Kapal Indonesia dan awaknya disandera perompak Somalia. Negosiasi atau aksi militer?
Jum'at, 15 April 2011, 22:35 WIB
Edy Haryadi, Fadila Fikriani Armadita, Mohammad Adam, Dedy Priatmojo, Denny Armandhanu, Elin Yunita Kristanti
Pasukan khusus Korsel membekuk perompak Somalia di Laut Arab (AP Photo/Arabian Navy via Yonhap)
Tiba pukul 11 siang. Kiki merasa ada yang ganjil di rumah itu. Ibu dan sang kakak cuma sekedar menyambut Sesudah itu mereka diam. Lalu murung. Kiki tak bertanya ada apa gerangan. Perut lapar mengajak ke dapur. Siang itu dia makan dengan lauk dua rendang.
Sesudah itu dia masuk kamar. Membaca buku, lalu shalat Dzuhur pukul 12 siang. Belum lagi membereskan mukena, ibunya masuk kamar. Berusaha tenang dia menyampaikan. “Ayahmu diculik bajak laut di Somalia.”
Reski Judiana begitu nama lengkap Kiki semula tak percaya, lalu menangis histeris. Pecahlah tangisan di keluarga ini. Kiki, sang ibu juga abangnya, Rezka Judittya yang sedang menonton televisi di ruang keluarga.
Sang ayah, Slamet Jauhari, adalah nahkoda Kapal Sinar Kudus berangkat ke Belanda Februari 2011. Kapal itu mengangkut nikel milik PT Aneka Tambang senilai ratusan miliar. Melaut dari Pomala Sulawesi Tenggara, kapal itu melepas jangkar terakhir di Rotterdam. Berpuluh hari di laut lepas.
Tanggal 11 Maret sang ayah sempat memberi kabar. Sudah tiba di Kolombo. Tak ada kabar buruk. Sampai tanggal 17 Maret dua orang tak dikenal bertamu ke rumah mereka di Ciledug Tanggerang. Mereka datang pukul 10 pagi. Di rumah itu cuma ada Rezka.
Dua tamu itu rupanya utusan PT Samudera Indonesia, pemilik kapal Sinar Kudus. Mereka lah yang berkisah soal aksi bajak laut di Somalia itu. Ketika sedang berlayar di 320 mil timur laut Pulau Socotra, Rabu pagi 16 Maret 2011, serombongan orang mengurung kapal itu.
Menumpang sejumlah speed boat, jumlahnya 50 orang. Menenteng senjata dengan moncong mengarah ke Sinar Kudus. Kapal itu memperlambat laju. Sekitar 30 perompak naik geladak. Ada yang nekat masuk lewat buritan.
Lalu ke ruang kemudi. Kendali kapal jatuh ke tangan perompak. Kabar pembajakan itu diketahui Samudera Indonesia di Jakarta sebab pada Sinar Kudus itu ada alat yang jika dipencet akan mengirim sinyal darurat ke kantor pusat.
Dari tengah laut, kapal itu dibawa ke pelabuhan. Lalu membuang sauh di tepi Somalia. Diparkir bersama 30 kapal lain yang sukses dibajak. Kapal-kapal yang dibajak itu milik sejumlah negara. Dua puluh Anak Buah Kapal (ABK) Sinar Kudus itu dicekam ketakutan. Para perompak minta uang tebusan US$2,6 juta dolar. Sekitar Rp22 miliar.
Lautan Samudera dan pemerintah Indonesia berusaha berunding dengan para perompak soal uang tebusan itu. Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa menuturkan bahwa pemerintah juga tengah mengumpulkan segenap informasi tentang kondisi, lokasi kapal dan keadaan para awak.
Keluarga di sini menunggu cemas. Tak ada berita. Anak-istri mereka berusaha mencari kabar ke sana ke mari. Juga mengunduh semua berita dari dunia maya.
Kiki, misalnya, rajin googling mencari berita soal para lanun itu. Menembus situs-situs asing di Afrika. Dari situ dia tahu bagaimana cara kerja para bajak laut itu. Juga gaya hidup mereka. Rajin menelusuri informasi itu membuat irama hidup mahasiswi ini berubah. “Semenjak pembajakan itu, saya tidur subuh hari, padahal kuliah jam 7,” kata mahasiswi Universitas Trisakti ini. Sulit memejam mata sebab cemas dengan keadaan sang ayah.
Ditunggu berhari-hari sang ayah menelepon. Senin 21 Maret 2011. Keluarga ini girang bukan kepalang. Tetapi sang ayah cuma bicara tiga suku kata. “Papa sehat, aman.” Ketika istrinya menyahut, telepon itu putus. Gembira bercampur penasaran. Sang istri balik menelepon. Senyap.
