Semenanjung Korea, Diantara Kobaran Perang Dan Diplomasi
Kapal AL Korsel diambil gambarnya di pulau Yeonpyeong, Jumat (26/11). (FOTO ANTARA/REUTERS/Jo Yong-Hak)
Jakarta (ANTARA News) - Mendung perang makin menggantung di atas bumi Semenanjung Korea, sementara angin diplomasi bertiup ke Beijing. Kepada negeri tirai bambu itu, dunia masih berharap ada celah perdamaian antara dua Korea, karena China lah negara sekutu satu-satunya Pyongyang.

Pyongyang makin geram dengan gelar latihan perang di Laut Kuning, perbatasan mereka yang rawan, Korea Selatan dan Amerika Serikat yang didukung kapal induk bertenaga nuklir USS George Washington yang mengusung sejumlah pesawat tempur, kendaraan lapis baja dan peralatan tempur canggih lainnya mulai Minggu ini.

Menurut laporan kantor-kantor berita internasional, George Washington membawa 75 pesawat tempur, memiliki lebih dari 6.000 personil, dan disertai oleh sedikitnya empat kapal perang lain.

Sejak awal, China menentang kehadiran USS George Washington di perairan tersebut karena merasa keamanannya terganggu.

Pyongyang bahkan sesumbar akan menghadapi mereka habis-habisan dan tanpa ampun karena latihan militer tersebut dianggap sebagai isyarat dimulainya perang.

Washington berdalih pelatihan militer di perairan barat Semenanjung Korea itu sebagai upaya pencegahan Korut menyerang Korsel lagi, setelah pekan lalu Pyongyang memberondongan tembakan artileri dan roket ke Pulau Yeonpyeon di perbatasan yang menewaskan dua warga sipil, dua anggota marinir, membakar sejumlah bangunan dan hutan. Pelatihan gabungan menurutnya juga sudah dirancang sejak lama.

Ketegangan di Semenanjung Korea memang meningkat sejak peristiwa tenggelamnya kapal perang Korsel, Cheonan, yang menewaskan 46 pelaut di Laut Kuning dan mempersalahkan Korut yang diduga mentorpedo korvet itu.

Sementara itu di Seoul, Presiden Lee Myung-bak minta para menteri kabinetnya untuk siap menghadapi provokasi Korut pada saat pelatihan dilakukan.

Menurut dugaan Seoul, ada kemungkinan Korut akan melakukan tindakan tak disangka-sangka.

Dugaan tersebut wajar karena Pyongyang melalui Kantor Berita Korut (KCNA) mengatakan "jika AS membawa kapal induknya ke Laut Barat Korea, tak seorang pun dapat memprediksi konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi."

Pada Minggu pagi, pemerintah Seoul minta para wartawan yang berada di wilayah perbatasan untuk mundur.

Pada Ahad siang mulai terdengar suara-suara dentuman di perairan tersebut, yang diduga tembakan-tembakan artileri Korut.



Peran China

Penasehat negara, Dai Bingguo, pembuat kebijakan luar negeri China paling senior Ahad berada di Seoul menemui Presiden Lee Myung-bak dan Menlu Korsel Sung-Hwan. Sementara itu Ketua Majelis Rakyat Korut Choe Thae-Bok yang juga orang dekat pemimpin Korut Kim Jong-Il akan terbang ke Beijing Selasa untuk menemui para pemimpin China.

Menlu China Yang Jiechi sebelumnya menyatakan telah mengadakan pembicaraan dengan rekan-rekannya dari AS, Rusia, Jepang dan Korsel, negara-negara yang terlibat dalam perundingan enam negara untuk menghapus program nuklir Korut.

China, sebagai sekutu utama Korut telah ditekan untuk menggunakan pengaruhnya guna mengendalikan Pyongyang, tetapi Beijing sejauh ini menolak untuk berpihak, meskipun secara terbuka menyeru semua pihak untuk menahan diri.

Dalam keterangannya setelah perundingan Bingguo dengan Presiden Lee, perwakilan China pada perundingan enam negara Wu Dawei menyerukan perlunya dilakukan pertemuan darurat para utusan perundingan enam negara mengenai program nuklir Korut pada awal Desember ini.

Menurutnya, China sudah mempelajari secara berhati-hati usulan perlunya mengadakan konsultasi-konsultasi darurat di antara para kepala delegasi perundingan enam pihak itu pada awal Desember di Beijing, untuk bertukar pandangan mengenai masalah besar yang menjadi keprihatinan semua pihak pada saat ini.

Menurut Wu, konsultasi-konsultasi itu bukan merupakan pelanjutan resmi perundingan enam negara, melainkan konsultasi darurat untuk membahas dan mencari jalan keluar dari persoalan gawat itu.

Sebelumnya, Beijing mengatakan bahwa pihaknya sepakat dengan Presiden Lee Myung-Bak untuk melakukan upaya-upaya peredaan konfrontasi antara kedua Korea karena menganggap konflik tersebut mencemaskan bagi keamanan dan perdamaian regional dan global.

Tetapi tak berapa lama berselang, Presiden Korsel menegaskan satu klarifikasi yang menyatakan bahwa Seoul tidak tertarik dan menganggap terlalu dini untuk melanjutkan kembali perundingan enam negara yang macet sejak April tahun lalu itu.

Lee menganggap persoalan yang kini mendesak adalah menangani sikap agresif Pyongyang yang gemar berperang dan bukannya persoalan yang diusung dalam perundingan-perundingan sebelumnya.

Sementara itu pemimpin dari berbagai negara juga menyatakan pendapat perlunya China menggunakan pengaruhnya yang kuat terhadap Korut, agar Pyongyang lebih mengendalikan diri dalam menghadapi persoalan yang kian memanas.

Seperti diketahui Korut dengan didukung China menghadapi Korsel yang didukung AS pada Perang Korea 1950-1953.

Perang tersebut hanya diselesaikan lewat gencatan senjata, bukan perjanjian perdamaian, yang menyebabkan AS sejak itu menempatkan sekitar 28.000 prajuritnya di Korsel.(AK/K004)