Pages

Sunday, September 25, 2011

Komandan UNIFIL kunjungi perbatasan Israel - Lebanon di Indobatt



Sabtu, 24 September 2011 13:09 WIB | 906 Views
Komandan UNIFIL Major General Alberto Asarta Cuevas (kedua kiri) ketika mengunjungi area operasi INDOBATT (pos observasi B 78) yang merupakan sensitive area blue line (perbatasan Israel-Lebanon) yang dijaga oleh prajurit Kompi Alpha didaerah El Addaisse, Lebanon Selatan, Kamis (22/9). Kunjungan kerja ini dalam rangka melihat secara langsung kinerja pasukan INDOBATT yang sedang melaksanakan observasi dan penjagaan serta memastikan perkembangan situasi di sekitar area pos observasi B 78. (ANTARA/HO-Sertu Marinir 
Surabaya (ANTARA News) - Komandan UNIFIL, Mayjen Alberto Asarta Cuevas, mengunjungi pos observasi B 78 yang merupakan  kawasan sensitif  (sensitive area blue line) di perbatasan Israel-Lebanon yang termasuk  kawasan operasi batalyon Indonesia (INDOBATT).

Komandan Satuan Tugas Batalyon Infantri Kontingen Garuda (Satgas Yonif Mekanis Konga) XXIII-E/UNIFIL, Letkol Inf Hendy Antariksa, kepada melalui surat elektronik dari Lebanon kepada ANTARA News, Sabtu, melaporkan bahwa Komandan UNIFIL beserta staf mengunjungi pos observasi B 78 pada Kamis (22/9) pukul 11.57 waktu setempat.

"Pada kesempatan itu, Komandan UNIFIL menerima paparan singkat selama lima menit dari Komandan Kompi Alpha Kapten Inf Sigit Purwoko tentang perkembangan situasi perbatasan Israel-Lebanon yang berada dalam pengawasan prajurit Kompi Alpha di pos observasi B 78," katanya.
Kawasan perbatasan yang berada dalam pengawasan pos observasi B 78 tersebut merupakan salah satud&erah panas yang rawan konflik (hotspot)  di antara kedua belah pihak.

"Kunjungan singkat selama 13 menit tersebut bertujuan melihat secara langsung kinerja pasukan INDOBATT yang sedang melaksanakan observasi dan penjagaan serta memastikan perkembangan situasi di sekitar area pos observasi B 78," katanya.

Jenderal berbintang dua asal Spanyol itu menyampaikan rasa terima kasih atas penyambutan dirinya dan kesungguhan serta kinerja yang diberikan oleh prajurit INDOBATT dalam melaksanakan penjagaan dan observasi di sekitar sensitive area blue line tersebut.

"Beliau juga berpesan kepada seluruh prajurit INDOBATT yang saat itu sedang melaksanakan observasi dan penjagaan, agar tetap meningkatkan kewaspadaan untuk mengantisipasi segala kemungkinan ketegangan di antara kedua belah pihak yang bisa saja terjadi setiap saat," katanya.

Dalam waktu yang sama (22/9), Komandan INDOBATT Letkol Inf Hendy Antariksa juga menghadiri upacara serah terima tugas dan wewenang (TOA/Transfer Of Authority) Kontingen Spanyol di Markas Sektor Timur UNIFIL, Base Miguel De Cervantes, Marjayoun UN Position 7-2, Lebanon Selatan (22/9).

Tugas dan wewenang diserahkan dari Kontingen Spanyol yang lama yaitu Brigade Mekanis XIV setelah selama enam bulan melaksanakan tugasnya sebagai Pasukan Penjaga Perdamaian di Lebanon kepada penggantinya, Brigade Mekanis XV.

Prosesi itu juga sekaligus merupakan serah terima jabatan Komandan Sektor Timur UNIFIL yang lama, Brigjen Miguel Alcanis Comas kepada penggantinya Brigjen Fernando Guiterrez Diaz De Otazu.

