Pages

Thursday, September 2, 2010

Boeing Receives AC-130U Gunship Support Contract


AC-130U gunship. (Photo: U.S. Air Force/Senior Airman Julianne Showalter)

02 September 2010, FORT WALTON BEACH, Fla. -- Boeing [NYSE: BA] today announced that it has received a contract from the U.S. Air Force to provide spare servo-actuators for the AC-130U gunship. The five-year contract, which includes a base year plus four out-year ordering periods, is worth up to $7.2 million. A total of $1.2 million of the first phase has been obligated.

Between now and July 2011, Boeing will provide 10 servo-actuators for the Trainable Gun Mount Systems needed to install 40-millimeter guns on four AC-130Us. The contract was issued by Robins Air Force Base, Warner Robins, Ga., to Boeing’s Special Operations Forces subdivision. The work will be performed by Boeing teams in Fort Walton Beach.

"These servo-actuators are a critical part of the Air Force's ability to maintain readiness for the AC-130U gunship, which is a vital platform supporting missions around the world," said Ken Hill, director, Boeing Special Operations Forces. "Tight turnaround times are required to repair these aircraft and get them back in the fight. We are fully committed to meeting our customer's expectations."

Boeing has manufactured the AC-130U from existing C-130 airframes since 1987. In 2009, the company received its first contract award under the Air Force’s Future Flexible Acquisition and Sustainment Tool (F2AST) program. The initial $19.1 million F2AST contract was for the sustainment and maintenance of operational flight and simulation software, field service representative support, intermediate-level repairs and other services.

Boeing's work on the C-130 platform extends to the Avionics Modernization Program; the Avionics Part Task Trainer and Cockpit Familiarization Trainer; the C-130H aerial refueling tanker for the Japan Air Self-Defense Force; and the Precision Container Aerial Delivery System (PCADS) program, designed to help combat wildfires.

Boeing's Fort Walton Beach site employs approximately 500 people who primarily support the U.S. Air Force Special Operations Forces.

A unit of The Boeing Company, Boeing Defense, Space & Security is one of the world's largest defense, space and security businesses specializing in innovative and capabilities-driven customer solutions, and the world's largest and most versatile manufacturer of military aircraft. Headquartered in St. Louis, Boeing Defense, Space & Security is a $34 billion business with 68,000 employees worldwide.

Boeing Company

AL Pakistan Terima Frigate Bekas AL AS


Lagu kebangsaan AS dan Pakistan diperdengarkan saat upacara purna bakti frigate kawal rudal USS McInerney (FFG 8) di AL AS di Pangkalan AL Mayport, Florida. Saat bersamaan di gelar upacara pengoperasian PNS Alamgir (F 260) oleh AL Pakistan. (Foto: USN/ Mass Communication Specialist 2nd Class Gary Granger Jr)

03 September 2010 -- Amerika Serikat menyerahkan frigate kelas Oliver Hazard Perry PNS Alamgir (eks-USS McInerney FFG 8) ke Angkatan Laut Pakistan di Mayport, Florida, Selasa (31/8). Pakistan diwakili Duta Besar Pakistan di AS Husain Haqqani serta dihadiri KASAL Pakistan Laksamana Madya Muhammad Asif Sandila HI(M), sejumlah pejabat dan perwira termasuk anggota parlemen.

PNS Alamgir akan berlayar ke Pakistan Januari 2011 setelah menjalani perbaikan dan pelatihan para awak kapal. Frigate diawaki 245 pelaut, termasuk 17 perwira.

Frigate dipersenjati meriam 76 mm yang mampu menembak sasaran di udara dan permukaan serta dapat membawa dua helicopter. Panjang kapal 445 kaki, berbobot 4100 ton, dapat dipacu hingga 30 knot. Frigate dilengkapi persenjataan peperangan anti kapal selam.

USS McInerney (FFG 8) berlabuh di Caldera Bay, Chile saat masih bertugas di AL AS. (Foto: USN/ Mate 1st Class Marthaellen L. Ball)

Seorang pelaut menurunkan Stars & Stripes saat upacara. (Foto: USN/ Mass Communication Specialist 2nd Class Gary Granger Jr)

Kapten Naveed Ashraf akan menjadi komandan PNS Alamgir. (Foto: USN/ Mass Communication Specialist 2nd Class Gary Granger Jr)

Pelaut AS dan Pakistan berparade di depan frigate saat upacara. (Foto: USN/ Mass Communication Specialist 2nd Class Sunday Williams)

APP/Berita HanKam

TNI AL Ambil Alih Tugas DKP 2011



03 September 2010, Jakarta -- Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad menegaskan, usulan penyerahan tugas pengawasan laut ke TNI AL mulai 2011 merupakan hasil Rapat Kabinet.

