Pages

Friday, December 16, 2011

Serangan Militer ke Iran: Kisah dari Pulau Diego Garcia

Oleh: Dina Y. Sulaeman*

Berita-berita tentang ancaman serangan militer dari AS dan Israel terhadap Iran akhir-akhir ini semakin intens. Dalam doktrin militer AS, Iran memang dikategorikan sebagai ‘ancaman utama bagi kestabilan di Timur Tengah dan Asia Tengah'. Menurut Chomsky, kestabilan dalam terminologi AS bermakna ‘berada di dalam kontrol AS'. Artinya, bila ada sebuah rezim yang tidak berada dalam cengkeraman kontrol AS, rezim itu menjadi ancaman bagi ‘kestabilan'. Dalam menghadapi ‘ancaman' ini, AS sudah melakukan berbagai langkah. Antara lain sejak November lalu, AS dan Eropa beramai-ramai memperketat sanksi:  bank Inggris memutus hubungan finansial dengan bank sentral Iran, Kanada menutup pintu ekspor untuk barang-barang yang dianggap berkaitan dengan industri petrokimia, gas, dan minyak Iran, beberapa negara Eropa mem-black-list tokoh-tokoh Iran yang dianggap berperan penting dalam proyek nuklir, dll.

Hal yang tidak banyak dibahas adalah kisah dari sebuah pulau bernama Diego Garcia. Seiring dengan meningkatnya intensitas ancaman serangan ke Iran, pemerintahan Obama juga diberitakan telah menambah kapasitas militernya di pulau Diego Garcia. Konon di sana bercokol lebih dari 2000 tentara, pelabuhan yang muat untuk 30 kapal perang, tempat pembuangan limbah nuklir, stasiun mata-mata satelit, dan tempat hiburan untuk para tentara: mall, bar, dan lapangan golf. Pada bulan Maret 2010, Sunday Herald melaporkan bahwa AS telah mengirimkan 10 kontainer berisi amunisi ke Diego Garcia, di antara bom "Blu" yang mampu meledakkan struktur bawah tanah secara masif. Kapal-kapal selam bertenaga nuklir yang bisa meluncurkan rudal Tomahawk juga 'mangkal' di sana; rudal Tomahawk sendiri bisa dipasangi hulu ledak nuklir.

Pada masa perang Irak, John Pilger mencatat bahwa ada berita sekilas yang berbunyi, "Pengebom Amerika, B-52 dan Stealth,tadi malam dilepaskan dari  sebuah pulau-tak berpenduduk-milik-Inggrisuntuk mengebom Irak dan Afghanistan."
Ya, Diego Garcia ternyata adalah sebuah pulau yang dijadikan pangkalan militer AS; salah satu yang terbesar di dunia. Serangan-serangan udara AS ke Irak dan Afghanistan diketahui dilancarkan dari Diego Garcia. Namun, di balik kecanggihan perlengkapan militer yang disimpan di sana, Diego Garcia menyimpan kisah pilu yang semakin menunjukkan wajah bengis negara-negara arogan dan haus perang: AS dan Inggris.


Pada tahun 1965 Inggris dan AS menjalin perjanjian bahwa Inggris akan menyediakan pulau kosong untuk dijadikan pangkalan militer bagi AS di Samudera Hindia. Pada tahun 1966, pulau indah Diego Garcia yang berada di antara Asia dan Afrika (di perairan samudera Hindia) itu dibeli Inggris dari Mauritania. Inggris menyerahkan pengelolaan pulau itu kepada AS, tanpa bayaran sepeser pun. Namun, Inggris menerima diskon sebesar 14 juta dollar dalam pembelian misil Polaris.

Sebelum menyerahkan pulau itu kepada AS, sesuai permintaan AS, isi pulau itu dikosongkan (Tidak akan ada lagi penduduk asli di pulau itu, kecuali burung camar, demikian salah satu instruksi yang ditulis pejabat kementerian luar negeri Inggris tahun 1966). John Pilger, jurnalis independen asal Australia, berhasil mendapatkan film dokumenter dari kaum misionaris di Diego Garcia. Pulau itu dulunya ternyata sangat indah, dihuni oleh 2000 penduduk berkulit hitam dari suku Creole, ada sekolah, rumah sakit, gereja, rel kereta api, dll. Tentara Inggris kemudian menakut-nakuti warga, termasuk dengan membakar hewan-hewan peliharaan mereka. Sebagian penduduk pergi meninggalkan pulau karena takut. Namun, sisanya, yang masih bertahan akhirnya dievakuasi paksa. Mereka dinaikkan dengan paksa ke atas kapal, hanya dibolehkan membawa satu tas. Rumah, perabotan, dan segala harta benda yang mereka miliki selama lima generasi, harus ditinggalkan begitu saja. Dalam perjalanan yang sulit menuju Seychelles (sebuah negara kepulauan di Samudera Hindia), kaum perempuan dan anak-anak dipaksa tidur di sebuah kargo burung. Mereka lalu dipenjarakan selama beberapa waktu di Seychelles, dan kemudian dipindahkan ke Mauritius.

