JAKARTA - Industri strategis Indonesia sekarat. Setelah 13 tahun reformasi bangsa, kondisi industri strategis termasuk bidang pertahanan malah semakin terpuruk. Lemahnya anggaran pertahanan memperburuk proses revitalisasi industri yang sebelumnya dicanangkan untuk go internasional pada 2015.
"Saat ini sepuluh industri strategis dalam keadaan sakaratul maut, padahal dulu pernah dalam kondisi maju," ujar Ketua Komisi I DPR RI dari Fraksi PKS, Mahfudz Siddiq, di sela-sela Rapat Dengar Pendapat Umum di Komisi I DPR, Senin (31/1).
Dia mengatakan, UU belum menjadi payung hukum yang kuat dalam revitalisasi industri statregis, salah satunya industri pertahanan, sehingga kondisinya sekarat. Padahal konsep revitalisasi tersebut bukan gagasan baru dan direncanakan akan mencapai hasil optimal pada 2015.
"Secara gagasan pikiran sudah dimulai oleh Pak Habibie yang referensinya jelas, doktrin politik Bung Karno. Maka kita undang untuk memberikan masukan pemikiran untuk kita masukan ke UU nanti," ujar Mahfudz.
Menurutnya, DPR ingin merancang strategi revitalisasi sebagai kelanjutan dari kebijakan sebelumnya yang sudah dibangun BJ Habibie.
Presiden ke-3 itu mengatakan, dirinya kecewa terhadap pemerintah yang menganaktirikan badan usaha milik negara (BUMN) di bidang pertahanan ketimbang perusahaan-perusahaan swasta. Menurutnya, perlu ada UU yang secara tegas mengatur BUMN.
"BUMN sakit dibiarkan mati. BUMN yang sehat dimatikan. Kalau swasta yang sakit disubsidi, yang benar saja, to?" seru Habibie di hadapan para anggota Komisi I DPR.
Pesawat N-250, perkembangannya terhenti akibat intervensi asing pada BUMN Nasional
Menurutnya karyawan industri pesawat terbang PT Dirgantara Indonesia sebelum reformasi berjumlah 15.651 orang, sedangkan saat ini tinggal 2.988 orang. Perusahaan yang telah menghasilkan pesawat Indonesia pertama itu, menurutnya, tinggal menunggu waktu saja hingga ditutup. Sama dengan penutupannya ketika masih bernama PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) pada 2002.
Idealnya, ujar Habibie, industri strategis adalah industri yang bisa membangun bangsa. Bukan hanya industri yang dibangun dan dimanfaatkan untuk pertahanan. Revitalisasi, ujarnya, tidak akan cukup, jika hanya mengandalkan, anggaran pertahanan yang ada.
"Tidak akan cukup. Untuk operasional latihan saja, untuk terbang butuh biaya berapa. Kalau tidak cukup, lalu beli dari luar negeri saja? Yang benar saja. Kalau begitu, bagaimana mau mandiri? Katanya mau mandiri," tuturnya.
Habibie percaya, di antara 240 juta WNI, tidak mungkin tak ada orang yang memiliki kemampuan produksi setara dengan ahli di luar negeri. "Masak tidak ada 100 juta, 1 juta, atau bahkan 100 orang yang sama dengan orang- orang luar negeri?" ujarnya.
Senada dengan Habibie, anggota Komisi I dari Fraksi Golkar, Fayakhun Adriadi mengatakan, langkah lain yang perlu dikaji selain UU adalah matriks produksi alutsista. Menurutnya, Indonesia telah mampu memproduksi namun tetap masih mengimpor alutsista dari luar.
"Jangan sampai PT Pindad bisa membuat panser, tapi usernya, TNI, memesan dari luar. Sudah bisa membuat bom yang dicantelkan di pesawat tempur, tapi tidak satu pun bom terjual. Teknologi radar, negara ini negara besar yang miskin radar, kami yakin Indonesia sudah mampu membuat radar," ujarnya.
Sumber :
MEDIAINDONESIA.COM