Pages

Friday, February 3, 2012

6 Februari 2012: Selamat Datang KRI Nanggala 402

JAKARTA - Kapal selam TNI-AL, KRI
Nanggala-402 kini tengah dalam
pelayaran kembali ke Tanah Air usai
menjalani reparasi total di galangan
kapal Daewoo Shipbuilding & Marine
Engineering, Okpo, Korea Selatan.
Dijadwlkan kapal akan tiba di
pangkalannya di Koarmatim TNI-AL,
Surabaya, pada 6 Februari nanti.
KSAL, Laksamana TNI Soeparno, dan
sejumlah besar pimpinan TNI-AL
beserta pimpinan DPR akan
menyambut kehadiran kembali kapal
selam tipe U-209/ 1300 buatan Jerman
pada 1981 itu. Kehadirannya
menambah kelengkapan kekuatan
kapal selam Indonesia, karena
sebelumnya kapal selam KRI
Cakra-401 telah lebih dahulu
diretrofit di galangan yang sama.
Selama perbaikan, kapal telah
diperkuat strukturnya, termasuk
"kulit" bajanya, sistem navigasi dan
persenjataan serta sistem sonarnya.
Sistem sonar ini sangat vital, karena
berfungsi sebagai mata, telinga dan
indra pendeteksi kapal musuh.

KRI Nanggala-402 dikomandani
langsung keberangkatannya dari
Korea oleh Letnan Kolonel Pelaut
Purwanto, dengan melayari perairan
Selatan Korea Selatan hingga
memasuki perairan Nusantara.
Nanggala berada di Korea sejak
Desember 2009 dan usai menjalani
sea trial pasca perbaikan pada
Desember 2011 lalu.
DSME sebelumnya juga sukses
meretrofit kembali KRI Cakra-401
pada Mei 2004 hingga 13 Februari
2006. Selama proses perbaikan,
tenaga ahli Indonesia juga
diberdayakan untuk mengetahui dan
menguasai teknologi perbaikan kapal
selam dari Korea Selatan.
KRI Nanggala-402 dan KRI Cakra-401,
dibuat di galangan kapal
Howaldtswerke, Kiel, Jerman pada
1981 dari tipe U-209/ 1300. Kapal ini
memiliki bobot mati 1.395 ton,
berdimensi 59,5 meter x 6,3 meter x
5,5 meter. Dengan mesin diesel
elektrik mampu melaju dengan
kecepatan kurang lebih 25 knot di
dalam air, menyelam di kedalaman
sekitar 200 meter dari permukaan lut,
dan diawaki 35 anak buah kapal
termasuk komandannya.
Di kawasan, selain Indonesia,
Singapura juga memiliki empat kapal
selam bekas Kerajaan Swedia dari
kelas Sjoormen (kelas Challenger);
diikuti Malaysia yang membeli juga
kapal selam baru kelas Scorpene dari
Perancis.
Sumber : ANTARANEWS.COM

Indonesia serahkan dokumen larangan uji coba nuklir ke PBB

Jumat, 3 Februari 2012 13:53 WIB 

Jakarta (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa, menyerahkan dokumen ratifikasi traktat pelarangan menyeluruh uji coba nuklir atau Comprehensive Nuclear Test-Bali Treaty (CTBT) ke Perserikatan Bangsa-bangsa dalam kunjungannya ke New York pada pekan ini.

"Dokumen itu sudah diserahkan dalam kunjungan Menlu ke markas PBB," ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Michael Tene, kepada pers di Jakarta, Jumat.

Dengan adanya ratifikasi traktat pelarangan yang diserahkan Indonesia, maka masih tersisa delapan negara yang melakukan ratifikasi.

"Mereka adalah India, Pakistan, Iran, Israel, Mesir, Amerika Serikat, Korea Utara, dan China," jelas Michael.

Indonesia merupakan negara ke-36 yang mengesahkan ratifikasi pada awal Desember tahun lalu. Dari 44 negara pemilik reaktor dan senjata nuklir (Annex II), baru 36 negara yang meratifikasi traktat itu.

"Kami terus mendorong agar negara ataupun pihak-pihak yang belum meratifikasi untuk mengesahkannya segera, agar traktat tersebut memiliki kekuatan legal dan mengikat," tambah dia.

Sebelumnya, Indonesia sempat menunda ratifikasi karena menunggu negara-negara yang memiliki nuklir lebih dulu meratifikasi traktat ini. Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa, berpendapat dunia yang bebas nuklir akan mendorong perdamaian dunia.

