Rusia khawatir rudal NATO akan digunakan untuk menyerang senjata nuklir mereka.
VIVAnews - Presiden Rusia Dmitry Medvedev menegaskan akan menembakkan rudal untuk menghancurkan sistem pertahanan rudal NATO di Eropa, tanpa memedulikan perjanjian yang telah diteken dengan Amerika Serikat. Langkah ini akan diambil jika tuntutan Rusia soal sistem pertahanan NATO tetap diacuhkan.
Medvedev mengatakan, Rusia akan menembakkan rudal balistik baru berkemampuan lebih canggih dalam menembus sistem pertahanan musuh. Rusia juga akan mematikan sistem anti-rudal yang dimiliki oleh NATO dan AS. Jika ini gagal, maka Medvedev punya rencana B.
"Jika gagal, Rusia akan menurunkan persenjataan dengan sistem serang canggih di barat dan selatan negara ini. Salah satunya adalah rudal Iskandar di wilayah Kalinigrad. Hal ini kami lakukan agar dapat menghancurkan semua sistem pertahanan rudal AS di Eropa," kata Medvedev dalam sebuah siaran langsung, dilansir dari kantor berita CNN, Rabu 23 November 2011.
Ancaman Medvedev ini dilayangkan menyusul rencana NATO membangun pusat pertahanan rudal di beberapa negara Eropa, di antaranya Polandia, Rumania dan Turki. NATO mengatakan bahwa sistem pertahanan yang rampung 2020 ini dimaksudkan untuk mengantisipasi serangan dari Timur Tengah, seperti Iran, bukan untuk menyerang Rusia.
NATO telah meminta Rusia untuk bergabung dalam program tersebut. Namun, Rusia tidak puas dengan negosiasi yang dilakukan. Medvedev khawatir sistem pertahanan rudal ini akan digunakan untuk menyerang senjata nuklir Rusia yang menjadi andalan negara tersebut sejak berakhirnya Perang Dingin.
Medvedev menginginkan adanya perjanjian hukum tertulis untuk mencegah hal itu. AS dan NATO menjamin persenjataan itu tidak akan digunakan untuk menyerang Rusia. Namun, AS menyatakan tidak dapat mengeluarkan dokumen yang mengikat. AS mengatakan, dokumen itu hanya akan membatasi kinerja sistem pertahanan dalam menjalankan fungsinya.
Langkah Rusia ini mengancam perjanjian baru mengenai kendali senjata dengan AS yang ditandatangani Barack Obama dan Medvedev tahun lalu. Perjanjian START (Strategic Arms Reduction Treaty) adalah perjanjian kedua negara untuk mengurangi tindakan agresif dan penggunaan senjata. Perjanjian ini sebelumnya ditandatangani oleh Presiden AS George Bush dan Presiden Rusia Mikhail Gorbachev pada Juli 1991.
"Terdapat kondisi dimana perjanjian START dibatalkan, dan opsi kali ini merupakan yang tercantum dalam perjanjian," kata Medvedev. (umi)
No comments:
Post a Comment
DISCLAIMER : KOMENTAR DI BLOG INI BUKAN MEWAKILI ADMIN INDONESIA DEFENCE , MELAINKAN KOMENTAR PRIBADI PARA BLOGERSISTA
KOMENTAR POSITIF OK