Pages

Thursday, January 27, 2011

Kerajaan Sriwijaya ( bukti malaka dulu milik Indonesia)

Sriwijaya

600-an–1100-an
Lokasi Sriwijaya
Jangkauan terluas Kemaharajaan Sriwijaya sekitar abad ke-8 Masehi.
Ibu kota Sriwijaya, Jawa, Kadaram, Dharmasraya
Bahasa Melayu Kuna, Sansekerta
Agama Buddha, Hindu
Pemerintahan Monarki
Maharaja
 - 683 Sri Jayanasa
 - 702 Sri Indrawarman
 - 775 Dharanindra
 - 792 Samaratungga
 - 835 Balaputradewa
 - 988 Sri Cudamani Warmadewa
 - 1008 Sri Mara-Vijayottunggawarman
 - 1025 Sangrama-Vijayottunggawarman
Sejarah
 - Didirikan 600-an
 - Invasi Dharmasraya 1100-an
Mata uang Koin emas dan perak
Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia
Sejarah Indonesia .png
Lihat pula:

Garis waktu sejarah Indonesia
Sejarah Nusantara
Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Tarumanagara (358–669)
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13)
Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
Kerajaan Sunda (669–1579)
Kerajaan Medang (752–1045)
Kediri (1045–1221)
Singhasari (1222–1292)
Majapahit (1293–1500)
Kerajaan Islam
Kesultanan Ternate (1257–sekarang)
Kesultanan Malaka (1400–1511)
Kesultanan Demak (1475–1548)
Kesultanan Aceh (1496–1903)
Kesultanan Banten (1526–1813)
Kesultanan Mataram (1500-an—1700-an)
Kolonialisme bangsa Eropa
Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)
Belanda (1800-1942)
Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
Pendudukan Jepang (1942–1945)
Revolusi nasional (1945–1950)
Indonesia Merdeka
Orde Lama (1950-1959)
Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Orde Baru (1966-1998)
Era Reformasi (1998-sekarang)
Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya; Thai: ศรีวิชัย atau "Ṣ̄rī wichạy") adalah salah satu kemaharajaan maritim yang kuat di pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.[1][2] Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti "bercahaya" dan wijaya berarti "kemenangan".[2] Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan.[3][4] Selanjut prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682.[5] Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan[2] diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa di tahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya dibawah kendali kerajaan Dharmasraya.[6]
Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan eksistensi Sriwijaya baru diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis George Cœdès dari École française d'Extrême-Orient.[7]

Historiografi

Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia.[8] Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.[9]
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum kolonialisme Belanda.[8]
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan.[2] Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.[6]
Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang).[2] Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang),[6] dengan catatan Malayu tidak di kawasan tersebut, jika Malayu pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens,[10] yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing,[11] serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).[12] Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).[6]

Pembentukan dan pertumbuhan

Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan.[8] Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim, namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh datu setempat.

Candi Gumpung, candi Buddha di Muaro Jambi, Kerajaan Melayu yang ditaklukkan Sriwijaya.

Reruntuhan Wat (Candi) Kaew yang berasal dari zaman Sriwijaya di Chaiya, Thailand Selatan.

Candi Borobudur, pembangunannya diselesaikan pada masa Samaratungga
Kekaisaran Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya.[2] Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya di abad yang sama.[2] Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan.[2] Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.[2]

Agama dan Budaya


Candi Muara Takus, salah satu kawasan yang dianggap sebagai ibukota Sriwijaya.
Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10, Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya Durbodhāloka menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.[13]
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.
".... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan Cina ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India".
— Gambaran Sriwijaya menurut I Tsing.[4]
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah. Sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.
Ada sumber yang menyebutkan, karena pengaruh orang muslim Arab yang banyak berkunjung di Sriwijaya, maka raja Sriwijaya yang bernama Sri Indrawarman masuk Islam pada tahun 718.[14] Sehingga sangat dimungkinkan kehidupan sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di dalamnya terdapat masyarakat Budha dan Muslim sekaligus. Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di Suriah. Pada salah satu naskah surat yang ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720) berisi permintaan agar khalifah sudi mengirimkan da'i ke istana Sriwijaya.[15]

Perdagangan

Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas selat Malaka dan selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditi seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.[11] Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassalnya di seluruh Asia Tenggara.
Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan tanah Arab, kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718 kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah buat kaisar Cina, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).[16]
Pada paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.

