Pages

Thursday, August 5, 2010

Sukhoi Su-27

Su-27
MAKS-2007-Su-27.jpg
Su-27
Tipe Pesawat tempur superioritas udara (Su-27 Flanker-B)
Produsen Sukhoi
Terbang perdana 20 Mei 1977
Diperkenalkan Desember 1984
Status aktif
Pengguna Rusia
Aljazair, Angola, Belarusia, Cina, Eritrea, Ethiopia, India, Indonesia, Kazakhstan, Malaysia, Ukraina, Uzbekistan, Venezuela, Vietnam
Jumlah produksi 680
Harga satuan US$35 juta
Varian Su-30
Su-33
Su-34
Su-35
Su-37
J-11

Sukhoi Su-27 (kode NATO: Flanker) adalah pesawat tempur yang awalnya diproduksi oleh Uni Soviet, dan dirancang oleh Biro Disain Sukhoi. Pesawat ini direncanakan untuk menjadi saingan utama generasi baru pesawat tempur Amerika Serikat (yaitu F-14 Tomcat, F-15 Eagle, F-16 Fighting Falcon, dan F/A-18 Hornet). Su-27 memiliki jarak jangkau yang jauh, persenjataan yang berat, dan kelincahan yang tinggi. Pesawat ini sering disebut sebagai hasil persaingan antara Sukhoi dengan Mikoyan-Gurevich, karena Su-27 dan MiG-29 berbentuk mirip. Ini adalah keliru, karena Su-27 dirancang sebagai pesawat interseptor dan pesawat tempur superioritas udara jarak jauh, sedangkan MiG-29 dirancang untuk mengisi peran pesawat tempur pendukung jarak dekat.


Sejarah

Pada tahun 1969, Uni Soviet mendapatkan informasi bahwa Angkatan Udara Amerika Serikat telah memilih McDonnell Douglas untuk memproduksi rancangan pesawat tempur eksperimental (yang akan berevolusi menjadi F-15). Untuk menghadapi ancaman masa depan ini, Uni Soviet memulai program PFI (Perspektivnyi Frontovoy Istrebitel, "pesawat tempur taktis mutakhir") yang direncanakan menghasilkan pesawat yang bisa menyaingi hasil rancangan Amerika Serikat.

Namun, spesifikasi yang dibutuhkan untuk memenuhi syarat-syarat program ini pada satu pesawat saja ternyata terlalu rumit dan mahal. Maka program ini dibagi menjadi dua, yaitu TPFI (Tyazholyi Perspektivnyi Frontovoi Istrebitel, "pesawat tempur taktis mutakhir berat") and the LPFI (Legkiy Perspektivnyi Frontovoi Istrebitel, "pesawat tempur taktis mutakhir ringan"). Langkah ini juga mirip apa yang dilakukan Amerika Serikat, dimana Amerika Serikat memulai program "Lightweight Fighter" yang nantinya akan menghasilkan F-16. Sukhoi OKB diberikan program TPFI.

Rancangan Sukhoi pertama kali muncul sebagai pesawat sayap delta T-10, yang pertama terbang pada tanggal 20 Mei 1977. T-10 terlihat oleh pengamat Barat, dan diberikan kode NATO Flanker-A. Perkembangan T-10 menemui banyak masalah, yang berakibat pada kehancuran ketika salah satu pesawat ini jatuh pada tanggal 7 Mei 1978. Kejadian ini kemudian ditindaklanjuti dengan banyak modifikasi perancangan, yang menghasilkan T-10S, yang terbang pertama kali pada 20 April 1981. Pesawat ini juga menemui kesulitan, dan jatuh pada tanggal 23 Desember 1981.

Versi produksi pesawat ini (Su-27 atau Su-27S, dengan kode NATO Flanker-B) mulai dipakai Angkatan Udara Soviet pada tahun 1984, tetapi baru dipakai menyeluruh tahun 1986, karena sempat terhambat oleh masalah produksi. Pesawat ini dipakai oleh Pertahanan Anti Udara Soviet (Voyska PVO) dan Angkatan Udara Soviet (VVS). Pemakaiannya di V-PVO adalah sebagai interseptor, menggantikan Sukhoi Su-15 and Tupolev Tu-28. Dan pemakaiannya di VVS lebih difokuskan kepada interdiksi udara, dengan tugas menyerang pesawat bahan bakar dan AWACS, yang dianggap sebagai aset penting angkatan udara NATO.

Desain

Kokpit Su-27.
Sukhoi Su-27 Flanker B, produksi awal
Sukhoi Su-27 Flanker B, produksi akhir
A Belarusian Su-27UBM during a training flight before the Air Show 2009 in Radom.
The Sukhoi Su-27 (NATO reporting name "Flanker"). Ukrainian Air Force Museum in Vinnitsa.

Desain aerodinamisasi dasar dari Su-27 mirip dengan MiG-29 hanya lebih besar. Pesawat ini sangat besar sehingga untuk meringankan beratnya material titanium banyak digunakan (sekitar 30%). tidak ada material komposit yang digunakan. Sayap yang sayung kebelakang menyatu dengan badan pesawat pada perpanjangan leading edge dan pada dasarnya sayap berbentuk delta, hanya bagian ujung luar saja yang dipotong untuk tempat rel rudal diujung sayap. Su-27 bukanlah sebuah pesawat delta murni karena masih mempertahankan bentuk ekor konvensional, dengan menggunakan 2 sirip ekor vertikal di sisi luar kedua mesinnya, dan dibantu dengan 2 ekor tengah melipat kebawah untuk membantu stabilitas lateral.

Mesin turbofan Lyulka AL-31F disediakan tempat yang sangat lebar, tempat yang lebar ini disediakan untuk alasan keamanan dan untuk menjamin aliran udara yang tidak terputus pada bukaan udara masuk. Ruangan yang tercipta diantara dua buah mesin juga menyediakan daya angkat tambahan sehingga mengurangi beban sayap. Saluran penuntun yang bisa digerakan pada bukaan udara masuk memungkinkan pesawat mencapai kecepatan Mach 2+ , dan membantu menjaga aliran udara mesin pada saat sudut alpha tinggi.Sebuah layar penyaring ditempatkan pada bukaan udara masuk untuk melindungi mesin dari kotoran saat lepas landas.

