Pages

Monday, April 25, 2011

Bank Mandiri Biayai Kapal Rudal TNI


Senin, 25 April 2011 15:45 WIB | 51 Views
KCR-40. (TNI AL)
"Kami bangga dapat turut serta dalam pembangunan kapal cepat rudal berteknologi tinggi yang murni dibuat anak bangsa."
Batam (ANTARA News) - Bank Mandiri membiayai pembangunan kapal cepat rudal 40 meter yang akan digunakan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) untuk mengamankan perairan Republik Indonesia.

"Pembiayaan diberikan melalui PT Palindo senilai Rp65,97 miliar untuk dua KCR-40," kata Direktur Utama Bank Mandiri, Zulkifli Zaini, Senin.

Zulkifli mengatakan, Bank Mandiri ingin meningkatkan peran aktif dalam pengembangan teknologi alat utama sistem persenjataan (alutsista) untuk menciptakan kemandirian bangsa dalam memperkuat kedaulatan nasional.

"Kami bangga dapat turut serta dalam pembangunan kapal cepat rudal berteknologi tinggi yang murni dibuat anak bangsa," kata dia.

Berbeda dengan pinjaman lain, ia mengemukakan, pembiayaan alutsista bersifat peminjaman dalam negeri.

Sebelumnya, kata dia, pengadaan alutsista TNI menggunakan skema kredit ekspor. Namun, ia menjelaskan, ketentuan itu dirubah, hingga kini menjadi pinjaman dalam negeri menggunakan mata uang rupiah murni, demi meningkatkan efesiensi dan kecepatan pembiayaan pengadaan alutsista.

Direktur Commercial and Business Bank Bank Mandiri, Sunarso, mengatakan bahwa hingga saat ini menyalurkan pembiayaan Rp388,78 miliar untuk pengembangan sistem persenjataan, radio detecting and ranging (radar) dan sejumlah alat/persenjataan lainnya.

"Bank Mandiri berkomitmen mendukung pembiayaan alutsista sejak 2007," kata dia.

PT Palindo Marine membangun KCR-40 Cluri yang diserahterimakan kepada Menteri Pertahanan, Purnomo Sugiantoro, di Batam, Senin.

KCR-40 Clurit dilengkapi sistem persenjataan modern di antaranya meriam kaliber 30 mm enam laras sebagai pertempuran jarak dekat dan peluru kendali dua set rudal C-705.
(T.Y011/B008)


ANTARA

Sunday, April 24, 2011

Siapakah Sesungguhnya Perompak Somalia?