"Ya, itu hasil dari Rapat Kabinet, bukan dari saya," kata Fadel kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.

Ia menjelaskan, dalam Rapat Kabinet beberapa waktu lalu telah diputuskan bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan akan mengurus ekonomi dan kesejahteraan rakyat saja.

"Sedangkan tugas keamanan diserahkan kepada TNI AL," ujar Fadel.

Tugas pengawasan yang bertahap diserahkan kepada TNI AL tersebut termasuk penegakan hukum seperti penanganan "illegal fishing".

Pengalihan tugas pengawasan tersebut akan dikoordinasikan dengan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan. Begitu pula pengalihan kapal-kapal pengawas yang dimiliki Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Sebelumnya Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Riza Damanik menyatakan, penyerahan tugas pengawasan laut ke TNI AL merupakan keputusan Fadel.

Terdapat masa transisi selama dua tahun sebelum akhirnya tugas pengawasan tersebut diserahkan sepenuhnya ke TNI AL.

Tudingan tersebut berdasar pada pengurangan porsi anggaran pengawasan di Kementeriannya. Padahal, menurut Riza, peran TNI AL berbeda dengan peran pengawas kelautan dan perikanan.

Sesuai dengan Undang-undang (UU) 34 Tahun 2004 tentang TNI bahwa peran untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan NKRI merupakan milik TNI. Sedangkan dalam UU 45 Tahun 2009 tentang Perikanan peran pengawasan perikanan di serahkan pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

ANTARA News

Pidato SBY Soal Malaysia Negara Serumpun Sudah Basi, Malaysia Perlu Shock Therapy


Nograhany Widhi K - detikNews


Jakarta - Dalam pidatonya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membawa latar belakang sejarah hubungan antara Indonesia-Malaysia. Hubungan persahabatan bak kakak-adik, atau negara serumpun itu dinilai basi. Malaysia butuh shock therapy setelah berkali-kali 'ngelunjak'.

"Penekanan saya di sini, kita tidak usah gunakan kata tetangga serumpun karena dalam konteks Indonesia-Malaysia tidak menjamin hubungan itu baik-baik saja. Adanya apologi ketika ada konflik, hubungan kakak-beradik tapi kadang berkelahi, rasanya sudah basi, sebaiknya kita lupakan saja kata itu," ujar Kepala Bidang Perkembangan Politik Internasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dra Awani Irawati, MA.

Malaysia, menurutnya, membutuhkan terapi kejut ketegasan Indonesia atas pelanggaran yang dilakukannya.

Berikut petikan wawancara Awani saat berbincang dengan detikcom, Kamis (2/9/2010).

Bagaimana tentang pidato SBY kemarin? Apakah kurang menunjukkan adanya ketegasan terhadap Malaysia?

Seperti yang telah diduga bahwa pidatonya itu normatif, menghindari adanya sikap konfrorntatif terhadap Malaysia. Saya kira secara keseluruhan pemerintahan SBY melakukan penyelesaian in accordial manner, penyelesaian berdasarkan sesuatu kalau bisa diredam.

Penekanan saya di sini kita tidak usah menggunakan kata tetangga serumpun, dalam konteks Indonesia-Malaysia tidak menjamin hubungan itu baik-baik saja. Adanya apologi karena ada konflik, hubungan kakak-beradik kadang berkelahi, rasanya sudah basi, sebaiknya kita lupakan saja kata itu

Kenapa? Karena ini menggiring Indonesia pada kondisi semuanya bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Tidak ada ketegasan seperti sikap dari Malaysia yang menyulut emosi rakyat Indonesia. Pidato Presiden general, saya yakin tidak meredam tingkat emosional masyarakat yang begitu tinggi.

