istimewa
Ilustrasi : kapal selam Rusia yang dikenal andal dan kuat. Senin, 9 Februari 2009 | 11:44 WITA
PANGKALPINANG, TRIBUN- Pemerintah Republik Indonesia (RI) akan membeli kapal selam buatan Rusia. Pembelian kapal selam itu dilakukan secara bertahap mengingat krisis ekonomi sekarang masih cukup berat dan pemerintah tetap fokus menjaga stabilitas ekonomi rakyat.
"Memang ada rencana akan membeli kapal selam dan saya sudah meninjau beberapa pabrik kapal selam di Moskow, Rusia. Kapal selam ini untuk memberikan isyarat kepada musuh terhadap kekuatan angkatan laut kita, sekaligus mengantisipasi perang terbuka bila diperlukan," ujar Wakil Ketua Komisi I DPR RI,Yusron Ihza di Pangkalpinang, Senin (9/2)
"Tidak perlu memiliki banyak kapal selam karena harganya mahal,cukup tiga kapal selam canggih saja sudah memadai untuk menjaga kedaulatan wilayah bawah laut dari ancaman musuh,"ujarnya.
"Saya selalu katakan bahwa kekuatan ekonomi cukup berpengaruh terhadap pertahanan dan keamanan,jika perekonomian dalam negeri rapuh maka pertahanan juga akan begitu,demikian pula sebaliknya,"ujarnya.
Ia mengatakan bahwa pertahanan ekonomi relatif stabil dan pemerintah ada uang, maka anggaran pertahanan juga akan naik,namun belum bisa dipastikan kapan perekonomian mulai membaik.
"Saya dan teman-teman di DPR sudah memperjuangkan anggaran pertahanan itu dinaikkan,namun tidak bisa dalam krisis ekonomi sekarang ini," katanya lalu mengatakan anggaran yang diajukan hanya disetujui sepertigannya.
Kondisi tersebut,katanya,cukup dilematis karena negara ini memerlukan dana cukup besar untuk pertahanan dan keamanan namun pemerintah dihadapkan pada krisis ekonomi sehingga sulit menaikkan anggaran pertahanan dan keamanan.
"Ini yang menjadi kendala selama ini kenapa peralatan perang RI untuk menjaga ketutuhan NKRI serba terbatas, terutama peralatan perang angkatan udara dan laut," demikian Yusron Ihza.
Sebelumnya, Duta Besar Federasi Rusia untuk Indonesia Alexander A. Ivanov mengatakan, Indonesia dan Rusia tengah merundingkan kontrak pembelian persenjataan tempur termasuk kapal selam.
"Perundingan soal itu masih berjalan," kata Ivanov seusai memberi kuliah bertema Rusia setelah Perang Dingin (Russia after Cold War) yang diselenggarakan Pusat untuk Dialog dan Kerja sama antar Peradaban (CDCC) di Jakarta, 18 Oktober 2008.
Hadir dalam acara itu antara lain Ketua CDCC dan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Din Syamsuddin.
Pernyataan ini disampaikan Ivanov, terkait laporan yang menyebut Menteri Pertahanan Juwono Soedarsono akan menghentikan perundingan pembelian kapal selam dengan Rusia karena biaya perawatannya mahal.
Indonesia tengah mempelajari tawaran Jerman dan Korea Selatan bagi pengadaan dua kapal selam untuk melipatgandakan armadanya, kata Juwono dalam jumpa pers dengan sejawatnya dari Australia Joel Fitgibbon.
Indonesia tetap akan membeli tiga jet tempur Sukhoi dari Rusia dan telah memperoleh sistem persenjataan untuk empat pesawat Sukhoi yang sudah dioperasikan TNI.
"Saya belum mendengar kabar atau membaca laporan tentang penghentian perundingan, khususnya pembelian kapal selam," kata Ivanov.
Dalam ceramahnya, Ivanov menyinggung hubungan bilateral Rusia-Indonesia di berbagai bidang yang berjalan baik termasuk pada forum internasional di Dewan Keamanan PBB di mana Indonesia duduk sebagai anggota tidak tetap sementara Rusia sebagai anggota tetap.
"Kami serius menjalin hubungan dengan Indonesia," ujarnya.
Menurut dia, Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia merupakan mitra sangat penting bagi Rusia dan bersedia menelurkan prakarsa-prakarsa bersama demi dialog antaragama dan peradaban.
Ivanov mengatakan seperlima dari 150 juta penduduk Rusia adalah muslim yang hidup berdampingan dengan pemeluk Kristen atau Buddha.
"Kami akan menindaklanjuti hubungan kedua negara dengan pertukaran antara Muslim atau pemimpin organisasi Islam," janjinya.
Pada bagian lain, Dubes Ivanov menyampaikan latar belakang serangan Georgia ke wilayah Ossetia Selatan dan aksi militer yang dilakukan terhadap negara tetangganya itu.
Ossetia Selatan dan Abkhazia telah menyatakan diri sebagai negara merdeka dan lepas dari Georgia.
"Sejumlah negara seperti Bolivia, Venezuela, Belarusia telah mengakui kemerdekaan kedua negara itu," papar Ivanov.
Tentang hubungan Rusia dengan Amerika Serikat, ia juga menyatakan bahwa AS tak dapat menyelesaikan masalah di dunia sendirian dan memerlukan negara-negara lain.
"Kedua pemimpin negara beberapa kali bertemu untuk mengadakan dialog," kata Ivanov.
Ia menyatakan, dunia tak lagi mengenal istilah "unipolar" tetapi sudah "multipolar" ditandai dengan sejumlah negara yang mengalami kemajuan di bidang ekonomi dan politik. (ant)
http://www.tribunkaltim.co.id/read/artikel/21149