Su-27 adalah pesawat operasional pertama Uni Soviet yang menggunakan sistem kontrol penerbangan fly by wire , dikembangkan berdasarkan pengalaman Sukhoi OKB pada proyek Pengebom Sukhoi T-4. Sistem ini dikombinasi dengan beban saya yang relatif rendah dan kontrol penerbangan dasar yang kuat , maka menghasilkan pesawat yang luar biasa lincah, tetap mudah dikontrol walaupun pada kecepatan sanagat rendah dan susut serang tinggi. Pada pameran dirgantara , pesawat ini mampu mendemonstrasikan kemampuan manuvernya dengan aksi "patukan kobra" (kobra Pugachev) atau pengereman dinamis - mempertahankan level penerbangan pada sudut serang 120°. Pengarah semburan jet juga sudah di uji coba dan sudah diterapkan pada model-model akhir yaitu Su-30MKI dan Su-37, memungkinkan pesawat untuk berbalik tajam dengan radius putar hampir nol, menggunakan teknik somersault vertikal ke gerakan pelurusan kembali dan mengambang terbatas dengan hidung pesawat menghadap keatas.

Versi laut dari Flanker (lebih dikenal dengan nama Su-33), menggunakan kanard untuk daya angkat tambahan, mengurangi jarak lepas landas (sangat penting untuk kapal yang beroperasi dari kapal induk tanpa sistem ketapel , Admiral Kuznetsov ). Kanard ini juga digunakan pada beberapa Su-30, Su-35, dan Su-37.

Kanopi Su-27UB.

Sebagai tambahan pada kelincahannya , Su-27 menggunakan volume internalnya yang besar untuk menyimpan bahan bakar dalam jumlah besar pula. Pada konfigurasi berlebih untuk jarak tempuh maksimum, pesawat ini mampu membawa 9.400 kg bahan bakar internal, bagaimanapun juga dengan beban seperti itu kemampuan manuvernya menjadi terbatas, dan beban normal adalah 5.270 kg.

Su-27 dipersenjatai dengan sebuah kanon Gryazev-Shipunov GSh-30-1 kaliber 30 mm di pangkal sayapnya, dan mempunyai 10 cantelan senjata untuk tempat rudal dan senjata lainya. Standar persenjataan rudal untuk pertempuran udara ke udara adalah campuran dari rudal Vympel R-73 (AA-11 Archer) dan rudal Vympel R-27 (AA-10 'Alamo') , Senjata terakhir mempunyai versi jarak tempuh yang diperjauh dan model kendali infra merah. Varian Flanker yang lebih canggih seperti Su-30, Su-35, dan Su-37 juga bisa membawa rudal Vympel R-77 (AA-12 Adder).

Su-27 mempunyai sebuah display kepala tegak berkontras tinggi yang bisa disetel dan incaran yang dipasang di helm , dimana , bila dipasangkan dengan rudal R-73 dan kelincahan pesawat yang sangat tinggi membuat pesawat ini menjadi salah satu pesawat terbaik untuk pertempuran udara jarak dekat.

Radar Su-27 terbukti menjadi masalah besar dalam pengembangan Su-27. Permintaan awal dari Uni soviet adalah sangat ambisius , mengharapkan kemapuan untuk menyergap multi target dan jarak pantau 200km terhadap pesawat seukuran pengebom (RCS 16 meter persegi untuk sebuah Tu-16). Hal ini akan melampaui kemampuan deteksi radar APG-63 dari F-15 (sekitar 180km untuk target ber-RCS 100 meter persegi) dan kemampuan radar Su-27 ini kira-kira setara dengan Zaslon phased array radar seberat 1 ton yang digunakan di pesawat MiG-31.

Sejarah tempur

Su-27 di udara.

Walaupun Su-27 dianggap memiliki kelincahan yang mengagumkan, pesawat ini belum banyak dipakai pada petempuran yang sebenarnya. Pemakaian pesawat ini yang patut disebut adalah pada Perang Ethiopia-Eritrea, dimana pesawat-pesawat Sukhoi Su-27A Ethiopia dipakai untuk melindungi pesawat pengebom Mig-21 dan Mig-23. Pada perang itu, pesawat-pesawat Su-27 tersebut berhasil menghancurkan empat Mig-29 Eritrea.

Salah satu pilot yang berhasil menembak jatuh lawan adalah Aster Tolossa, yang menjadi wanita Afrika pertama yang memenangi sebuah pertempuran udara.

Pengguna

Pengguna Su-27/30 berwarna biru dan calon pengguna berwarna hitam.
Russian Air Force Victory Day Parade 2008.ogg
Fly-over by aircraft of the Russian Air Force at the Victory Day Parade in Moscow on 9 May 2008.
Tupolev Tu-160 Blackjack ("Vasily Sen'ko") with Sukhoi Su-27 Flanker at 2007 Russian Air Force Day celebration in Monino
A. Kvochur, a show pilot for the Sukhoi Aircraft Manufacturer performs for the crowd in a Russian made Sukhoi Su-33 Flanker, during the LaComina Airshow held on June 11th, 2000, in Pordenone, Italy.

Sekitar 680 Su-27 diproduksi oleh Uni Soviet, dan 400 dipakai oleh Rusia. Negara mantan Soviet yang memiliki pesawat ini adalah Ukraina dengan 60 pesawat, Belarusia dengan sekitar 25 pesawat, Kazakstan dengan sekitar 30 dan sudah memesan 12 pesawat lagi, dan Uzbekistan dengan 25 buah.

Tiongkok menerima 26 pesawat pada tahun 1991, dan 22 lagi pada 1995. Kemudian pada tahun 1998 mereka menandatangani kontrak untuk lisensi produksi 200 pesawat ini dengan nama Shenyang J-11. Vietnam memiliki 12 Su-27SK dan telah memesan 24 lagi. Ethiopia memiliki 8 Su-27A dan 2 Su-27U. Indonesia mempunyai 2 Su-27SK and 2 Su-30MK serta telah memesan 3 SU-27SKM dan 3 SU-30MK2. Dan Angola telah menerima sekitar 8 Su-27/27UB. Meksiko berencana untuk membeli 8 Su-27s dan 2 pesawat latihan Su-27UB.[1]

Amerika Serikat juga disinyalir memiliki satu Su-27 Flanker B dan satu Su-27 UB. Tiga pesawat ini masuk sebagai registrasi sipil, dan salah satunya tiba di Amerika Serikat menggunakan pesawat Antonov-62.

