Jakarta - Untuk kesekian kalinya, TNI AU berhasil
memergoki dan mencegat pesawat-pesawat asing di
wilayah udara Indonesia yang tak mempunyai izin
melintas. Dalam peristiwa terakhir disebutkan dua
pesawat Sukhoi TNI AU membayang-bayangi pesawat jet
P2-ANW Dassault Falcon 900EX di langit Banjarmasin,
Kalimantan Selatan, selama 37 menit, waktu yang cukup
lama, pada 29 November 2011.
Pesawat yang ternyata ditumpangi oleh Deputi Perdana
Menteri Papua Nugini H. O. N. Belden Namah, yang
sedang melakukan penerbangan dari Subang, Selangor,
Malaysia, ke Papua Nugini, dicegat oleh 'sayap tanah air'
Indonesia karena tidak memberi respons positif ketika
diajak berkomunikasi oleh Kontrol Udara Makassar.
Untung kejadian tersebut berakhir dengan tidak
dipaksakan pesawat Falcon itu untuk mendarat setelah
baru diketahui izin melintasnya.
Merasa terintimidasi dengan kejadian itu, maka hubungan
kedua negara, Indonesia-Papua Nugini, sempat memanas.
Kejadian itu membuat Perdana Menteri Papua Nugini
Peter O'Neil mengancam mengusir Duta Besar Indonesia
untuk Papua Nugini.
Terlepas masalah hubungan diplomatik kedua negara, kita
harus mengapresiasi kerja TNI AU. Meski dengan
keterbatasan yang ada dan kepemilikan pesawat yang
masih minim, TNI AU selama ini berhasil menjaga wilayah
udara kita dengan gagah perkasa. Pembelian pesawat
Sukhoi dan F-16, yang mahal, telah menunjukan
kesebandingan dengan fungsi yang telah dilakukan yakni
menjaga dan mempertahankan wilayah nasional.
Kesuksesan mencegat pesawat Falcon itu mirip dengan
ketika Sukhoi TNI AU, Maret 2011, menghentikan
penerbangan Pakistan Internasional Airlines (PIA), jenis
Boeing 737 seri 300, yang melintas wilayah udara
Indonesia tanpa izin. Gerakan pesawat yang terdeteksi
oleh radar Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional II
di Bandara Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan,
membuat dua Sukhoi TNI AU yang ada di Skuadron Udara
5 Lanud Sultan Hasanuddin langsung terbang dan
memberikan peringatan pesawat asing itu mendarat
darurat. Pencegatan terhadap pesawat yang ditumpangi
oleh pasukan PBB yang hendak melintas dari Dili, Timor
Leste, ke Malaysia itu berhasil memaksa mereka untuk
mendarat di Lanud Hasanuddin, Makassar, Sulawesi
Selatan.
Sebelumnya, Desember 2010, pesawat Malaysia jenis BAE
146-200 yang membawa 81 penumpang yang sebagian
besar penumpang pesawat adalah keluarga Kerajaan
Melaka, Menteri Pertanian Malaysia, putra PM Malaysia
Najib Razak, berhasil ditahan oleh TNI selama 5 jam di
Bandara Udara Djuanda, Surabaya, Jawa Timur, karena
tidak mengantongi izin resmi melintas di Indonesia.
Pesawat itu hendak melakukan penerbangan Dili, Timor
Leste ke Kuala Lumpur, Malaysia.
Dari sekian kali pencegatan yang dilakukan oleh TNI AU
terhadap pesawat tanpa izin yang melintas di wilayah
udara Indonesia, peristiwa Insiden Bawean-lah yang
paling menegangkan. Insiden Bawean adalah ketika 3
pesawat F-16 TNI AU berhasil mendeteksi penerbangan
ilegal 5 pesawat F-18 Hornet milik Angkatan Laut Amerika
Serikat (US Navy) yang sedang terbang dan bermanuver di
perairan Bawean, Jawa Timur, Juli 2003.