Di Mauritius, mereka hidup menggelandang. Anak-anak banyak yang meninggal, para orang tua banyak yang bunuh diri karena frustasi. Satu dekade kemudian, mereka menerima kompensasi dari pemerintah Inggris sebesar 3.000 poundsterling, namun itu tidak cukup untuk membayar hutang-hutang mereka selama ini. Beberapa orang yang peduli berusaha mengajukan tuntutan, namun selalu saja dikalahkan oleh pengadilan. Bahkan, terakhir, pada era Tony Blair, pengadilan Inggris memutuskan bahwa orang-orang Diego Garcia untuk selama-lamanya dilarang kembali ke tempat asal mereka.

Nasib tragis penduduk Diego Garcia menunjukkan jatidiri rezim AS dan Inggris. Kalau meminjam kata-kata Pilger, tragedi Diego Garcia bisa "menunjukkan kepada kita keseluruhan sistem yang bekerja di balik kebobrokan demokrasi dan membantu kita untuk memahami bagaimana dunia ini diatur demi keuntungan penguasa dan bagaimana mereka telah berbohong."

Kebohongan serupa juga tengah mereka ciptakan untuk Iran. Iran diposisikan sebagai ancaman bagi perdamaian di Timur Tengah. Iran terus-menerus dituduh tengah membangun senjata nuklir, dan dihujani berbagai embargo dengan alasan ‘untuk menekan Iran agar menghentikan proyek senjata nuklirnya'. Padahal, sebuah laporan dari Defence Intelligence Agency AS yang dikutip oleh Chomsky, menyebutkan bahwa anggaran belanja militer Iran sesungguhnya lebih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara kawasan (apalagi bila dibandingkan dengan AS).  Laporan itu juga mengakui bahwa doktrin militer Iran sangat ketat, yaitu "defensif, didesain untuk memperlambat invasi, dan mengutamakan solusi diplomatik dibanding kekerasan."

Karena itu, menurut analisis Chomsky, sebenarnya ancaman Iran bukanlah dari sisi militer. Justru, yang membuat pusing Washington adalah kemampuan Iran untuk melakukan aksi deterrence. Apa itudeterrence? Bila diterjemahkan bebas, mungkin bisa kita pakai istilah: ‘nyali untuk main gertak'. Iran melindungi negaranya tidak dengan cara menyerang atau menginvasi negara lain, tapi dengan meningkatkan kapasitas militernya, lalu secara terang-terangan memamerkannya kepada publik, sehingga muncul rasa takut dari pihak lawan.

Masih kata Chomsky, keberadaan sebuah negara yang berani melakukan aksi deterrence dan bersikap berdaulat (tidak mau digertak lawan), sungguh sebuah gangguan besar bagi rencana AS untuk menguasai dunia. Khususnya, aksi Iran ini mengancam kontrol AS terhadap sumber energi di Timur Tengah. Jika ada negara lain yang dihormati dan ditakuti selain AS, tentulah kontrol tidak lagi di tangan AS. Masalah lainnya yang tak kalah penting membuat ‘panas' AS adalah upaya-upaya Iran untuk memperluas pengaruhnya di kawasan. Kemampuan diplomasi Iran akhir-akhir ini semakin meningkat. Bahkan, banyak yang tidak tahu, justru pada masa AS dan Eropa ramai-ramai mengembargo Iran (era pemerintahan Ahmadinejad), nilai investasi asing di Iran semakin meningkat. Tentu saja, yang bermain bukan perusahaan-perusahaan AS dan Eropa, melainkan, China, Rusia, dan negara-negara kecil yang ‘berani', misalnya, Malaysia, bahkan Vietnam. Indonesia? Sayang sekali, meski Iran sangat proaktif melakukan soft diplomacy ke Indonesia, ketundukan pemerintah Indonesia kepada AS membuat Indonesia tak berani berinvestasi di Iran.

Inilah yang menjadi ancaman bagi AS. Iran berusaha menjalin hubungan dan meneguhkan kedudukannya sebagai sahabat bangsa-bangsa di kawasan; sementara AS ingin mencengkeram dan terus-menerus mengeksploitasi mereka. Kejahatan dan kebaikan tentu saja tidak ada.