"Komandan UNIFIL (UNIFIL Force Commander) Majyen Alberto Asarta Cuevaz bertindak selaku Inspektur Upacara (Irup) dalam upacara itu. Beliau menyampaikan rasa bangga dan terima kasihnya kepada Brigjen Miguel Alcanis Comas beserta seluruh prajurit Brigade Mekanis XIV atas dedikasinya yang tinggi serta keberhasilan dalam menjalankan tugas sebagai Pasukan Penjaga Perdamaian (Peacekeepers) di Bumi Lebanon dan menyampaikan selamat bergabung di UNIFIL kepada Brigjen Fernando Gutierrez Diaz De Otazu," katanya.

Sehari sebelumnya, Wakil Komandan INDOBATT, Letkol Mar Harnoko, menghadiri Resepsi Diplomatik Peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-66 yang digelar oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Lebanon di Beirut.

Kegiatan itu juga dihadiri oleh UNIFIL Force Commander, Mayjen Alberto Asarta Cuevas; MTF Commander Rear Admiral Luiz Henrique Caroli; Athase Pertahanan RI untuk wilayah Mesir dan Lebanon, Kolonel Laut (P) Teguh Isgunarto; Komandan Kontingen Garuda, Kolonel Pnb Yulianta; Wadan Sektor Timur UNIFIL, Kolonel Laut (E) Joko Edi Supriyanto; dan tokoh masyarakat setempat.

Acara diawali dengan memperdengarkan lagu kebangsaan Lebanon, kemudian dilanjutkan dengan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan sambutan dari Duta Besar RI Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Lebanon, Dhimas Samodra Rum. (*)
Editor: Priyambodo RH