Relasi dengan kekuatan regional


Pagoda Borom That bergaya Sriwijaya di Chaiya, Thailand.
Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan pada kawasan di Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.[17]
Pada masa awal kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan tersebut, pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan dinasti Chola di selatan India juga cukup baik, dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan di abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bahagian dari dinasti Chola, dari kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts'i membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079, pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.[6]

[sunting] Masa keemasan


Arca emas Avalokiteçvara bergaya Malayu-Sriwijaya, ditemukan di Rantaukapastuo, Muarabulian, Jambi, Indonesia.
Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim, mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.[18]

Model kapal tahun 800-an Masehi yang terdapat pada candi Borobudur.
Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam,[2] dan Filipina.[19] Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.
Sriwijaya juga disebut berperan dalam menghancurkan kerajaan Medang di Jawa, dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang kemungkinan merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.[6]

Penurunan

Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya, berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030, kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya.[20] Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts'i ke Cina tahun 1028.[21]
Kawasan Sriwijaya dalam prasasti Tanjore
Nama kawasan Keterangan
Pannai Pannai
Malaiyur Malayu
Mayirudingam
Ilangasogam Langkasuka
Mappappalam
Mevilimbangam
Valaippanduru
Takkolam
Madamalingam Tambralingga
Ilamuri-Desam Lamuri
Nakkavaram Nikobar
Kadaram Kedah
Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola, dari kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079 Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja San-fo-ts'i, yang kemudian mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya di tahun 1088.[2] Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah, beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi[22] yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t'o (Sunda).[6][10]
Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya, dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan kerajaan Dharmasraya, walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah menyebutkan Malayu, disebutkan Kertanagara raja Singhasari mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu juga dalam Nagarakretagama, yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.

Struktur pemerintahan

Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.[23]
Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang didalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya).[24] Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya.

Hubungan dengan dinasti Sailendra

Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena adanya nama Śailendravamśa pada beberapa prasasti diantaranya pada prasasti Kalasan di pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India. Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra. Walau asal-usul dinasti ini masih diperdebatkan sampai sekarang.[11]
Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan India.[25] Kemudian Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa.[26] Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan[27] kemudian dikaitkan dengan beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuna diantaranya prasasti Sojomerto.[28]

Raja yang memerintah

Para Maharaja Sriwijaya[2][6]
Tahun↓ Nama Raja↓ Ibukota↓ Prasasti, catatan pengiriman utusan ke Tiongkok serta peristiwa↓
671 Dapunta Hyang atau
Sri Jayanasa
Srivijaya Shih-li-fo-shih Catatan perjalanan I Tsing di tahun 671-685, Penaklukan Malayu, penaklukan Jawa Prasasti Kedukan Bukit (683), Talang Tuo (684), Kota Kapur (686), Karang Brahi dan Palas Pasemah
702 Sri Indrawarman Shih-li-t-'o-pa-mo Sriwijaya Shih-li-fo-shih Utusan ke Tiongkok 702-716, 724 Utusan ke Khalifah Muawiyah I dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz
728 Rudra Vikraman Lieou-t'eng-wei-kong Sriwijaya Shih-li-fo-shih Utusan ke Tiongkok 728-742
743-774

Belum ada berita pada periode ini
775 Sri Maharaja Sriwijaya Prasasti Ligor B tahun 775 di Nakhon Si Thammarat, selatan Thailand dan menaklukkan Kamboja