Indonesia (TNI-AU) mulai menggunakan keluarga Sukhoi-27 pada tahun 2003 setelah batalnya kontrak pembelian 12 unit Su-30MKI pada 1996. Kontrak tahun 2003 mencakup pembelian 2 unit Sukhoi-27SK dan 2 unit Sukhoi-30MK senilai 192 juta dolar AS tanpa paket senjata. Empat tahun kemudian pada acara MAKS 2007 di Moskow Departemen Pertahanan mengumumkan kontrak unruk pembelian 3 unit Sukhoi-27SKM dan 3 unit Sukhoi-30MK2 senilai 350 juta dolar AS.[2]

Sukhoi Su-27UBK China
Bendera Angola Angola
Bendera Belarus Belarus
Bendera Republik Rakyat Cina Republik Rakyat Cina
Bendera Eritrea Eritrea
Bendera Ethiopia Ethiopia
Bendera Indonesia Indonesia
Bendera Kazakhstan Kazakhstan
Bendera Rusia Rusia
Bendera Ukraina Ukraina
Bendera Uzbekistan Uzbekistan
Bendera Vietnam Vietnam
Bendera Amerika Serikat Amerika Serikat

Spesifikasi (Sukhoi Su-27)

SUKHOI Su-27 FLANKER.png

Karakteristik umum

  • Kru: Satu
  • Panjang: 21,9 m (72 ft)
  • Lebar sayap: 14,7 m (48 ft 3 in)
  • Leading edge sweep: 42°)
  • Tinggi: 5,93 m (19 ft 6 in)
  • Area sayap: 62 m² (667 ft²)
  • Berat kosong: 16.380 kg (36.100 lb)
  • Berat terisi: 23.000 kg (50.690 lb)
  • Berat maksimum lepas landas: 33.000 kg (62.400 lb)
  • Mesin: 2× Lyulka AL-31F turbofan, 122,8 kN (27.600 lbf) masing-masing

Performa

Persenjataan



Catatan

Pengembangan yang berhubungan

Pesawat sebanding

Pranala luar



sumber artikel dan foto : Wikipedia

F-16 Fighting Falcon

F-16 Fighting Falcon
Lockheed-logo Winnie-Mae.png
F-16 Fighting Falcon.jpg
F-16 pada Perang Irak, Maret 2003.
Tipe Pesawat tempur
Produsen General Dynamics
Lockheed Martin
Terbang perdana 2 Februari 1974
Diperkenalkan 17 Agustus 1978
Status Aktif
Pengguna Amerika Serikat
24 negara lainnya
Jumlah produksi Lebih dari 4.000
Harga satuan US$18,8 juta (1998)
Varian General Dynamics F-16XL
Mitsubishi F-2
YF-16 (bawah) dan saingannya, YF-17.

F-16 Fighting Falcon adalah jet tempur multi-peran yang dikembangkan oleh General Dynamics, di Amerika Serikat. Pesawat ini awalnya dirancang sebagai pesawat tempur ringan, dan akhirnya berevolusi menjadi pesawat tempur multi-peran yang sangat populer. Kemampuan F-16 untuk bisa dipakai untuk segala macam misi inilah yang membuatnya sangat sukses di pasar ekspor, dan dipakai oleh 24 negara selain Amerika Serikat.[1] Pesawat ini sangat popular di mata international dan telah digunakan oleh 25 angkatan udara. F-16 merupakan proyek pesawat tempur Barat yang paling besar dan signifikan, dengan sekitar 4000 F-16 sudah di produksi sejak 1976. Pesawat ini sudah tidak diproduksi untuk Angkatan Udara Amerika Serikat, tapi masih diproduksi untuk ekspor.

F-16 dikenal memiliki kemampuan tempur di udara yang sangat baik, dengan inovasi seperti tutup kokpit tanpa bingkai yang memperjelas penglihatan, gagang pengendali samping untuk memudahkan kontrol pada kecepatan tinggi, dan kursi kokpit yang dirancang untuk mengurangi efek g-force pada pilot. Pesawat ini juga merupakan pesawat tempur pertama yang dibuat untu menahan belokan pada percepatan 9g.

Pada tahun 1993, General Dynamics menjual bisnis produksi pesawat mereka kepada Lockheed Corporation, yang kemudian menjadi bagian dari Lockheed Martin setelah merger dengan Martin Marietta pada tahun 1995.


Sejarah

F-16 Fighting Falcon.ogv
F-16 Fighting Falcon
F-16 Take off, Performance and Landing @ Farnborough Airshow 2008.ogv
Kemampuan F-16

Pada tahun 1960-an, Angkatan Udara dan Angkatan Laut Amerika Serikat menyimpulkan bahwa masa depan pertempuran udara akan ditentukan oleh peluru kendali yang semakin modern. Dan bahwa pesawat tempur masa depan akan digunakan untuk mengejaran jarak jauh, berkecepatan tinggi, dan menggunakan sistem radar yang sangat kuat untuk mendeteksi musuh dari kejauhan. Ini membuat desain pesawat tempur masa ini lebih seperti interseptor daripada pesawat tempur klasik. Pada saat itu, Amerika Serikat menganggap pesawat F-111 (yang pada saat itu masih dalam tahap pengembangan) dan F-4 Phantom akan cukup untuk kebutuhan pesawat tempur jarak jauh dan menengah, dan didukung oleh pesawat jarak dekat bermesin tunggal seperti F-100 Super Sabre, F-104 Starfighter, dan F-8 Crusader.

Pada Perang Vietnam, Amerika Serikat menyadari bahwa masih banyak kelemahan pada pesawat-pesawat mereka. Peluru kendali udara ke udara pada masa itu masih memiliki banyak masalah, dan pemakaiannya juga dibatasi oleh aturan-aturan tertentu. Selain itu, pertempuran di udara lebih banyak berbentuk pertempuran jarak dekat dimana kelincahan di udara dan senjata jarak dekat sangat diperlukan.

Kolonel John Boyd mengembangkan teori tentang perawatan energi pada pertempuran pesawat tempur, yang bergantung pada sayap yang besar untuk bisa melakukan manuver udara yang baik. Sayap yang lebih besar akan menghasilkan gesekan yang lebih besar saat terbang, dan biasanya menghasilkan jarak jangkau yang lebih sedikit dan kecepatan maksimum yang lebih kecil. Boyd menganggap pengorbanan jarak dan kecepatan perlu untuk menghasilkan pesawat yang bisa bermanuver dengan baik. Pada saat yang sama, pengembangan F-111 menemui banyak masalah, yang mengakibatkan pembatalannya, dan munculnya desain baru, yaitu F-14 Tomcat. Dorongan Boyd tentang pentingnya pesawat yang lincah, gagalnya program F-111, dan munculnya informasi tentang MiG-25 yang saat itu kemampuan dibesar-besarkan membuat Angkatan Udara Amerika Serikat memulai perancangan pesawat mereka sendiri, yang akhirnya menghasilkan F-15 Eagle.