"Jaminan dari ancaman senjata nuklir hanya bisa dicapai dengan penghapusan uji coba senjata nuklir tanpa syarat dan tanpa standar ganda," ujar Marty beberapa waktu lalu.

Dengan dilakukannya ratifikasi, nantinya akan menginspirasi negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara untuk segera meratifikasi traktat tersebut dan mewujudkan kawasan itu menjadi daerah bebas nuklir melalui penandatanganan protokol bebas nuklir.
SUMBER : Antara

Thursday, February 2, 2012

PKS: Jangan Beli Senjata Israel yang Bunuh Warga Palestina



3 Pebruari 2012, Jakarta: Rencana pembelian pesawat tanpa awak milik Israel menuai kecaman. Salah satunya dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Melalui kadernya di DPR, Al Muzzammil Yusuf mendesak Kementerian Pertahanan dan TNI mempertimbangkan aspek teknis dan politis terkait rencananya membeli pesawat intai milik Israel.

"Sebagai penjaga konstitusi, TNI harus tegas menolak bekerja sama dengan Israel, negara penjajah yang bertentangan dengan Konstitusi RI," ujar anggota Komisi I DPR di Jakarta, Jumat (3/2).

Karena, menurut Muzzammil yang juga Wakil Ketua FPKS DPR itu, secara teknis, TNI nantinya akan kesulitan dalam pengadaan suku cadangnya mengingat Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.

Sedangkan secara politis, kata Muzzammil, bekerja sama dengan Israel tidak sesuai dengan Konstitusi RI karena Israel adalah penjajah yang telah banyak menewaskan korban sipil di Palestina.

"Dalam Pembukaan UUD 1945 telah jelas-jelas bahwa Indonesia tidak mengakui penjajahan yang dilakukan oleh negara mana pun, termasuk Israel. Bagaimana mungkin ini tidak menjadi pertimbangan TNI dan Kemenhan dalam membeli pesawat intai atau alutsista lainnya," ujarnya.

Lebih lanjut Muzzammil mengatakan, dirinya mendapatkan informasi bahwa tender pesawat intai ini sudah dilakukan sejak pertengahan tahun 2006. Tiga besar calon pemenang tender adalah perusahaan berasal dari Filipina, Rusia, dan Indonesia.

"Perusahaan dari Filipina inilah yang merupakan perwakilan dari Israel yang diduga telah menjadi pemenang dalam tender pesawat intai di Kemenhan. Apakah informasi ini benar? Saya berharap penjelasan dari Kemenhan," kata Muzzammil.

Muzzammil berharap agar TNI dan Kemenhan benar-benar mempertimbangkan kedua aspek tersebut dan konsisten untuk mendukung kemajuan dan kemandirian industri pertahanan strategis dalam negeri.

TNI AU Berencana Beli 16 Pesawat Tanpa Awak Israel

Mabes TNI AU mengakui berencana membentuk satu skuadron pesawat tanpa awak alias unmanned aero vehicle (UAE). Kepala Dinas Penerangan TNI AU, Marsekal Pertama Azman Yunus, menyatakan kebutuhan TNI AU yang mendesak di antaranya adalah pemenuhan pesawat tanpa awak.

Azwan mengaku, pesawat intai diperlukan untuk membantu operasionalisasi TNI AU dalam merekam data potensi ancaman wilayah perbatasan dari udara. "Kami ingin membentuk satu skuadron atau 16 unit pesawat tanpa awak," kata Azwan kepada Republika, Kamis (2/2).

Menurut Azwan, TNI AU dalam kapasitas sebagai operator atau pengguna pesawat. Adapun pemilihan pesawat dan dari mana negara tempat pembelian pesawat menjadi kewenangan penuh Kementerian Pertahanan (Kemenhan).

Karena itu, pihaknya tidak mengetahui alasan mengapa akhirnya pilihannya jatuh kepada pesawat buatan Israel. "Kami hanya menyodorkan pesawat intai yang bisa terbang selama 10 sampai 13 jam. Yang memilih spesifikasi itu Kemenhan," terangnya.