Disebutkan sejarah hubungan kedua negara ini menjadi pilar penting. Masalah ini bukan ASEAN, ini bilateral. Kalau dikaitkan ASEAN, sebaiknya dikembalikan kepada piagam ASEAN, ASEAN High Council, mekanisme yang dibentuk untuk selesaikan masalah anggota ASEAN, tapi nyatanya tidak pernah digunakan. Kembali ke konteks pidato Presiden, tidak ada katakanlah sesuatu yang menggigit, agresif.

Bagaimana seharusnya ketegasan itu ditunjukkan? Apakah harus dengan perang?

Saya setuju berikan terapi shock kepada Malaysia. Seperti kasus Sipadan-Ligitan, itu dulu tingkat Soeharto dengan Mahathir, diselesaikan di ICJ (International Court Justice). Flashback sedikit tentang konflik perbatasan yang dihadapi Malaysia diselesaikan di tingkat ASEAN sebagian besar negara-negara ASEAN memiliki masalah serupa dengan Malaysia, kecuali Laos, karena Laos kan landlock state yang tidak memiliki garis pantai.

Padahal kalau di dalam penyelesaian ASEAN High Council minimal 5 negara anggota yang berikan penilaian, sementara itu mereka memiliki masalah serupa. Makanya kenapa akhirnya diselesaikan di ICJ. Dalam Sipadan-Ligitan hanya minta kepastian tentang kepemilikan, bukan penentuan perbatasan.

Ketegasan kan tidak harus perang secara fisik, bisa perang diplomasi. Tidak hanya kirimkan nota yang dalam kasus Ambalat lebih 30 nota dikirimkan ke Malaysia namun tidak digubris, akhirnya kembali ke meja perundingan dan masalahnya ngambang. Oleh karena itu, Malaysia harus diberikan sedikit shock therapy di masalah Ambalat itu, dari situ saja sudah kelihatan. Memang wacana di grass root ingin perang, tapi kan perang tidak selalu fisik.

Seperti menarik TKI. Ditarik saja, 1,5 juta TKI ambruk perekonomian Malaysia, seperti saat ada eksodus TKI tahun 2004. Kita melihat pada waktu itu betapa pembangunan ekonomi di Malaysia jadi stag sehingga ada permintaan resmi TKI ilegal agar segera memproses perlengkapan dokumen legal dan bisa dikirim kembali ke Malaysia. Kita lihat dulu pembangunan perkebunan sawit tidak ada pekerjanya, bangunan-bangunan juga, karena penduduk Malaysia itu sedikit.

Kalau mempersona non grata-kan (mengusir) dan menarik Duta Besar?

Bisa jadi. Kita pernah menarik dubes kita di Australia daripada perang fisik. Saya kira perlu diberi therapy shock buat Malaysia. Kita selama ini kesannya dipermainkan, kekuatan pertahanan kita masih di bawah mereka, banyak perbatasan kita masih terbuka, bisa dimanfaatkan sumber daya alam kita, seperti sawit dan illegal logging banyak.

Bagaimana dengan alasan Malaysia yang selalu ulur pembahasan perbatasan dengan RI, karena belum selesai dengan Singapura?


Daerah barat perbatasan RI yang berbatasan dengan Malaysia dan Singapura yang belum selesai itu di wilayah Natuna. Kalau menurut kita Malaysia sudah berada di wilayah kita, ya kita harus yakin dan pertahankan mati-matian.

Bayangkan Malaysia mampu buat peta sepihak tahun 1979 bisa memuat peta memasukkan wilayah Ambalat adalah wilayah dia, kenapa tidak bisa meyakinkan bahwa Malaysia sudah masuk pada wilayah kita. Kenapa kita tidak bisa mengcounter dengan mengirimkan nota protes?

Kenapa diplomasi kita lemah?

Para diplomat kita sebenarnya ulung, namun kembali pada kepemimpinan kita. Kepemimpinan normatif, segala sesuatunya bisa diselesaikan secara menghindari konflik fisik, tidak tegas, orang akhirnya mengacu pada Soekarno. Padahal masalah kedaulatan harus lebih bersifat tegas.

Apakah pengawasan militer kita di perbatasan kurang dan kekuatan militer kita kalah dibanding Malaysia sehingga Pemerintah keder dan tidak tegas?


Sangat kurang (pengawasan). Tapi tentara kita di perbatasana dengan keterbatasan peralatan mampu hidup survive di hutan, lebih kuat hadapi tantangan alam ketimbang Polisi Diraja Malaysia di perbatasan yang logistiknya didrop. Tak hanya tentara, kalau misalnya ada perang, rakyat kita juga banyak dan nasionalis.