Pada saat pengembangannya, F-15 berevolusi menjadi besar dan berat seperti F-111. Ini membuat Boyd frustrasi dan ia pun meyakinkan beberapa petinggi Angkatan Udara lain bahwa F-15 membutuhkan dukungan dari pesawat tempur yang lebih ringan. Grup petinggi Angkatan Udara ini menyebut diri mereka "fighter mafia", dan mereka bersikeras akan dibutuhkannya program Pesawat Tempur Ringan (Light Weight Fighter, LWF).

Pada Mei 1971, Kongres Amerika Serikat mengeluarkan laporan yang mengkritik tajam program F-14 dan F-15. Kongres mengiyakan pendanaan untuk program LWF sebesar US$50 juta, dengan tambahan $12 juta pada tahun berikutnya. Beberapa perusahaan memberikan proposal, tetapi hanya General Dynamics dan Northrop yang sebelumnya sudah memulai perancangan dipilih untuk memproduksi prototip. Pesawat mereka mulai diuji pada tahun 1974. Program LWF awalnya merupakan program evaluasi tanpa direncanakan pembelian versi produksinya, tetapi akhirnya program ini dirubah namanya menjadi Air Combat Fighter, dan Angkatan Udara AS mengumumkan rencana untuk membeli 650 produk ACF. Pada tanggal 13 Januari 1975 diumumkan bahwa YF-16 General Dynamics mengalahkan saingannya, YF-17.

Varian

Varian F-16 ditandai oleh nomer blok yang menandakan pembaruan yang signifikan. Blok ini mencakup versi kursi tunggal dan kursi ganda.

F-16 A/B

F-16A Norwegia diatas daerah Balkan.

F-16 A/B awalnya dilengkapi Westinghouse AN/APG-66 Pulse-doppler radar, Pratt & Whitney F100-PW-200 turbofan, dengan 14.670 lbf (64.9 kN), 23.830 lbf (106,0 kN) dengan afterburner. Angkatan Udara AS membeli 674 F-16A dan 121 F-16B, pengiriman selesai pada Maret 1985.

Blok 1
Blok awal (Blok 1/5/10) memiliki relatif sedikit perbedaan. Sebagian besar diperbarui menjadi Blok 10 pada awal 1980-an. Ada 94 Blok 1, 197 Blok 5, dan 312 Blok 10 yang diproduksi. Blok 1 model awal produksi dengan hidung dicat hitam.
Blok 5
Diketahui kemudian bahwa hidung hitam menjadi identifikasi visual jarak jauh untuk pesawat Blok 1, sehingga warnanya diubah menjadi abu-abu untuk Blok 5 ini. Pada F-16 Blok 1, ditemukan bahwa air hujan dapat berkumpul pada beberapa titik di badan pesawat, sehingga untuk Blok 5 dibuat lubang saluran air.
Blok 10
Pada akhir 1970-an, Uni Soviet secara signifikan mengurangi ekspor titanium, sehingga produsen F-16 mulai menggunakan alumunium. Metode baru pun dilakukan: aluminum disekrup ke permukaan pesawat Blok 10, menggantikan cara pengeleman pada pesawat sebelumnya.
Blok 15
Perubahan besar pertama F-16, pesawat Blok 15 ditambahkan stabiliser horizontal yang lebih besar, ditambah dua hardpoint di bagian dagu, radar AN/APG-66 yang lebih baru, dan menambah kapasitas hardpoint bawah sayap. F-16 diberikan radio UHF Have Quick II. Blok 15 adalah varian F-16 yang paling banyak diproduksi, yaitu 983 buah. Produksi terakhir dikirim pada tahun 1996 ke Thailand. Indonesia memiliki varian ini sebanyak 12 unit.
Blok 15 OCU
Mulai tahun 1987 pesawat Blok dikirim ke dengan memenuhi standar Operational Capability Upgrade (OCU), yang mencakup mesin F100-PW-220 turbofans dengan kontrol digital, kemamampuan menembakkan AGM-65, AMRAAM, dan AGM-119 Penguin, serta pembaruan pada kokpit, komputer, dan jalur data. Berat maksimum lepas landasnya bertambah menjadi 17.000 kg. 214 pesawat menerima pembaruan ini, ditambah dengan beberapa pesawat Blok 10.
Blok 20
150 Blok 15 OCU untuk Taiwan dengan tambahan kemampuan yang serupa dengan F-16 C/D Blok 50/52: menembakkan AGM-45 Shrike, AGM-84 Harpoon, AGM-88 HARM, dan bisa membawa LANTIRN. Komputer pada Blok 20 diperbarui secara signifikan, dengan kecepatan proses 740 kali lipat, dan memori 180 kali lipat dari Blok 15 OCU.

Spesifikasi (F-16C Blok 30)

Orthographically projected diagram of the F-16.

Karakteristik umum

  • Kru: 1
  • Panjang: 49 ft 5 in (14.8 m)
  • Lebar sayap: 32 ft 8 in (9.8 m)
  • Tinggi: 16 ft (4.8 m)
  • Area sayap: 300 ft² (27.87 m²)
  • Airfoil: NACA 64A204 root and tip
  • Berat kosong: 18,238 lb (8,272 kg)
  • Berat terisi: 26,463 lb (12,003 kg)
  • Berat maksimum lepas landas: 42,300 lb (16,875 kg)
  • Mesin: 1× Pratt & Whitney F100-PW-220 afterburning turbofan
    • Dorongan kering: 14,590 lbf (64.9 kN)
    • Dorongan dengan afterburner: 23,770 lbf (105.7 kN)
  • Alternate powerplant:General Electric F110-GE-100 afterburning turbofan
    • Dry thrust: 17,155 lbf (76.3 kN)
    • Thrust with afterburner: 28,985 lbf (128.9 kN)

Performa

Persenjataan

Lainya:

Avionik

F-16 equipped with LANTIRN pods.jpg
F16 HTS.jpg
LANTRIN dan LITENING F-16


Lihat

Pengembangan yang berhubungan

Pesawat sebanding

Urutan penamaan


Referensi

Bibliografi

Sumber Artikel dan foto : Wikipedia


F-15 Eagle

F-15 Eagle
McDonnell Douglas Logo.png
DF-ST-92-07383-C.jpg
F-15 Angkatan Udara Arab Saudi.
Tipe Pesawat tempur superioritas udara
Produsen McDonnell Douglas
Boeing IDS
Terbang perdana 27 Juli 1972
Diperkenalkan 9 Januari 1976
Pengguna Amerika Serikat
Israel
Jepang
Arab Saudi
Harga satuan US$29,9 juta {1998}
Varian F-15E
F-15S/MTD
F-15SE Silent Eagle