Sumber: Republika

Lebih Canggih, RI Pilih Pesawat Intai Israel


02 Februari 2012

UAV buatan Israel telah dipakai di banyak negara, teknologi autonomous UAV secara penuh dan predikat "battle proven" untuk UAV berjenis MALE dan HALE baru dikuasai oleh Amerika dan Israel (photo : Canada DoD)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Simpang siur pembelian pesawat intai UAV buatan Israel Aerospace Industries (IAI) oleh TNI AU bukan sekadar isu. Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Brigjen Hartind Asrin, mengatakan pembelian pesawat tanpa awak itu dimasukkan dalam daftar belanja TNI AU periode 2010-2014. Dijelaskannya, pembelian pesawat buatan Israel lebih didasarkan pada persoalan teknis.
Setelah dilakukan diskusi dan kajian matang, papar Hartind, TNI AU menjatuhkan putusan untuk membeli pesawat intai Israel. Pihaknya juga mengharap pembelian yang ditujukan untuk meningkatkan alat utama sistem persenjataan (alutista) ini tidak dikait-kaitkan dengan isu macam-macam. Seperti, Israel digolongkan sebagai negara pelanggar hak asasi manusia (HAM) maupun isu lain yang tidak ada hubungannya dengan penambahan kekuatan matra udara.
“Pesawat ini kualitasnya bagus, paling canggih. Karena industri pertahanan mereka paling maju,” kata Hartind, Kamis (2/2). Pembelian pesawat ini menggunakan mekanisme pembiayaan kredit ekspor.
Meski begitu, pihaknya tidak tahu kapan pesawat intai UAV tersebut datang ke Indonesia. “Kami berharap pada 2012 ini paling sedikit tiga pesawat UAV datang. Tapi, tidak tahu lagi setelah DPR ramai begini.” ujar Hartin.
(Republika)

Baca Juga :

TNI AU Berencana Beli 16 Pesawat Tanpa Awak Israel

02 Februari 2012

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mabes TNI AU mengakui berencana membentuk satu skuadron pesawat tanpa awak alias unmanned aero vehicle (UAE). Kepala Dinas Penerangan TNI AU, Marsekal Pertama Azman Yunus, menyatakan kebutuhan TNI AU yang mendesak di antaranya adalah pemenuhan pesawat tanpa awak.

Azwan mengaku, pesawat intai diperlukan untuk membantu operasionalisasi TNI AU dalam merekam data potensi ancaman wilayah perbatasan dari udara. "Kami ingin membentuk satu skuadron atau 16 unit pesawat tanpa awak," kata Azwan kepada Republika, Kamis (2/2).

Menurut Azwan, TNI AU dalam kapasitas sebagai operator atau pengguna pesawat. Adapun pemilihan pesawat dan dari mana negara tempat pembelian pesawat menjadi kewenangan penuh Kementerian Pertahanan (Kemenhan).

Karena itu, pihaknya tidak mengetahui alasan mengapa akhirnya pilihannya jatuh kepada pesawat buatan Israel. "Kami hanya menyodorkan pesawat intai yang bisa terbang selama 10 sampai 13 jam. Yang memilih spesifikasi itu Kemenhan," terangnya.

(Republika)

PTDI Bisnis Simulator Pesawat


02 Februari 2012
Simulator helikopter Bell-412 (photo : Kaskus Militer)
JAKARTA - PT Dirgantara Indonesia (DI) mulai melakukan ekspansi bisnisnya dengan membuat simulator pesawat. Pengembangan tersebut tidak jauh bisnis utama perusahaan yaitu membuat pesawat dan komponen pesawat. Direktur Aircraft Service PT DI Rudi Wuraskito mengatakan, sudah ada beberapa unit simulator yang berhasil dibuat. Misalnya untuk pesawat jenis CN 235 dan Helikopter Super Puma. Tidak hanya itu, perusahaan yang dahulunya bernama Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN) tersebut juga membuat simulator untuk kapal laut. "Ada 3-4 simulator yang sudah kita buat," ungkap Rudi.
Untuk 1 unit simulator CN 235, lanjut Rudi, dijual seharga USD 12 juta. Sementara simulator Super Puma harga jualnya tidak diketahui. Sebab, PT DI hanya salah satu pemasok komponen. Bukan kontraktor utama. Tapi, untuk 1 unitnya perusahaan yang berpusat di Bandung tersebut mendapatkan USD 3 juta. "Itu sebagian saja. Kita subkontraktor. Kontraktor utama di Kementerian Pertahanan," katanya.
Menurut Rudi, PT DI baru mau fokus menekuni bisnis simulator tersebut. Dulunya, perseroan tidak bisa melakukan ekspansi usaha karena diminta fokus membuat pesawat saja."Awal kita membuat simulator karena ada yang minta. Malaysia yang memiliki 8 pesawat CN 235 meminta dibuatkan simulatornya. Super Puma karena TNI Angkatan Udara butuh. Cuma kita sifatnya membantu. Ada main kontraktor," kata Rudi.
Ditegaskan Rudi, saat ini pihaknya belum bisa langsung bersaing dengan produsen simulator lainnya. Terutama dari sisi branding. Harus dibangun kepercayaan dengan konsumen terlebih dahulu. "Kita lakukan kerja sama dengan yang sudah branded. Sehingga lebih murah harganya," ucap Rudi.
Untuk membuat simulator, tambah Rudi, hal utama yang diperlukan adalah data base pesawat. Data perilaku pesawat pasti dimiliki pabrik. Hanya, untuk mendapatkan data base tersebut tidak mudah. Harganya pun sangat mahal, mencapai 20 persen dari total harga simulator. "Kalau harga simulator USD 10 juta, maka data basenya USD 2 juta. Kalau bikin sendiri pakai teknologi kita bisa saving 30-40 persen. Ada penghematan yang cukup banyak," katanya.
Dikatakan Rudi, dalam 4-5 tahun mendatang diharapkan PT DI sudah mampu bersaing dengan produsen simulator lainnya. Saat ini, perusahaan sedang merintis dari yang keculu. Jika langsung memulai dengan besar banyak yang tidak percaya. "Simulator banyak ke aplikasinya. Sejauh ini kita lihat produk karena pesawat terbangnya apa," ujarnya. (cdl)

