Pages

Sunday, April 10, 2011

Selain T50, Kerjasama Indonesia Korsel Juga Akan Buat Pesawat Tempur

Ini Dia KFX yang Lebih Unggul dari F16
KFX versi 101 (Chosun) 




T-50 Golden Eagle terbang dalam formasi. (Foto: KAI)
 

Jakarta, Seruu.com - Selain pengumuman penggunaan pesawat produksi Korea , T50 sebagai pesawat latih militer menggantikan pesawat Hawk buaatan Inggris pada Sabtu (09/04) tadi ternyata ada sejumlah kerjasama lain yang sudah disepakati antara Korea Selatan dengan Indonesia dalam hal Alutsista dean pertahanan, bahkan diantaranya adalah pengembangan pesawat tempur bersama.
Beberapa waktu lalu Menteri Pertahanan (Menhan) RI Purnomo Yusgiantoro saat menerima Duta Besar Korsel untuk Indonesia, Kim Ho Young, di Kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta Kamis (10/3), mengungkapkan bahwa Kerjasama Indonesia dan Korea Selatan (Korsel), khususnya dalam bidang pertahanan, saat ini mengalami peningkatan yang sangat signifikan.
Sejak bertugas di Jakarta pada Juli 2008 lalu, dubes Korea itu mampu menjadi kepanjangan tangan bagi hubungan kerjasama pertahanan Indonesia-Korsel  semakin meningkat. Hal itu ditandai dengan kerjasama pengadaan Alutsista kedua negara diantaranya, Pengadaan kapal Landing Platform Dock (LPD), di Galangan Kapal Daesun Korea, pengadaan Pesawat Patroli Maritim CN-235 produksi PT Dirgantara Indonesia dan juga kegiatan hibah kendaraan panser asal Korsel LVT-7A kepada Pasukan Marinir TNI AL.
Selain itu, ada proyek kerja sama lain pertahanan antara kedua negara, Indonesia dan Korea Selatan pada bulan Juli tahun lalu di Korea Selatan menandatangani pengembangan KF-X pesawat tempur yang diusulkan dalam nota kesepahaman kerjasama. Korea Selatan dilaporkan juga akan membantu Indonesia menghasilkan Anoa tank lapis baja pengangkut personel.

Dari catatan Seruu.com , pada bulan Juni 2010, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Marsekal Madya Erris Herryanto sempat menyatakan hal tersebut. ”Kemungkinan besar tahun ini sudah ditandatangani,” kata Erris. Kesepakatan untuk studi kelayakan ditandatangani tahun 2009.
Kementerian Pertahanan menerima hasil studi kelayakan Dalam studi itu disebutkan, Indonesia layak untuk berpartner membuat pesawat tempur. Spesifikasi pesawat tempur dengan kode KFX ini kira-kira berada di atas F-16, tetapi di bawah spesifikasi F-35.
Menurut Erris, langkah tersebut merupakan suatu kemajuan karena tidak banyak negara yang bisa membuat pesawat tempur. Apabila memiliki pabrik pesawat tempur, Indonesia tidak akan bergantung lagi kepada negara lain.

Menurut Erris, masalah komitmen dan perjanjian secara rinci tengah dibahas. Namun, tidak ada perbedaan yang mencolok. Saat ini tengah disusun redaksional perjanjian di antara kedua belah pihak. Erris belum bisa merinci beberapa hal yang tertuang dalam perjanjian itu, termasuk apa saja yang akan diperoleh Indonesia dan apa saja yang harus disediakan. ”Yang jelas, kita punya PT Dirgantara Indonesia dan tenaga ahli,” kata Erris.

Kebutuhan biaya yang diajukan sekitar 8 miliar dollar Amerika Serikat dengan jangka waktu kerja hingga tahun 2020. Pada tahun 2020 diharapkan sudah bisa disiapkan lima prototipe. Dari keseluruhan anggaran itu, Indonesia diharapkan menanggung sebesar 20 persen. Akan tetapi, ujar Erris, belum ada kesepakatan soal keuangan tersebut. [mus]
 
seruu.com

Presiden Harap Kesetiakawanan ASEAN-Jepang Menjadi Modal


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. (FOTO.ANTARA)
Berita Terkait
Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap jalinan kesetiakawanan antara negara-negara ASEAN dengan Jepang dapat menjadi modal untuk kerja sama yang lebih luas lagi di berbagai bidang.