Polemik Hibah F-16



Kesepahaman antara DPR dan pemerintah dalam pengadaan F-16 masih terus mencari titik temu dari segi teknologi dan pembiayaan. Komisi I DPR, sebagai mitra pemerintah dalam bidang pertahanan dan keamanan nasional, memberikan beberapa persyaratan dan skema pembiayaan. Seperti apa? Berikut saya paparkan polemik sekitar ini.
DPR dan pemerintah telah sepakat bahwa pengadaan F-16 penting bagi TNI untuk meningkatkan performa dan kewibawaan TNI di lingkungan regional. Tertuang dalam rencana pembelian di tahun 2011, telah disepakati alokasi dana untuk pembelian 6 unit F16 baru untuk block 52+, senilai lebih kurang us$ 430juta. Alokasi pembelian armament (senjata) dipersiapkan secara terpisah.
Dalam perkembangannya timbul opsi lain. Hasil komunikasi antara TNI AU dan pemerintah Amerika, secara Goverment to Goverment, pemerintah Amerika menawarkan program hibah F-16 kepada pihak Indonesia. Program hibah ini disampaikan juga oleh Presiden Barrack Obama dalam kunjungan  singkatnya ke Indonesia pada 9 November 2010 yang lalu. Hibah F-16 ini telah mendapat persetujuan dari Kongres Amerika, dengan komposisi sbb : maksimal 28 unit F-16 block 25, 2 unit F-16 block 15, dan 28 engine utk F-16 block 25, dengan kondisi “as is where is” (seperti itu, di lokasi itu) alias apa adanya untuk pesawat F-16 yang diparkir di Arizona.
Di Arizona, terdapat sebuah padang luas, tempat dimana Amerika memarkir pesawat-pesawat tempur, baik yang masih digunakan maupun yang tidak digunakan lagi oleh militer Amerika. Padang Arizona memiliki kelembaban yang  rendah, sehingga pesawat yang diparkir di sana tidak mengalami korosi/kerusakan akibat humiditas. Kongres Amerika telah memberikan izin 28 unit F-16 untuk Indonesia, sementara Indonesia hanya butuh 24, jadi sudah terdapat titik terang. F-16 yang dimaksud kondisi nya terpakai 4000jam sd 6000jam, sehingga harus dilakukan program Falcon Star agar dapat digunakan hingga 8000jam terbang. Menurut KSAU, rata-rata pesawat akan digunakan 10-20jam/bulan, sehingga pesawat bekas tersebut dapat digunakan selama 12 – 15 tahun.
Karena “as is where is”, berarti delegasi Indonesia harus berangkat ke Arizona akan memilih 24 unit pesawat yang terbaik dari ratusan F-16 yang terdapat di sana.
Dalam penjelasan yang disampaikan menteri pertahanan kepada komisi 1, lebih lanjut ditengarai bahwa pemerintah Amerika ternyata tidak memberikan hibah “begitu saja”. There no ain’t such thing as a free lunch, tidak ada makan siang yang gratis. Mereka menawarkan konsep hibah plus upgrade.
Terjadi Dispute. Proposal yang disampaikan menteri pertahanan, diperlukan biaya sekitar us$ 450 juta – 600 juta untuk proses hibah (termasuk upgrade 24 pesawat) tersebut. Pada kesempatan yang berbeda, terjadi penjelasan Panglima TNI dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi I, ada dua catatan terhadap proses hibah dan upgrade ini. Pertama, pesawat setelah diambil dari Arizona, kemudian akan diupgrade ke block 32. Hasil upgrade bisa selesai dan dikirim ke Indonesia, paling cepat pada tahun 2014 sebanyak 4 (empat) unit, setelah itu disusul dengan pengiriman lainnya. Kedua, biaya hibah dan upgrade 450 juta US dollar harus dibayar pemerintah Indonesia di awal, tunai.
Atas persyaratan tersebut, maka terjadilah perdebatan panjang di ruang rapat Komisi I antara anggota Komisi I DPR RI dengan Pihak Kemenhan.
Beberapa pemikiran yang dimunculkan oleh anggota Komisi I antara lain:
Pertama; kalau waktu delivery nya lama, kenapa harus beli bekas. Kalau beli baru, kita butuh waktu sekitar 36 bulan (sekitar 3 tahun) untuk mendapatkan 6 unit saja dengan daya tahan atau pemakaian jauh lebih lama (up to 8000jam pemakaian). Resiko membeli bekas, dari segi teknologi sudah pasti ketinggalan, walau memang harus diakui dari segi jumlah pesawat lebih banyak dengan jumlah uang yang sama.
Kedua; bila membeli bekas dan kemudian akan melakukan upgrade, maka Komisi I secara bulat mempunyai pemikiran, “bagaimana jika 24 unit pesawat F-16 tersebut diupgrade ke teknologi terbaru saja?”. Berdasarkan penjelasan Kemhan dan TNI AU, block 25 dan bloc 52 memiliki 2 perbedaan mendasar yaitu Perbedaan Sistem Avionik (block 32 menggunakan teknologi Commercial Fire Control Computer – CFCC, block 52 menggunakan teknologi Modular Mission Computer – MMC), Perbedaan Engine (engine block 52 berukuran lebih besar), dan Perbedaan Airframe (mengakomodasi mesin block 52 yang lebih besar, dan penambahan ruang angkut bahan bakar). Pilihannya adalah 24 F-16 block 25 tersebut diganti sistem avionik nya (termasuk mengganti cockpit) menjadi sistem avionic block 52 (sistem persenjataan menyesuaikan), sementara airframe dan engine tetap.
Sisi Teknologi
Konsep Hybrid (perkawinan), yaitu F-16 block 25, dengan kekuatan mesin tetap block 25, tapi avionik serta senjatanya di upgrade ke block 52. Keunggulan terdapat di avionic block 52, yang lebih canggih dari avionic block 25 dan block 32. Catatan : Proposal Kemhan mengusulkan agar upgrade avionic dilakukan menjadi block 32.