IRIB

Belarus gets surface-to-air missiles from Russia



Belarus has taken delivery of the first consignment of advanced Tor-M2 antiaircraft missile systems from Russia
15:19 15/12/2011
MINSK, December 15 (RIA Novosti)
Tags: Tor-M2 antiaircraft missile systemYury ZhadobinMinskBelarus
Belarus has taken delivery of the first consignment of advanced Tor-M2 antiaircraft missile systems from Russia, Belarusian Defense Minister Yury Zhadobin said on Thursday.
“The first two units arrived yesterday,” he told the Belta news agency.
All 14 systems will have been delivered before December 24, he said, adding that the first Tor-M2 battery would be based in the Brest region.
Tor is an all-weather, short-range surface-to-air missile system that can effectively engage aircraft, cruise missiles, unmanned aerial vehicles and ballistic targets
RIA NOVOSTI

Chinese carrier pictured at sea by US company




By Agence France-Presse on Friday, December 16th, 2011
A satellite image of China's first aircraft carrier has been captured while the vessel was undergoing sea trials in the Yellow Sea, a US company said on its website Thursday.
The 300-meter (990-foot) ship, a refitted former Soviet carrier, was photographed on December 8, said Colorado-based DigitalGlobe Inc., and an analyst from the company spotted it when reviewing images five days later.
The Beijing government said earlier this month that the carrier had started its second sea trial after undergoing refurbishment and testing.
The ship underwent five days of trials in August that sparked international concern about China's widening naval reach amid growing regional tensions over maritime disputes and a US campaign to assert itself as a Pacific power.
The South China Sea, which is believed to be rich in oil and gas and is claimed by several countries, has dominated such disputes involving China, leading to run-ins with rival claimants including Vietnam and the Philippines.
Chinese President Hu Jintao on December 7 urged the navy to "accelerate its transformation and modernization" and "make extended preparations for military combat" to safeguard national security.
Beijing only confirmed this year that it was revamping the Soviet ship, the Varyag, and has repeatedly insisted that the carrier poses no threat to its neighbors and will be used mainly for training and research purposes.
But the August sea trials were met with concern from regional powers including Japan and the United States, which called on Beijing to explain why it needs an aircraft carrier.
China only provided the first official acknowledgment of the carrier in June when Chen Bingde, the nation's top military official, gave an interview to a Hong Kong newspaper.


SUMBER DEFENCE TALK

Thursday, December 15, 2011

DPR Sarankan Pemerintah RI Buat Tank Sendiri



PT Pindad sudah memiliki prototipe tank yang cocok untuk Indonesia.

JUM'AT, 16 DESEMBER 2011, 10:47 WIB
Anggi Kusumadewi


Leopard 2A6
VIVAnews – Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin menyarankan pemerintah Republik Indonesia untuk membuat tank-tank sendiri daripada membeli dari pihak luar. Sebelumnya, parlemen Belanda menolak untuk menjual tank Leopard lama milik mereka ke Indonesia, dengan alasan catatan Hak Asasi Manusia (HAM) RI yang buruk di mata mereka.

Tubagus mengaku heran mendengar kabar tersebut, karena sebelumnya pemerintah sama sekali tidak pernah mendiskusikan rencana pembelian tank Leopard dengan DPR. Politisi PDIP ini mengira pemerintah berniat membuat tank sendiri, tidak membeli dari luar negeri.

“Tahun 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan PT. Pindad untuk membuat prototipe tank yang cocok di Indonesia. Sekarang, prototipe itu sudah jadi, jenis tank kelas menengah yang cocok untuk jalanan di Indonesia,” papar Tubagus kepadaVIVAnews, Jumat 16 Desember 2011.

 “Tinggal alat bidik dan meriam yang perlu dibeli, tapi fisik tank-nya sudah oke,” imbuhnya. Oleh karena itulah Tubagus mempertanyakan berubahnya rencana awal pemerintah. “Ini sedang berjalan, kok lantas ada kebijakan baru untuk membeli tank Leopard,” kata dia.

Kini, setelah parlemen Belanda menolak menjual tank Leopard mereka ke Indonesia, Tubagus meminta pemerintah RI kembali ke rencana awal mereka. “Kalau pemerintah mau konsekuen dengan program mereka, teruskan pembuatan di Pindad,” tegasnya. Menurutnya, memproduksi tank sendiri akan menguntungkan Indonesia dari banyak segi.

“Berikan kesempatan kepada anak Bangsa. Produksi dalam negeri sama artinya dengan memberi kesempatan Pindad untuk bisa berkembang, karena biaya yang dibelanjakan pemerintah akan kembali kepada negara, berhubung Pindad adalah perusahaan negara,” jelas Tubagus.

Tank Leopard tidak cocok

Tubagus mengatakan Leopard tergolong tipe tank yang paling canggih, dengan kapasitas 62 ton. Namun kapasitas tank yang berat inilah yang membuat rencana pembelian tank tersebut kontroversial dan menjadi perdebatan di antara ahli-ahli sistem persenjataan RI.

“Ini banyak dipersoalkan, karena kapasitas tank Leopard dianggap terlalu berat. Padahal, jalanan di Indonesia memiliki daya tahan dengan kapasitas rendah. Tank seberat 62 ton akan sulit bergerak di jalanan di Indonesia,” papar Tubagus.