"Saya berharap agar jalinan kesetiakawanan antara Jepang dan ASEAN ini kita jadikan modal untuk kerja sama yang lebih luas di bidang ekonomi dan di bidang-bidang yang lain," kata Presiden dalam sambutannya di Pertemuan Khusus Tingkat Menteri ASEAN-Jepang yang membahas mengenai penanganan pascabencana gempa dan tsunami Jepang di Sekretariat ASEAN, Jakarta, Sabtu sore.

Presiden mengatakan, kerja sama di bidang penanganan bencana antara ASEAN dan Jepang telah terjalin dalam waktu yang lama, Jepang merupakan salah satu mitra ASEAN yang aktif memberikan bantuan apabila ada salah satu negara ASEAN yang terkena bencana, dan mengingat kawasan Asia Tenggara dan Jepang adalah kawasan yang rentan atau rawan terhadap bencana alam maka diperlukan kerja sama kemitraan dan solidaritas yang tinggi di antara semua pihak.

"Dalam kaitan itu semua dalam mengukuhkan kerja sama dan kebersamaan kita menghadapi bencana kita telah memiliki beberapa instrumen atau perangkat, di antaranya ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response, yang patut kita pedomani," katanya.

ASEAN, kata Presiden, juga memiliki ASEAN Coordinator Center for Humanitarian Assistance, sebuah lembaga yang membantu koordinasi bantuan kemanusiaan di ASEAN.

"Ini harus diefektifkan pelaksanaan tugasnya sebab koordinasi dan koherensi di antara kita semua, negara-negara ASEAN, ASEAN+3, East Asia Forum dan ASEAN Regional Forum, saya yakin kita bisa melaksanakan kerja sama yang baik untuk membantu satu negara atau kawasan yang tengah mengalami bencana alam," katanya.

Pertemuan Khusus tingkat Menteri ASEAN-Jepang itu dihadiri oleh Menlu Marty Natalegawa, utusan khusus dari Brunei HRH Princess Hajjah Masna, Wakil Perdana Menteri/Menlu Kamboja Hor Namhong, Menteri Dalam Negeri Laos Phongsavath Boupha, Menlu Malaysia Datuk Sri Anifah, wakil Menlu Myanmar Myo Myint, Menlu Filipina Albert del Rosario, utusan khusus Singapura Chew Tai Soo, Menlu Thailand Kasit Piromya, Wakil Menlu Vietnam Dao Viet Trung, Menlu Jepang, dan Sekjen ASEAN Surin Pitsuwan.

Sebelum menghadiri Pertemuan Khusus tingkat Menteri ASEAN-Jepang, Presiden Yudhoyono terlebih dahulu menerima kunjungan kehormatan Menlu Jepang Takeaki Matsumoto di Kantor Presiden.

"Sifat pertemuan ini adalah courtessy call, jadi lebih banyak memberikan update atau penjelasan mngenai bagaimana perkembangan bencana di Jepang," kata Staf Khusus Presiden Teuku Faizasyah.

Gempa bumi di timur Jepang dengan kekuatan 9.0 skala Richter diikuti dengan tsunami melanda bagian timur laut Pulau Honsu Jepang pada tanggal 11 Maret 2011. Bencana alam tersebut menimbulkan korban dan kerusakan yang sangat besar berupa korban jiwa, serta rusaknya kehidupan sosial, ekonomi, dan kondisi lingkungan di Jepang.