Pertimbangan yang mengemuka : karena Indonesia negara kepulauan, maka tidak membutuhkan mesin dengan jangkauannya lebih jauh. Untuk menjangkau Malaysia, misalnya, bisa dari kepulauan Riau, atau Pontianak untuk menjangkau wilayah Malaysia yang dekat Kalimantan. Begitu juga, untuk menjangkau Timor Leste bisa dari Kupang.
Dasar pemikiran dari Komisi I dengan konsep Hybryd itu terkait dengan “efek getar” (deterrent effect) dan daya tangkal. Singapura memiliki F-16 block 52 sejak tahun 1998 yang lalu.. Jadi kalau Indonesia di tahun 2014 memiliki 24 unit F-16 yang diupgrade “hanya” menjadi block 32, maka dinilai tidak mempunyai efek getar di kawasan.
Komisi 1 mempersilahkan Kemhan untuk mempersiapkan beberapa opsi, dilengkapi perkiraan biaya dan waktu, untuk menjadi bahan pertimbangan yang diperlukan. Proposal Kemhan untuk meng upgrade menjadi block 32, dan butuh waktu 3 tahun, dengan ongkos us$450 juta, sementara dari segi efek getarnya juga tidak terasa, maka menurut Komisi I, adalah keputusan yang “nanggung”, perbuatan setengah-setengah. Adalah lebih baik sekalian saja beli pesawat tempur baru sebanyak 6 unit blok 52. Selain efek getarnya lebih terasa, umur pemakaian juga akan lebih lama, yaitu sekitar 30 tahun, dibanding pesawat bekas yang hanya berumur 12 tahun.
Sisi Pembiayaan
Polemik kedua berkaitan dengan sisi pembiayaan. Skema pembayaran FMS (Foreign Military Sale) yang ditawarkan oleh pemerintah, sangat menarik, yaitu G to G (negara dibayar oleh Negara). Namun muncul pemikiran : Hibah, kok Mbayar?
Muncul pemikiran : (mungkin) pesawat bekas nya hibah, tetapi di “bundled” dengan membayar utk pelaksanaan program Falcon Star dan Upgrade.
Skema pembayaran FMS, ada kelemahannya : Pemerintah Amerika minta dibayar tunai 70% dimuka. Artinya, pesawat dikirim 2014 tapi pemerintah harus bayar lebih dulu, sekarang juga. Uang sebesar itu (70% x us$450 juta) tertahan diam di kas pemerintah Amerika. Sungguh disayangkan, semestinya dana sebesar itu bisa kita manfaatkan untuk membeli keperluan TNI lainnya seperti pembangunan pesawat patroli, kapal patroli, tank tempur, dan lain-lain. Ada masukan agar melalui Pinjaman Dalam Negeri oleh Bank Pemerintah, sebagai contoh melalui Bank Mandiri cabang New York, Bank Mandiri atas nama Pemerintah membayar penuh ke pemerintah Amerika, sementara Kemhan membayar ke Bank Mandiri secara installment per tahun (dicicil).
Komisi I sekarang ingin berbuat lebih baik dalam masa pengabdiannya. Jangan sampai hanya menjadi “tukang stempel” pemerintah. Tapi harus benar-benar menjadi mitra pemerintah dalam menghasilkan sesuatu yang terbaik untuk bangsa dan negara. Karenanya Komisi I membahas setiap persoalan, secara detil, teliti, dan berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara secara konsisten.
Sisi Pengerjaan Upgrade
Komisi 1 juga menyampaikan pemikiran : untuk memberdayakan kemampuan engineering Dalam Negeri, bagaimana bila proses Falcon Star dan Upgrade Block, dilakukan di wilayah Republik Indonesia? Sehingga terjadi proses pembelajaran dan transfer of technology yang bisa diserap oleh bangsa Indonesia. Kalau proses Falcon Star dan pelaksanaan Upgrade sepenuhnya dilakuka di Amerika, komisi 1 menganggap tidak ada nilai lebih yang signifikan buat industri pertahanan Dalam Negeri. Ini bagian dari komitmen Komisi 1 untuk mendukung pemberdayaan terhadap teknologi dan industri dalam negeri dalam menuju kemandirian alutsista. Pengerjaan upgrade-nya harus dilakukan di Indonesia dengan supervisi dari pihak produsen utama. Kami di Komisi I mengetahui bahwa anak-bangsa kita mempunyai potensi dan kemampuan untuk di bidang teknik perawatan dan upgrade alutsista.
Memahami pemikiran Komisi 1, anak bangsa Indonesia akan mempunyai kesempatan untuk melakukan bongkar-pasang pesawat-pesawat F-16 tersebut. Meskipun mengerjakan barang bekas, ilmu dan pengetahuan yang diperoleh anak bangsa tersebut merupakan aset yang sangat berharga dalam perjalanan bangsa ke depan. Jelas itu jauh lebih berguna bila dibandingkan : belibarang bekas, diupgrade oleh produsen langsung, duit terbang ke negara lain, sementara bangsa sendiri tidak pernah diberi kesempatan untuk pintar.
Jadi selain syarat teknologi dan pembiayaan, Komisi I juga memberikan penekanan pada aspek pengerjaan up-grade tersebut.
Dalam dua kali pertemuan, yaitu Senin (19/09) dan Rabu (21/9) antara pihak Pemerintah dan DPR, kesepakatan belum dicapai. Pihak pemerintah masih akan mengkaji keinginan Komisi I, dan Komisi I juga belum bisa menyetujui kemauan pemerintah. Pihak pemerintah yang hadir dalam pertemuan antara lain Menhan, Wamenhan, Sekjenhan, Panglima TNI, Asrenum  (Asisten Perencanaan Umum) didamping oleh Kasau, Wakasau, dan jajaran Angkatan Udara.
Semoga informasi deskriptif ini bermanfaat bagi masyarakat untuk memberikan masukan yang terbaik untuk bangsa dan negara yang kita cintai ini.**