©Dina Y. Sulaeman Rakyat Indonesia hari ini sedang dirudung keprihatinan karena belasan pelautnya tengah disandera pembajak Somalia. Dalam sebuah berita online tentang perompak Somalia, ada seorang komentator yang bertanya, "Mengapa negara-negara Barat mau bersepakat menyerbu Libya, tetapi tidak ada tindakan yang mereka ambil untuk mengamankan Teluk Aden?
Sungguh sebuah pertanyaan yang kritis. Ya, mengapa perompak Somalia ‘dibiarkan' sedemikian merajalela? Masa sih AS dan NATO dengan persenjataan mereka yang sangat canggih tak mampu menumpas pembajak laut dari sebuah negara sangat-sangat miskin, Somalia?
Dulu saya pernah menulis mengenai indikasi ‘pembiaran' perompak Somalia itu, dengan mengutip analisis William Engdahl dari Global Research. Singkatnya begini, AS yang melancarkan serangan ke Yaman dengan alasan ‘mengejar Al Qaeda', sesungguhnya menghendaki perubahan rezim di sana. Yaman berbatasan dengan Arab Saudi di utara, Laut Merah di Barat, Teluk Aden dan Laut Arab di selatan, di seberang Teluk Aden ada Somalia, Jibouti. Di sebelah Jibouti berderet Eritrea, Sudan, dan Mesir. Dengan demikian, semua negara itu (Arab Saudi, Mesir, Somalia, Jibouti, Eritrea, Sudan, dan Yaman saling berhadapan dengan Selat Mandab (Bab el Mandab) yang super-strategis.Tanker-tanker minyak dari Teluk Persia harus lewat ke Selat Mandab, baru kemudian melewati Kanal Suez, dan menuju Mediterania.
Menurut Engdahl, jika AS punya alasan yang diterima opini publik internasional untuk memiliterisasi Selat Mandab, AS akan punya kartu truf di hadapan Uni Eropa dan China bila mereka ‘berani' di hadapan AS. Suplai energi China dan Eropa sangat bergantung dari Selat Mandab. Bahkan Selat Mandab bisa dipakai AS untuk menekan Arab Saudi agar tetap melakukan transaksi dalam dollar Amerika (sebagaimana pernah diberitakan media, Arab Saudi dan beberapa negara -termasuk Iran-pernah melontarkan keinginan untuk melakukan transaksi tidak dengan dollar). Engdahl juga menyebutkan adanya informasi dari Washington bahwa ada sumber minyak yang luar biasa besar di Yaman, yang sama sekali belum dieksplorasi.
Engdahl kemudian menyoroti kasus bajak laut Somalia yang membuat kacau di Selat Mandab selama dua tahun terakhir. Pertanyaannya: bagaimana mungkin bajak laut dari Somalia, sebuah negara yang berada di nomor teratas dalam list ‘negara gagal' (failed state) sampai punya senjata dan logistik yang canggih, sampai-sampai dalam dua tahun terakhir mampu membajak 80 kapal dari berbagai negara? Bahkan pembajak Somalia itu memakai gaya-gaya penjahat di negara maju: menelpon langsung kantor koran Times di Inggris, memberitahukan bahwa mereka sudah membajak. Saat ini, tercatat ada 56 kapal asing yang masih berada dalam ‘tawanan' pembajak Somalia beserta 800-an awak kapalnya. Selain kapal Indonesia "Sinar Kudus", ada kapal FV NN Iran yang ditawan sejak 2 Maret 2009 bersama 29 krunya.
Merajalelanya perompak Somalia di Selat Mandab memberi alasan kepada AS untuk menaruh kapal perangnya di sana. Pemerintah Mesir, Sudan, Jibouti, Eritrea, Somalia, Arab Saudi, sudah terkooptasi oleh AS sehingga diperkirakan tidak akan memberikan reaksi negatif bagi militerisasi AS di Selat Mandab. Kini, masih ada satu negara di sekeliling Selat Mandab yang masih perlu ditaklukkan: Yaman.
Pemerintah Yaman memang pro-AS, tapi masalahnya, Presiden Ali Abdullah Saleh tidak cukup kuat untuk mengontrol negaranya, karena itulah dia harus ‘digulingkan'. Aksi-aksi protes di Yaman saat ini, karenanya, sangat bersesuaian dengan keinginan AS.

Analisis Engdahl ini terasa klop dengan laporan dari AFP yang merilis pernyataan dari pejabat Interpol. Menurut mereka, aksi-aksi pembajakan di lepas laut Somalia dikontrol oleh sindikat kriminal, termasuk orang-orang asing (non-Somalia) yang tergiur oleh kesempatan untuk mendapatkan uang tebusan multi-juta dollar. Para pembajak itu memiliki senjata-senjata dan alat pendeteksi yang sangat canggih sehingga mereka mampu melakukan pembajakan di perairan dengan jarak yang sangat jauh, bahkan mencapai 1.200 nautical mil (=1380,935 mil) di lepas pantai Somalia. Mick Palmer, pejabat Interpol dari Australia, menyatakan bahwa ada bukti yang jelas, yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kecanggihan perlengkapan yang dimiliki para pembajak. "Jadi mereka mendapatkan bantuan yang sangat canggih dalam mendeteksi keberadaan kapal-kapal perdagangan besar," kata Palmer.
Tak heran bila Jean-Michel Louboutin, direktur eksekutif kepolisian di Interpol yang berbasis di Prancis menegaskan, "Ini adalah kejahatan yang terorganisasi."
Lebih jauh lagi, pejabat Interpol itu menjelaskan bahwa pembajak laut Somalia sebenarnya hanya mendapatkan sebagian kecil dari uang tebusan. Rata-rata, setiap dua juta dollar yang mereka dapatkan sebagai uang tebusan, hanya 10.000 dollar yang masuk ke kantong mereka. Sisanya, masuk ke kantong sindikat kriminal. Setengah juta dollar akan diambil oleh orang yang menghantarkan tebusan (biasanya diantarkan dengan helikopter yang mendarat di atas kapal yang dibajak), dan setengah juta dollar lagi diambil oleh negosiator.
Dengan tegas Palmer menyatakan, "Ini adalah sebuah industri besar. Besar sekali uang yang bisa dihasilkan dari pembajakan. Tetapi, para pembajak itu sendiri, banyak di antara mereka adalah remaja miskin, hanya mendapat sebagian kecil saja dari uang itu."
Jadi, bila kita kembali ke pertanyaan yang diajukan komentator di atas, setelah membaca uraian artikel ini, menurut Anda, apa jawabannya?[]