Dampak lain bencana tersebut adalah kerusakan pada reaktor nuklir di Prefektur Fukushima.(*)
(G003/A011)


ANTARA

Ketua ASEAN Desak Tunjukkan Solidaritas kepada Jepang







100 Hari SBY, Menteri Perlu Dievaluasi
Jakarta, (Analisa)
Presiden RI selaku Ketua ASEAN tahun ini mendesak negara anggota ASEAN agar menunjukkan solidaritas dalam upaya pembangunan di Jepang pasca bencana alam bulan lalu.
"Saya berharap kita dapat bekerja sama, dan negara-negara yang memiliki fasilitas yang menunjang dapat menawarkan bantuannya kepada Jepang," kata Presiden Yudhoyono, dalam pidato pembukaan Pertemuan Khusus ASEAN-Jepang pada Sabtu, menurut siaran pers yang diterima Antara dari Sekretariat ASEAN, Ahad.
Pertemuan khusus yang membahas bencana alam terjadi di timur laut Jepang pada 11 Maret dihadiri oleh Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan, Menlu Jepang Takeaki Matsumoto beserta timbalan menlu dari negara anggota ASEAN.
Presiden menegaskan bahwa ASEAN sudah berpengalaman dengan bencana alam sebelumnya, dan memiliki keahlian dan pengalaman yang luas.
Desakannya didukung kuat oleh Surin, yang mengingatkan beberapa negara ASEAN juga rentan terhadap bencana alam, seperti Jepang.
"Dengan kerja sama dan koordinasi secara dekat, ASEAN dan Jepang dapat bekerja sama dalam bidang penanganan dan pencegahan, serta sejumlah operasi bantuan bencana alam," kata Surin.
Dalam kesempatan itu, Menlu Matsumoto berbagi pengalaman Jepang dalam menangani krisis nuklir di Fukushima, tempat pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang mengalami kerusakan pada mesin pendinginnya akibat gempa bumi dan tsunami besar pada 11 Maret, dan menjadi sorotan media karena bahaya kebocoran radiasi reaktor nuklir.
Sehubungan dengan krisis gempa bumi, tsunami dan radiasi nuklir, pertemuan itu juga membahas peran Pusat Koordinasi Bantuan Kemanusiaan ASEAN (AHA). Ketiga krisis tersebut semakin menguatkan pentingnya peran AHA, khususnya dalam operasi pengidentifikasi dan pengawasan resiko, serta reaksi bersama keadaan darurat dan bantuan bencana.
Indonesia dan Filipina merupakan negara yang sering dilanda gempa bumi. Filipina, Vietnam, Myanmar dan Thailand biasa terkena angin topan, badai dan banjir. Sedangkan Jepang rentan dengan bahaya gempa bumi dan tsunami.
Jepang merupakan mitra terpenting ASEAN, dengan jumlah perdagangan antarpihak melebihi 160 miliar dolar AS (Rp1.379 triliun) per tahun. Jepang juga salah satu investor utama ASEAN, dengan mendekati angka enam miliar dolar AS (Rp51,7 triliun) pada tahun yang sama. (Ant) 

HARIAN ANALISA

Air Force Eyes 18 More Super Hornets as JSF Delays


11 April 2011

An RAAF F/A-18F Super Hornet Block II multi-role fighter practices low-level flying near Amberley in Queensland. (photo : ADF)

Air force eyes 18 more Super Hornets as delays dog our new fighter
DEVELOPMENT of the revolutionary Joint Strike Fighter, intended to provide Australia's air defence through this century, is running well behind schedule and the RAAF may need to buy 18 more Super Hornets for $1.5 billion to fill the gap.

Australian defence officials head for the US this week for an update from Lockheed Martin Corporation, which is developing the stealthy, multi-role JSF, now named the F-35 Lightning II.

The Australian understands they will raise serious concerns about delays in the project and the possibility of an alarming gap in Australia's air defences from 2020 onwards.

A recent report by the US Government Accountability Office indicates the program, already behind schedule and over budget, is likely to experience additional production and cost pressures.

Australia plans to buy up to 100 F-35s for an estimated $16bn and has so far ordered 14, with the RAAF's first squadron supposed to be operating by 2018.

However, the US air force is buying the same variant of the JSF as the RAAF and has pushed back the dates by which it expects to have its first squadrons operational from mid-2016 to 2017 -- and possibly now to mid-2018.

Officials from Lockheed Martin have insisted the problems in the US will not mean any delays in delivering Australia's first 14 aircraft.

But there is growing concern in Canberra that the US delays will mean the RAAF's first squadron may not be ready until about 2020 and possibly later.