Russia to Build 6 Submarines Annually – Deputy PM


Russia to Build 6 Submarines Annually
20:53 02/02/2012
Russia will start producing six submarines and one aircraft carrier annually starting in 2013, Deputy Prime Minister Dmitry Rogozin said on Thursday.
“By 2013, production capacity [at Russian shipyards] will allow us to build six submarines and an aircraft carrier every year,” Rogozin told reporters, adding that the number includes both nuclear and diesel-powered submarines.
As a result, the production output will surpass that of the Soviet era when Russia built an average of five submarines annually, he said.
Rogozin earlier said the production had been bogged down in the past by a lack of financing, outdated equipment and a shortage of skilled labor.
Russia is planning to build eight Borey class strategic submarines and up to 10 Graney class attack subs by 2020.

 Fire-damaged Sub Will Cost $16.5 mln. to Repair – Rogozin

Russian nuclear submarine Yekaterinburg

The cost to repair the Yekaterinburg, a Russian nuclear submarine damaged by fire late last December, will total about 500 million rubles ($16.5 million), Russian Deputy Prime Minister Dmitry Rogozin said on Thursday.
“The repairs will cost about 500 million rubles,” Rogozin said.
Some media reports previously said the costs would exceed 1 billion rubles but Rogozin denied those reports.
On December 29, the outer hull of the Yekaterinburg, a Delta-class nuclear submarine, caught fire during repairs at a shipyard in northwest Russia's Murmansk Region. Seven crewmembers and two responders were injured as they battled the fire, which was put out the following day.
There was no radiation leak because the reactors had been shut down before repairs began.
The submarine’s hydro acoustic system was disabled by the fire and will need to be replaced before it is brought back into service.
Delta-class submarines have an outer skin of anechoic rubber, designed to absorb sound from sonars to make the boat harder to detect, that can burn in a dry environment. However, the boat has a double hull of thick steel, which would protect its interior from external fire.
The repairs are scheduled to start this summer.

Disposal of Russian Third Generation Nuclear Subs Suspended

Disposal of Russian Third Generation Nuclear Subs Suspended
21:00 02/02/2012
SEVERODVINSK, February 2 (RIA Novosti)
Russia has decided to suspend the planned disposal of third-generation strategic nuclear submarines currently in service with the Navy, Deputy Prime Minister Dmitry Rogozin said on Thursday.
“The most successful projects will undergo two repairs instead of one. The subs' period of service will be extended to 30-35 years instead of the current 25,” Rogozin told journalists.
He also said Akula (Typhoon) class submarines will be upgraded and their electronics and armaments replaced every seven years.
According to Rogozin, this will help gain time until all eight Borey class strategic submarines are deployed by 2020.
The deputy premier also said a naval vessel construction development program for the next 30 years is expected to be worked out soon.

sumber : RIA NOVOSTI

Russian Navy to Receive Mistral Warship in 3 Years

French navy command ship Mistral
Russia and France signed a $1.2-billion contract on two French-built Mistral class ships, including the transfer of sensitive technology, in June 2011. Two more ships are expected to be 80% built in Russia, 20% in France.
“The first Mistral class ship was laid down at a DCNS shipyard in Saint-Nazaire on February 1,” Vysotsky said.
The French-built ships will be named Vladivostok and Sevastopol, the admiral said.
A Mistral-class ship is capable of carrying 16 helicopters, four landing vessels, 70 armored vehicles, and 450 personnel.
The Russian military has said it plans to use Mistral ships in its Northern and Pacific fleets.

sumber : RIA NOVOSTI

BERITA POLULER