Pindah ke Jawa (Jawa Tengah atau Yogyakarta) Wangsa Sailendra mengantikan Wangsa Sanjaya
778 Dharanindra atau
Rakai Panangkaran
Jawa Prasasti Kelurak 782 di sebelah utara kompleks Candi Prambanan Prasasti Kalasan tahun 778 di Candi Kalasan
782 Samaragrawira atau
Rakai Warak
Jawa Prasasti Nalanda dan prasasti Mantyasih tahun 907
792 Samaratungga atau
Rakai Garung
Jawa Prasasti Karang Tengah tahun 824, 825 menyelesaikan pembangunan candi Borobudur
840

Kebangkitan Wangsa Sanjaya, Rakai Pikatan
856 Balaputradewa Suwarnadwipa Kehilangan kekuasaan di Jawa, dan kembali ke Suwarnadwipa Prasasti Nalanda tahun 860, India
861-959

Belum ada berita pada periode ini
960 Sri Udayaditya Warmadewa Se-li-hou-ta-hia-li-tan Sriwijaya San-fo-ts'i Utusan ke Tiongkok 960, & 962
980

Utusan ke Tiongkok 980 & 983: dengan raja, Hie-tche (Haji)
988 Sri Cudamani Warmadewa Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa Sriwijaya Malayagiri (Suwarnadwipa) San-fo-ts'i 990 Jawa menyerang Sriwijaya, Catatan Atiśa,
Utusan ke Tiongkok 988-992-1003,
pembangunan candi untuk kaisar Cina yang diberi nama
cheng tien wan shou
1008 Sri Mara-Vijayottunggawarman Se-li-ma-la-pi San-fo-ts'i Kataha Prasasti Leiden & utusan ke Tiongkok 1008
1017

Utusan San-fo-ts'i ke Tiongkok 1017: dengan raja, Ha-ch'i-su-wa-ch'a-p'u
(Haji Sumatrabhumi (?)); gelar haji biasanya untuk raja bawahan
1025 Sangrama-Vijayottunggawarman Sriwijaya Kadaram Diserang oleh Rajendra Chola I dan menjadi tawanan Prasasti Tanjore bertarikh 1030 pada candi Rajaraja, Tanjore, India
1030

Dibawah Dinasti Chola dari Koromandel
1079

Utusan San-fo-ts'i dengan raja Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) ke Tiongkok 1079 membantu memperbaiki candi Tien Ching di Kuang Cho (dekat Kanton)
1082

Utusan San-fo-ts'i dari Kien-pi (Jambi) ke Tiongkok 1082 dan 1088
1089-1177

Belum ada berita
1178

Laporan Chou-Ju-Kua dalam buku Chu-fan-chi berisi daftar koloni San-fo-ts'i
1183 Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa Dharmasraya Dibawah Dinasti Mauli, Kerajaan Melayu, Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand

Warisan sejarah

Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya di masa lalu.
Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.[29] Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, provinsi Sumatera Selatan, keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian Sevichai yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.
Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota, dan nama ini juga digunakan oleh Universitas Sriwijaya yang didirikan tahun 1960 di Palembang. Demikian pula Kodam II Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Air (maskapai penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola Palembang), semua dinamakan demikian untuk menghormati, memuliakan, dan merayakan kemaharajaan Sriwijaya yang gemilang.


wikipedia

Wednesday, January 26, 2011

KSAU: Hibah F-16 Tunggu Jawaban AS


Kamis, 27 Januari 2011 09:20 WIB
Kepala Staf TNI Angkatan Udara (AU) Marsekal TNI Imam Sufaat (FOTO ANTARA/Widodo S. Jusuf)
Kami berharap segera ada jawaban mengenai hal itu
Berita Terkait
Yogyakarta (ANTARA News) - Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Imam Sufaat mengatakan, kepastian hibah pesawat tempur F-16 dari Amerika Serikat untuk Indonesia masih menunggu jawaban dari pemerintah negara adidaya itu.



F-16A Indonesia
Indonesian F-16

"Kami berharap segera ada jawaban mengenai hal itu," katanya di sela rapat pimpinan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Udara (AU) di Akademi Angkatan Udara (AAU) Yogyakarta, Senin.