Apakah anggaran pertahanan kita perlu ditingkatkan? Berapa persen idealnya anggaran pertahanan dari APBN?


Anggaran pertahanan kita memang harus ditingkatkan. Kalau sudah ada semangat tapi peralatan tidak mendukung kan celaka. Dulu dengan bambu runcing aja kita bisa menang.

Idealnya, anggaran pertahanan maksimal 20 persen, sama dengan pendidikan. Itu untuk membeli peralatan karena sudah tua semua. Kita nggak punya kapal induk, kalau lihat di wilayah begitu luas, begitu terbukanya.

(nwk/mok)

DETIK 

TNI AU Gelar Latihan Antisipasi Perang

02 September 2010, Surabaya -- Ratusan prajurit TNI Koops AU II menggelar latihan perang di Pantai Selatan Lumajang dan lapangan tembak di Desa Pandanwangi Kecamatan Tempeh, Kamis (2/9) pukul 05:30 WIB. Tema latihan rutin tahunan TNI AU itu dinamakan Sikatan Daya 2010 dan dipantau oleh Pangkoopsau II, Marsekal Muda TNI R. Agus Munandar.

Dalam latihan bersama kesatuan Koops AU II diikuti dari kesatuan Lanud Iswahyudi, Hasanuddin, Abdurahman Saleh dan Paskhas. Sedangkan pesawat tempur yang dikerahkan, Sukoi sebanyak 2 pesawat, F 16 sebanyak 4 pesawat, F5 sebanyak 4 pesawat, Hawk MK5 sebanyak 3 pesawat dan Hercules 2 pesawat.

Menurut Marsekal Muda, Agus Munandar, latihan sikatan daya adalah latihan tempur di kesatuan Koops AU II medan perang. Dimana pesawat tempur sebagai pelumpuh daerah konfilk yang dikuasai musuh. Setelah dikuasai nantinya ada tim penyusup, kemudian Pasukan Khas TNI AU menguasai wilayah dengan terjun Payung.

“Kami ingin mengetahui kesiapaan prajurit jika dibutuhkan untuk bertempur melawan pengacau negara,” jelas Agus Munandar didampingi Komadan Lanud Abdurahman Saleh – Malang, Marksekal Dwi Putranto.

Dengan hasil latihan yang diperagakan prajurit AU II, Agus mengaku sangat kagum dengan sejumlah pesawat tempur yang membidik sasaran selalu tepat. Selain itu, kerjasama parjurit sudah maksimal dan tetap pada satu komando.”Latihan hari ini sunggu Excelent,” ungkap Jendral bintang dua itu.

Tinggal tunggu perintah

Meski presiden SBY lebih mementingkan jalur diplomasi menghadapi Malaysia namun TNI-AU telah menggelar persiapan dengan latihan perang di pantai Lumajang.

Pangkops AU II Marsekal Muda TNI R Agus Munandar mengatakan bahwa prajuritnya siap tempur di medan perang jika dibutuhkan oleh bangsa Indonesia. “Kami tinggal tunggu komando dari presiden jika kami disuruh perang nantinya,” kata Agus Munandar dengan tegas pada sejumlah wartawan.

Menurut Agus, terkait konflik Indonesia- Malaysia pihaknya tidak tahu menahu, namun jika dibutuhkan dalam menjaga kedaulatan RI dan ada perintah komando siap menjalankan. “Pokoknya Koops AU II, parjuritnya siap tempur dan ditugaskan bila dibutuhkan,” tambahnya.