DPR Setuju Pemerintah Beli 6 Pesawat Tempur



(Foto: Pentak Lanud Iswahjudi)

25 September 2011, Jakarta (VIVAnews): Komisi I Bidang Pertahanan DPR RI menyetujui pembelian enam unit pesawat tempur baru berjenis F-16 Block 52 senilai US$430 juta atau setara dengan Rp3,8 triliun. Dana pembelian sudah dianggarkan dari Rencana Strategis (Renstra) jangka pendek Kementerian Pertahanan anggaran tahun 2011.

"Kemenhan dengan persetujuan Komisi I telah memutuskan membeli enam buah pesawat tempur F-16 Block 52 baru. Anggarannya bahkan telah dialokasikan sebesar US$430 juta," kata Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPR, Tjahjo Kumolo, dalam rilis kepada VIVAnews, 24 September 2011.

Dipilihnya Block 52, lanjut Tjahyo, karena agar kehadiran pesawat tempur itu memiliki efek getar dan daya tangkal yang cukup. "Dan untuk menggantikan pesawat F-16 lama yang sudah dimiliki sebelumnya," ucapnya.

Kemudian, kata Tjahyo, adanya tawaran hibah pesawat F-18 (grounded) dari Amerika Serikat adalah kesempatan bagi Indonesia untuk menambah kuantitas pesawat tempur. Namun hal itu harus diberi dua syarat.

Syarat pertama, pesawat-pesawat Wersebut harus dapat di up grade menjadi F-16 Block 52 sesuai dengan RENSTRA awal tentang minimum essential force (MEF). "Kedua, pesawat itu harus di up grade di Indonesia dengan melibatkan te^aga ahli Indonesia dan Badan Usaha Milik Negara Industri Pertahanan (BUMNIP)," katanya.

Hal ini, sesuai dengan program nasional dalam rangka mewujudkan kemandirian sistim pertahanan Indonesia sesuai UU INSTRA yang sedang dalam proses penyelesaian.

"Kalau dua syarat itu tak bisa dipenuhi, maka Fraksi PDI Perjuangan akan tetap konsisten mempertimbangkan untuk menolak hibah dan mendorong pembelian dengan program membeli enam pesawat F-16 Block 52 baru, atau memilih membeli pesawat tempur jenis lain," kata Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan ini.

Sebagai informasi, kata Tjahyo, jika membeli pesawat tempur Sukhoi satu skuadron sebanyak 16 pesawat, harganya sekitar US$800 juta. "RI masih punya plafon pinjaman State Credit dari Rusia sebesar US$1,1 miliar, langsung bisa terbeli atau kalau mau beli F-16 Block 52 kita juga punya alokasi anggaran 2012-2014 sebesar US$1 milyar," tuturnya.

"Apa Kita Mau Pesawat Tempur Rongsokan"

Komisi I Bidang Pertahanan DPR RI menyetujui pembelian 6 unit pesawat tempur baru jenis F-16 Block 52 senilai Rp3,8 triliun. Wakil Ketua Komisi I, Tubagus Hasanuddin, menyatakan bahwa pesawat tempur RI perlu direvitalisasi.

“Meski kita memiliki beberapa skuadron pesawat tempur, tapi pesawat tempur kita memang sudah tua. Harus ada penggantinya. Pesawat kan harus mengikuti perkembangan zaman,” kata Hasanuddin dalam perbincangan dengan VIVAnews.com, Minggu 25 September 2011.