Alarm bells are ringing because it's likely that by 2020 the last 30 or so of the RAAF's older "classic" Hornets will have reached the end of their useful lives, even with extensive refurbishment.

The Howard government bought 24 Super Hornets for $6bn in 2007 to fill an earlier strategic gap left when the RAAF's F-111 bombers were withdrawn ahead of time because of concerns about fatigue.

Defence officials are preparing for the government a range of options to fill this looming gap in air defences with the most likely being the purchase of a further 18 Super Hornets for about $800 million each.

That would make economic sense, because the $6bn purchase price for the first 24 Super Hornets included the infrastructure to support them and that can be used for the additional aircraft.

Another option might be further refurbishments of the classic Hornets.

Officials from the Defence Materiel Organisation will join delegations from all of the nations involved in the JSF project for a comprehensive briefing on progress this week.

There have been three key issues with the JSF as its development progressed -- whether the F-35 will do all that's promised of it, whether it will be delivered on time and whether it will cost more than anticipated.

The Australian has been told development of the aircraft, which is packed with sophisticated radars and other electronic equipment, is progressing well and is likely to meet or exceed the expectations of the nine nations involved in its development.

But there is a growing acceptance in the RAAF that the aircraft will be late and a steady increase in costs is eating up the considerable margin built into the contract by Australia's Defence Department.

The original plan was for Lockheed to build 2443 JSFs for various arms of the American forces with about 500 others going to allies including Australia, Israel and Canada.

A long-time strong supporter of Australia's role in the JSF project, former RAAF air marshal Errol McCormack has warned that the likely delays mean the Gillard government must get a plan in place to ensure Australia's air defences are effective once the classic Hornets are retired.

Air Marshal McCormack, who now runs a normally strongly pro-JSF group of experienced military flyers known as the Williams Foundation, said in its latest bulletin the government should remember the RAAF's experience with the F-111.

The first Australian F-111s were to be delivered in 1968.

"Even though development and production slipped because of technical issues, Australia adhered to the delivery date rather than the production slot," Air Marshal McCormack said. As a result, in 1968 Australia took notional delivery of underdeveloped aircraft with technical difficulties.

"Consequently, there was a five-year delay in delivery while some of the technical problems were remediated.

"Several modification programs and almost 10 years later, the RAAF eventually operated an excellent bomber."

Air Marshal McCormack said this experience suggested there could be very good reasons for Australia to delay delivery of the F-35 until the production line was "mature" and problems were ironed out.

He suggested a solution could be to refurbish more of the classic Hornets to keep as many of them as necessary flying after 2020.

"In the Williams Foundation's judgment, it would be sensible to wait and see what happens with the F-35, while simultaneously investigating the cost of capability issues involved in maintaining the classic Hornet beyond 2020."

With other elements including the Jindalee Over Horizon Radar network, Australia's air defences could be world class for the next decade, Air Marshal McCormack said. "The issue is: what action is required to ensure that any further delays to the F-35 do not result in a capability gap?" Air Marshal McCormack said.

"The question is too important to be left unanswered."

Concern about air superiority has risen in Canberra and at the Pentagon since China this year unveiled its answer to the F-35. The prototype Chinese fighter jet has arrived years ahead of Western expectations.

It isintended that the the F-35s will replace both the F-111 long-range bombers and the RAAF's classic Hornets.

The new aircraft is also expected to replace all of the major aircraft in the US inventory.

The intention is for the RAAF to get its first two F-35s in 2014, despite the production delays in the US, according to Lockheed Martin.

The first two F-35s will remain in the US, and Australian pilots and ground crew will go to the US to train on the planes.

Penggantian Pesawat Hawk MK-53 Dipercepat




JAKARTA - Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara sedang mempercepat penggantian alat utama sistem persenjataan (alutsista), terutama yang berusia 30 tahun atau lebih. Salah satunya adalah dengan mendatangkan pesawat Golden Eagle T-50 buatan Korea Selatan sebagai pengganti pesawat Hawk MK-53 dari Inggris.

Kepala Staf TNI AU Marsekal TNI Imam Sufaat di Jakarta, Sabtu (9/4), mengutarakan, penggantian alutsista itu sudah sesuai dengan instruksi Presiden dan persetujuan DPR. Program ini penting untuk memperkuat sistem pertahanan keamanan negara Indonesia.