F-15 Eagle adalah pesawat tempur taktis segala cuaca yang dirancang untuk menciptakan dan mempertahankan superioritas udara dalam pertarungan di langit. Pesawat ini dikembangkan untuk Angkatan Udara Amerika Serikat, dan pertama kali terbang pada Juli 1972. F-15E Strike Eagle adalah variannya yang merupakan pesawat tempur serang yang mulai dipakai pada tahun 1989. Angkatan Udara Amerika Serikat berencana untuk tetap menggunakan F-15 sampai tahun 2025.[1]


Sejarah

Pada Perang Korea, pesawat tempur Amerika Serikat yang dapat mengalahkan pesawat tempur MiG-15 Soviet hanya adalah F-86 Sabre. Kemudian pada tahun 1965, komunitas pesawat tempur dikejutkan dengan hancurnya pesawat-pesawat modern F-105 Thunderchief oleh MiG-17 era pasca-Perang Korea, pada Perang Vietnam. Intelijen Angkatan Udara Amerika Serikat kemudian mengetahui bahwa Uni Soviet sedang dalam tahap mengembangkan pesawat tempur yang lebih besar, yang dinamakan MiG-25. Pada Perang Vietnam, pesawat yang memiliki persenjataan, jarak jangkau, dan kelincahan yang cukup untuk mengalahkan pesawat tempur buatan Soviet hanyalah F-4 Phantom II. Namun, pesawat ini masih memiliki banyak kelemahan.

Angkatan Udara AS membutuhkan pesawat yang lebih baik dari F-4 Phantom. Setelah menolak program VFX Angkatan Laut AS (yang akhirnya menghasilkan F-14 Tomcat), Angkatan Udara AS membuat program mereka sendiri, yaitu FX (Fighter Experimental), dengan spesifikasi untuk pesawat tempur superioritas udara yang relatif ringan. Tiga perusahaan menyerahkan proposal, yaitu Fairchild Republic, North American Rockwell, dan McDonnell Douglas. Angkatan Udara AS mengumumkan bahwa mereka telah memilih McDonnell Douglas pada tanggal 23 Desember 1969. Disain yang terpilih menggunakan sayap ekor ganda mirip dengan F-14, namun tidak menggunakan sayap lipat.

F-15A prototip pertama, S/N 71-0280.

Versi paling pertamanya, yang diberikan nama F-15A untuk varian kursi tunggal dan F-15B untuk varian berkursi ganda, digerakkan oleh mesin yang baru, Pratt & Whitney F100, yang dapat mencapai perbandingan dorongan dengan berat rasio 1 banding 1. Meriam tanpa selongsong 25 mm Ford-Philco GAU-7 yang awalnya dikembangkan untuk pesawat ini dibatalkan karena menemui masalah pengembangan, dan digantikan meriam M61 Vulcan standar. F-15 juga melanjutkan pemakaian empat rudal Sparrow, sama seperti Phantom. Sayap tetap F-15 terpasang pada badan pesawat yang dibuat lebar dan datar, yang membantu sayap memberikan dorongan ke atas. Pengembangan F-15E Strike Eagle juga akhirnya menghasilkan pesawat untuk menggantikan F-111 Aardvark.

Namun, perdebatan di dalam tubuh Angkatan Udara Amerika Serikat mengenai F-15 yang terlalu besar sebagai pesawat tempur superioritas udara, dan dinilai terlalu mahal untuk diproduksi secara menyeluruh menggantikan F-4 dan A-7 mengakibatkan dimulainya program Light Weight Fighter (Pesawat Tempur Ringan), yang akhirnya akan menghasilkan pesawat tempur ringan F-16 Fighting Falcon dan pesawat tempur menengah F/A-18 Hornet.

Kecelakaan yang berakibat larangan terbang

Pada 2 November 2007, F-15C jatuh pada latihan di Missouri. Sang pilot selamat melontarkan diri, tetapi kecelakaan ini memicu pelarangan terbang (grounded) bagi pesawat F-15. Kecelakaan pada awalnya adipercaya karena kegagalan struktur pesawat sehingga pecah saat terbang. Pada 3 November 2007, semua F-15 dilarang terbang untuk semua misi yang tidak kritis (non-mission critical).[2] Hari berikutnya larangan ini diperluas pada pesawat yang beroperasi (non-critical mission) di timur tengah.[3] Pada 13 November 2007 lebih dari 1,100 pesawat dilarang terbang di seluruh dunia setelah Israel, Jepang dan Saudi Arabia juga melarang terbang pesawat F-15 mereka.[4] Pada 14 November, Model F-15E diperbolehkan terbang setelah setiap pesawat di inspeksi.[5]

Spesifikasi (F-15C Eagle)

Gambar teknis F-15 Eagle.

Data dari USAF fact sheet,[6] Jane's All the World's Aircraft[7]

Karakteristik umum

  • Kru: 1
  • Panjang: 63,8 ft (19,44 m)
  • Lebar sayap: 42,8 ft (13 m)
  • Tinggi: 18,5 ft (5,6 m)
  • Area sayap: 608 ft² (56,5 m²)
  • Airfoil: NACA 64A006.6 root, NACA 64A203 tip
  • Berat kosong: 28.000 lb (12.700 kg)
  • Berat terisi: 44.500 lb (20.200 kg)
  • Berat maksimum lepas landas: 68.000 lb (30.845 kg)
  • Mesin: 2× Pratt & Whitney F100-100,-220, atau -229 turbofan
    • Dorongan kering: 17.450 lbf (77,62 kN) masing-masing
    • Dorongan dengan afterburner: 25.000 lbf untuk -220; 29.000 lbf untuk -229 (111,2 kN untuk -220; 129,0 kN untuk -229) masing-masing

Performa

F-15 vertical deploy.jpg
    • Ketinggian rendah: Mach 1,2 (1.450 km/jam)
    • Ketinggian tinggi: Mach 2,5 (3.018 km/jam)
  • Jarak jangkau ferri: 3.000 nm (5.600 km) dengan bahan bakar eksternal
  • Batas tertinggi servis: 65.000 ft (20.000 m)
  • Laju panjat: >50.000 ft/min (254 m/s)
  • Beban sayap: 73,1 lb/ft² (358 kg/m²)
  • Dorongan/berat: 1,12 (-220), 1,30 (-229)