IRIB

Iran Terus Eksis di Perairan Internasional untuk Tujukkan Kekuatan Angkatan Laut Republik Islam

Iran Terus Eksis di Perairan Internasional untuk Tujukkan Kekuatan Angkatan Laut Republik Islam Iran akan mempertahankan eksistensi strategisnya di perairan internasional guna menunjukkan kekuatan dan melindungi kepentingan Republik Islam.
IRNA melaporkan, hal itu dikemukakan hari ini (24/4) oleh Panglima Angkatan Laut Iran, Laksamana Habibollah Sayyari.
"Angkatan Laut Republik Islam Iran berusaha eksis secara aktif dan strategis di perairan internasional guna menunjukkan kekuatan dan demi menjaga kekayaan dan kepentingan negara".
"Ini merupakan hak kami untuk eksis di perairan internasional, dan kami akan menunjukkannya di mana pun guna melindungi kepentingan negara termasuk memerangi bajak laut di Teluk Aden, Somalia," tambahnya.
Menyusul peningkatan aksi perompakan laut di Teluk Aden, Iran mengirimkan armada baru ke kawasan itu guna melindungi kapal-kapal dagang dan tanker minyak Iran dari serangan perompak laut Somalia.
Sejalan dengan upaya masyarakat internasional memerangi perompakan laut di perairan Somalia, Angkatan Laut Iran melakukan patroli rutin di Teluk Aden sejak November 2008.
Menurutnya, angkatan laut yang strategis harus memiliki kemampuan untuk eksis di perairan internasional.
Lebih lanjut Laksamana Sayyari menjelaskan, bahwa kehadiran Angkatan Laut Iran di perairan internasional bertujuan "melindungi kepentingan yang jelas, menyampaikan pesan-pesan perdamaian dan persahabatan, serta untuk menunjukkan kekuatan dan kemampuan Iran di laut.
Pada Februari lalu, dua kapal Angkatan Laut Iran, Khark dan Alvand, melewati Terusan Suez, jalur pelayaran strategis internasional di Mesir, untuk pertama kalinya sejak kemenangan Revolusi Islam pada tahun 1979.
Dalam beberapa tahun terakhir, Iran meraih prestasi besar di bidang pertahanan dan telah mencapai swasembada dalam memproduksi persenjataan dan sistem militer penting. (IRIB/MZ)

IRIB

Commander Insists on Plan to Buy Old German U-boats


23 April 2011

Type 206A submarines of German Navy (photo : Militaryphotos)

Navy chief Kamthorn Phumhiran is insisting on pushing ahead with the plan to procure six second-hand submarines from Germany, dismissing the other option of buying brand-new South Korean ones as being too expensive.

Adm Kamthorn yesterday said he would go ahead with the navy's original plan. It would be presented to the Defence Council chaired by Defence Minister Prawit Wongsuwon next week.

Gen Prawit had earlier voiced his support for the idea of acquiring two brand-new submarines from South Korea. He believed they would last longer than the decommissioned German ones.

The six Type U-206A coastal patrol submarines have been in use in Germany for more than 30 years and Adm Kamthorn admitted they had only another six or seven years of useful life left.

Though the South Korean Type U209 submarine is made using German technology, Adm Kamthorn said it is too big, with a displacement of 1,200 tonnes. "They also cost up to 13 billion baht each," he said.

Although the navy included the option of buying South Korean submarines in its feasibility study, it does not have enough money to buy the two new ones.

"It is most practical to buy the second-hand ones at a cost of 7.7 billion baht," said Adm Kamthorn, who also played down concerns over the usefulness of the submarines in Thai waters. "The navy has to take care of Thailand's marine interests valued at 900 billion baht a year. An investment of 7.7 billion baht will be worth it," he said.

If Thailand fails to secure the six submarines, the opportunity may go to Chile or Colombia, which are also interested in striking a deal with Germany, said navy Assistant Chief of Staff for Operations Thawiwut Phongphiphat.

A navy source said other countries in Southeast Asia have already strengthened their navies with submarines. Malaysia deploys two French-made ones, Singapore has four and Vietnam has three, with a plan to buy six more from Russia. Even Burma has already had its soldiers trained in submarine operations.

If the Defence Council and later the cabinet approve the navy's purchase plan, the first batch of 30 navy officers will be sent for a year of training in Germany before Thailand receives the submarines, said Vice Adm Thawiwut.

"The navy doesn't want to have these submarines, we need them," Adm Kamthorn said. "They are weapons for protection. They may be small, but a small cobra can bite a bigger person to death."