Ia mengatakan, pihaknya telah mengajukan permintaan kepada AS terkait dengan hibah 24 pesawat tempur F-16 pada 2009, tetapi hingga kini belum ada jawaban dari si pemberi hibah.

"Belum adanya jawaban dari AS, kemungkinan karena banyak negara yang juga mengajukan permintaan hibah pesawat tempur F-16. Mereka juga ingin mendapatkan hibah pesawat tersebut," katanya.

Oleh karena itu, menurut dia, pihaknya melakukan pendekatan khusus kepada pihak yang berwenang di AS agar permintaan Indonesia mengenai hibah pesawat tempur F-16 disetujui dan direalisasikan secepatnya.

Ia mengatakan, TNI AU juga akan membeli pengganti pesawat OV-10 Bronco, helikopter, dan pesawat F-22, karena ada dana tambahan percepatan pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) sebesar Rp4 triliun.

"Dana tambahan tersebut, selain digunakan untuk pengadaan alutsista juga dipakai untuk perawatan dan pembelian suku cadang alutsista. Hal itu sesuai dengan program perencanaan strategis pembangunan TNI AU 2010-2014," paparnya.



ANTARA

Indonesia Looking for Trainer/Attack Aircraft

OV-10
USAF OV-10
(click to view full)
Super Tucanos bought; F-16 deal options; AJT/light attack shortlist. (Nov 11/10)
Indonesia is looking to replace its fleets of BAE Hawk Mk.53 trainer jets, and OV-10 Bronco forward air control/ counterinsurgency aircraft, as part of a more general modernization effort. That competition appears to be split in 2, and Brazil’s EMB-314 Super Tucano appears to be Indonesia’s choice to replace the OV-10s.
First, a bit of background. In 2007 the Indonesian Air Force purchased Russian SU-27SK and SU-30MKK fighters. The Flankers would supplement and/or replace fleets of F-16A/B and F-5E/F Tiger II fighters, whose condition was harmed by a long arms embargo imposed in response to widespread repression and genocide in East Timor. New fighters will need new trainers, and light attack/ forward air control/ surveillance aircraft are a high priority for a huge country with pockets of separatist unrest. First, however, the Air Force must secure the budgets to do so:
Potential Replacements
L-159T and L-159
AERO L-159T, L-159A
(click to view full)
East Timor became independent in 2002, and the American embargo on military supplies to Indonesia was lifted in 2005. Nevertheless, the effects of foregone maintenance can be lasting, and the experience was firmly etched into Indonesia’s military consciousness. Subsequent incidents, such as the UK’s injunctions against using British-made Scorpion light tanks against Aceh’s separatist revolt, only deepened the determination of Indonesia’s military and political leaders to deal with a different set of military suppliers. In the fall 2007 Indonesia signed a $1B+ defense credit agreement with Russia as the next step under that policy.
In January 2010, Indonesian air force commander Air Marshal Imam Sufaat identified 5 contenders for the trainer/ light atack replacement roles: Aero Vodochody’s L-159B from Czecheslovakia, Alenia Aermacchi’s M-346 Master from Italy, its Yakovlev Yak-130 counterpart from Russia, Chengdu’s FTC-2000 from China, the Korea Aerospace Industries/Lockheed Martin T-50 family. Later in January, Sufaat indicated the Air force’s desire to split the competition, designating Embraer’s EMB-314 Super Tucano as the preferred replacement for the OV-10.
The Czech Republic has been trying to sell up to 47 of its L-159 light attack aircraft on the global market. Meanwhile, South Korea’s T-50/ TA-50/ F/A-50 family of supersonic trainers and lightweight fighters has been growing. Indonesia’s 16 F-5 lightweight fighters have been out of operation since 2005, and some members of this family could effectively succeed those lightweight fighters for air policing as well.
Early Yak-130
Early Yak-130
(click to view full)
The Yak-130 was developed as a joint project by Alenia Aermacchi, and Russia’s Yakolev Design Bureau. The partners ended up going their separate ways, fielding 2-seat aircraft with similar lines but different internal equipment. By 2006 the aircraft had beaten the MiG-AT and Sukhoi’s S-54 to be selected as Russia’s next advanced jet trainer, and has also been sold to Algeria. There are also reports that Libya has 6 on order.