Menurutnya, beberapa jenis pesawat tempur RI sudah harus diperbarui, seperti F5 untuk bantuan dekat tembakan ke darat, dan Hawk untuk melakukan patroli. Untuk itu, ujar Hasanuddin, DPR dan pemerintah sudah sepakat untuk menganggarkan sejumlah dana.

“Anggaran sudah disiapkan. Kami sudah memprogram pembelian F-16 Block 52. Pesawat sekelas itu sudah cukup canggih,” tutur politisi PDIP itu. Sebelumnya, anggota Komisi I Tjahjo Kumolo menjelaskan, F-16 Block 52 dipilih karena kemampuannya yang memadai. “Kehadirannya memiliki efek getar dan daya tangkal yang cukup,” kata Tjahjo.

Namun, terang Hasanuddin, RI belum langsung memutuskan untuk mendatangkan F-16 Block 52, karena mendadak ada tawaran lain dari Amerika Serikat. “AS tiba-tiba menawarkan hibah pesawat F-16 grounded. Jadi pemerintah dan DPR masih membahas, apakah tetap akan membeli pesawat tempur baru, atau menerima tawaran hibah dari AS itu,” papar Hasanuddin.

Ia sendiri menilai, pembelian pesawat tempur baru lebih banyak manfaat dan keuntungannya bagi RI. Pasalnya, pesawat baru memiliki daya tahan lebih lama ketimbang pesawat grounded. “Pesawat baru bisa 30 tahun umurnya. Tapi pesawat grounded cuma 12 tahun,” kata Hasanuddin.

“Lagipula, pesawat hibah yang ditawarkan AS itu secara terbuka justru disimpan dan ditongkrongkan AS begitu saja seperti rongsokan di Gurun Arizona. Apa kita mau yang seperti itu?” ujar Hasanuddin. Lebih lanjut, ia menyatakan, biaya upgrade pesawat grounded bisa lebih mahal daripada membeli pesawat baru.

Hasanuddin menjelaskan, bila Indonesia menerima tawaran hibah dari AS, maka Indonesia akan mendapatkan 24 unit pesawat grounded. Sementara bila membeli yang baru, Indonesia hanya akan memperoleh 6 unit pesawat. “Tapi pesawat hibah adalah jenis Block 32 yang lebih rendah dari Block 52 yang sudah canggih,” kata dia.

Sumber: VIVAnews

Friday, September 23, 2011

SIDANG PBB KE 66 :Indonesia dukung penuh Palestina jadi anggota PBB



Jumat, 23 September 2011 16:52 WIB | 661 Views
Bendera Palestina (FOTO. ANTARA/Istimewa)

Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia mendukung penuh perjungan Palestina untuk menjadi tetap anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sehingga memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan nagara-negara lainnya yang menjadi anggota tetap PBB.

"Presiden Palestina Mahmoud Abbas akan menyampaikan pidato resmi yang memohon agar Palestina menjadi anggota tetap PBB. Pidato itu disampaikan di hadapan sidang umum PBB di New York, Amerika Serikat, hari ini," kata Wakil Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Priyono Wibowo.

Priyono Wibowo menjelaskan, dukungan dari Pemerintah Indonesia diwujudkan dengan hadirnya Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Marty Natalegawa dan sejumlah pejabat Kmenterian Luar Negeri, pada sidang umum PBB di New York, Amerika Serikat, Jumat ini.

Selain Menteri Luar Negeri, pimpinan dan anggota Komisi I DPR RI yang membidangi luar negeri, juga menghadiri sidang umum PBB, mereka adalah, Wakil Ketua Komisi I DPR RI Hayono Isman, serta dua anggota Komisi I DPR RI, Hayono Isman dan Luthfi Hasan Ishaq.

"Dengan menjadi anggota tetap PBB, maka Palestina memiliki hak-hak dan kedudukan yang sama dengan negara lainnya yang menjadi anggota PBB," katanya.

Menurut dia, Indonesia sejak tahun 1948 selalu mendukung perjuangan rakyat Palestina guna mewujudkan negara Palestina merdeka.