Persenjataan

Avionik

  • Radar:
  • Countermeasures:
  • AN/APX-76 IFF interrogator
  • AN/ALQ-128 radar warning suite
  • AN/ALR-56 radar warning receiver
  • ALQ-135 internal countermeasures system
  • AN/ALE-45 chaff/flare dispensers

Referensi

Lihat pula

Pengembangan yang berhubungan

Pesawat sebanding

Urutan penamaan





sumber artikel dan foto : Wikipedia

Mempelajari Peningkatan Kekuatan Militer Malaysia di Kepulauan Spratley


hasan0972's picture

Oleh: Kapten Inf Hasan Abdullah, Perwira Kodam Iskandar Muda

Fakta-Fakta

Berdasarkan deklarasi Zona Ekonomi Eksklusif tanggal 20 September 1979, Pemerintah Malaysia mengklaim batas pelantar benua sepanjang 200 mil laut. Terumbu Layang-layang adalah bagian dari kawasan yang disebut sebagai Gugusan Semarang Peninjau (GSP). GSP ini terdiri dari beberapa terumbu karang di Kepulauan Spratley bagian selatan yang berada dalam kawasan ZEE Malaysia.

Terumbu Layang-layang sendiri adalah sebuah atol di bawah permukaan laut yang terpencil di Laut Cina Selatan, 306 km di sebelah barat laut Kota Kinabalu, ibukota Sabah. Letaknya tepat pada 7°22'23.48"N dan 113°50'46.23"E. Belum dapat dipastikan terumbu karang ini terbentuk oleh karang yang tumbuh di atas gunung api bawah laut atau sebuah gunung yang tenggelam. Para ahli kelautan mengatakan bahwa di Terumbu Layang-layang terdapat 30 rangkaian karang yang membentuk atol sepanjang 7,3 km dan lebar 2,2 km. Pulau buatan yang ada merupakan satu-satunya tempat berlabuh yang aman di kawasan ini. Perairan di sekitar terumbu karang di wilayah ini masih asli, sehat dan terlihat dengan baik. Lereng curam di atas perairan yang dalam sangat indah untuk diselami. Biota laut berupa macam-macam ikan dan penyu, ganggang serta karang banyak terdapat di wilayah ini. Beting pasir yang tampak di permukaan air laut menjadi tempat favorit untuk beristirahat bagi berbagai spesies burung laut, terutama burung layang-layang. Oleh sebab itu, terumbu karang di wilayah ini disebut sebagai Terumbu Layang-layang. Selain mengandung kekayaan alam gas alam dan minyak bumi, GSP juga kaya dengan biota laut dan keindahan alam bawah laut. Pendapatan nelayan dari hasil tangkapan ikan tuna saja dapat mencapai RM 70 juta setahun. Ini di luar hasil tangkapan lain seperti udang karang dan ikan kerapu.

Ditinjau dari aspek geostrategis, Terumbu Layang-layang terletak di ujung selatan Kepulauan Spratley yang disengketakan oleh negara Malaysia, Filipina, Brunei, Vietnam, Taiwan dan China. Di lokasi tersebut, Pemerintah Malaysia telah membuat sebuah pulau seluas 6 hektar di sebelah ujung timur atol tersebut sebagai pangkalan militer dan pariwisata yang disebut dengan Stesen Lima. Pendudukan Malaysia di terumbu ini dimulai sejak tahun 1979 melalui Operasi Tugu oleh Paskal, pasukan khusus marinir Malaysia, LST KD Raja Jarom dan satu detasemen helikopter Nuri. Pembangunan kawasan GSP oleh Pemerintah Malaysia sesungguhnya mendapat kecaman dari negara Filipina, Brunei, Vietnam, Taiwan dan Cina. Namun sejauh ini pembangunan fasilitas pertahanan dan pariwisata oleh Pemerintah Malaysia dapat berjalan lancar.

Sebagai pangkalan militer, GSP mempunyai beberapa pos pengamanan yang dibangun sejak tahun 1979. Penempatan pasukan pertama kali di Terumbu Layang-layang pada bulan Mei 1983 oleh anggota Paskal (Pasukan Khas Laut). Pada tahun 1985, fasilitas militer diperbesar dengan pembangunan barak. Stesen Lima (Terumbu Layang-layang) berfungsi sebagai pos induk untuk aktivitas di sekitar GSP. Pangkalan darat GSP diawaki oleh Pasukan Khas Laut (Paskal) TLDM dan Pasukan Pertahanan Udara (PPU) TLDM dipimpin oleh seorang perwira berpangkat komander (letnan kolonel). Fasilitas militer di kawasan GSP antara lain :

a. Satu unit pangkalan utama dan empat pos pengamanan (Uniform, Papa, Tango dan Mike).

b. Landasan udara sepanjang 1.367 meter yang dapat didarati dengan baik oleh pesawat CN235M. Meski demikian, pesawat Hercules C-130 dapat juga dipaksa mendarat walaupun dengan kondisi pendaratan yang kurang nyaman.

c. Pelabuhan yang ada di Stesen Lima (Terumbu Layang-layang) saat ini sepanjang 42 meter dan secara bertahap akan diperpanjang lagi untuk memungkinkan lebih banyak kapal-kapal perang dan kapal wisata yang dapat berlabuh.

d. Enam pucuk meriam Bofors kaliber 40 mm.

e. Sistem rudal Starburst.

Untuk meyakinkan kehadiran Pemerintah Malaysia di GSP, telah dibangun obyek wisata yang mengkhususkan pada wisata alam, penyelaman dan wisata pemancingan ikan laut dalam. Saat ini GSP, khususnya Terumbu Layang-layang telah menjadi obyek wisata terkenal di seluruh dunia yang dilengkapi fasilitas lapangan udara untuk pesawat ringan, pelabuhan kapal pesiar, pembangkit listrik tenaga diesel dan angin, resort serta sistem penyaringan air Reverse Osmosis (RO).

Wakil PM Malaysia, Datuk Seri Najib Tun Razak dalam kunjungan ke Terumbu Layang-layang pada hari Selasa, 12 Agustus 2008, menjelaskan bahwa pengendalian dan pendudukan suatu daerah yang disengketakan merupakan faktor utama bila kasus Ambalat dibawa ke Mahkamah Internasional. Oleh karena itu, Malaysia akan mempertahankan kehadirannya di perairan Ambalat. Najib yang juga menjabat sebagai Menteri Pertahanan mengatakan, bahwa instalasi militer yang dibangun di pos-pos strategis garis depan merupakan bagian dari langkah-langkah untuk menyokong ZEE.