Two subs would be deployed in the Gulf of Thailand and two in the Andaman Sea, with the others as replacements.

Navy Still Wants 6 German Submarines


22 April 2011

Type 206A submarine from Germany (photo : Militaryphotos)
The navy still wants to buy six used Type U206A submarines from Germany, because they are most suitable for its needs, navy chief Admiral Kamthorn Poomhiran said on Friday.

Adm Kamthorn said the Type U206A submarine is most suitable for the Thai navy because it is small and agile, with a displacement of only 450 tonnes.

Moreover, the six submarines would cost the navy only 7.7 billion baht.

"I can guarantee that they can be in commission for more than 10 years," he said.

Adm Kamthorn said this type of submarine is far better than the Type U209 submarines which the navy earlier hoped to buy from South Korea.

Korea bought the submarines, which are much bigger at more than 1,000 tonnes displacement each, from Germany and had them refurbished.

Two Type U209 submarines would cost the navy 13 billion baht, which is far more expensive than the Type U206A from Germany, he said.

"The 7.7 billion baht to buy six Type U206A submarines from Germany is worthwhile, to protect the country's yearly marine interests of more than 900 billion baht," Adm Kamthorn said.

The navy chief said a proposal to buy six submarines from Germany would be forwarded to the Defence Council meeting chaired by Defence Minister Prawit Wongsuwon next week for approval.

If approved, the proposal would be tabled for cabinet consideration.

He said the navy plans to buy the submarines with its own four-year tied-over budget.

Vice Admiral Taweewut Pongpipat, assistant navy chief-of-staff for tactical operations, said the navy plans to use two submarines in the Gulf of Thailand and two in the Andaman Sea, while two others would be used for rotation.

He said the navy has already selected the first batch of 30 naval personnel for training in Germany for one year before the submarines were handed over.

The submarines the Thai navy plans to buy are still in operation, and not decommissioned yet.

"If we don't buy them, Chile and Colombia would," Vice Adm Taweewut said.

Malaysia now has two submarines in commission and Singapore has four, a navy official said.

Vietnam already has four submarines and is reported to be negotiating to buy six more at a cost of US$4 billion from Russia, while Burma has already trained its sailors for submarine operations, the official said.

Rudal Rusia, Rudal China, dan Pertahanan Perbatasan


Peluru kendali (rudal) Yakhont meluncur ke udara setelah ditembakkan dari Kapal Republik Indonesia Oswald Siahaan-354 (jenis kapal perusak kawal kelas Fregat Vanspeijk) di perairan Samudra Hindia, Rabu (20/4). (Foto: Kompas/Hendra A Setyawan)

25 April 2011, (Kompas): Selangkah demi selangkah upaya membangun pertahanan Republik Indonesia dibangun sejak krisis Timor Timur tahun 2000. Embargo senjata dari Amerika Serikat membuat Indonesia beralih kepada dua negara yang sempat menjadi sahabat erat pada era Soekarno, yakni Rusia dan China.

Salah satu jenis persenjataan dari Rusia dan China yang memperkuat pertahanan Indonesia adalah peluru kendali. Peluru kendali paling canggih yang dimiliki adalah jenis Yakhont buatan Rusia dengan jarak jelajah (cruising range) 300 kilometer. ”Ini merupakan rudal dengan jangkauan terjauh yang saat ini kita miliki,” ujar Komandan Gugus Tempur Laut Armada RI Kawasan Timur Laksamana Pertama Soleman Banjar Nahor, dalam latihan penembakan rudal Yakhont di perairan Samudra Hindia, Rabu (20/4) pekan lalu.

Keberadaan Yakhont memang strategis bagi pertahanan Indonesia. Jangkauan 300 kilometer yang dimiliki Yakhont seandainya ditempatkan di pesisir timur dan utara Sumatera dapat menjangkau Semenanjung Malaya, Thailand Selatan, serta Kepulauan Nicobar dan Andaman. Seandainya digelar di Kepulauan Natuna-Anambas, rudal tersebut dapat mencapai sasaran di sekitar Kepulauan Spratly dan Paracel, yang menurut pengamat Barat dapat menjadi potensi konflik pada masa depan karena pertentangan China-Amerika Serikat (AS) yang tentu saja akan berdampak pada ASEAN.

Seandainya digelar di wilayah timur Indonesia, di kawasan Sulawesi Utara, Maluku Utara, atau Papua, rudal Yakhont dapat menjangkau sasaran di Filipina selatan hingga Guam, yang menjadi salah satu basis militer terdepan AS. Adapun di wilayah selatan, di sekitar Kupang dan perairan Timor, rudal tersebut dapat menjangkau sasaran di Darwin dan sebagian kawasan Northern Territory Australia.