While Alenia’s M-346 Master emphasizes its role as an advanced trainer and aerobatic jet, the similar Yak-130 can also be heavily armed for air policing patrol, or counter-insurgency/ ground attack missions. Its NIIP Zhukovsky Osa radar offers adequate performance, and its 8 hardpoints can carry up to 3,000 kg/ 6,600 pounds of weapons. These reportedly include Western equipment like AIM-9L/Magic 2 short-range air-air missiles (SRAAM) and AGM-65 Maverick precision strike missiles; as well as Russian weapons like the advanced R-73/ AA-11 Archer SRAAM, a Platan targeting pod, the Vhikr and KH-25ML laser guided missiles, the KAB-500Kr guided bomb, 23mm or 30mm gun pods, or rockets and unguided bombs. The Yak-130 is powered by a pair of AI-222-25 or Povazske Strojarne DV-2SM (export option) turbofans.
The Yak-130 offers similar capabilities to Indonesia’s 8 existing Hawk 109 trainers, and may be actually more comparable to its 29 single-seat Hawk 209 light attack aircraft. Unlike the Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara’s (TNI–AU, Indonesia’s air force) 20 Hawk Mk.53 trainers, which were ordered in 1980-81 and reportedly have few operational planes left, these 1990s-era Hawk attack fleets remain operational, and are expected to remain in service with the TNI-AU.
China National Guizhou Aviation Industry’s JiaoLian-9, known as FTC-2000 Shanying (Mountain Eagle) when exported, is derived from China’s JJ-7 trainer. Which was, in turn, derived from Russian 2-seat MiG-21s. Visible enhancements include a raised cockpit that greatly improves visibility for both pilots, a correspondingly larger dorsal “spine”, a cranked delta wing to improve handling characteristics, and moving the engine intake from the plane’s nose to a pair of small side intakes.
The JL-9 uses a Chinese WP-13 or WP-14 turbojet engine, and carries Chinese electronics, and weapons. It reportedly packs an internal 23mm cannon, and has 5 stores stations that can carry up to 2,000 kg/ 4,400 pounds of fuel tanks, short-range air-air missiles, or rocket launders and unguided bombs. Its derivation from the MiG-21 gives it questionable suitability as a ground attack aircraft, but they could be used effectively for secondary air policing, especially if equipped with SELEX Galileo’s Grifo S7 radar. In August 2010, however, reports seemed to indicate that the JL-9 and M-346 had been dropped from Indonesia’s competition.
EMB 314
Super Tucano
(click to view full)
While Indonesia could have made a unified choice to replace its OV-10 FAC light attack and Hawk Mk53 trainer fleets with a multi-role jet, the demands of forward air control and counterinsurgency wars give slower and more stable platforms an advantage. The USA’s A-10 Thunderbolt/Warthog is Exhibit A in this respect, but it is no longer in production. Propeller-driven options are emerging as the preferred choices beyond the USAF, and Embraer’s EMB-314 Super Tucano trainer/ FAC/ light attack turboprop has built a strong global lead with sales to its home country of Brazil (99), as well as Colombia (25), Chile (12), the Dominican Republic (8), and Ecuador (18). Indonesia appears to have chosen it as well, and interest has even been reported in US SOCOM, and in Britain.
One potential wrinkle for the predominantly Islamic country of Indonesia could involve the fact that to date, the aircraft has been produced with a dedicated avionics and weapons management suite from Israeli firm Elbit Systems, via its Brazilian subsidiary AEL. Indonesia could decide that the general Islamic boycott of the Jewish state doesn’t apply, on the grounds that the equipment is in fact from Brazil. It could also decide to order the plane with an avionics and weapons management suite from a different manufacturer, such as Rockwell Collins or Thales. If their choice hasn’t already been integrated and tested in the Super Tucano, however, the need to take those steps would likely increase the cost of their order.