Pos Kota

Pidato SBY Tak Berpengaruh Malaysia Ancam Maju ke Pengadilan Internasional

Vina Ramitha

(IST)
INILAH.COM, Kuala Lumpur - Malaysia menyatakan sengketa perbatasan laut dengan Indonesia kemungkinan bisa berlanjut ke Pengadilan Internasional, jika masih belum ada jalan tengahnya.
"Jika sudah mencapai titik tertingginya, maka International Court of Justice akan menjadi tempat terakhir untuk menyelesaikan masalah perbatasan laut ini," ujar Deputi Menlu Malaysia Richard Riot, seperti dilansir Straits Times, Kamis (2/9).
Menurut Riot, kedua negara telah rutin bertemu untuk memecahkan masalah tersebut. Namun, masih belum ada solusi yang bisa disepakati kedua belah pihak. "Tak mungkin bisa dilakukan dengan cepat. Sudah 16 pertemuan saja masih belum ada solusinya."
Masalah perbatasan ini kembali memanas, setelah penangkapan tiga staf Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) oleh polisi perairan Malaysia 13 Agustus silam dan tujuh nelayan negara jiran itu oleh Indonesia.
Insiden terus memanas, karena pelemparan kotoran manusia di Kedubes Malaysia di Jakarta. Pemerintah Malaysia pun memprotes tindakan tersebut. Sementara semua yang tertangkap sudah dibebaskan masing-masing pihak.[nic]

http://www.inilah.com/news/read/politik/2010/09/02/794051/malaysia-ancam-maju-ke-pengadilan-internasional/

DUNIA POLITIK DOMESTIK MALAYSIA MAKIN RASIS

Kubu Politik Lama Malaysia Tetap Rasis
Selasa, 31 Agustus 2010 | 05:38 WIB
istimewa
Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Muhammad (kiri).
KUALA LUMPUR, KOMPAS.com — Dunia politik domestik Malaysia semakin rasis seiring dengan semakin terdesaknya kubu penguasa Barisan Nasional. Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, seperti dikutip dari situs berita The Malaysian Insider, dalam pertemuan pekan lalu, mengingatkan warga Melayu untuk bersatu atau akan kehilangan negara mereka.

”Kalau terpisah, kita akan kehilangan kekuatan mayoritas,” ujar Mahathir mengacu kepada pilihan politik warga Melayu antara UMNO, Partai Islam se-Malaysia (PAS), dan Partai Keadilan.

Mahathir mengecam Menteri Besar Negara Bagian Selangor yang mengakomodasi permintaan parlemen negara bagian yang didominasi warga non-Melayu.

Warga etnis Tionghoa diketahui memiliki proporsi cukup besar di Negara Bagian Penang, Johor, dan Selangor. Bagi Mahathir, kebijakan Menteri Besar Negara Bagian Selangor tidak bisa dibenarkan. Mahathir selalu mengingatkan perlunya membangun keunggulan Melayu.

Dia mengecam penyebutan nama Menteri Besar Penang Lim Guan Eng dalam sebuah acara shalat Jumat di masjid-masjid Penang. Meski dikecam Mahathir, kehidupan masyarakat Penang selama ini aman dan perekonomian berjalan lancar.

”Saya bukan seorang rasis yang ingin membangkitkan kebencian warga Melayu kepada non-Melayu. Kita punya hak yang harus dihormati orang lain. Penghormatan diperoleh kalau kita kuat dan berkuasa,” ujar Mahathir.

Perjuangan multiras

Sebaliknya, Nurul Izzah Anwar, dalam perbincangan dengan Kompas di Jakarta, mengatakan, pihaknya mendorong perjuangan multiras. Nurul Izzah dari Partai Keadilan dalam koalisi Pakatan Rakyat berkuasa bersama Democratic Action Party (DAP) yang dipilih warga Tionghoa dan PAS yang didukung kelompok ulama konservatif di Negara Bagian Kelantan dan Trengganu.

”Demokrasi yang sehat menuju sistem dua partai antara kubu Barisan Nasional dan Pakatan Rakyat. Pilihan bukan berdasarkan ras dalam demokrasi sehat,” ujar Nurul.

Hubungan antar-ras

Tokoh oposisi Tengku Razaleigh Hamzah menguatkan pernyataan Nurul. Razaleigh, dalam situs Asiasentinnel, menjelaskan, ketidakmampuan membangun hubungan antar-ras yang dewasa ini terjadi telah menghambat investasi dan kemajuan Malaysia.

”Jika UMNO, MIC (asosiasi India), dan MCA (asosiasi Tionghoa) di Barisan Nasional takut kehilangan massa, biarkan pengikut mereka memilih partai multirasial. Pakatan Rakyat pun harus memilih kebijakan multirasial. Tidak ada satu kelompok pun yang merasa dirugikan,” kata Razaleigh.

Dia mengingatkan, di masa depan, siapa pun calon boleh maju dalam pemilu, asal dia mewakili kepentingan Malaysia dan bukan kepentingan ras. (ONG)

KOMPAS

BERITA POLULER