea, Korea tidak dapat membatalkan kontrak dengan Indonesia
secara gegabah untuk memperluas kehadirannya di pasar industri pertahanan
global dan memperkuat posisinya di masa depan.
Baik Korea maupun Indonesia menyadari pentingnya pengembangan KF-21 dan berencana untuk melanjutkan kerja sama industri pertahanan. Presiden Prabowo dan pemerintah Indonesia masih mempunyai keinginan untuk memperkuat kerja sama industri pertahanan. Setelah kedua negara menyelesaikan pengembangan KF-21 bersama-sama, Indonesia berencana memperkenalkan 48 pesawat tempur KF-21. Kedua negara memperluas kerja sama tidak hanya di bidang KF-21 tetapi juga di berbagai bidang industri pertahanan, termasuk kapal selam dan helikopter.
"Korea
dan Indonesia memiliki hubungan kerja sama yang penting di mana mereka dapat
saling memperkuat kemampuan teknologi melalui kerja sama industri
pertahanan."
"Indonesia
memiliki pesawat latih dalam negeri KT-1 dan pesawat latih canggih,"
katanya. "Indonesia merupakan negara pertama yang membeli T-50,"
jelasnya.
"Meski
saat ini mengecewakan, namun ini adalah mitra yang tidak boleh diabaikan untuk
ekspor ke depan," ujarnya.
Kepala
DAPA Korea Selatan Setuju Iuran KF-21 Boramae Indonesia Dikurangi Tapi
Bersumpah Negaranya Tak Boleh Ditusuk dari Belakang Lagi
Bukan
cuma dalam hal teknologi, proyek KF-21 Boramae juga mengalami tantangan dalam
hal pembiayaan yang hingga kini masih Indonesia utang kepada Korea Selatan
(Korsel).
Dalam
kesepakatan awal bersama Korsel, Indonesia dibebankan 20 persen dari total
biaya pengembangan pesawat tempur KF-21 Boramae yang di NKRI dikenal dengan
proyek IFX.
Sebagai
imbalan atas penanggungan biaya tersebut, Indonesia akan mendapatkan satu
prototipe KF-21 dan data pengembangan dari Korea Selatan.
Indonesia
juga akan memproduksi 48 unit jet tempur KF-21 Boramae di dalam negeri.
Sementara
Korea Selatan berencana memproduksi 120 unit jet jempur tersebut. Dalam proyek pengembangan KF-21 Boramae,
rasio pembagian kontribusi antara pemerintah Korea Selatan, Korea Aerospace
Industries (KAI, perusahaan produksi), dan Indonesia pada awalnya ditetapkan
masing-masing sebesar 60%, 20%, dan 20%.
Biaya
pengembangan KF-21 Boramae, tidak termasuk persenjataan, adalah 8,1 triliun
won.
Berdasarkan
kontrak yang ditandatangani pada tahun 2016, Indonesia harus membayar 1,6
triliun won, atau 20% dari biaya pengembangan KF-21, pada bulan Juni 2026,
ketika proyek pengembangan tersebut berakhir.
Namun
info dari dari Spnnews.co.kr edisi 8 Agustus 2024, Indonesia disebut hanya
membayar 38% dari rencana awal biaya yang dibebankan dalam pengembangan KF-21
Boramae.
"Indonesia
telah memutuskan untuk membayar hanya sekitar sepertiga dari jumlah yang
disepakati semula untuk pengembangan pesawat tempur supersonik Korea KF-21.
Administrasi
Program Akuisisi Pertahanan melaporkan pada tanggal 8 dalam sebuah laporan
kepada Komite Pertahanan Nasional Majelis Nasional bahwa bagian Indonesia dalam
biaya untuk memperkenalkan KF-21 adalah 600 miliar won.
J
Kantor Berita Korea Selatan
Yonhap pada (16/8/2024) memberitakan Defense Project Promotion Committee —
komite di Korsel yang mengurusi proyek kerja sama alutsista itu — menyetujui
usulan RI terkait penyesuaian pembayaran proyek pengembangan pesawat tempur
KFX/IFX.
Dengan demikian, untuk porsi pembayaran yang tidak lagi menjadi tanggungan Indonesia, sebagaimana diberitakan Yonhap, bakal ditanggung oleh Pemerintah Korea Selatan dan Korea Aerospace Industries (KAI) yang saat ini menjadi mitra RI mengembangkan pesawat tempur generasi 4,5 KF-21 Boramae.
Info
dari Getnews edisi 16 Agustus 2024, media Korsel itu menyebut keputusan
negaranya hampir final.
"Keputusan ini, yang hampir final, dibuat pada Komite Promosi Program Akuisisi Pertahanan (Komite Pertahanan) ke-163 yang diselenggarakan oleh Administrasi Program Akuisisi Pertahanan (DAPA Red-) pada tanggal 16.
Pada pertemuan hari ini, DAPA memutuskan rencana penyesuaian rasio pembagian pengembangan bersama KF-21 dan langkah-langkah tindak lanjutnya," jelas Getnews.
Sementara
itu, info dari Antara edisi 20 Agustus
2024, Pemerintah Korea Selatan (Korsel) menyetujui usulan RI menyesuaikan
pembiayaan proyek pembuatan pesawat tempur RI-Korsel (KFX/IFX) KF-21 Boramae
dari komitmen awal 1,6 triliun won atau sekitar Rp18,5 triliun menjadi 600
miliar won atau sekitar Rp6,95 triliun.
Kepala
Biro Hubungan Masyarakat Sekretariat Jenderal Kementerian Pertahanan RI Brigjen
TNI Edwin Adrian Sumantha menjelaskan otoritas pertahanan di Korsel yang
mengurusi kerja sama dan pengadaan alutsista menyetujui usulan Indonesia itu.