Indonesia had other options, beyond the Super Tucano. One option would involve defaulting to a common replacement jet for the Hawks and OV-10s. Another would involve work with a foreign country like China or South Korea to modify an existing aircraft as their OV-10 replacement. A 3rd involves buying a ready-made Super Tucano alternative. Switzerland’s Pilatus reportedly chose not to offer its aircraft to Indonesia, but propeller-driven FAC/COIN options already in the market include Hawker Beechcraft’s AT-6B (modified T-6 trainer, in development), and the cheaper, sturdier AC-802u Air Tractor (modified and armored crop duster/ firefighter, prototype produced). Both are American products. Korea’s KO-1 Woong Bee armed derivative of its KT-1 trainer is reportedly in limbo, but a Jan 26/10 release casts doubt on those reports. Indonesia has reportedly already bought some KT-1s which made the KA-1/KO-1 a strong joint development or purchase option. n the end, however, the Super Tucano won.
Contracts and Key Events
Indonesia
Indonesia
Nov 11/10: Indonesia signs a Memorandum of Understanding with Embraer at the Indo Defense 2010 exhibition in Jakarta. Indonesia will order 8 EMB-314 Super Tucanos at first, with an option for another 8 on the same terms. The first Super Tucanos will arrive in 2012 , and the order also includes ground-support stations and a logistics package. Defense Minister Purnomo Yusgiantoro added that state aircraft maker PT Dirgantara Indonesia would be used for maintenance work, and they also hoped Digiranta would wind up manufacturing some parts and components. Embraer | Jakarta Post | Aviation Week | Flight International | MSN Malaysia | UPI.
F-16A Indonesia
Indonesian F-16
Nov 11/10: Indonesia is considering some F-16 related requests that could be complementary to its light attack plane buy, or could compete with it, depending on what kind of funds are made available. Deals under consideration include a $150 million mid-life upgrade and repairs to its 10 Lockheed Martin F-16A/Bs, a 2nd buy of fully modern F-16C/D Block 50/52s to bring the squadron up to full strength, and a reported American offer of 24 cheap, used F-16 Block 25/30s from USAF stocks.
These deals could wind up being parallel buys, but Indonesia has limited finances. Its government could decide that with the Super Tucanos in hand, a force of multi-role fighters is a better option than trainer/light attack aircraft, until its KF-X partnership with South Korea produces an F-16 Block 50-60 equivalent successor by about 2025. Alternatively, it could stick to its declared priorities, and decide it can’t afford to upgrade and maintain more F-16s. There have been some rumbles to that effect already, but a decision is still pending.
If the F-16 mid-life upgrade takes place, it will extend their service life from 4,000 to 8,000 flight hours, and modernize them to F-16 Block 40-50 capability. Each aircraft would reportedly require a year of work to finish modernization, with the batch work to be conducted in Indonesia using kits provided by Lockheed. Flight International | Jakarta Post | UPI | China’s Xinhua press agency.
Aug 9/10: Air Forces Monthly reports that Indonesia’s Defense Acquisition Program Administration has narrowed its 16 plane advanced jet trainer and light attack aircraft order to the Czech Aero L-159B, South Korea’s T-50 Golden Eagle, and Russia’s Yak-130. That leaves both Alenia’s M346 Master and China’s JL-9/FTC-2000 out in the cold.
Interestingly, the common denominator for the 2 eliminated types is poor secondary ground attack capabilities.
April 22/10: Flight International reports that Indonesia’s air force still wants 8 Super Tucanos, with an option for more. What’s holding up the deal is the need for approval from the defence ministry, which is “conducting its own technical evaluation.”
Indonesia also has a history of individuals conducting private financial evaluations for defense purchases, which include private gain. It is not possible to say whether that is a factor in this deal.
Jan 26/10: The Jakarta Post quotes Indonesian Air Force Chief Marshal Imam Sufaat, who says that Embraer’s Super Tucano trainer/ FAC/ light attack aircraft as “the suitable and affordable choice” to replace their aged OV-10 Broncos: “We have proposed the purchase to the government with the hope that they will grant the funds.” He declined to mention aircraft numbers or budgets. If OV-10 replacement funds are approved this time, a firm contract can be signed with the Brazilians.