”Pembelian T-50 sudah ditetapkan Kementerian Pertahanan. Ada satu skuadron atau 16 pesawat T-50 yang akan didatangkan. Diharapkan tahun 2012 sudah tiba,” katanya seusai upacara peringatan Hari Jadi Ke-65 TNI AU di Landasan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta.

Menurut Imam, pesawat T-50 memiliki kemiripan dengan pesawat F-16. Pesawat itu akan dimanfaatkan untuk latihan bagi penerbang. Pelatihan lebih efektif karena biaya operasionalnya lebih murah. Setelah itu, penerbang bisa menggunakan Sukhoi yang lebih mahal biaya operasionalnya.

”Harga totalnya 400 juta dollar (Amerika Serikat) untuk satu skuadron. Itu termasuk pelatihan dan suku cadang,” katanya.

Dalam sambutan pada upacara HUT TNI AU, Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono menegaskan pentingnya memodernisasi alutsista, termasuk untuk TNI AU. Kemajuan industri dan teknologi kedirgantaraan saat ini begitu cepat dan pemanfaatan dirgantara juga kian strategis. Dengan begitu, wilayah udara jadi makin vital sebagai bagian dari kepentingan nasional.

”Betapa vital dan strategisnya peran dan tanggung jawab Angkatan Udara. Apalagi, bila dikaitkan dengan luas wilayah Indonesia,” katanya.

Agus mengatakan, pemerintah akan terus meningkatkan pembangunan TNI AU agar semakin andal, kuat, dan efektif dalam mengawal kedaulatan udara nasional. Ia juga mengingatkan pentingnya memerhatikan pelanggaran hukum terhadap kedaulatan wilayah udara.

Upacara HUT TNI AU hari Sabtu berlangsung meriah sekitar pukul 08.00-11.00. Selain dihadiri anggota TNI AU, Lanud Halim Perdanakusuma juga dipenuhi ratusan pengunjung, sebagian keluarga anggota TNI AU yang berdatangan sejak pagi. Mereka berhamburan ke tengah lapangan ketika digelar pertunjukan udara.

Puluhan pesawat pun unjuk kebolehan dengan berbagai atraksi. Jupiter Aerobatic Team dengan pesawat KT 1B, misalnya, mempertontonkan 17 jenis manuver. Thunder Aerobatic Team dengan tiga pesawat Sukhoi juga beraksi dengan manuver lain.

Pesawat itu berseliweran dengan suara gemuruh di atas lapangan. Mereka meluncur cepat, menukik, meliuk, berputar, berpencaran, dan melaju beriringan, atau terbang dengan terbalik. Semuanya berjalan dengan cepat, mendebarkan, dan disertai tepuk tangan penonton.

Imam menjelaskan, aerobatik pesawat itu gambaran dari profesionalisme penerbang. Kesuksesan menjalankan berbagai manuver sulit itu mencerminkan keterampilan, kepercayaan, disiplin, dan kerja sama.

Sumber : KOMPAS

KSAU : T-50 Mulai Datang Pada Tahun 2012



KAI T-50 Golden Eagle

JAKARTA - TNI Angkatan Udara akan merealisasi pembelian satu skuadron pesawat T-50 Golden Eagle dari Korea Selatan pada tahun 2012. Pengadaan pesawat latih tempur itu untuk meningkatkan kemampuan penerbang tempur TNI AU.

"Seluruhnya 16 pesawat," ujar Kepala Staf TNI-AU Marsekal Imam Sufaat, usai acara Hari Ulang Tahun TNI AU ke 65 Tahun di Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma, Sabtu (9/4). Imam menambahkan, pengadaan pesawat ini merupakan kebijakan jangka panjang untuk memenuhi kekuatan dasar minimum (minimum essential force) yang direncanakan tercapai pada 2024.

"Kebijakan dari Presiden untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan alutsista khususnya untuk pesawat-pesawat yang berusia diatas 30 tahun," ujarnya. Kebijakan ini diambil karena TNI-AU selama ini kesulitan memenuhi kebutuhan suku cadang pesawat yang dimiliki TNI AU, yang sebagian sudah uzur.