Dia
melanjutkan Pemerintah RI juga saat ini berunding soal kerja sama alih
teknologi proyek kerja sama pembuatan pesawat tempur itu setelah adanya
penyesuaian.
“Ada
beberapa alih teknologi (ToT) akan didapatkan dari kerja sama pengembangan
bersama pesawat tempur KFX/IFX, yaitu kemampuan produksi bagaimana mendesain,
membangun pesawat tempur, membuat beberapa komponen meliputi sayap, ekor,
beberapa bagian body belakang pesawat, dan beberapa pylon/adapter untuk
persenjataan dan sensor, melakukan final assembly (perakitan akhir), uji
terbang, dan re-sertifikasi untuk pesawat IFX,” kata Karo Humas Setjen Kemhan
RI seperti dikutip dari Antara.
Dia
melanjutkan ToT yang diincar Pemerintah Indonesia dalam proyek gabungan itu
juga terkait kemampuan operasi dan pemeliharaan, yang mencakup integrated
logistics support, perawatan pesawat tempur KFX/IFX, pengembangan sistem
latihan untuk pilot dan teknisi, serta kemampuan untuk menyelesaikan masalah
(troubleshooting) saat operasional.
“Kemudian,
kemampuan modifikasi dan upgrading, yaitu melakukan desain integrasi dan
re-sertifikasi unique requirement berupa drag chute, eksternal fuel tank, dan
air-refueling, serta melakukan integrasi sistem persenjataan baru, avionik,
sensor, dan elektronik,” sambung Edwin.
info
dari Aerotime edisi 13 Juni 2024, Korea Selatan disebut bertekad untuk memantau
tindakan Indonesia secara ketat.
"Pembayaran
Indonesia yang dikurangi sebesar $437 juta, jauh lebih sedikit dari $1,16
miliar yang awalnya dijanjikan, telah memunculkan kekhawatiran tentang Korea
Selatan yang akan menanggung beban keuangan untuk proyek tersebut, Seok
Jong-gun, kepala Administrasi Program Akuisisi Pertahanan (DAPA) Korea Selatan,
mengatakan dalam sebuah wawancara dengan JoongAng Ilbo.umlah ini setara dengan
38% dari 1,6 triliun won yang diputuskan Indonesia.
Masih ada kekhawatiran mengenai keandalan keuangan Indonesia, karena negara itu belum membayar sisa $145 juta dari komitmennya yang telah dikurangi.
Korea
Selatan berencana untuk memantau tindakan Indonesia secara ketat sebelum
melanjutkan transfer teknologi secara penuh," jelas Aerotime.
DAPA
Korea Selatan rupanya mengaku tak mau jika ditusuk dari belakang lagi oleh
Indonesia dalam proyek ini sebelum melanjutkan transfer teknologi KF-21
Boramae.
“Kita
tidak boleh ditusuk dari belakang lagi, dan kita tidak akan melakukannya,” kata
Seok Jong-gun seperti dikutip dari Aerotime.
Transfer
teknologi akan dilakukan sesuai dengan bagaimana Indonesia bereaksi,"
lanjut kepala DAPA Korea Selatan.
Tak
hanya itu, info dari The JoongAng edisi
7 Juni 2024, Kepala Administrasi Program Akuisisi Pertahanan (DAPA) Korea
Selatan, Seok Jong-geon membocorkan rencana negaranya melakukan transfer
teknologi KF-21 Boramae ke Indonesia.
"Dalam
wawancara dengan JoongAng Ilbo yang diadakan di Kompleks Pemerintahan Gwacheon
pada tanggal 14 bulan lalu, dia berkata, 'Teknologi yang saat ini diberikan
kepada Indonesia masih pada tingkat dasar, dan teknologi sebenarnya akan
ditransfer setelah pengembangan selesai pada tahun 2026'.
Idenya
adalah kita mempunyai hak untuk memutuskan transfer teknologi, namun tergantung
situasinya, dapat diartikan bahwa kemungkinan pembangunan mandiri di luar
Indonesia juga terbuka," jela The JoongAng.
Orang
nomor satu di DAPA Korea Selatan yang bertanggung jawab dalam pengembangan
KF-21 Boramae itu ditanyai perihal penyelidikan terhadap insinyur Indonesia
yang dituding membocorkan data proyek bersama.
"Mereka
juga menyelidiki apakah insinyur Indonesia membocorkan program pemodelan desain
3D KF-21, 'Katanya'.
Beberapa
pihak berpendapat bahwa tidak ada gunanya mengurangi transfer teknologi jika
teknologi inti sudah ditransfer?," tanya The JoongAng.
Meski
skandal yang melibatkan insinyur Indonesia membuat geger dan tengah diselediki
Korea Selatan, namun DAPA meyakinkan jika teknologi sebenarnya dari KF-21
Boramae belum ditransfer.
"Jika
hasil investigasi menunjukkan telah terjadi kebocoran teknologi yang
signifikan, bukankah kita harus mempertimbangkan kembali apakah akan bekerja
sama dalam pengembangan bersama?.
Kami akan terus berkoordinasi teknologi mana yang akan ditransfer, namun teknologi sebenarnya akan ditransfer melalui konsultasi hanya setelah pengembangan selesai pada tahun 2026.
'Sampai
saat ini, hanya sebagian kecil dari teknologi yang telah ditransfer dan berada
pada tingkat yang belum sempurna'," jelas Direktur DAPA menjawab
pertanyaan media Korea Selatan.
SUMBER : ZONA JAKATRA