Analisa

Pemerintah Malaysia memandang penting aspek penguasaan wilayah dalam rangka melindungi kedaulatan negara atas wilayahnya sampai ke garis perbatasan pulau terluar. Sebagaimana telah tercatat dalam sejarah, kemenangan Malaysia atas Indonesia dalam kasus Pulau Sipadan dan Ligitan tahun 2002 serta kemenangan Singapura atas Malaysia dalam kasus perebutan Pulau Batu Puteh di Mahkamah Internasional tahun 2008 membuktikan bahwa penguasaan secara fisik terhadap wilayah yang disengketakan merupakan faktor penting untuk memenangkan kasus tersebut secara hukum di Mahkamah Internasional.

Penempatan pangkalan militer di wilayah ZEE yang disengketakan memberikan keuntungan taktis sebagai faktor penggentar bagi negara lain yang ingin mempersengketakan wilayah tersebut. Sedangkan pembangunan obyek wisata di Terumbu Layang-layang yang mengundang minat wisatawan asing di samping memberikan keuntungan secara finansial juga secara politis dapat membangun opini masyarakat internasional bahwa kawasan GSP adalah benar-benar milik Malaysia. Opini masyarakat internasional ini penting untuk memperkuat diplomasi apabila sengketa wilayah ini dibawa ke Mahkamah Internasional.

Peningkatan kekuatan militer Malaysia di Kepulauan Spratley, yang menurut Malaysia adalah kawasan ZEE-nya, dalam sengketa dengan Filipina, Brunei, Vietnam, Taiwan dan China merupakan bukti bahwa setiap negara akan melakukan tindakan apapun demi melindungi kedaulatan negaranya. Menurut Atase Laut RI Kuala Lumpur, dalam hubungan antar negara, istilah kawasan ZEE hanya dikenal dalam UNCLOS 1982 yang Malaysia sendiri tidak meratifikasinya. Menurut UNCLOS 1982, kondisi geografis Malaysia sebagai negara pantai tidak memberikan hak atas kawasan ZEE. Jadi, klaim Malaysia atas kawasan ZEE hanya merupakan klaim sepihak. Walaupun secara hukum peningkatan kekuatan militer Malaysia di kawasan ZEE tidak dibenarkan, Malaysia tetap melakukannya.

Dalam kasus Ambalat dengan Indonesia, peta wilayah perbatasan laut Malaysia yang digunakan oleh Pemerintah Malaysia adalah peta tahun 1979. Ini tahun yang sama dengan pendudukan pertama aparat keamanan Malaysia ke GSP Terumbu Layang-layang dan mungkin pendudukan ke Pulau Sipadan dan Ligitan. Hubungan ini menunjukkan bahwa perhatian dan langkah Pemerintah Malaysia terhadap perlindungan aset wilayahnya telah ada sejak tahun 1979. Ungkapan Wakil PM Malaysia Datuk Seri Najib Tun Razak menunjukkan keinginan Malaysia untuk memiliki blok Ambalat semakin kuat sehubungan dengan kekalahan Malaysia dari Singapura dalam pemilikan Pulau Batu Puteh. Permasalahan Blok Ambalat yang saat ini kelihatan mereda tetap menyimpan potensi konflik, baik politik, ekonomi, sosial maupun militer. peningkatan kekuatan ekonomi dan militer Malaysia di sektor selatan pantai timur Sabah harus diwaspadai dan diantisipasi.

Kawasan titik-titik terluar perbatasan Indonesia, sebagaimana juga Blok Ambalat, merupakan suatu sistem yang di dalamnya terlibat berbagai pihak dan kepentingan. Permasalahan politik, ekonomi dan sosial mengenai kehidupan masyarakat, perdagangan lintas batas, illegal logging, penyelundupan TKI dan sumber daya alam di sekitar titik-titik terluar perbatasan harus dikelola dengan baik agar dapat memberikan keuntungan positif bagi perjuangan mempertahankan kedaulatan NKRI. Ancaman kedaulatan NKRI di sekitar titik-titik terluar perbatasan harus ditangani secara komprehensif dan memerlukan keterlibatan berbagai pihak.

Kondisi geografis Indonesia yang luas dan terdiri dari ribuan pulau serta sebagian besar wilayah perbatasan yang terdiri dari lautan merupakan suatu permasalahan krusial bila dihadapkan dengan konsep pertahanan yang menitikberatkan pada operasi patroli dengan menggunakan alutsista kapal perang dan pesawat tempur. Ini dapat dipahami mengingat kondisi keuangan negara yang belum mampu menyediakan alutsista sesuai kebutuhan untuk menjaga kedaulatan wilayah negara. Di sisi lain, kondisi geografis ribuan pulau yang dimiliki Indonesia dan rakyat Indonesia yang tersebar sampai di pulau-pulau terpencil tersebut merupakan aset yang sangat berharga bila dikelola dengan baik.

Pemerintah harus mengutamakan pembangunan infrastruktur sosial dan ekonomi di kawasan terpencil pulau-pulau terluar yang bersifat dasar maupun yang sesuai dengan potensi wilayah masing-masing. Selain infrastruktur dasar seperti kesehatan, pendidikan, transportasi dan sebagainya, potensi wilayah yang dapat dikembangkan di pulau-pulau terluar ini biasanya adalah budidaya dan pariwisata kelautan. Dengan pembangunan infrastruktur ini diharapkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan potensi ekonomi di daerah itu akan meningkat. Peningkatan potensi ekonomi ini diharapkan akan berpengaruh pada peningkatan pendapatan daerah dan pendapatan negara.

Satu hal yang tidak boleh ditinggalkan dalam pembangunan masyarakat di pulau-pulau terluar adalah penanaman jiwa patriotisme dan nasionalisme serta kepedulian terhadap pertahanan (defense awareness). Sejarah telah membuktikan kemenangan bangsa Indonesia atas penjajah sesungguhnya merupakan kemenangan rakyat bersama politisi dan tentara. Dalam segi militer, rakyat membantu tentara dalam suplai logistik maupun informasi. Dalam penegakan kedaulatan negara di masa modern ini masyarakat penduduk pulau terluar merupakan aset intelijen yang dapat memberikan informasi adanya ancaman terhadap kedaulatan negara.