Parlemen Belanda, Tweede Kamer, menolak menjual tank Leopard ke Indonesia, dengan alasan tidak ingin terlibat dalam pelanggaran HAM yang menurut mereka kerap terjadi di Indonesia. Mosi penolakan penjualan tank Leopard ke Indonesia, disampaikan oleh dua partai Belanda yang duduk di parlemen.

“Kita tahu mereka (RI) telah memporak-porandakan Aceh, Timor-Timur. Baru-baru ini juga terjadi kerusuhan di Papua,” kata Arjan El Fassed dari Partai Kiri Hijau yang menginisiasi mosi penolakan itu, seperti dikutip Radio Nederland Siaran Indonesia, Rabu 14 Desember 2011.

Minat Indonesia atas tank Leopard Belanda sebetulnya mendapat sambutan postif pemerintah Belanda, yang segera mengutus Menteri Pertahanan mereka, Hans Hillen, untuk menyampaikan hal tersebut kepada Tweede Kamer. Kementerian Pertahanan Belanda ingin menjual tank-tank Leopard lama mereka kepada Indonesia, sebagai bagian dari langkah penghematan besar-besaran.

Pasca penolakan parlemen Belanda, pengamat militer Indonesia Salim Said berpendapat, keputusan itu berpotensi mengganggu hubungan bilateral kedua negara. “Pasti (penolakan penjualan tank itu) akan berdampak. Apalagi situasi papua sedang menghangat. Banyak kecurigaan dari Indonesia bahwa ada elemen-elemen Belanda yang masih bermain di Papua,” terang Said.
• VIVAnews

Panglima TNI: Penyelenggaraan TNI Manunggal Masuk Desa Sesuai Target



 
Situs Resmi Mabes TNI / Mabes TNI
Jurnas.com | PENYELENGGARAAN TNI Manunggal Masuk Desa (TMMD) ke-86 dan 87 tahun 2011, baik fisik maupun non fisik, dapat diselesaikan sesuai rencana waktu dan target yang ditentukan.

Demikian disampaikan Panglima TNI, Laksamana TNI Agus Suhartono dalam sambutannya saat Raripurna TMMD ke-32 di Balai Soedirman, Jakarta, Jumat (16/12).

"Rapat Paripurna ini meliputi evaluasi dan pelaporan pelaksanaan program TMMD Tahun Anggaran 2011, sekaligus sebagai bahan penyempurnaan TMMD TA 2012," ucap Agus.

TMMD ini, lanjut Agus, adalah salah satu wujud Operasi Bhakti TNI yang merupakan program terpadu lintas sektoral antara TNI dan kementerian, Lembaga Pemerintahan Non Kementerian, dan Pemerintah Daerah. Dalam TMMD ini, Panglima TNI selaku Penanggung Jawab Umum. "Sedangkan Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) sebagai Penanggung Jawab Operasional (JPO)," ujar Agus.

jurnas

Lockheed Martin Rolls Out Final F-22 Raptor




By Lockheed Martin on Thursday, December 15th, 2011
The final Lockheed Martin F-22 Raptor rolled off the assembly line here today and was commemorated with a ceremony recognizing contributions from thousands of people associated with the design and construction of the Raptor fleet.
This F-22 Raptor (Lockheed Martin tail number 4195) now moves into production flight check and will deliver to the U.S. Air Force in 2012, completing the operational fleet at 187 jets.
"This event honors the many men and women of Team Raptor who have taken this plane from concept to reality," said Jeff Babione, vice president and general manager for Lockheed Martin's F-22 program. "For the last 17 years, regardless of the challenges, they always remained singularly focused, delivering the world's greatest fighter. Each Raptor – from the first jet to last jet – is a reflection of the dedication, hard work and professionalism of our workforce."
Operational F-22s are based at Langley Air Force Base, Va.; Elmendorf AFB, Alaska; Holloman AFB, N.M.; and Hickam AFB, Hawaii. Air Force F-22 units have deployed to Kadena Air Base, Japan, and Andersen AFB, Guam, as part of rotational deployments designed to enhance security in the Pacific theater. The Raptor has conducted joint and coalition training both stateside and overseas in locations including the United Arab Emirates.
Lockheed Martin partners with the Air Force to ensure Raptor availability, performance and reliability, and to enhance the aircraft's capabilities to keep it ahead of emerging and proliferating threats.
Headquartered in Bethesda, Md., Lockheed Martin is a global security company that employs about 126,000 people worldwide and is principally engaged in the research, design, development, manufacture, integration and sustainment of advanced technology systems, products and services. The Corporation's 2010 sales from continuing operations were $45.7 billion.


SUMBER: DEFENCE TALK

BERITA POLULER