T-50 Golden Eagle diperuntukkan untuk menggantikan pesawat latih Hawk MK-53 buatan Inggris yang segera dipensiunkan. Selain T-50, TNI-AU juga berencana membeli pesawat EMB-314 Super Tucano untuk menggantikan OV-10 Bronco.

Menurut Imam, pengadaan pesawat tersebut sudah masuk dalam anggaran Kementerian Pertahanan. "Proses pengadaan T-50 sudah ditetapkan oleh Dephan. Proses pengadaan sudah dimulai," tuturnya.

Untuk membeli satu skuadron T-50, pemerintah harus menyiapkan biaya US$ 400 juta. Pesawat rencananya akan mulai dikirim ke Indonesia pada 2012 mendatang. "Normalnya sebenarnya 18 bulan, tapi kami minta perusahaannya untuk mempercepat," ujarnya.

Imam menambahkan, pesawat T-50 cocok untuk latihan pilot pesawat Sukhoi dan memiliki kemampuan mirip F-16. "Jadi sebelum mereka ke Sukhoi, mereka kita latih pakai ini dulu," ujarnya. "Karena kalau latihan pakai Sukhoi cost operasionalnya cukup besar." Selain untuk latihan, pesawat ini bisa digunakan untuk operasi penyerangan ringan.

Sumber : TEMPOINTERAKTIF.COM

Pembuatan Kapal Tingkatkan Percaya Diri Lanal Batam


Model Kapal Cepat Rudal KCR-40 diproduksi di PT Palindo Marine Shipyard Batam. (Foto: Berita HanKam)

9 April 2011, Batam -- (ANTARA News): Pembuatan kapal perang Indonesia di satu perusahaan Batam meningkatkan percaya diri TNI AL, khususnya yang beroperasi di Lanal Batam.

"Yang paling penting, pembuatan kapal perang ini membuat Batam lebih disegani oleh negara-negara tetangga," kata Komandan Lanal Batam Kolonel (L) Iwan di Batam, Sabtu .

Letkol Iwan mengatakan keberhasilan pembuatan KRI jenis kapal cepat rudal membuktikan anak-anak Indonesia mampu menciptakan teknologi tinggi sehingga meningkatkan percaya diri. Apalagi pembuatan kapal perang dilakukan di Batam, yang berbatasan dengan beberapa negara.

Menurut Danlanal, daya saing TNI AL, terutama Lanal Batam akan lebih tinggi dengan menggunakan kapal perang buatan anak bangsa.

"Ada kebanggaan tersendiri yang akan mempengaruhi kami dalam menjaga perairan NKRI," kata dia.

KRI kenis KCR-40 dirancang anak bangsa lulusan Institut Teknologi Bandung dan Institut Teknologi Surabaya yang dibuat di perusahaan PT Palindo Marine Industri (PMI).

TNI AL memesan 10 kapal perang yang akan digunakan dalam mengamankan laut Indonesia.

Iwan mengatakan 10 kapal perang ini akan beroperasi di Armada Barat dan Armada Timur, menjaga perairan NKRI.

KCR-40 dilengkapi dengan sistem persenjataan modern berupa Sensor Weapon Control (Sewaco), meriam kaliber 30 MM 6 laras sebagai Close in Weapon System (CIWS) serta peluru kendali.

Diperkirakan kapal itu mampu berlayar dengan kecepatan 30 knot dan menembakan rudal C-705 hingga ratusan meter.

Kapal dengan teknologi tinggi itu memiliki spesifikasi panjang 44 meter, lebar delapan meter, tinggi 3,4 meter dan sistem propulasi fixed propeller lima daun.

PT PMI sudah menyelesaikan satu kapal yang akan diserahterimakan pada Kementerian Pertahanan pada 25 April 2011.

"Setelah serah terima, kapal itu akan diberi nama lalu diserahkan kembali ke Armabar," kata dia.

KRI tersebut, kata dia, akan beroperasi mengamankan perairan NKRI wilayah barat.

Sumber: ANTARA News

BERITA POLULER