Belakangan diketahui bahwa sang ayah memakai telepon satelit yang dipinjamkan para lanun itu. Sesudah itu tak ada kabar berita lagi. Kiki kembali tenggelam di dunia maya. Mencari berita soal kasus ini, juga soal bajak laut. Kerap kali hingga subuh.
Sampai suatu pagi dia membaca berita soal keadaan para awak kapal itu. Persediaan makan dan minum nyaris tandas. Sejumlah orang diserang diare. Obat hampir habis.
Tak sudi berdiam diri, Kiki menulis surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Surat itu diberi judul, “Pak Presiden tolong bebaskan ayah saya.” Kiki menuturkan bahwa dia sesungguhnya tak mau membuka kasus ini ke muka umum. Tapi, katanya, “Saya tak tahan melihat Ibu menangis terus.”
Surat itu dikirim ke sejumlah media massa tanggal 8 Agustus 2011. Dan semenjak itulah kasus ini riuh diberitakan di muka umum. Lalu muncul gerakan di situs jejaring soial. #FreeABKKudus di Twitter dan sejumlah gerakan lain. Pemerintah dihujat. Lamban membereskan kasus ini.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi I Bidang Luar Negeri, Effendi Choirie, menuduh pemerintah terlalu lamban membebaskan para awak kapal itu. Negara, lanjutnya, memiliki kewajiban konstitusional melindungi warga. Dalam kasus ini, katanya, “Pemerintah lemah betul."
Sejumlah tokoh politik juga menuding pemerintah lamban. Tidak seperti sejumlah negara, seperti Malaysia dan Korea Selatan, yang sukses menyerbu para bajak laut ketika kapal mereka disandera. Kontroversi soal sikap pemerintah ini riuh dibahas.
Ramai diberitakan media massa, para bajak laut itu kian berkibar. Uang tebusan naik menjadi US$3 juta dolar. Jumlah uang tebusan itu lalu melonjak ke bilangan US$3,5 juta dolar.
Uang tebusan terus kian meroket, tapi kondisi para awak kapal terus merosot. Berhari-hari dalam situasi yang tak menentu dan tertekan, sejumlah awak kapal stres berat. Pencernaan terganggu. Adapula yang diare berat.
Kabar dari dalam kapal itu disampaikan Persatuan Pelaut Indonesia. Dalam siaran yang digelar di Jakarta, Senin 11 April 2011, Toto Sugianto, salah seorang kawan Slamet Jauhari, menuturkan bahwa dia sempat berkomunikasi dengan Slamet. “Dia mengaku stres dan buang-buang air. Satu forment yaitu Riyadi kini dalam kondisi kritis,” kata Toto.
Slamet sempat berkomunikasi dengan Toto dan mengabarkan bahwa semua awak kapal berada di anjungan. Di situ ada 16 perompak yang bersiaga dengan senata AK-47.
Bukan Cuma Soal Nyali
Dituding lamban hadapi para lanun itu, Presiden SBY membantah keras. Selasa 12 April SBY memangil sejumlah menteri. Mengatur jalan membereskan kasus ini.
Hadir dalam rapat ini Menteri Kordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Panglima TNI dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).
Presiden mengaku sudah cepat tanggap. “Begitu mendengar pembajakan di lepas pantai Somalia itu, kami langsung bekerja,” kata Presiden Yudhoyono. Ada dua pilihan. Negosiasi atau serang. Membayar tebusan atau menghela bala tentara. Dua pilihan ini ada untung ruginya.
Panglima Tentara Nasional Indonesia Laksamana Agus Suhartono menegaskan bahwa tentara Indonesia mampu menumpas para bajak laut ini. “Menumpas para pembajak itu, kami bisa,” kata Agus. Militer Indonesia memiliki unit khusus yang dilatih untuk situasi darurat. Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Indonesia sudah bersiap. Tinggal menunggu perintah. “Jika diperintahkan Panglima tentu kami siap,” kata Komandan Kopassus, Mayor Jenderal Lodewijk F Paulus.
Lampu hijau untuk menyerang juga sudah dinyalakan pemerintah Somalia. Duta Besar Somalia untuk Indonesia, Mohamud Olow Barrow menegaskan bahwa perairan Somalia bebas dimasuki siapa saja yang ingin memberantas para perompak.
Ketentuan itu sesuai dengan resolusi 1916 tahun 2008 yang diterbitkan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). "Indonesia tidak perlu minta izin. Silahkan masuk dan bunuh saja preman-preman itu," ujar Barow
Tapi menyerang sama saja menaruh 20 awak kapal itu dalam mara bahaya. Ini jelas bukan perkara nyali belaka. Nyawa 20 awak kapal itu jauh lebih penting dari sekedar urusan nyali itu. Itu sebabnya, kata Presiden SBY, pemerintah bekerja diam-diam. Menghindari publikasi media, demi keselamatan para sandera. Jalan negosiasi terus ditempuh.