Indonesia, kata dia, juga sudah mengakui kemerdekaan Palestina sejak 1988, yang diwujudkan dengan hubungan diplomatik yang baik dan adanya keduataan besar Palestina di Indonesia.

Pemerintah Indonesia, kata dia, mendukung perjuangan Palestina menjadi anggota tetap PBB agar pada perundingan kedua negara menjadi seimbang, yakni perundingan kedua negara berdaulat, dan sama-sama merupakan anggota PBB.
sumber :antara

Jakarta - Presiden Palestina Mahmud Abbas membuat keputusan bersejarah dalam pencarian panjangnya untuk mencapai kemerdekaan negaranya. Abbas resmi meminta PBB untuk mengakui Palestina sebagai negara anggota penuh di PBB.

Tanpa menghiraukan perlawanan dari Israel dan Amerika Serikat, Abbas menyerahkan sebuah aplikasi formal untuk Sekjen PBB Ban Ki-moon. Permintaan Abbas sendiri telah didukung lebih dari 120 negara yang telah mengakui negara Palestina.

Abbas sempat melambaikan salinan permintaan tersebut dihadapan majelis PBB. Meski upaya perdamaian sebelumnya berkali-kali membentur batu karang dari pemerintah Israel. Namun Abbas menekankan Palestina tidak ingin mengisolasi atau de-melegitimasi Israel.

Palestina hanya ingin mengakhiri kebijakan pemukiman Israel yang akan menghancurkan kesempatan untuk berdama bagi kedua negara bertetangga ini.

"Kebijakan ini pemukiman mengancam dan juga merusak struktur Otoritas Nasional Palestina," ujar Abbas seperti dilansir dari AFP, Sabtu (24/9/2011).

Israel pun cepat beraksi atas langkah yang diambil Abbas ini. Israel menyesalkan sikap Palestina itu.

Ban Ki-moon kini harus menghadapi permintaan bersejarah itu ke Dewan Keamanan PBB. Namun pemungutan suara untuk mengakui Palestina sebagai negara anggota penuh bisa memakan waktu berminggu-minggu. Juru bicara PBB Martin Nesirky mengatakan tawaran Palestina akan cepat diproses.

Langkah Abbas ini pun mendapatkan sambutan dari banyak negara, tetapi tidak demikian dengan Amerika Serikat. Duta besar negara adikuasa untuk PBB Susan Rice duduk dengan wajah kaku selama Abbas berpidato, bahkan ia juga tidak bertepuk tangan.

Dalam Twitter nya dia hanya mengatakan bahwa pembicaraan langsung bisa mengarah ke perdamaian bagi Palestina.

"Ketika akhir pidato hari ini, kita semua harus mengakui bahwa satu-satunya cara untuk menciptakan sebuah negara adalah melalui negosiasi langsung. Tidak ada jalan pintas," katanya.



sumber : detik

Russia, Kazakhstan to set up joint air-defense system



Russia and Kazakhstan are planning to set up a joint air-defense system in the very near future
12:42 22/09/2011
MOSCOW, September 22 (RIA Novosti)


Russia and Kazakhstan are planning to set up a joint air-defense system in the very near future, a senior Russian military official said on Thursday.
"We already have such bilateral regional air-defense systems with Belarus and Armenia and in future we are planning to build a similar air-defense system with Kazakhstan," Col. Gen. Valery Gerasimov, deputy chief of the General Staff of Russia's Armed Forces, said.
At present Kazakhstan's air-defense system is part of the integrated CIS air-defense system.
A bilateral air-defense system with Kazakhstan could be created "in the very near future," he added.