Soleman menambahkan, saat ini platform penembakan rudal Yakhont baru dimiliki kapal Armada RI Kawasan Timur yang relatif lebih besar dibandingkan dengan kapal milik Armada RI Kawasan Barat. ”Ke depan Armabar juga akan mampu mengoperasikan Yakhont,” tutur dia.

Seorang perwira muda di Komando Lintas Laut Militer mengatakan, Yakhont dapat ditembakkan dari beragam platform, seperti silo-penyimpanan rudal-di darat, kendaraan tempur, hingga pesawat tempur pengebom seperti Sukhoi. Penembakan melalui pesawat tempur pengebom tentu menambah jauh jangkauan serangan rudal Yakhont!

Rudal dengan hulu ledak (warhead) 300 kilogram bahan peledak itu memiliki dimensi panjang 8,9 meter, diameter 72 sentimeter, dan memiliki kecepatan maksimum hingga 2,5 mach (kecepatan suara). Dalam uji tembak di Samudra Hindia di selatan Selat Sunda, rudal Yakhont menjangkau sasaran di lautan sebelah selatan Pulau Enggano yang berjarak 250 kilometer dalam enam menit saja.

Kepala Pusat Penerangan Umum Mabes TNI Laksamana Muda Iskandar Sitompul mengatakan, keberadaan rudal Yakhont dalam persenjataan TNI lebih ditujukan sebagai detterent (penangkal) terhadap upaya agresi ataupun tindakan tidak bersahabat dari negara tetangga. ”Tentu saja kita mengutamakan perdamaian ASEAN. Apalagi Indonesia adalah negara yang menjadi teladan di ASEAN,” ungkapnya lagi.

Rudal China

Selain persenjataan Rusia, rudal buatan China juga memperkuat persenjataan TNI. Soleman menceritakan adanya rudal buatan China tipe C-802A dan C-705. Rudal itu merupakan jenis ”Exocet” buatan China.

”Sejumlah kapal perang kita diperlengkapi rudal itu. Sejenis dengan rudal-rudal yang memperkuat kapal perang Kerajaan Thailand yang juga dibuat China,” kata Soleman.

Beberapa tahun lalu, Kompas sempat mengunjungi HTMS Taksin yang sempat singgah di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Kapal latih Angkatan Laut Kerajaan Thailand tersebut dibuat galangan kapal di Shanghai dan memiliki rudal buatan China. Pekan lalu HTMS Taksin kembali singgah di Indonesia, tepatnya di Pelabuhan Benoa, Bali.

Rudal China dengan jangkauan sekitar 70 kilometer hingga 90 kilometer itu turut memperkuat persenjataan Republik Indonesia. Tentu saja di samping persoalan embargo, produk persenjataan buatan Rusia dan China lebih murah jika dibandingkan produk sejenis buatan AS.

Sebuah kapal perang baru, yang akan diluncurkan di Batam, Kepulauan Riau, Senin (25/4), juga diperkuat dengan persenjataan China, termasuk rudal C-802A. Seperti pada tahun 1960-an, persenjataan untuk menjaga wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang waktu itu disegani di belahan bumi selatan, kembali diperkuat arsenal produksi Blok Timur: Rusia dan China. (Iwan Santosa)

Sumber: KOMPAS

Latihan Tempur Laut Operasi Jala Perkasa



23 April 2011, Laut Jawa (ANTARA Foto): Sejumlah ABK KRI Oswald Siahaan-354 melambaikan tangan ke arah KRI Sultan Hasanudin-366, usai melakukan latihan Peran Perbekalan, di Laut Jawa, Jumat (22/4). Peran Perbekalan yang dilakukan antar kapal perang tersebut, dalam rangka latihan tempur laut Operasi Jala Perkasa. (Foto: ANTARA/Eric Ireng/Koz/pras/11)


Perwira Pelaksana (Palaksa) KRI Oswald Siahaan-354, Mayor laut (P) Daymond Iwan (2 kiri), memeriksa persiapan amunisi meriam kaliber 76 mm Otomelara buatan Laspezia Italia, di ruang kontrol penembakan KRI Oswald Siahaan-354. (Foto: ANTARA/Eric Ireng/Koz/pras/11)

Seorang ABK berada di samping anjungan, saat penembakan meriam kaliber 76 mm Otomelara buatan Laspezia Italia, oleh KRI Oswald Siahaan-354. (Foto: ANTARA/Eric Ireng/Koz/pras/11)

Sumber: ANTARA News

BERITA POLULER