On the other hand, Investe Sao Paulo reported in October 2009 that Indonesia had already signed a contract for 8 Super Tucanos. See Oct 16/09 entry.
Meanwhile, Coordinating Political, Legal and Security Affairs Minister Djoko Suyanto was quoted as saying that Indonesia was looking into the possibility of buying weapon systems, including warplanes, from China, and forging bilateral cooperation in weapon systems development.
This has obvious implications for the Hawk Mk53 trainer replacement effort, and could affect Indonesia’s FAC/COIN aircraft efforts if the Super Tucano sale falls through for some reason.
Jan 14/10: Flight International reports that Indonesia’s military is about to renew a request for funds to finance its purchase of trainer and attack aircraft. The service submitted requests to replace its OV-10s in 2008, and 20 Hawks in 2009, but the government did not approve the budgets. A faster-than-expected economic recovery may offer a new opportunity, and Indonesian air force commander Air Marshal Imam Sufaat has reportedly said that the OV-10 replacement has been approved, while the Hawk replacement remains under discussion.
Nov 13/09: The Jakarta Post quotes newly sworn-in Indonesian Air Force chief of staff Vice Marshal Imam Safaat, who says that Russian Yak-130s and Chinese FTC-2000s would replace Indonesia’s 20 remaining British Hawk Mk.53 trainer jets (2 reportedly operational), and remaining American OV-10 Bronco turboprops (0-8 operational).
At this point, this is pre-budget intent, and not a contract. The age of Indonesia’s Hawk and Bronco fleets, and the importance of training, will add urgency to this request. Imam said that these aircraft are “expensive” and would be bought with the help of foreign aid.
The new TNI-AU chief added that the service also plans to replace its 16 F-5E/Fs (4 reportedly operational) by 2013.
Indonesia’s economy has performed well in recent years, and the TNI-AU budget is expected to increase by 25%-75% over the next year, adding $105-320 million. Nevertheless, a verdict that even the Yak-130 and FTC-2000 are expensive could suggest these very aircraft for the F-5’s roles. Both designs are capable of handling those roles at comparable performance levels, and the shrinkage of Indonesia’s front-line combat fleet makes a large array of single-focus trainers a dubious proposition, unless ample money is available for more front-line fighters as well. The flip side of that choice is that beyond the Yak-130’s strong close air support capabilities, these 2 choices would not be competitive with modern fighters.
Alternatively, Indonesia could cast a wider net, and look to purchase both replacement trainers, and low-budget dedicated fighters like the Chinese/Pakistani JF-17 Thunder, India’s Tejas, or South Korea’s TA-50 Golden Eagle to replace its F-5s. A more ambitious effort might even examine higher-end lightweight fighters like the Russian MiG-29/35, Chinese J-10, or the Swedish JAS-39 Gripen flown by nearby Thailand. Of these lightweight fighter choices, the Russian MiG-29/35 and Chinese JF-17 or J-10 are the only options that would be immune to future western military sanctions. All of the other choices currently fly with General Electric turbofan engines, and are slated to continue using western designs.
Oct 16/09: Investe Sao Paulo reports that Embraer has closed the sale of 8 Super Tucano aircraft to the Air Force of Indonesia:
“The information was disclosed yesterday by the Air Force commander, Brigadier Juniti Saito, during the certification event for the VSB-30 sub-orbital rocket and the test of the engine of the VS-40 sounding rocket, at the Department of Aerospace Science and Technology (DCTA, in Portuguese) in Sao Jose dos Campos. Asked by Valor [Economico], Embraer informed through its spokesperson it would not make any announcements on the operation.”

http://www.defenseindustrydaily.com/Indonesia-to-Buy-Russian-Chinese-TrainerAttack-Aircraft-05947/

BERITA POLULER