RIA NOVOSTI

Russia to refit nuclear missile cruisers - media



The Admiral Nakhimov nuclear missile cruisers
17:54 21/09/2011
MOSCOW, September 21 (RIA Novosti)


The Russian Defense Ministry is planning to refit three mothballed nuclear-powered Kirov-class missile cruisers in a major boost for the Russian Navy's combat strength, Izvestia newspaper said on Wednesday.
The Admiral Nakhimov, Admiral Lazarev and Admiral Ushakov nuclear missile cruisers were built in the Soviet era but have been decommissioned and laid up in dock for over a decade. The only active Kirov class cruiser is the Pyotr Veliky, the flagship of Russia's Northern Fleet.
Izvestia cited a source in the Russian defense industry as saying the overhaul would include the hull and nuclear power plant repairs as well as a significant modernization of the ships' electronics and weaponry.
"All these measures will allow us to extend the service life of these ships until 2030-2040," the source said.
The ships' armament will get a major boost, with installation of advanced multi-module missile systems capable of firing a wide range of missiles and torpedoes, including P-800 Yakhont (SS-N-26) anti-ship cruise missiles.
The ships will also receive advanced air defense missile systems based on the land-based S-400 Triumf, and new point-defense systems.
Each cruiser will have a total missile carrying capacity of 300 missiles, making the ships among the best armed in the world.
After the refit, the Kirov class cruisers will most likely be deployed with Russia's Northern and Pacific fleets as part of large task forces set up to carry out a variety of combat missions - from "hunting" the adversary's aircraft carriers and submarines to massive land assaults.
Work on the Admiral Nakhimov has already started and the cruiser is expected to re-enter service with the Russian Navy in 2015, according to sources quoted in the media.

RIA NOVOSTI

Australia Requests Sixth C-17A Globemaster III



23 September 2011

RAAF C-17 Globesmaster III (photo : Air Attack)

Minister for Defence Stephen Smith announced today that Australia is investigating the purchase of a sixth C-17A Globemaster III heavy-lift aircraft.

Australia has sent a Letter of Request to the United States regarding the potential purchase of an additional C-17A aircraft through the United States Foreign Military Sales program, formally seeking cost and availability information.

A sixth C-17 would give the Government increased options to support a wider range of contingencies that might require heavy-lift aircraft. Advice from Defence is that a sixth aircraft would double the number of C-17A aircraft available for operations at any one time compared to four aircraft.

Minister Smith made this announcement at the Amberley Air Force Base today at the ceremony marking the arrival into Australia of the Royal Australian Air Force’s fifth C-17A.

The acquisition of the fifth C-17A was announced by the Government on 1 March this year and was confirmed in the 2011-12 Budget.

On 14 September, Minister Smith took delivery of the fifth C-17A Globemaster III at Boeing’s Long Beach production facility near Los Angeles.

The Royal Australian Air Force’s five C-17A aircraft were delivered over the period 2006 to 2011. The first of these became operational in 2007, providing the Australian Defence Force with a global airlift capability.

The addition of the fifth aircraft to the Air Force’s fleet will expand Australia’s capacity to deploy personnel and equipment rapidly all around the world.

The C‑17A aircraft can lift very large and heavy cargoes over long distances providing a significant contribution to Australia’s ability to reach and respond to events. One C‑17A can carry up to four C-130 Hercules loads in a single lift and cover twice the distance in three-quarters of the time of a C‑130.

Events in Queensland, Christchurch and Japan earlier this year underlined the C‑17s as an essential part of Australia’s capacity to respond to natural disasters both within Australia and within our region.

The ability of C-17s to move equipment and people played a vital role in the aftermath of Cyclone Yasi in north Queensland in February, helping to transport ADF personnel and civilians and airlifting more than 320 tonnes of cargo, including more than 200 tonnes of food supplies. C-17s also helped evacuate to safety in Brisbane more than 250 patients from Cairns Hospital and Cairns Private Hospital.

C-17s also delivered much-needed equipment, stores and emergency services personnel to New Zealand in the wake of the terrible February earthquake in Christchurch and returned more than 100 Australian civilians to Australia.

In March, following the earthquake and tsunami in Japan, C-17s moved more than a million pounds (450 tonnes) of cargo, including 41 vehicles, as well as 135 passengers as part of Australia’s relief efforts in Japan. At one stage during the relief operation, Australia had three C-17 aircraft in Japan providing humanitarian assistance and disaster-relief support.

While disaster relief has been a recent public focus for C-17 operations, they also continue to support Australian and International Security Assistance Forces in Afghanistan and the Middle East, meeting their primary purpose in providing military long-range heavy airlift.

Following receipt of cost and availability information from the United States, the Government will make a decision about the purchase based on capability, cost and schedule assessments of the sixth C‑17A.

BERITA POLULER