Repotnya negosiasi dengan para bajak laut itu kerap kali alot. Setidaknya ini menurut Wakil Presiden Direktur PT Samudera Indonesia, David Batubara. Dari data pembajakan sepanjang 2010, katanya, rata-rata waktu pembebasan 150 hari. “Waktu tersingkat 60 hari,” kata David. Jadi jika menempuh proses negosiasi bisa makan waktu 5 bulan.
Bahkan bisa pula lebih lama dari itu. Lihatlah kisah Aep Saepudin. Aep adalah awak kapal Taiwan, Win Far 161. Kapal itu disandera bajak laut Somalia, 6 April 2009. “Saya disandera selama 10 bulan,” kata Aep.
Bebas 22 Februari 2010, setelah pemilik kapal membayar tebusan.
Semula pembajak meminta US$9 juta dolar. Turun jadi US$3 juta. Dan pada akhirnya setuju dibayar US$700 ribu dolar. (
Baca: 10 Bulan Disandera Lanun)
Bisnis Miliaran Rupiah
Perairan laut Somalia itu memang surga bagi para lanun. Di situ perompak seperti sepasukan serdadu. Memanggul senapan mesin. Membawa sekeranjang granat. Menghadang lalu membajak kapal. Sesudah itu dengan enteng meminta tebusan miliaran rupiah.
Geng bajak laut itu tumbuh subur semenjak sejumlah panglima perang menggulingkan diktator militer Mohamed Siad Baree tahun 1991. Sejak itu Somalia sering disebut sebagai negara gagal. Gagal dalam segala hal. Keamanan gagal, politik gagal, ekonomi gagal. Jumlah penganggur hampir sama besarnya dengan jumlah anggkatan kerja.
Perompak adalah lapangan kerja baru. Terutama bagi generasi muda. Abdulrashid Muse Mohammed, salah seorang gembong bajak laut di sana kepada Al Jazeera menegaskan, “Kami melakukan ini sebab kehidupan kami hancur, terutama sesudah pemerintah terguling.”
Kini menjadi lanun tampaknya bukan semata urusan kerja, tapi jalan pintas menuju kemewahan. Lihatlah Adani. Pemuda berusia 19 tahun ini hidup di jalanan Kota Bossaso.Seperti anak muda lain di negeri itu, Adani hidup dari kekerasan di jalanan.
Tapi semua berubah sesudah dia menjadi perompak. Dalam usia yang terbilang belia, Adani bergelimang harta. Uang miliaran, rumah megah dengan mobil mewah di garasi, plus wanita cantik yang siap diranjang. Dan dengar apa katanya, “Kau akan dihormati kalau punya uang.”
Para lanun bukan cuma menyulap hidup sendiri, tapi juga kota-kota kecil di pesisir Somalia. Dari ringkih menjadi gemerlap. Dari gelap menjadi terang. Jalan berbatu menjadi licin. Kesenjangan ekonomi di negeri ini mengangga lebar, antara mereka yang berhati baik dengan bajak laut yang bernyali merompak.
Lihatlah kota Harardhere. Berpenduduk 6000 orang, ini ibukota bajak laut. Simbol kesuksesan sekaligus kegilaan para lanun. Harardhere adalah kota uang, seks, orgy dan nyawa dibandrol dengan harga murah. Desing peluru sering saban malam.
Meski usia terbilang muda, bajak laut umumnya memiliki tiga istri. Dan menikahi bajak laut adalah mimpi wanita kota itu. (
Baca: Seks, Uang dan Narkoba). Para perompak berusia belia itu juga sudah terbiasa bernegosiasi dengan perusahaan raksasa, bahkan dengan negara adikuasa seperti Amerika Serikat.
Mereka dengan gampang menaikkan uang tebusan, menurunkan lagi ketika tersudut atau proses negosiasi berjalan lamban. Itulah yang terjadi dengan kasus Aep. Semula minta US$9 juta dolar. Sepuluh bulan kemudian harga itu turun ke US$700 ribu dolar.
Para pembajak Sinar Kudus semula meminta US$2,6 juta, naik menjadi US$3,5 juta. Dan kemudian mereka bersedia menerima US$3juta dolar. Jumlah yang terakhir itu disanggupi Samudera Indonesia.
Kabar itu sungguh menyenangkan Kiki dan keluarganya di Ciledug. “Tentu itu berita gembira bagi kami,” kata Kiki. Jika itu benar, lanjutnya, janji ayah untuk berkumpul bersama keluarga Mei nanti akan dilunasi. (wm)
• VIVAnews