Dari pantauan radar, kelima F-18 Hornet itu terbang lebih
dari satu jam dan mengadakan latihan tempur. Apa yang
dilakukan itu tentu saja selain bisa dikatakan mengganggu
kedaulatan wilayah udara Indonesia, juga menyebabkan
terganggunya penerbang n komersial yang menuju ke
Surabaya dan Bali. Bagi pihak Indonesia, pesawat-pesawat
US Navy itu tak meminta izin dengan ATC terdekat. Sedang
pihak US Navy melakukan demikian karena mereka merasa
berada di perairan internasional sehingga tak perlu
meminta ijin kepada Indonesia.
Kejadian itu sangat menegangkan sebab yang dihadapi
oleh pesawat tempur TNI AU adalah juga pesawat tempur,
bukan pesawat sipil. Sehingga tak heran bila saat di udara
posisi yang terjadi adalah masing-masing pihak siap
dogfight.
Merasa TNI AU inferior dengan pilot-pilot tempur pesawat
US Navy, jumlah pesawat F-18 Hornet lebih canggih serta
lebih banyak, serta adanya dukungan pesawat tempur lain
dari kapal induk US Navy yang berada di perairan, maka
pilot-pilot F-16 mulai memperkenalkan diri. Dengan
memperkenalkan diri kepada pilot-pilot F-18 Hornet itulah
akhirnya ketegangan menjadi reda. Dan akhirnya pesawat-
pesawat pesawat tempur kedua negara balik ke posisi
masing-masing.
Dari kejadian-kejadian di atas bisa disimpulkan bahwa,
pertama, sepertinya ada unsur-unsur kesengajaan dari
pihak Malaysia untuk mengganggu wilayah udara kita,
terbukti dari pesawat-pesawat yang melintas tanpa izin
semua melalui rute dari dan ke Malaysia. Pihak-pihak di
Malaysia mengabaikan izin melintas bisa jadi karena
mereka menganggap bahwa penjagaan wilayah udara
Indonesia, seperti wilayah perbatasan darat atau wilayah
laut, adalah lemah sehingga mereka tak merasa khawatir
bila melintas tanpa permisi.
Kedua, dengan berhasilnya TNI AU menjaga wilayah udara,
sudah sepatutnya alutsista kepada TNI AU lebih
ditingkatkan. Rencana pembelian pesawat F-16 dan Sukhoi
agar lebih dipercepat. Disebut, jumlah pesawat F-16 yang
dimiliki Indonesia saat ini 10 unit yang merupakan F-16 A/
B Blok 15 yang dibeli pada tahun 1986. Dengan membeli
cara hibah sebanyak 24 pesawat maka kekuatan pesawat
F-16 TNI AU menjadi 34 pesawat. Bila membeli baru, 6
pesawat, maka kekuatan pesawat F-16 TNI AU menjadi 16.
Baik DPR maupun pemerintah mempunyai dasar masing-
masing soal pembelian pesawat itu, secara hibah atau
baru.
Demikian pula rencana pembelian 8 pesawat Sukhoi baru
akan bisa membangun satu skuadron tempur Sukhoi.
Diberitakan, Indonesia kini telah memiliki empat pesawat
tempur Sukhoi masing-masing jenis SU-27SK (dua unit)
dan SU-30MK (dua unit). Pastinya pembelian pesawat-
pesawat itu didukung dengan alutsista penunjang, seperti
radar, rudal, dan lain sebagainya.
Ketiga, modernitas alutsista sangat berpengaruh terhadap
kesiapsiagaan TNI dalam mempertahankan wilayah i
Indonesia. Peristiwa Insinden Bawean yang menyebabkan
kita lebih menerima kehadiran secara ilegal pesawat US
Navy karena mereka memiliki alutsista yang lebih canggih
dan modern.
Untuk menutupi kekurangan tersebut, bisa dilakukan
dengan memperbanyak latihan. Berhasilnya TNI AU
mencegat pesawat-pesawat ilegal melintasi di udara
karena para pilot TNI AU telah sering melakukan latihan.
Bila pencegatan terhadap pesawat ilegal kita sudah mahir
maka yang perlu ditingkatkan adalah pelatihan tempur,
siapa tahu Insinden Bawean terulang.
Sumber : DETIK