Seiring dengan peningkatan kesejahteraan, potensi ekonomi masyarakat dan negara serta kepedulian terhadap pertahanan masyarakat di pulau terluar, peningkatan kekuatan militer di kawasan tersebut secara bertahap juga ditingkatkan. Pangkalan-pangkalan militer perlu dibangun di pulau-pulau atau terumbu karang terluar, bila perlu di kawasan ZEE. Pembangunan pangkalan militer ini akan memberikan rasa aman bagi masyarakat setempat dan juga bagi investor yang ingin berusaha di kawasan tersebut.

Kesimpulan

Perjuangan mempertahankan kedaulatan NKRI atas suatu wilayah dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, terbukti tidak dapat dilakukan dari satu pihak saja. Diplomasi dan kekuatan militer saja, tidak akan mampu mempertahankan suatu wilayah dalam sengketa dengan negara lain. Sengketa titik terluar perbatasan adalah sengketa suatu sistem yang di dalamnya terlibat berbagai pihak dan kepentingan. Menarik pelajaran dari peningkatan kekuatan Malaysia di Kepulauan Spratley, ada tiga hal penting yang harus dilakukan dalam menjaga kedaulatan NKRI di pulau terluar yang perlu melibatkan berbagai pihak pemerintah maupun masyarakat dalam kondisi sekarang ini, yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat dan potensi ekonomi setempat, penanaman jiwa patriotisme dan nasionalisme masyarakat setempat serta diiringi dengan peningkatan peningkatan kekuatan militer secara bertahap di kawasan titik terluar wilayah negara tersebut.


Referensi:
1. http://www.mir.com.my/potpourri/places/mpwong/ destination/p_layang/index.htm.
2. http://www.newsabahtimes.com.my/nstweb/fullstory/20634.
3. DAILY EXPRESS, RABU, 13 AGUSTUS 2008; HAL 2.
4. MAJALAH PERAJURIT EDISI DESEMBER 2007; HAL 56.
5. MAJALAH PERAJURIT EDISI JANUARI 2008; HAL 44.
6. MAJALAH PERAJURIT EDISI FEBRUARI 2008; HAL 52.

sumber artikel dan foto : tandef

TNI AL-PT PAL Siapkan Korvet Baru



KRI Diponegoro (365), salah satu korvet kelas SIGMA dalam jajaran armada TNI AL

Jakarta - Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI Tedjo Edhy Purdijatno, mengatakan, pihaknya dan PT PAL hingga kini terus menjajaki pembuatan kapal Korvet Kelas Sigma V untuk mendukung sistem pertahanan matra laut dan kemandirian industri dalam negeri.

Ditemui ANTARA usai menghadiri buka puasa bersama Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, di Mabes TNI, Senin, ia mengatakan proses penjajakan itu terus berjalan.

"Masih dalam proses. Setelah empat kapal Korvet Kelas Sigma seluruhnya tiba di Indonesia, maka segera kita buat Korvet kelas serupa antara TNI AL dan PT PAL," ungkapnya

Pada kesempatan terpisah, Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut Laksamana Pertama TNI Iskandar Sitompul mengatakan, pembuatan kapal Korvet Kelas Sigma V ini nantinya akan dijadikan standar bagi pengembangan kapal-kapal perang di TNI AL.

Kapal kombatan seperti korvet, fregat, dan perusak, matra laut ke depan akan diadakan dengan mengadopsi teknologi dan kemampuan yang dimiliki Korvet Kelas Sigma (Ship Integrated Geometrical Modularity Approach).

Dengan kata lain, Korvet Sigma yang berteknologi terkini dapat menjadi jembatan transformasi dan standardisasi teknologi kapal-kapal kombatan TNI AL.

Sehingga akan terjadi efisiensi dalam pengadaan, pemeliharaan dan perawatan alat utama sistem senjata (alutsista) TNI AL, termasuk pada aspek logistik, pendidikan, dan pelatihan personel pengawaknya.

Saat ini TNI AL punya kapal perang dan sistem peralatan yang berasal dari berbagai negara seperti Belanda, Yugoslavia, Jerman, Rusia, Amerika serikat, Australia, Inggris, Jepang, Korea Selatan, China, Prancis, dan Afrika Selatan.

Iskandar menambahkan, persiapan pengadaan Korvet Sigma V telah dilakukan dengan melakukan pembahasan tingkat Mabes TNI AL, Mabes TNI dan Departemen Pertahanan.

"Diharapkan paling cepat 2010 kapal sudah mulai memasuki tahap pembuatan di PT PAL. Dengan catatan, kondisi perekonomian nasional sudah membaik," ujarnya.

Indonesia telah memesan empat kapal korvet Sigma dari Belanda dengan nilai total nilai 700 juta Euro (sekitar Rp8 triliun) atau Rp2 triliun untuk masing-masing kapal. Saat ini telah hadir dua kapal perang.

Iskandar mengatakan, dua Kapal Korvet terakhir masing-masing dijadwalkan tiba pada Oktober 2008 dan Maret 2009. "Dengan begitu, Korvet Sigma V dapat mulai dibangun paling cepat 2010, dan dapat segera dilakukan standardisasi kapal-kapal perang TNI AL, disesuaikan dengan kondisi perekonomian nasional," katanya.

Sumber : Antara sebagaimana dirilis di situs Dephan
http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=8479

Foto berasal dari:
http://s134.photobucket.com/albums/q93/ambalat/Sigma%20corvettes/

tandef

RI Akan Membuat Kapal Induk



Pemerintah mengalokasikan dana Rp70 miliar bagi pengadaan kapal induk kecil selama 2009 untuk memperkuat armada Badan Koordinator Keamanan Laut (Bakorkamla) dalam melakukan penjagaan dan pengawasan wilayah serta kedaulatan wilayah NKRI.

"Kapal-kapal tersebut akan diproduksi di galangan kapal dalam negeri dengan local content yang relatif tinggi," kata Kepala Pelaksana Harian (Kalakhar) Bakorkamla, Laksamana Madya TNI Budhi Hardjo, seusai membuka seminar bertema Pengelolaan dan Pemahaman Perjanjian Perbatasan Wilayah Laut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di Jakarta kemarin.

Menurut dia, kendati telah mengalokasikan dana Rp70 miliar tersebut, pemerintah tidak menutup peluang bagi negara lain untuk memberikan bantuan atau kerja sama. Hingga saat ini ada sekitar empat negara yang telah menawarkan bantuan untuk pengadaan kapal-kapal tersebut, antara lain Australia. (sofian dwi)

Sumber berita: Seputar Indonesia, tandef

BERITA POLULER